Proses Belajar Seharusnya Menyenangkan

Banyak orang yang malas mempelajari suatu hal hanya karena prosesnya yang tidak menyenangkan. Saya sendiri termasuk yang bisa beradaptasi dengan proses belajar yang tidak selalu menyenangkan. Namun kebanyakan orang lain diluar sana tidak bisa. Inilah tantangan terbesar saya sebagai edukator dan pemberi pelatihan (Trainer). Realitas inilah pula yang membuat saya terus melakukan improvisasi metode pembelajaran, agar maksud dan tujuan pemberian materi bisa tercapai dengan sebaik mungkin.

Secara garis besarnya, jaman sudah banyak berubah. Informasi dan pengetahuan jauh lebih mudah diakses oleh siapapun, dan itulah pula yang membuat banyak orang bisa mempelajari banyak hal secara mandiri. Selalu ada sisi positif maupun sisi negatif dari perubahan realitas semacam ini. Namun satu hal yang pasti, kita sebagai kalangan yang dibekali dengan pendidikan yang cukup, harus bisa beradaptasi dan terus melakukan peningkatan kualitas metode transfer ilmu, informasi dan pengetahuan; sehingga apa yang kita lakukan bisa berdampak positif secara signifikan bagi mereka yang menerimanya.

Dalam hal ini adalah ketika saya membawakan pelatihan fotografi, bidang yang paling saya kuasai dan telah cukup lama saya kerjakan.

Di jaman dulu dimana era fotografi analog masih berjaya, garis besar metode pengajaran ilmu fotografi adalah dengan mengajarkan siswa menggunakan modus pemotretan secara manual terlebih dahulu.

Jadi intinya, siswa harus tahu dulu kenapa cahaya dengan intensitas segini harus diberi kombinasi angka-angka pemotretan segitu.

Pendekatannya seringkali saintifik dan matematis. Metode yang sudah bertahan lama ini memang terbukti bisa menghasilkan fotografer yang handal di jamannya. Manusia jelas lebih berkuasa daripada alat bantu pekerjaan yang mereka gunakan; dalam hal ini adalah kamera beserta peralatannya.

Namun jaman telah berubah, dan fotografi digital mengubah wajah dunia fotografi secara radikal dan menyeluruh. Termasuk didalamnya, dalam pandangan saya pribadi, adalah dalam hal metode pengajaran & transfer ilmu fotografi.

Beberapa kawan saya pengajar fotografi yang seangkatan dengan saya atau lebih tua, masih menggunakan cara-cara saintifik & matematis gaya lama dalam mengajarkan fotografi di era digital ini kepada para siswanya. Saya tidak melihat ini sebagai sebuah kesalahan, namun lebih sebagai sebuah hal yang seharusnya diubah dan disesuaikan dengan keadaan jaman sekarang.

Dengan semakin meleburnya dunia fotografi dengan dunia telematika yang wujud nyata produknya adalah ponsel berkamera dengan kualitas yang semakin baik, maka sekat-sekat di dunia fotografi semakin kabur. Maksudnya, fotografi semakin bisa diakses oleh siapapun juga, tidak harus yang benar-benar berniat besar ingin belajar fotografi seperti jaman dulu.

Nah lalu hal apakah yang membuat mereka-mereka kalangan awam ini semakin tertarik dengan fotografi? Setidaknya ada 3 hal besar sebagai faktor utama, yaitu:
  1. Semua orang yang normal menyukai hal yang bagus dan indah. Fotografi mewakili kebutuhan itu. Sehingga secara otomatis, wajar saja jika banyak orang yang menyukai fotografi. Bedanya, dulu mereka harus menyewa fotografer profesional atau membeli karya foto demi menikmati keindahan tersebut; kini mereka bisa melakukannya sendiri, langsung dari ponsel & jari mereka.
  2. Manusia senang mendokumentasikan hidup mereka. Hanya saja di jaman dulu, proses mendokumentasikan perjalanan hidup ini terasa sulit. Di jaman sekarang, setiap detik kita bisa mendokumentasikan perjalanan hidup kita dengan sedemikian mudahnya, langsung dari ponsel & jari kita.
  3. Poin 1 dan 2 didukung oleh sistem komunikasi dan perkawanan media sosial yang semakin maju. Hal yang indah dan telah terdokumentasikan tersebut, semakin mudah dan menyenangkan untuk dibagikan kepada khalayak ramai.
Cukup dengan pergeseran tren dan 3 poin diatas tersebut saja, secara logis, seharusnya cukup banyak perubahan yang harus kita lakukan dalam melakukan pengajaran dan transfer ilmu fotografi kepada para peserta didik. Mengapa demikian? Karena kini banyak orang yang melihat fotografi:
  1. Fotografi itu mudah & menyenangkan.
  2. Fotografi bisa dilakukan siapa saja, kapan saja, dimana saja.
  3. Fotografi tidak harus mahal & tidak harus eksklusif.
Oke... Jadi jelas ya, kenapa segalanya harus adaptif di dunia fotografi. Maksudnya adaptif adalah, bisa jadi tujuan akhirnya tetap sama, namun metode-metodenya yang diubah dan ditingkatkan kualitasnya. Nah inilah yang tidak mudah bagi kebanyakan praktisi fotografi. Demikian pula dengan saya. Saya butuh waktu beberapa tahun untuk mengenali perubahan-perubahan ini, dan mengubah sejumlah metodologi pengajaran / transfer ilmu yang telah saya lakukan selama bertahun-tahun.

Secara garis besar, perubahan yang saya lakukan adalah dengan membalik urutan penggunaan modus manual / matematis, dengan modus otomatis, dalam melakukan pemotretan di kalangan awam fotografi.

Jaman dulu, pengajaran yang saya lakukan adalah dengan terlebih dahulu menanamkan pemahaman matematis dan manual kepada siswa. Setelah mereka mahir dengan metode tersebut, barulah mereka bisa bebas melakukan eksplorasi visual maupun improvisasi lainnya; termasuk menggunakan modus pemotretan Full Auto (otomatis penuh).


Nah, ketika saya melakukan metode yang sama ini kepada para siswa di era fotografi digital, justru menjadi tidak efektif. Peserta didik menjadi jenuh, bingung dan terintimidasi dengan fotografi.

Mereka mungkin berpikir begini: saya merasa fotografi tuh seharusnya mudah, koq ini jadi ribet ngitung-ngitung gini ya?

Intinya, sekarang tema utama di nyaris semua bidang adalah kemudahan & kecepatan. Semua hal semakin bisa dilakukan dengan mudah & cepat, berkat teknologi yang semakin maju. Sehingga logis saja jika orang-orang berharap ada metode belajar yang lebih mudah dan cepat di dunia fotografi.

Jangan salah, saya bukanlah pengikut paham gampang & instan dalam hal apapun. Saya terjun di dunia fotografi dari sejak 1992, jadi saya paham sekali kenapa tidak ada sukses yang instan dalam hal apapun, termasuk di dunia fotografi. Namun saya setuju bahwa entry point (pintu gerbang) bagi kalangan awam menuju dunia fotografi haruslah sederhana, mudah dipahami, dan sekaligus menyenangkan. Pameo ini semakin relevan di era Internet ini.

Namun di sisi lainnya, saya melihat adanya perubahan misi dan cara berpikir dari orang-orang ketika memandang dan melakukan hal-hal fotografi. Inilah yang harus saya tangkap semangat dan atmosfernya.

Akhirnya saya ubah metode pengajaran saya secara cukup radikal. Apalagi jika mengingat semakin banyak kalangan awam fotografi yang ingin mempelajari ilmu fotografi dasar (Basic Photography) dengan cepat, tidak bertele-tele.

Metode pengenalan fotografi secara manual dan matematis yang biasanya saya tempatkan di sesi pertama, langsung saya tempatkan di sesi selanjutnya. Pertama-tama ketika kita baru bertatap muka, saya akan langsung mempresentasikan sejumlah hal berikut ini:
  1. Hasil-hasil foto terbaik dari siapapun yang menang lomba atau masuk ke media.
  2. Memaparkan berbagai aliran & spesialisasi di dunia fotografi. Ini penting sebagai fokus pembelajaran para siswa kelak.
  3. Apa yang membuat sebuah foto bisa mengesankan juri & memenangkan lomba (Point of View, komposisi, sudut pengambilan dan momen)
Jadi dapat kita semua lihat bahwa di pertemuan pertama, yang kadang juga bisa jadi menjadi pertemuan terakhir (jika sesinya berlangsung singkat), saya sama sekali tidak mengajarkan hal matematis dan manual apapun pada peserta didik.

Mengapa demikian? Karena fotografi adalah pengalaman visual, bukan pengalaman matematis. Fotografi mengandung banyak unsur seni visual. Walaupun dalam penciptaan hasil karya foto yang baik tentunya melibatkan hal-hal teknis dan matematis, namun poin utamanya adalah bukan itu, melainkan pengalaman visual terlebih dahulu.

Jadi misi utama saya berubah, yaitu pertama-tama memperlihatkan seperti apakah foto yang baik dan bisa memenangkan hati banyak orang atau juri lomba. Pengalaman visual kalangan awam sekalipun harus tertuju pada sebuah ide bahwa fotografi itu personal, sederhana, mudah dilakukan dan menyenangkan.

Fotografi bukanlah melulu tentang hal teknis, matematis dan alat-alat semata. Ada pengalaman & wawasan visual yang terlebih dahulu harus dipahami kalangan awam ketika mulai memasuki dunia fotografi.

Keputusan saya ini dilatarbelakangi oleh pengalaman nyata saya ketika melakukan penjurian sebuah lomba fotografi. Juara pertamanya memang seorang profesional dengan kamera serius. Tapi juara kedua dan ketiganya diambil oleh kalangan non-profesional, itupun diambilnya dengan menggunakan kamera saku dan kamera ponsel.

Maka dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa concern utama mayoritas orang di dunia ini adalah pada aspek visualnya, bukan hal-hal teknis & matematisnya. Aspek teknis & matematis biasanya dipelajari oleh mereka yang memang serius berhobi atau berprofesi di dunia fotografi. Selebihnya, fotografi adalah tentang kesenangan dan pengalaman visual.

Jadi dalam berbagai kesempatan, pertama-tama di sesi pelatihan, saya akan tekankan bahwa ketika memasuki atau baru belajar fotografi, JUSTRU saya menyarankan agar para peserta didik menggunakan modus pemotretan Full Auto terlebih dahulu, tak peduli apakah kamera mereka termasuk mahal ataupun murah. Ini bukanlah pembodohan, tapi saya ingin pertama-tama orang-orang ini sadar, bahwa hal-hal teknis dan matematis sudah banyak bisa dilakukan oleh kamera jaman sekarang.

Selain itu logikanya begini. Kita sudah membeli kamera mahal-mahal, ya suruhlah kamera tersebut melakukan hal-hal yang dapat mereka lakukan. Misalnya menghitung pencahayaan, mengatur kombinasi kepekaan sensor, dan masih banyak hal lainnya.

Tugas utama kita sebagai pengambil gambar adalah memahami "filosofi & kewajiban visual" yang harus kita jalani, dan berusaha terlebih dahulu memahami bagaimana metode visual yang harus dilakukan untuk mencapai karakter visual tertentu pada hasil foto. Porsi inilah yang tidak dapat dilakukan oleh kamera, alias hanya dapat dilakukan oleh si pemotret.

Selebihnya, untuk urusan teknis dan matematis, biarlah kamera yang melakukannya terlebih dahulu. Kita bisa mempelajarinya belakangan, justru setelah pemahaman & wawasan visual kita mantap.

Hasilnya? Banyak sekali peserta didik saya yang menyukai metode saya ini. Semakin banyak orang yang tertarik belajar fotografi secara lebih serius, dan semakin banyak orang yang paham bagaimana pertama-tama menciptakan sebuah karya foto yang berbeda dari kebanyakan awam & amatir lainnya. Semakin banyak orang yang justru menghargai dunia fotografi secara menyeluruh, justru dari betapa menyenangkannya belajar fotografi itu sejak awalnya.

Ini serupa dengan saya yang juga mengubah metode pengajaran menyetir mobil kepada kawan saya. Umumnya orang belajar menyetir mobil transmisi manual dahulu, baru menggunakan transmisi otomatis jika sudah mahir. Nah, saya kini membalik metodenya. Yang baru belajar mobil justru saya sarankan menggunakan transmisi otomatis dulu. Mengapa demikian?

Sama halnya seperti di dunia fotografi. Jangan sampai sulitnya belajar menyetir mobil, membuat orang-orang malas dan antipati menyetir. Menyetir itu menyenangkan dan mudah dilakukan. Untuk mencapai pemahaman tersebut, pertama-tama mereka harus nyaman dulu dengan proses belajarnya tanpa merasa terintimidasi.

Dengan menggunakan mobil bertransmisi otomatis, saya harapkan mereka bisa memfokuskan perhatian mereka pada tiga hal terpenting, yaitu:
  1. Bagaimana seharusnya sebuah mobil berjalan dengan benar di jalan raya, tanpa ndut-ndutan atau mati mesin mendadak. Dengan mobil bertransmisi otomatis kan tidak ndut-ndutan dan tidak akan mati mesin mendadak. Feeling itulah yang ingin dibangun pertama kalinya. Sehingga ketika kelak mereka menggunakan mobil transmisi manual, mereka akan langsung sadar bahwa jika jalannya ndut-ndutan dan mati mesin, maka ada sesuatu yang salah dalam caranya menyetir.
  2. Pengemudi harus nyaman & terbiasa dahulu dengan feeling kanan-kiri depan-belakang mobil yang dikemudikannya. Ini saya sebut sebagai kesadaran spasial. Ini sangat penting. Bagi kebanyakan orang, melatih kesadaran spasial di jalan raya pertama-tama membutuhkan fokus yang baik, dan fokus tersebut sulit tercapai jika sang pengemudi disibukkan dengan mengoper-oper transmisi manual.
  3. Bagaimana sopan-santun & tata-krama di jalan raya, dan bagaimana realitas jalan raya yang seringkali terjadi diluar harapan kita. Termasuk didalamnya adalah penanaman pemahaman tentang rambu lalu-lintas yang umum.
Setelah mereka fasih dengan tiga hal tersebut, barulah mereka bisa mencoba menggunakan mobil bertransmisi manual, itupun jika mereka memang mau melakukannya. Di jaman modern ini, semakin banyak orang sadar bahwa mobil transmisi otomatis sudah bukannya jamannya lagi dicitrakan sebagai mobil perempuan. Transmisi otomatis adalah tentang kepraktisan & kenyamanan. Jadi sah-sah saja jika ada seseorang yang hanya bisa menyetir mobil transmisi otomatis. Buat saya sama sekali tidak masalah.

Demikian juga dengan di dunia fotografi. Sama sekali bukanlah masalah untuk menggunakan modus pemotretan Full Auto ketika pertama kalinya belajar. Mereka memasuki dunia fotografi terlebih dahulu harus enjoy dan fun, fokuslah terlebih dahulu pada penajaman kemampuan visualnya. Barulah setelah itu mempelajari teknis & matematis fotografi, agar hasil fotonya lebih ciamik lagi.

Intisari artikel ini adalah tentang kemampuan kita beradaptasi dan mengikuti tuntutan perubahan jaman. Siapapun yang adaptif dan bisa mengikuti perkembangan jaman, akan bertahan.

Di dunia yang dinamis dan penuh gejolak perubahan ini, apapun yang dapat diringkas atau diperpendek, lakukanlah. Memang benar bahwa apapun yang hebat, tidak ada yang instan. Namun proses belajar menuju kehebatan tersebut tidaklah mengerikan seperti jaman dulu. Baliklah proses belajar kita selama ini, terkadang hal tersebut sangat menyenangkan pada akhirnya.

Di jaman dahulu, urutan pembelajaran dalam banyak hal adalah teori terlebih dahulu, baru praktek. Jaman sekarang hal tersebut fleksibel, tergantung bidang & kondisi. Di dunia fotografi, sangat dimungkinkan untuk praktek dulu, baru teori. Yang selama ini saya lakukan adalah teori ringan & basic dulu, praktek, teori menengah, praktek, barulah teori yang mulai serius.

Intinya adalah di entry point-nya menuju proses pembelajaran tersebut. Di sejumlah bidang, entry point-nya dapat dirancang sedemikian rupa agar lebih membumi, sederhana dan menyenangkan untuk dilakukan kalangan awam sekalipun.

Sehingga dengan demikian, alangkah sayangnya jika berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh dunia informasi di sekitar kita, ditambah dengan metode pembelajaran yang semakin dinamis dan adaptif; ternyata tidak membuat kita tergerak untuk mempelajari hal-hal baru.

Di Internet, tersedia apapun untuk kita pelajari. Kini semakin banyak orang yang menguasai metode pengajaran yang baik. Jadi, apalagi yang kita tunggu? Lahaplah ilmu & pengetahuan demi kemajuan kita bersama. Secara bertahap, tambahlah keahlian baru dalam diri kita. Sehingga kelak kita bisa menjadi pribadi yang puas dan tuntas dengan diri sendiri.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Proses Belajar Seharusnya Menyenangkan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel