Hei Anakku, Nun Jauh Di Sana...

Hari itu, 4 Agustus 2001, adalah hari yang tak terlupakan. Umur saya masih 22 tahun, sudah menikah, dan segera punya anak. Banyak orang berkata: "Ah umur 22 kan wajar jika sudah menikah dan punya anak." Betul... itu betul, tapi untuk standar perempuan. Jika lelaki, berpendidikan, tinggal di kota besar, lantas menikah umur 22... nah itu baru namanya... outstanding, hahaha... Ya itulah saya saat itu. Masih culun, suka baperan, kadang temperamental, yah dan segudang perilaku negatif lainnya. Tapi hei... seorang bayi ditakdirkan akan mengubah jalan hidup dan karakter saya, si lelaki tengil itu...

Saat itu, 04 Agustus 2001, saya terpisah cukup jauh dengan istri dan (calon) anakku. Saya sedang berada di Bandung untuk menyelesaikan skripsi, dan istri saya sedang di Bogor, hamil tua dan tampaknya mulai menjalani detik-detik menuju kelahiran anak pertama kami.

Prediksi dokter dan bidan, anak kami itu keluarnya tidak akan secepat hari-hari sekarang. Diperkirakan masih seminggu atau 10 hari lagi, jika memerhatikan dari beberapa indikatornya. Masalahnya tiba-tiba datang ketika istri saya tiba-tiba menunjukkan tanda-tanda yang sangat jelas akan melahirkan. Untung saja waktu itu sudah lewat jam kerja, sehingga sekeluarga istri saya beserta Papa, Mama dan adik-adiknya lengkap berada di rumah.


Secepat kilat, pada 04 Agustus 2001 malam, seluruh keluarga istri saya mengantarkannya ke RS bersalin. Di perjalanan, istri saya diceritakan begitu kalap menahan rasa tidak karuan dalam tubuhnya akibat si jabang bayi yang akan segera keluar. Mamah mertua saya bercerita, rambutnya hingga dijambak sangat keras oleh istri saya ketika dalam perjalanan di mobil, menuju RS bersalin. Lebih konyolnya lagi adalah almarhum Papah mertua, hahaha... begitu ada indikasi mau melahirkan, istri saya diberi telur ayam kampung mentah. Menurutnya supaya lebih kuat mengejan. Lah ternyata efek telur mentah ini malahan membuat si jabang bayi ingin lekas-lekas melihat dunia, hahaha...

Yah, drama penuh ketegangan sekaligus kenangan ini begitu manis untuk dikenang, dan terjadi diatas sebuah Mazda MR90 yang mengantarkan mereka semua ke RS bersalin. Singkat kata, istri saya langsung menjalani prosedur melahirkan.

Menurut cerita semua yang ada di situ, kala anak pertama kami keluar dari perut istri saya, cuacanya sedang dramatis, hujan besar disertai dengan kilat bersahut-sahutan. Yah, tanggal 04 Agustus 2001, jalan hidup saya berubah total karena si mungil ini, perempuan... sesuai dengan harapan dan keinginan saya. Entah kenapa, saya begitu ogah memiliki anak lelaki. Soal ini mungkin kapan-kapan akan saya ceritakan dalam artikel terpisah...


Saya segera menelepon SLJJ (Sambungan Langsung Jarak Jauh) lewat telepon rumah saya, ke telepon rumah di Bogor. Setelah beberapa kali tidak ada yang mengangkat, akhirnya ada juga yang mengangkatnya di seberang sana. Saya lupa siapa yang mengangkatnya. Tapi yang saya ingat, pertanyaan pertama saya adalah: gimana anak saya? Lengkap kan jari-jarinya dan anggota tubuh lainnya? Yang di seberang sana menjawab: tenang saja, sehattt sekaliii, normal, semuanya oke-oke saja... dan saya pun merebahkan diri ke sofa di rumah, betapa leganya mendengar itu semua.

Saya begitu exciting dengan kelahiran ini, hingga membuat saya cukup gila untuk memutuskan berangkat subuh jam 02.00an langsung ke Bogor, dengan Suzuki Katana Ayah saya. Saya bahkan masih ingat pelat nomornya, D 406 CP, mobil kesayangan saya yang sesekali suka saya gunakan untuk berjalan-jalan dengan istri saya ketika masih masa pacaran di kampus. Setelah meminta ijin pada Ayah dan Ibu saya, saya langsung bergegas berangkat dari Bandung ke Bogor subuh, lewat Puncak. Kala itu belum ada jalan tol Cipularang. Terngantuk-ngantuk ditengah perjalanan, akhirnya saya sampai juga di rumah mertua. Kepala saya begitu penuh dengan bayangan rupa anak pertama saya... betapapun ngantuknya saya kala itu.

Keluarga mertua menyarankan saya agar beristirahat dulu setelah berjalan jauh. Percuma juga sih langsung pergi ke RS bersalin subuh-subuh begitu. Saya nurut saja untuk beristirahat subuh itu.

Paginya, entah saya sudah lupa jam berapa, saya bergegas ke RS bersalin, untuk berjumpa dengan anak pertama saya, untuk pertama kalinya. Saya hanya bisa melihatnya dari luar, karena dia sedang berada di ruang inkubasi. Anak pertama saya ini memang lahir agak prematur. Menurut teori sih, semestinya dia lahir ya sekitar seminggu atau 10 hari lagi. Tapi memang kehendak Tuhan, anak saya lahir dengan tanggal lahir yang sama dengan Gus Dur dan Barrack Obama...

Dengan kamera Minolta Dynax 600si yang saya miliki, saya abadikan beberapa hari anak saya nongkrong di RS bersalin tersebut. Momen-momen yang sangat indah, tak terlupakan... yah, saya menjadi Ayah muda, di umur 22 taon cuyyy... dan Tuhan tauuu, saya memang pengennya anak perempuan, ha ha ha...

Dari kiri ke kanan: adik ipar saya, mamah mertua sambil menggendong anak saya,
istri saya, dan saya.
Singkat cerita, beberapa hari kemudian anak saya boleh dibawa pulang, dan seterusnya adalah sejarah...

Dan kami sangat bersyukur pada Tuhan, karena betapapun kelahiran anak pertama kami ini terjadi ditengah-tengah proses perkualiahan tahap akhir kami, namun kami berdua tetap berhasil menyelesaikan kuliah hingga tuntas dan meraih gelar Sarjana. Saya yang ketika itu sedang persiapan skripsi dan istri saya masih dalam tahap awal pra-skripsi, membulatkan tekad untuk menyelesaikan apa yang dicita-citakan orangtua kami berdua dengan susah-payah, yaitu menyelesaikan pendidikan tinggi. Yeah, kami telah berhasil menuntaskan pendidikan tinggi kami, Papah dan Papih, yang sudah berbahagia di alam sana bersama Sang Pencipta...


04 Agustus 2017, 16 Tahun Kemudian
Nak... betapa aku merindukanmu, di kala aku sedang habis-habisan disemprot bos di kantor, hingga pulang malam sekali, demi melaksanakan tugas Papa sebagai HRD yang lagi getol-getolnya melakukan rekrutmen...

Nak... betapa aku merindukanmu, nun jauh di sana, sebuah sekolah asrama terbaik di Jawa Tengah, sementara Papa di Jakarta...

Rinduku terpisah jauh oleh ruang dan waktu, dan rindu itu tak terperikan... Papa hanya bisa menyapamu lewat WhatsApp atau Google Hangout...

Tapi di dalam kerinduan itu, terselip rasa bangga Papa dan Mama atas semua pencapaianmu, atas semua prestasimu, atas semua talentamu...

Kedua anak kami tercinta, si sulung & si bungsu,
yang umurnya terpaut lebih dari 10 tahun.
Dulu, 16 tahun lalu, kamu begitu lemah Nak... namun sekarang kamu sudah bisa memberikan banyak hal bagi orang lain, bagi kawan-kawanmu, bagi lingkunganmu...

Rindu ini menggelayut ketika Papa sedang merentet makan pagi, makan siang dan makan malam hanya dengan nasi dan batagor yang tersisa di tukang jualan yang masih buka, jam 23 malam sepulang dari kantor. Rindu itu menjadikan semprotan dan keramasan bos Papa tidak berarti lagi malam itu... yang Papa bayangkan hanyalah kamu yang tengah berbahagia sedang merajut masa depan kamu di sekolah yang kamu pilih sendiri...

Nak... majulah ke depan, terbanglah setinggi langit, dan berlarilah terus. Selalu dengarkanlah suara hati dan nurani dirimu, karena seringkali mereka adalah yang paling paham mengenai dirimu dan ke mana kamu harus melangkah...

Papa dan Mama akan selalu ada di sini, berbekal tekad untuk tetap melangkah melanjutkan hidup yang semakin keras ini, dan segudang kenangan-kenangan kebersamaan kita, mengamatimu dari jauh, sambil mendoakanmu untuk selalu berbahagia dengan dirimu sendiri dan dengan masa depan yang akan kamu songsong...

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Hei Anakku, Nun Jauh Di Sana..."

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel