Dari Koleris Berat ke Flegmatik

Siapapun yang cukup mengenal saya sejak dulu pasti paham, betapa saya dulu teramat temperamental. Saya dibesarkan dengan didikan yang lumayan keras dari Ayah saya, dan sedikit-banyak itulah yang membentuk saya menjadi pribadi yang kaku, saklek dan pemarah. Sudah begitu, saya dinamai Peter pula. Dalam tradisi kekristenan, Peter merupakan nama versi barat dari Petrus atau Kefas, salah satu murid Yesus. Petrus artinya batu karang. Nah ya lengkap kan betapa kerasnya karakter saya...

Ketika saya menikah pada 2001, statusnya adalah saya yang berpindah ke kehidupan istri saya dan mertua saya. Saya yang lahir dan berdomisili di Bandung, akhirnya benar-benar berpindah kehidupan ke Bogor, untuk mencari nafkah di Jakarta; sebuah kota besar yang tidak pernah saya bayangkan saya bisa bertahan hidup di dalamnya selama belasan tahun bekerja...

Sekitar 7 tahun pertama kehidupan pernikahan kami, memang jatuh-bangun, pasang-surut, penuh liku dan kerikil tajam. Yah, kami mengalaminya... betapapun kami berdua adalah sahabat karib ketika kuliah. Betapapun saya menikahi sahabat saya, tetaplah bertahannya sebuah pernikahan merupakan sesuatu hal yang harus benar-benar diperjuangkan, mirip dengan nafkah yang harus kita cari dari bekerja setiap harinya.

Salah satunya adalah karena karakter saya yang keras, temperamental, kaku dan saklek itu. Merupakan sebuah karya besar Tuhan atas hidup saya, ketika saya dipertemukan dengan istri saya yang walaupun tergolong berkarakter flegmatik, namun dia berani & berteguh hati untuk mengikis sifat-sifat jelek saya tersebut, bertahun-tahun, dengan penuh kesabaran...

Ini ditambah lagi dengan karakter papah mertua dan mamah mertua saya yang keduanya cinta damai & humanis. Merekalah yang terus mengajarkan & meneladankan pada saya bahwa hidup ini bukan melulu hanya soal disiplin dan kerja, melainkan juga bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain lewat pikiran, kata-kata dan perilaku yang baik, sejuk dan penuh kasih.

Baiklah... di lingkungan rumah, perilaku saya sedikit demi sedikit melunak, lebih ramah, dan lebih kalem, tidak mudah marah. Tapi ketika menghadapi urusan kantor atau profesional, sebenarnya saya belum membaik amat. Beberapa kali saya diberkati Tuhan dengan kesempatan untuk memimpin di berbagai perusahaan dan penempatan, namun di kebanyakan waktunya, saya menjalankannya dengan gaya kepemimpinan yang otoriter dan tangan besi. Ini karena selain karakter bawaan aslinya saya memang koleris sejati, juga karena di waktu lampau, saya adalah orang yang sangat berorientasi dengan produk atau hasil kerja. Jaman dulu, boleh dikatakan bahwa saya sangat realis. Whatever it takes, hasilnya harus seperti yang saya tetapkan.

Ini membuat saya sebagai seorang pemimpin yang bisa menghasilkan produk-produk yang berstandar baik. Ambisi saya adalah setiap produk yang dipercayakan pada saya, haruslah merupakan representasi dari sikap realis saya terhadap produk dan organisasi. Anak buah atau siapapun manusia yang terkait dengan saya dan pencapaian ambisi saya, wajib tunduk pada semua metode kerja yang saya gariskan untuk mencapai semua itu.

Dengan kata lain, di jaman dahulu, secara tidak langsung, saya adalah orang yang sangat berat atau sangat membela perusahaan. Saya beranggapan bahwa orang-orang yang ada di bawah kepemimpinan saya, ada di situ karena telah dibayar atau digaji oleh perusahaan, dan oleh karenanya mereka wajib mengikuti semua langkah saya tanpa banyak bertanya. Tentu saja di satu sisi itu benar adanya. Namun ada dimensi lain yang benar-benar saya lupakan, yaitu dimensi pengembangan manusia dan pengembangan organisasi.

Tapi apakah perusahaan selalu mencintai saya, betapapun saya telah memberikan hati, jiwa dan bahkan karakter saya kepada mereka? Jawabannya inilah yang pada akhirnya memimpin saya pada transformasi spiritual terbesar dalam hidup saya, yang akan saya terangkan kemudian.


Kehidupan Korporasi yang Berimbas ke Kehidupan Pribadi
Seperti yang telah saya ceritakan tadi, bahwa betapapun kehidupan pribadi saya mengalami perubahan karakter ke arah yang lebih baik setelah menikah, namun di dunia pekerjaan, sebenarnya saya tidak banyak berubah.

Hingga akhirnya kehidupan ini mengantarkan saya pada sebuah kesempatan untuk memimpin penerbitan majalah yang khusus ditempatkan di dalam pesawat terbang, alias In-Flight Magazine, sebagai Pemimpin Redaksi (Editor-in-Chief). Majalah ini diterbitkan oleh perusahaan penerbitan yang terpisah dengan maskapai penerbangan utamanya. di penerbitan ini, saya bekerja dibawah perintah seorang pebisnis yang dulunya sering juga menjadi semacam pendeta atau penebar firman. Dia adalah seorang penganut Protestan yang taat. Sebut saja namanya Paulus, agar lebih memudahkan saya menulis cerita ini. Sementara itu maskapai penerbangan yang menjadi mitra kami, sebut saja dipimpin oleh seseorang bernama Matius.

Bagi saya, ini adalah pencapaian yang sangat membanggakan. Betapapun sebelumnya saya pernah menjadi Pemimpin Redaksi, namun kepemimpinan kali ini saya rasakan sebagai yang paling menggairahkan, karena skala perusahaannya yang sangat besar. Ini merupakan kesempatan untuk menampilkan hasil karya saya dan tim kepada pihak yang lebih luas, dan ini merupakan kesempatan bagi saya pribadi untuk lebih mengenal dunia penerbangan beserta seluk-beluknya.

Selama satu tahun lebih, penerbitan ini berjalan dengan baik. Seperti biasa, saya selalu sanggup menggerakkan tim saya untuk bisa menghasilkan produk dengan standar yang tinggi dan memuaskan pihak manajemen, baik manajemen majalah yang dipimpin Paulus maupun manajemen maskapai penerbangan yang dipimpin oleh Matius. Bagaimana caranya saya bisa melakukan itu? Ya dengan gaya kepemimpinan tangan besi yang otoriter, he he he...

Sayangnya, betapapun saya paham sedikit mengenai sejarah hubungan antara Paulus dengan Matius, namun toh tidak semua cerita saya tahu detailnya. Inilah yang pada akhirnya menjadi masalah.

Di suatu waktu tertentu, terjadi pertikaian antara Paulus dengan Matius. Saya tidak paham detailnya, tapi yang pasti menyangkut soal keuangan dan perjanjian bisnis diantara mereka. Pertikaian ini pada akhirnya bukan saja melibatkan pribadi diantara mereka, tapi juga terbawa ke organisasi yang masing-masing mereka pimpin. Ibaratnya, ada dua gajah berkelahi, dan kami sebagai karyawannya di tengah-tengah mereka, hanya menjadi korban.

Secara finansial dan organisasi, tentu saja maskapai yang dipimpin Matius lebih kuat dan lebih berpengaruh. Singkat cerita, majalah yang telah susah-susah kami kembangkan dan sempurnakan ini, diakuisisi oleh maskapainya Matius, sehingga selanjutnya majalah ini menjadi milik mereka. Sementara itu kru majalah yang saya pimpin dibawah Paulus, harus menerima kenyataan getir bahwa kedepannya kita tidak akan mengerjakan apapun lagi yang terkait dengan maskapainya Matius tersebut.

Pada suatu sore, setelah para anak buah mengambil gaji terakhir mereka dan meninggalkan kantor, Paulus meminta waktu saya sejenak untuk mengobrol empat mata bersamanya di kantor (yang akan segera kami tinggalkan juga). Dialog pada sore itulah yang menjadi salah satu titik balik terbesar dalam hidup saya, dalam hal perubahan karakter saya. Dialognya kira-kira seperti ini.

Paulus: Peter, secara pribadi, saya mengucapkan terima kasih atas dedikasi dan kepemimpinan kamu atas majalah ini. Yah kita semua tahu, pada akhirnya semua ini bukan milik kita lagi. Saya sendiri berserah pada Tuhan akan semua ini. Biarlah Tuhan yang berkehendak atas semua ini.

Peter: Iya Pak Paulus, semua ini juga merupakan pengalaman luar biasa dalam sejarah karir saya di dunia media. Bagaimanapun saya sangat berterimakasih pada Bapak, atas dipercayanya saya untuk memimpin penerbitan ini. Saya tidak akan pernah melupakan budi baik Pak Paulus pada saya.

Dan kami pun mengobrol heart to heart tentang banyak hal, tentang kehidupan, tentang religi, tentang bisnis, dan masih banyak lagi... hingga pada akhirnya Paulus mencetuskan obrolan ini.

Paulus: Peter, ada satu hal yang ingin saya katakan pada kamu, sebelum kita berpisah. Setelah ini semua berakhir, bisa jadi kita tidak akan bertemu dalam waktu dekat kan... saya akan kembali ke kota domisili saya, dan kamu kan harus meneruskan hidup kamu kedepannya. Jadi saya merasa harus mengatakan ini pada kamu.

Peter: Ya Pak, silakan... saya selalu terbuka pada hal apapun...

Paulus: Peter, saya tidak pernah ada masalah dengan betapa profesionalnya kamu dalam bekerja, memimpin dan menghasilkan produk-produk berstandar tinggi. Saya salut dengan kamu di sisi itu... Kamu saklek, konsekuen, disiplin, dan selalu bisa menghasilkan produk terbaik secara on-time sesuai target kerja.

Peter: Ya Pak, terima kasih atas penghargaannya...

Paulus: Tapi saya ada satu hal yang mengganjal, Peter... sesuatu yang dari dulu ingin saya katakan sama kamu, tapi entah kenapa, saya baru bisa menyampaikannya sekarang.

Peter: Kenapa Pak? Saya kan selalu terbuka terhadap apapun, kapanpun... Pak Paulus bisa mengatakan apapun kapan saja kepada saya...

Paulus: Yah begitulah Peter, kadang Tuhan bekerja dengan cara yang misterius. Di saat kondisi kita sedang hancur seperti ini, bisa jadi ini merupakan waktu yang tepat untuk mengatakan ini kepada kamu.

Peter: Ya Pak, silakan...

Paulus: Peter, dibalik semua kehebatan kamu itu yang telah saya sebutkan... ada satu hal yang tidak kamu miliki. Ya, tidak kamu miliki. Kamu tahu apakah itu?

Peter: (heran & penasaran) Apa itu Pak? Saya tahu saya bukanlah orang yang sempurna, tapi di saat seperti ini untuk menyampaikan satu kekurangan saya secara khusus, saya jadi penasaran neh...

Paulus: Peter, hanya satu yang tidak kamu miliki dalam hati kamu, yaitu KASIH. Saya tidak melihat adanya kasih di dalam hati kamu.

Saya tercekat... terdiam, sambil menatap tembok dengan mata kosong...

Paulus: Saya paham, Peter, bahwa ambisi kamu adalah untuk menghasilkan produk-produk terbaik, dan saya berterimakasih untuk itu. Tapi cobalah renungkan kata-kata saya ini... bahwa Tuhan memberikan kemampuan dan kecerdasan pada kita semua, supaya kita gunakan itu untuk menolong kehidupan orang lain, untuk mengangkat kehidupan orang-orang yang lebih lemah dan lebih tidak beruntung dari kita.

Paulus: Saya lihat, kamu memimpin dengan otoriter dan tangan besi. Saya paham, dengan itu kamu bisa menghasilkan kehebatan-kehebatan yang diinginkan perusahaan. Tapi... tapi... kamu telah kehilangan banyak orang. Bahkan kamu telah mematikan kehidupan banyak orang yang jadi korban tangan besi kamu...

Paulus: Saya juga paham, tidak semua orang bisa menjalankan apa yang kita maui, dengan presisi dan sama baiknya dengan kita. Tapi ya itulah pada dasarnya manusia kan? Apakah kamu juga bisa sama hebatnya dengan orang-orang lain di luar sana yang jauh lebih pintar dari kamu? Kan tidak...

Paulus: Jadi saya percaya, ada sejumlah orang yang telah dipasrahkan Tuhan pada kita sebagai pemimpin mereka, untuk kita taburi benih-benih kebaikan, untuk kita kembangkan kemampuannya, dan untuk kita tingkatkan taraf hidupnya lewat berbagai kesabaran dan bimbingan... bukan dengan tangan besi.

Peter: Ya Pak... (sambil masih dalam-dalam berpikir untuk mencerna nasihat Paulus)

Paulus: Yah, kita akan berpisah, Peter... saya berharap suatu saat kita masih bisa bertemu dan bekerjasama lagi. Tapi saya yakin sekali... disaat kita bertemu lagi, kamu sudah menjadi pemimpin yang lebih lembut, yang lebih memahami kekurangan-kekurangan manusia, dan yang lebih toleran terhadap kesalahan-kesalahan orang yang kita pimpin...

Peter: Ya Pak... (sambil menyeka mata saya yang berkaca-kaca)

Paulus: Oke Peter, sementara kita berpisah dulu ya, saya harus ke tempat lain, dan besok saya harus ke bandara. Sukses selalu, Tuhan memberkati kita semua...

Beberapa minggu sejak kejadian itu, saya jadi banyak melamun dan berpikir dalam-dalam mengenai nasihat Paulus tersebut. Saya berusaha lebih banyak mendekatkan diri pada Tuhan... salah satunya adalah memohon pengampunan pada-Nya jika saya pernah begitu jahat kepada banyak orang...


Titik Balik Kehidupan
Sejak saat itu, kehidupan saya boleh dibilang naik-turun. Hingga pada akhirnya di tahun 2013, saya bergabung dengan sebuah perusahaan dimana di dalamnya saya mengalami berbagai ragam penempatan dan penugasan. Hingga 2012an dimana saya mengalami kejadian bersama Paulus tersebut, saya sudah meramalkan bahwa media cetak akan semakin meredup, dan saya tidak sepantasnya hanya bergantung pada skill & pengalaman saya di media cetak saja. Sehingga pada akhirnya saya memutuskan bahwa saya harus menyeberang karir. Saya memilih dunia SDM (Sumber Daya Manusia) atau HR (Human Resources) sebagai tambatan penyeberangan karir.

Foto Ilustrasi: Istimewa
 Mengapa dunia HR? Karena transformasi spiritual yang telah berhasil saya lakukan, berkat pemahatan karakter dari istri dan keluarganya, dan juga berkat pengalaman saya bersama Paulus tersebut, hingga ke nasihat terakhirnya.

Disitulah saya memutuskan untuk lebih memahami manusia, lebih bersabar, lebih banyak berdiplomasi, lebih mengutamakan kata-kata dan tindakan yang baik & sejuk bagi orang lain, dan lebih percaya pada pengembangan & bimbingan manusia.

Pada 2013, posisi penugasan saya terakhir adalah sebagai HRD Head. Walaupun di posisi tersebut umur jabatan saya kurang dari satu tahun, namun itu saya rasakan cukup sebagai bekal saya di karir saya berikutnya.

Dan sekarang... saya sudah nyaman terus berkembang di dunia HR. Entahlah apakah dunia HR akan menjadi pelabuhan karir terakhir saya, tapi saya merasa nyaman di dalamnya.

Semuanya berawal dari sebuah nasihat di saat-saat paling redup dalam hidup kita...

Kadang Tuhan bekerja dengan cara misterius. Kadang Tuhan "membuat" kita masuk jurang terlebih dahulu, agar di dasar jurang tersebut kita bisa bertemu dengan orang-orang yang kelak bisa mengubah kita, membuat kita bertransformasi, dan membelokkan takdir kita. Itulah yang saya alami.


Kesimpulan
Banyak orang sukses berkata, bahwa sukses akan datang dengan sendirinya, bersamaan dengan seberapa besar masalah dalam kehidupan ini bisa kita pecahkan bagi banyak orang lain. Setiap orang bisa sukses, selama mereka punya niat luhur untuk memecahkan berbagai masalah banyak orang di kehidupan ini.

Transformasi karir saya dari dunia fotografi, lalu ke dunia media, lalu akhirnya ke dunia HR hingga saat ini, adalah salah satu misteri karya Tuhan dalam hidup saya. Lebih jauh lagi, dunia HR adalah pintu masuk bagi saya untuk memecahkan masalah-masalah yang dialami oleh orang lain. Semakin saya memahami manusia, semakin banyak masalah yang bisa saya tangani, dan semakin majulah kehidupan saya. Logika kehidupan itulah yang saya pahami dan saya alami hingga saat ini.

Saya menulis artikel ini bertepatan dengan peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-72. Inilah arti kemerdekaan yang sesungguhnya bagi saya pribadi. Merdeka dari karakter buruk, merdeka dari pemikiran yang tidak berpihak kepada kebaikan, merdeka dari perbuatan yang merugikan kemanusiaan.

Kita semua bisa melakukannya, selama ada kemauan, dan selama kita memang ditakdirkan untuk terus lulus dan naik kelas dalam setiap ujian kehidupan yang kita tempuh, sepahit dan seberat apapun itu.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Dari Koleris Berat ke Flegmatik"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel