Mengapa Paklaring Sudah Tidak Bisa Dipercaya Lagi?

Beberapa hari yang lalu, ketika saya sudah memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantor saya, saya terlibat obrolan kecil dengan salah satu karyawan lain yang juga sudah mengundurkan diri dengan jadwal yang sama dengan saya, yaitu hanya sampai akhir bulan ini. Obrolan ini berputar ke banyak hal tentang dunia HR, tapi yang paling menarik adalah tentang Surat Keterangan Pernah Bekerja, atau yang sering akrab disebut sebagai "paklaring". Ini adalah istilah serapan dari Bahasa Belanda.

Sebut saja nama karyawan ini Mita, agar mudah saya bercerita. Mita baru enam bulan saja di kantor ini. Dari sejak dia lulus kuliah, langsung bekerja di kantor ini, alias fresh graduate. Sementara saya sendiri baru dua bulan di sini, dan karena banyak ketidakcocokan dengan sistem manajemen di sini, saya putuskan untuk tidak berlama-lama di sini. Dengan kata lain, Mita sudah terlebih dahulu bergabung di kantor ini ketimbang saya.

Singkat kata, Mita banyak bertanya kepada saya seputar dunia HR, rekrutmen dan manajemen korporasi. Wajar saja, karena dia fresh graduate, sehingga dia butuh banyak bertanya seputar trik-trik menghadapi dunia kerja dan dunia korporasi.

Hingga obrolan kita bergeser ke soal paklaring. Mita beranggapan bahwa paklaring itu penting untuk dia dapatkan dari setiap perusahaan yang pernah dia bekerja di dalamnya. Selain setidaknya sebagai bukti bahwa Mita pernah benar-benar menjadi karyawan di perusahan yang bersangkutan, isi dari paklaring juga dapat mengindikasikan bahwa dia pernah bekerja dengan baik di perusahaan tersebut.

Soal paklaring ini dia angkat karena saya sempat bertanya, sebenarnya kapan Mita ini jadwal pengunduran dirinya. Mita mengatakan bahwa sebenarnya jika menuruti norma notifikasi 1 bulan (One Month Notice / OMN) dalam rangka serah-terima pekerjaan ke karyawan baru di posisi yang dia tinggalkan; semestinya dia sudah bisa meninggalkan kantor ini dari sejak sekitar pertengahan bulan ini. Tapi mengapa dia akhirnya extend hingga sampai akhir bulan ini masih masuk kantor, itulah yang jadi pertanyaan saya pada Mita.

Akhirnya dia menjawab bahwa dia diminta extend lebih dari OMN karena ada sejumlah pekerjaan tambahan yang dibebankan oleh atasan tertinggi kami, dan harus diselesaikan hingga tuntas. Namanya kerjaan dari atasan tertinggi, mana bisa dibantah atau ditolak kan? Masalahnya adalah ketika Mita mendapati bahwa apa yang dia kerjakan di masa extension OMN itu, dia rasakan sebagai pekerjaan yang tidak substansial untuk dia kerjakan hingga harus bela-belain extend OMN tersebut. Entahlah, mungkin saja atasan tertinggi Mita ada kepentingan tertentu untuk menahan Mita agar tidak lekas mengundurkan diri sesuai norma OMN.

Apalagi belakangan saya ketahui faktanya bahwa sebelum saya menjabat sebagai HR di sini, Mita sudah terlebih dahulu bergabung di kantor ini tanpa menandatangani Surat Perjanjian Kerja Karyawan (SPKK) dalam bentuk apapun. Secara Hubungan Industrial / legal, tentu ini sudah merupakan pelanggaran hukum. Dengan demikian, jika tidak ada SPKK dalam bentuk apapun yang ditandatangani oleh karyawan baru, maka sesungguhnya dia tidak memiliki kewajiban legal apapun untuk patuh pada norma OMN tersebut.

Misalnya, Mita sudah tidak betah karena diperlakukan tidak pantas oleh atasannya, maka dia bisa langsung detik itu juga mengundurkan diri tanpa harus menjalani OMN; dan Mita tidak perlu kuatir akan terkena konsekuensi legal apapun. Jadi dalam kasus Mita ini, diminta extend OMN menjadi lebih dari satu bulan, betapapun upahnya dibayar penuh, adalah sesuatu hal yang keterlaluan dan melanggar hukum Hubungan Industrial.

Berhubung Mita masih fresh graduate dan bukan lulusan jurusan hukum pula, maka sangat wajar jika Mita tidak mengetahui perihal hukum Hubungan Industrial ini. Nah, apakah kondisi ini yang kemudian dieksploitasi oleh kantor kami atau memang karena atasan tertinggi kami benar-benar tidak memahami hukum Hubungan Industrial; entahlah. Saya tidak mau berburuk sangka. Toh kami berdua memang sudah akan mengakhiri masa kerja kami di sini, karena alasan yang mungkin saja kurang-lebih sama.

Setidaknya di akhir bulan nanti, saya gak perlu merasa terlalu sendirian melangkah keluar pintu kantor ini, ha ha ha... ditemani Mita pula, lumayan lah, ha ha ha...

Ilustrasi: Istimewa

Terlepas dari awamnya Mita terhadap hukum Hubungan Industrial tersebut, pertanyaan saya padanya adalah: mengapa dia patuh saja pada keinginan atasan tertinggi kami, untuk memperpanjang masa OMN tersebut? Jawaban sederhana dari Mita adalah karena dia berharap dengan mematuhi extension OMN tersebut, dia bisa dengan lancar meminta paklaring dari atasan tertinggi kami

Berhubung dia adalah fresh graduate, saya bisa memahami pemikirannya tersebut. Dan saya senang ketika dia bertanya pada saya: Menurut Pak Pete, gimana soal paklaring ini? Apakah memang penting? Pak Pete sendiri gimana selama ini terhadap paklaring karyawan yang akan direkrut?

Saya menjawab pertanyaan Mita tersebut kedalam beberapa poin, yaitu:

1. Selama saya menjadi HR dan melakukan rekrutmen, saya tidak pernah meminta lampiran paklaring (dari kantor mereka sebelumnya) kepada para pencari kerja, di posisi apapun. Mengapa demikian? Karena pada kenyataannya, tidak semua pekerja cukup rajin untuk meminta paklaring dari kantor mereka sebelumnya.

Bisa jadi karyawan tersebut sudah terlanjur malas berurusan dengan kantor lamanya (karena berbagai sebab), atau memang kantor lamanya yang berusaha mempersulit keluarnya paklaring bagi si karyawan tersebut (karena berbagai alasan).

Jadi ketika si pencari kerja sudah terlebih dahulu menampilkan paklaring dalam lamarannya, ya bagus, saya menghargainya. Tapi jika mereka tidak melampirkannya, saya tidak ngotot memintanya.

2. Mita bertanya: Pak Pete bisa tahu dari mana jika si pencari kerja tersebut benar-benar pernah bekerja sesuai di tempat kerja yang dia tulis dalam CV-nya? Buat saya simpel saja. Jika memang apa yang dia tulis dalam CV-nya tersebut tampak benar (jujur) dan disajikan dengan baik, tentu akan saya panggil si pencari kerja untuk wawancara dan menjalani sejumlah tes. Dari proses rekrutmen itu, kejujuran si pencari kerja sudah bisa langsung diketahui. Toh apakah ada paklaring atau tidak, proses wawancara dan tes memang wajib dilalui si pencari kerja tersebut.

3. Jika si pencari kerja tersebut ada di tingkat Manajer atau lebih tinggi, melakukan kroscek langsung ke tempat bekerjanya sebelumnya, dapat menyajikan informasi yang lebih akurat. Jika kroscek ini tidak dimungkinkan karena tidak semua HR perusahaan mau menjawab proses kroscek mantan karyawannya, maka kebenaran tentang si pelamar tersebut, cepat atau lambat, akan bisa diketahui oleh HR di kantor barunya.

Oleh sebab itu ada Masa Percobaan 3 bulan, gunanya ya untuk itu. Jika CV-nya tidak jujur dan ketahuan, di Masa Percobaan itu perusahaan dapat langsung memecatnya tanpa kompensasi apapun dan tanpa konsekuensi legal apapun.

4. Pada kenyataannya, paklaring bisa mengecoh. Maksudnya begini. Biasanya dalam paklaring, tertulis bahwa karyawan tersebut telah bekerja dengan baik selama bla bla bla dan seterusnya. Masalahnya, paklaring seringkali digunakan sebagai hal yang dapat dibarter dengan kasus hukum yang membelit seorang karyawan.

Misalnya: ada karyawan yang terbukti melakukan fraud atau penggelapan uang perusahaan sebanyak IDR 200 juta. Perusahaan lewat HR-nya mengatakan bahwa karyawan tersebut punya dua pilihan: tidak mengembalikan uang dan diproses ke polisi, atau mengembalikan uang, dipecat, namun mendapatkan paklaring.

Si karyawan berkasus tersebut biasanya memilih mengembalikan uang hasil penggelapan dan tetap bisa mendapatkan paklaring. Sebenarnya perusahaan pun lebih suka jalan tersebut karena minimal ada uang yang dikembalikan, dan tidak perlu ribet berurusan dengan polisi.

Nah, umumnya pada kasus-kasus seperti ini, karyawan tersebut tidak dapat mengembalikan semua uangnya sejumlah yang telah digelapkan. Misalnya, dia hanya bisa mengembalikan setengahnya saja, yaitu IDR 100 juta. Perusahaan terpaksa sepakat, karena meneruskan kasus ini ke polisi pun akan repot sekali dan tidak sebanding dengan ongkos materil dan moril yang akan keluar. Belum lagi jika ada urusan perusahaan yang menyembunyikan urusan pajak.

Nah, karyawan yang memilih berdamai dan mengambalikan uang tersebut, seperti yang dijanjikan, akan mendapatkan paklaring dengan konten yang positif, yaitu seakan-akan karyawan tersebut pernah bekerja di perusahaan tersebut dengan baik dan bla bla bla.

Lah padahal kan kenyataannya tidak demikian, karena paklaring itu dia dapatkan dari hasil barter dengan kasusnya, bukan karena dia telah benar-benar bekerja dengan baik.

Inilah yang menjadikan saya dan para HR umumnya tidak menggantungkan penilaian kami dalam perekrutan karyawan, semata dari paklaring yang mereka tampilkan. Paklaring hanya digunakan sebagai referensi tersier saja.

5. Namun dalam kasus Mita dimana dia adalah seorang fresh graduate dan bekerja hanya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun pula, tentu saja hal ini akan berakibat tidak terlalu baik bagi CV-nya. Inilah yang Mita lebih kuatirkan, terutama karena dia sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi di sini demi mengejar masa kerja minimal satu tahun. Oleh sebab itu memperoleh paklaring dari kantor kami saat ini menjadi sangat penting untuk Mita lakukan, betapapun untuk itu dia harus rela "dijebloskan" ke dalam hal-hal yang melanggar hukum Hubungan Industrial.

Saya katakan pada Mita, jika memang paklaring (dari perusahaan manapun) sulit didapatkan, tidak perlu berkecil hati. Jauh lebih penting untuk memperjuangkan tiga hal ini ketika mencari kerja, yaitu:

a. Sekarang sudah tidak jaman lagi, pencari kerja hanya menggantungkan diri dari ijazah kampus. Para HR sudah mahfum bahwa sesungguhnya lulusan SMK jauh lebih siap kerja dan memiliki mentalitas / etos kerja yang lebih baik daripada kebanyakan lulusan sarjana di pasar tenaga kerja.

Jauh lebih penting bagi kita semua untuk menambah keahlian khusus yang unik, diluar kesarjanaan kita. Misalnya: pelatihan manajemen, pelatihan kepemimpinan, pelatihan keahlian-keahlian tertentu yang tersertifikasi, dan lain-lain. Ini lebih menarik untuk dilirik HR. Urusan ijazah kampus dan popularitas kampus biasanya hanya menjadi referensi tersier saja.

b. Buatlah CV kita dengan baik, benar dan semenarik mungkin. HR menangani begitu banyak lamaran, tidak perlu memadati CV dengan dokumen-dokumen sekunder lainnya hingga membuat lamaran menjadi 15 halaman, misalnya. Buatlah CV semenarik dan seringkas mungkin.

Kirimlah CV tersebut dengan memperhatikan sopan-santun dan norma komunikasi yang memang sekelas dengan dunia korporasi pada umumnya. Apa yang kita ungkapkan, akan mengungkapkan kelas sosial kita. Maka perhatikanlah benar-benar akan apa yang kita tulis di CV dan apa yang kita tulis dalam pengantarnya ke HR yang kita tujukan lamaran tersebut.

Surat-surat, dokumen-dokumen dan referensi-referensi; dapat dituliskan: Akan disediakan jika dibutuhkan, pada sesi wawancara. Jadi sebelum ada kepastian tentang sesi wawancara, pencari kerja cukup lakukan saja hal-hal yang praktis dan efisien.

c. Kemahiran berkomunikasi, terutama komunkasi verbal, baik ketika bertelepon atau bertatap-muka, adalah sangat penting, dan umumnya tidak diajarkan di kampus. Inilah yang umumnya membuat para pencari kerja "terpeleset". Potensi dan bakat yang ada dalam diri seseorang, bisa dengan mudahnya sirna hanya karena ketidakmampuannya mengkomunikasikan semua itu dengan baik kepada lawan bicaranya, dalam hal ini adalah HR dimana dia melamar pekerjaan.

Tidak semua HR memiliki kemampuan yang seragam dalam hal rekrutmen, karena memang dunia HR sendiri terdiri dari beberapa cabang disiplin ilmu & keahlian yang berbeda-beda. Belum tentu HR yang mewawancari kita saat itu adalah HR yang memang menguasai keahlian rekrutmen atau bisa "membaca" talenta dalam diri pelamar kerja.

Oleh sebab itu sangat penting bagi para pelamar untuk menguasai teknik komunikasi verbal yang baik & benar, agar pemaparan pelamar dapat diterima dengan baik oleh HR dari kecabangan ilmu atau keahlian apapun. Jika perlu, perkuatlah kemampuan Bahasa Inggris kita semua, hingga ke tingkat percakapan. Karena suka atau tidak suka, semakin banyak perusahaan yang menuntut pencari kerja untuk menguasai Bahasa Inggris dengan baik hingga ke tingkat percakapan aktif.

Di tingkat tertingginya, akan lebih sempurna lagi jika pencari kerja terus mempelajari teknik presentasi dan teknik Public Speaking, termasuk penguasaan Microsoft Power Point. Ini adalah nilai plus yang akan membuat HR sangat melirik kita, terutama jika penugasan yang akan kita tempati itu memang menuntut kemampuan-kemampuan komunikasi hingga setingkat ini.

Setelah saya jelaskan cukup panjang-lebar seperti itu, Mita tampak puas dan percaya diri untuk melangkah ke dunia kerja lainnya di luar sana. Di dunia HR yang kini saya geluti ini, saya senang karena saya bisa membantu lebih banyak orang untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan panggilan hidup mereka.


Kesimpulan

Jika kasusnya adalah pada karyawan yang sudah lama bekerja di suatu perusahaan, meminta paklaring terbilang penting karena dokumen tersebut dapat digunakan sebagai bukti untuk mengklaim asuransi ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) setelah tidak bekerja lagi. Nilai uang yang dapat diklaim tentu saja sangat bergantung dari masa kerja karyawan tersebut. Jika besar, tentunya lumayan untuk ditabung atau untuk bertahan hidup.

Jadi, di sini saya tidak sedang mengatakan bahwa paklaring itu tidak penting untuk diminta kepada perusahaan. Di sini saya sedang menjelaskan sudut pandang saya sebagai rekruter, yang tidak menjadikan paklaring sebagai dokumen primer dalam proses penerimaan karyawan.

Selain itu, andai kasusnya adalah paklaring tersebut sulit untuk diminta atau dipersulit oleh pihak perusahaan, tidak perlu berkecil hati. Kita semua tetap dapat melakukan pencarian kerja sebagaimana biasanya.

Di lini akhirnya, tentunya sah-sah saja jika Mita memperjuangkan paklaring dari kantornya yang sekarang. Namun ke depannya, Mita dan para pencari kerja lainnya di luar sana dapat memfokuskan pengembangan dirinya pada tiga hal yang telah saya uraikan tersebut.

Sudah saya lihat & buktikan berkali-kali, bahwa fokus seorang pencari kerja pada tiga hal ini, bisa meningkatkan kemungkinan mereka untuk diterima di perusahaan yang mereka lamar.

Pada akhirnya, paklaring hanya akan menjadi pajangan di CV kita saja...

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Mengapa Paklaring Sudah Tidak Bisa Dipercaya Lagi?"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel