Organisasi Hebat = Kepemimpinan + Kultur

Ini adalah pengalaman saya pribadi semasa SMA (sebelum kini singkatannya berubah menjadi SMU). Tahun 1994 saya berhasil masuk ke salah satu SMA swasta favorit di Bandung. Dengan predikat favorit, tentu saja ada alasannya. Salah satu alasannya adalah karena cukup banyaknya pilihan ekstra-kurikuler, baik yang berupa organisasi maupun berupa kegiatan berkala saja. Sejak SMP saya sudah memiliki hasrat kuat untuk menjadi seorang penjelajah alam. Saya berpikir, pasti akan bangga rasanya bisa menjelajahi alam dengan medan yang sulit.


Obsesi Kesampean

Sedari kecil, orang tua maupun guru-guru yang sempat mengajar saya sudah bisa melihat bahwa saya bukanlah anak rata-rata yang senang mengikuti arus. Bahkan hingga saat ini, saya akrab dengan tantangan & kesulitan yang biasanya dihindari oleh orang lain. Bagi saya pribadi, mengambil, menjawab dan menyelesaikan tantangan hingga tuntas merupakan sebuah pelajaran hidup yang harus saya ambil jika saya ingin menaikkan nilai kehidupan saya.

Begitu saya bergabung dengan SMA tersebut, hal pertama yang saya cari adalah organisasi pecinta alam (PA). Mengapa tidak sejak SMP saja? Karena usia minimal untuk bergabung dengan PA adalah kelas 1 SMA. Ternyata organisasi itu ada, dan saya langsung mendaftarkan diri saya ke situ.

Saya berbahagia karena akhirnya saya bisa mencoba eksis di sebuah organisasi yang tidak semua orang bisa memasukinya. Untuk bisa lulus keanggotaan PA, dibutuhkan pelatihan fisik, pelatihan mental dan pelatihan intelijensi intensif selama beberapa bulan. Singkat kata setelah pendaftaran itu, proses penggodokan calon anggota pun dimulai. Saya  menjalani semua pelatihan & ujian yang disodorkan dengan penuh kesungguhan. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, namun saya bisa melewati semua pelatihan & ujian tersebut dengan baik. Dari nyaris seratus orang yang mendaftar, seleksi alam berlangsung hingga hanya menyisakan calon anggota yang masih bertahan hanya kurang dari setengahnya saja.

Saya beruntung diberikan oleh Tuhan fisik yang kuat. Bahkan jauh sebelum jadi anggota PA, mengikuti berbagai pelatihan organisasi ini sudah merupakan kebanggaan tersendiri karena kebanyakan kawan-kawan sekolah seangkatan saya kurang-lebih tahu siapa-siapa saja yang berusaha memasuki PA ini. Sudah bukan rahasia lagi bila anggota PA termasuk yang disegani, tidak lain adalah karena beratnya persyaratan fisik, mental dan intelijensi yang harus dijawab oleh mereka yang ingin menjadi anggotanya.

Sejak SMP (di sekolah yang sama) saya sudah bergabung dengan organisasi kepramukaan sebagai ekstra kurikuler. Satu hal yang menyenangkan adalah pengetahuan yang saya dapat di kepramukaan, banyak yang identik & bisa dipraktikkan di PA. Pada dasarnya kedua organisasi tersebut mengajarkan banyak pengetahuan yang mirip. Bedanya hanyalah yang satu menggunakan seragam formal, yang satunya lagi tidak.

Salah satu kebanggaan turun-temurun dari PA SMA itu adalah sweater-nya, yang bisa diperoleh ketika kita sudah dinyatakan lulus & menjadi anggota penuh di situ. Memakai sweater tersebut ke sekolah merupakan kebanggan tersendiri. Suhu rata-rata Bandung yang dingin merupakan "alasan" paling tepat untuk menggunakan sweater di jam pelajaran sekolah.


Keahlian Lapis Kedua

Setidaknya di sekolah saya, mayoritas siswa perempuannya menggilai siswa lelaki yang menguasai salah satu (atau salah dua) dari keahlian ini: jago basket atau jago musik. Jika para siswa lelaki tidak bisa menguasai kedua keahlian tersebut, maka ada “keahlian lapis kedua” yang masih bisa dipergunakan untuk melakukan tebar pesona ke siswa perempuan, yaitu fotografi atau bergabung dengan organisasi pecinta alam. Ahhh, “keahlian lapis kedua” inilah yang benar-benar menarik untuk saya. Keduanya saya kuasai dengan baik. Dalam hal olahraga, jelas saya bukan penggemar bola basket. Musik? Berusaha menguasainya saja sudah setengah mati. Saya tidak berbakat di musik. Saya tergolong dominan di otak kiri, sehingga tidak dapat memainkan musik secara intuitif, hanya hafalan saja.

Di jaman fotografi analog film seluloid, saya ingat sekali betapa bangganya bila saya membawa kamera SLR berukuran besar beserta lensa-lensanya ke sekolah. Tidak banyak orang yang bisa menguasai keahlian memotret dengan baik & benar, betapapun mereka punya uangnya. Saya termasuk beruntung bisa memiliki peralatan fotografi lengkap. Dengan bantuan dana dari orang tua saya, ditambah hasil kerja keras saya selama SMP dari hasil menjual keahlian saya di dunia elektro, plus kebaikan hati sebuah toko kamera yang terkadang bisa menghutangi saya; maka saya bisa sedikit demi sedikit membangun sistem kamera beserta lensa dan aksesorinya.

Dengan percaya diri saya bisa mengatakan, bahwa saya adalah satu-satunya siswa yang nyaris setiap hari membawa kamera ke sekolah, apakah ada kegiatan atau tidak. Jika tidak ada kegiatan khusus, saya mendokumentasikan kegiatan sehari-hari kawan-kawan di sekitar saya. Jika saya hitung-hitung, biaya pembelian film & pencetakannya lumayan juga sebenarnya. Tapi saya lakukan itu karena benar-benar suka melakukannya. Tidak jarang saya bisa menjual hasil foto iseng tersebut, dan tentunya mendapatkan keuntungan yang lumayan untuk menutupi biaya pembelian film & pencetakannya.

Tidak perlu saya ceritakan lagi, para siswa perempuan pun selalu senang bergaya di depan lensa kamera saya, dan mereka pasti membeli hasil fotonya. Dalam hal uang, saya termasuk yang senang berurusan dengan perempuan. Asalkan mereka suka dengan produk atau karya kita, mereka akan membelinya tanpa banyak tanya, tanpa banyak menawar. Singkat kata, cool deh kalo kita bisa menguasai fotografi analog. Fotografer di jaman itu termasuk profesi yang hanya bisa dikuasai mereka yang memiliki keahlian khusus.

Urusannya sudah berbeda jauh dengan jaman digital saat ini. Istilah kasarnya, bahkan bayi pun kini bisa membeli DSLR dan mengaku-ngaku jago fotografi, padahal hanya jago selfie. Kini sudah tidak ada prestise & kebanggaan lagi untuk menguasai fotografi. Kini fotografi sudah menjadi keahlian yang umum & generik. Tidak heran jika kebanyakan para perempuan jaman sekarang lebih suka melihat anggota boyband yang kemayu ketimbang fotografer yang mahir mengoperasikan kamera berukuran besar.

Saya berusaha menguasai kedua keahlian tersebut bukan karena tujuan utama saya untuk tebar-tebar pesona ke siswa perempuan (beneran lhooo…), tapi karena saya memang menyukai kedua keahlian tersebut. Jika efek samping dari penguasaan kedua keahlian tersebut ternyata jadi bisa lebih mudah mendapatkan perhatian para siswa perempuan, bagi saya itu adalah bonus...

Saya hanya membayangkan betapa membanggakannya jika saya bisa mengumpulkan banyak stok foto pemandangan gunung. Saya sempat punya impian, jika seluruh gunung terkenal di Pulau Jawa ini seluruhnya sudah saya daki, saya akan menyelenggarakan pameran foto tunggal. Oleh karena itu menekuni fotografi & menekuni pengetahuan penjelajahan alam bebas, saya lakukan dengan sama seriusnya.


Menuju Tahap Akhir

Di internal PA, saya berbangga bahwa saya termasuk calon anggota yang nyaris tidak bercacat dalam hal absen & kemampuan teknis yang dipersyaratkan. Demikian juga dengan kegiatan-kegiatan off-air organisasi ini bersama dengan seluruh kawan seangkatan saya, semua saya ikuti dengan patuh & senang hati. Singkat kata, dengan darah muda & determinasi yang kuat, pada akhirnya sampailah saya pada garis akhir proses pendidikan, alias tiba saatnya bagi saya untuk menghadapi ujian tingkat akhir organisasi ini. Ujian tingkat akhir ini diadakan di gunung dan hutan rimba selama 3 hari 2 malam. Baiklah… Seperti biasanya, saya sangat siap & bersemangat.

Di gunung tersebut, saya tidak merasakan adanya kesulitan berarti bagi saya. Semuanya masih bisa saya atasi berkat pelatihan fisik, mental dan intelijensi yang terus saya hadiri selama ini tanpa pernah absen sekalipun. Saya jadi teringat kata-kata seorang jenderal yang pernah mengatakan bahwa kesejahteraan terbesar bagi para prajurit adalah latihan, latihan dan latihan. Karena dengan latihan, prajurit tersebut menjadi berkemampuan untuk menjaga dirinya dari semua bentuk ancaman di lapangan. Inilah yang persis saya rasakan saat ini. Betapa semua pelatihan itu telah membuat kita mampu bertahan hidup di alam bebas.

Sayangnya, sejak hari pertama ketika kami menginjakkan kaki pertama kalinya ke area pegunungan itu, jam demi jam saya bisa merasakan ada sesuatu yang sebenarnya agak mengganjal. Ganjalan tersebut akhirnya saya sadari ada pada cara-cara senior organisasi ini memperlakukan calon anggotanya. Saya sangat paham bahwa perpeloncoan di organisasi berkarakter keras semacam ini adalah hal yang wajar dilakukan, dan saya tidak ada masalah dengan hal itu. Namun sifat & arah perpeloncoan ini sungguh jauh diluar dugaan saya.

Sifat perpeloncoan dari senior ke junior di ujian tahap akhir ini ternyata lebih ke arah penggentaran mental, teriakan dan bentakan yang tidak edukatif a la anak baru gede. Arah perpeloncoannya sudah menjurus kepada hal-hal subjektif yang penyebabnya seringkali dicari-cari tanpa sebab & alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Semua ini tidak bisa saya terima dengan logika karena ini adalah organisasi PA yang dibangun dengan tujuan serius, bukan seperti paguyuban tempat kongkow-kongkow atau sekedar organisasi hobi semata.

Saya terus berpikir, semestinya kata-kata & tindakan para senior tersebut harus sinkron dengan tujuan utama organisasi pecinta alam ini, yaitu memampukan para siswanya bertahan hidup di alam bebas.


Good Packing: Kebahagiaan Sekaligus Awal Penderitaan

Sedari dulu, saya termasuk orang yang terencana, cermat dan sistematis. Saya selalu berpikir untuk berbuat segala sesuatunya seefektif, seefisien dan sesistematis mungkin, termasuk dalam hal logistik pendakian gunung yang saya bawa. Diantara puluhan calon anggota yang mengikuti ujian akhir tersebut, tas saya adalah yang terkecil & teringkas. Walaupun demikian, peralatan yang saya bawa lengkap. Hanya ada satu perangkat yang saya tanggalkan untuk tidak saya bawa, yaitu Sleeping Bag atau kantong tidur. Bagi saya, kantong tidur hanya memenuhi tas saja. Saya tidak merasa bermasalah untuk tidur langsung di tanah dengan hanya beralaskan lembaran plastik tipis saja, toh tanah di pegunungan tinggi selalu bersih & relatif bebas dari serangga yang aneh-aneh. Jaket pun saya hanya membawa flanel tipis saja, sementara kawan-kawan saya yang lain membawa kantong tidur & jaket tebal sehingga harus membawa tas gunung berkapasitas besar.

Untuk saya yang sudah terbiasa dengan demografi pegunungan dan juga suhu basal tubuh saya yang cenderung lebih hangat dibandingkan kebanyakan orang, maka perangkat penolak suhu dingin tersebut menjadi tidak terlalu penting untuk saya bawa. Alhasil, saya bisa mengepak peralatan lain yang lebih penting dengan dimensi fisik tas yang paling ringkas. Saya bisa membawa bahan bakar, makanan dan pakaian ganti lebih banyak. Singkat kata, saya sendirilah yang secara fisik bisa menikmati buah dari keberanian & kecerdikan saya tersebut. Saya tidak mudah lelah oleh bawaan atau tas berukuran besar, sehingga sesekali saya bisa menolong kawan-kawan seperjuangan lainnya yang mengalami kesulitan di suatu waktu tertentu.

Namun ada satu orang senior berkacamata yang terus mengamati ukuran tas saya yang lebih ringkas tersebut dengan sinis, sambil terus menyindir saya sebagai siswa yang tidak solider dengan kawan-kawan lainnya yang bawaannya lebih berat. Saya heran, karena isi tas adalah sesuatu yang bersifat personal dan tidak ada hubungannya dengan kawan-kawan saya yang lain. Semua bawaan ini telah saya perhitungkan resikonya dan saya sama sekali tidak pernah merepotkan kawan-kawan saya lainnya karena misalnya ada satu-dua hal yang tidak saya bawa.

Bahkan sebaliknya, dengan fisik yang tidak dilelahkan oleh bawaan berat, saya jadi bisa lebih kuat menolong siswa lainnya yang kesulitan, terutama siswa perempuan. Sebenarnya sikap satu orang senior tersebut tidak menjadi masalah bagi saya, karena saya tahu mereka akan melakukan mental breakdown kepada saya dengan cara apapun, bahkan kalaupun itu cara yang paling tidak etis atau paling tidak bermartabat sekalipun. Saya bahkan masih mengingat dengan jelas wajah & nama senior tersebut. Dia adalah kakak dari salah satu kawan perempuan seperjuangan & seangkatan saya yang juga sedang mengikuti ujian tahap akhir ini.


Merobek Tas, Merasa Hebat

Ya benar, sikap dari sang senior tersebut tidak menjadi masalah bagi saya, hingga saatnya seluruh siswa diperintahkan untuk tidur sejenak pada malam hari di hari pertama. Ketika sedang terlelap, semua siswa tiba-tiba dibangunkan dengan cara dikejutkan oleh suara-suara gaduh dan diperintahkan berbaris untuk menyeberangi sungai yang dingin pada tengah malam. Sesampainya di seberang sungai, seluruh siswa diperintahkan untuk melakukan Sit-up dengan tas yang tergendong di dada sambil dibentak-bentak. Tidak masalah bagi saya, karena tas saya kecil. Saya sungguh prihatin jika melihat kawan saya yang lain – terutama kawan perempuan - yang setengah mati melakukan Sit-up dengan tas gunung berukuran besar di perutnya. Saya bisa melakukan Sit-up dengan lancar & sempurna tanpa kesalahan sedikitpun karena begitu ringkasnya tas saya.

Tiba-tiba sang senior tersebut mendatangi saya dan melancarkan makian yang sangat tidak etis ke depan muka saya yang sedang melakukan Sit-up. Tanpa alasan yang jelas, ia memaki saya sebagai siswa yang tidak becus melakukan Sit-up sehingga memberinya alasan untuk menarik tas saya dengan rasa amarah yang besar. Saya bisa melihat amarah itu di matanya walaupun penerangan di situ hanya dicahayai oleh beberapa buah senter saja. Mungkin karena begitu besarnya kemarahan sang senior tersebut (walaupun saya sendiri hingga saat ini tidak tahu apa alasan dia sebegitu marahnya kepada saya, kenal pun tidak), akhirnya dia menarik bagian depan-atas tas saya dengan hentakan sangat keras supaya saya bisa bangkit. Mungkin karena sudut tarikan yang pas, disaat yang sama tas saya langsung robek parah di sisi kanan dan sisi kirinya akibat dari hentakan tarikan sang senior tersebut. Saya heran karena ia punya kekuatan yang cukup besar untuk merobek tas gunung yang terkenal tangguh, dan dari merek cukup ternama pula. Saya pikir hanya amarah & dendam yang teramat besar, bisa merobek tas gunung.

Tak ayal lagi, seluruh isi tas saya berhamburan keluar berantakan. Ya benar, tas saya robek parah di tangan senior tersebut. Alih-alih memberi pertolongan pada kerusakan yang diakibatkannya, dia kembali memaki saya dengan kata-kata yang tidak pantas sembari menyuruh saya segera membereskan semua bawaan tas saya yang berhamburan tersebut. Tidak melepaskan saya begitu saja, saya pun membereskan semua bawaan saya tersebut sambil terus dimaki-maki olehnya.

Satu hal yang membuat saya benar-benar memendam amarah adalah bukan karena makian sang senior tersebut, tapi bagaimana saya harus membawa semua bawaan saya ini dengan tas robek sementara akhir ujian kelulusan ini masih panjang. Ini baru hari pertama, dan saya sudah harus menanggung sendiri akibat kegilaan satu orang ini. Beberapa orang kawan saya yang bersimpati kepada saya berusaha membantu saya dengan cara menjahitkan benang jahit yang mereka miliki di Survival Kit. Saya sendiri membawa Survival Kit lengkap sebenarnya, tapi jumlah benang jahit yang saya bawa tidak mencukupi untuk menjahit keseluruhan bagian tas saya yang robek tersebut. Ya jelas tidak cukup, karena benang jahit di Survival Kit hanya diperhitungkan untuk menjahit luka, menjahit pakaian dan kebutuhan ringan lainnya; bukan menjahit tas yang robek parah.

Akhirnya dengan upaya selama sekitar 2 jam di tengah malam, udara sangat dingin dan badan yang basah kuyup, bantuan beberapa kawan saya atas robekan tas tersebut bisa membuatnya lumayan tertutup. Tadinya saya mau mempergunakan tali untuk mengikat rekahan tas tersebut, namun saya rasakan sendiri hal tersebut sebagai absurd karena mengambil barang-barang di dalam tas akan menjadi sangat sulit, harus membuka tali dulu. Tidak jarang kita diperintahkan untuk mengambil bawaan di tas kita dalam waktu cepat. Jika menggunakan tali, bunuh diri namanya. Nanti kena maki pula karena lambat melaksanakan perintah.

Walaupun akhirnya tas saya bisa menutup cukup baik berkat jahitan tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa tas saya tidak lagi kedap air & kedap embun. Seluruh bawaan di dalamnya tidak bisa kering & selalu lembab. Walaupun pakaian bersih saya lindungi dengan tas plastik dobel, namun namanya kelembaban tinggi tentu saja bisa merasuk hingga ke bawaan paling terlindungi sekalipun.

Dengan kondisi tas seperti ini, sebenarnya spirit perjuangan saya sudah turun sekitar 25%. Apakah saya cengeng? Tentu saja tidak. Jika saja kerusakan tas saya tersebut diakibatkan oleh keganasan kondisi alam, saya yakin itu tidak akan menurunkan spirit saya satu persen pun. Namun masalahnya adalah kerusakan ini diakibatkan oleh satu orang sakit jiwa, yang entah bagaimana ceritanya bisa masuk ke organisasi prestisius ini. Di malam itu saya tidak bisa tidur terlalu nyenyak karena memikirkan amarah yang terpendam di hati saya. Hanya karena saya masih berkeinginan untuk masuk organisasi ini, maka saya diam dan mengalah. Jika tidak demikian, saya akan ajak senior tersebut berduel. Saya tidak takut karena saya pernah berlatih beladiri.

Tadinya saya berpikir bahwa perpeloncoan di organisasi ini akan dilakukan dengan cara-cara yang edukatif & bermanfaat. Jika siswa tidak bisa melaksanakan perintah senior dengan baik & benar, mengapa tidak disuruh Push-up, Sit-up atau Squat-jump saja seperti layaknya apa yang dilakukan di PA lain atau organisasi militer. Atau jika mau ekstrim, siswa yang bersalah tinggal disuruh menggali tanah dan menyantap cacing hidup. Saya yakin itu jauh lebih edukatif & berguna sebagai teknik dasar bertahan hidup (Survival) di alam bebas. Atau bisa jadi siswa yang melakukan kesalahan perintah, jatah makanan bawaannya dikurangi, sehingga siswa tersebut terdorong untuk mempraktikkan seni berhemat makanan demi bertahan hidup; atau mungkin bisa mengasah rasa solidaritas diantara siswa seperjuangan lainnya. Bahkan di kepala saya pada waktu itu pun sudah terpikirkan begitu banyak alternatif hukuman yang jauh lebih baik daripada caci-maki tidak jelas seperti itu, plus perobekan tas tanpa alasan yang jelas.


Kecerdikan Juga Penting

Esok paginya di hari kedua, pendidikan ujian akhir dilanjutkan dengan berbagai kegiatan. Saya sudah mencoba melupakan kejadian malam itu dan mencoba mengingat hal-hal yang saya inginkan dari sejak awal saya bergabung di organisasi ini, seperti misalnya mengenakan sweater organisasi ini ketika jam sekolah berlangsung. Saya berusaha memotivasi diri saya sendiri dengan impian-impian tersebut. Cukup berhasil. Spirit saya yang tadinya hilang 25% sudah kembali 15%, lumayan.

Setelah menjalankan sesi terpenting pada hari kedua yaitu teknik bertahan hidup (Survival), tibalah sesi rehat selama sekitar satu jam. Ini terbilang sebagai acara bebas dan kami bisa gunakan itu untuk beristirahat, semacam tidur siang. Sementara nyaris seluruh kawan saya berjuang cukup lama untuk mendirikan tenda atau menggabungkan jas hujan militer (ponco) yang kemudian dibentuk menjadi tenda, saya sendiri tidak mau repot. Setelah pengamatan yang cermat, segera saya menemukan sisa tebasan batang pohon yang masih tertancap & berakar di tanah setinggi paha saya, dan saya langsung menebar ponco saya dengan bagian tudung kepalanya menutupi bagian paling atas batang pohon tersebut. Hulaaa... langsung jadi tenda tanpa perlu susah-payah melakukan tali-temali. Satu-satunya kesibukan yang harus saya lakukan hanyalah menancapkan empat buah pasak tenda di keempat sudut ponco saya, dan selesai. Saya yang kelelahan langsung masuk kedalamnya dan tidur.

Namun sebelum saya benar-benar terlelap didalam “tenda kilat” saya, sayup-sayup saya dengar langkah kaki beberapa orang senior yang sedang melakukan inspeksi dan berjalan mendekat ke arah tenda saya. Saya dengar mereka berkomentar:

“Tenda siapa neh?” celetuk suara pertama (suara lelaki).

“Mana gw tau lah. Emangnya ada orang di dalemnya?” sahut suara kedua (suara perempuan).

“Kayanya ada deh, tuh ada tas nongol keluar,” jawab suara ketiga (suara lelaki lain).

“Kreatif juga neh anak. Kira-kira siapa ya di dalamnya?” timpal suara kedua lagi sembari tertawa kecil.

Dan mereka pun meninggalkan kami untuk beristirahat sejenak. Dengan kata lain, senior pun sebenarnya sudah mengakui kreativitas saya untuk mempermudah kehidupan saya di alam bebas. Kata-kata tersebut benar-benar membuat spirit saya naik lagi.

Setelah waktu istirahat habis, kembali kami diperintahkan untuk segera berkemas. Tanpa kesulitan berarti, saya sudah langsung mengemas jas hujan saya ke dalam tas saya yang penuh jahitan itu. Saya pun bisa membantu satu-dua kawan saya yang masih kerepotan melipat jas hujannya.

Di siang hari kedua ini saya masih punya determinasi penuh untuk menjadi anggota organisasi ini. Sore hingga malam, kami diperintahkan untuk mempraktikkan pelajaran navigasi darat secara beregu. Pelajaran navigasi selesai, malam pun semakin pekat. Dengan kondisi medan yang gelap gulita karena tidak ada cahaya bulan, para calon anggota diperintahkan untuk melakukan jurit malam, yaitu berjalan sendirian dari satu titik awal ke satu titik akhir yang telah ditentukan dengan hanya berbekal korek api. Buat saya itu tidak masalah. Namun pada saat inilah titik balik keputusan saya terjadi.


Titik Balik Keputusan

Di titik akhir tujuan dari jurit malam ini, kami semua satu-persatu diperintahkan untuk memasuki sebuah tenda kompi yang besar & gelap. Mereka berkata bahwa saya harus berjalan sangat perlahan & hati-hati ketika memasuki tenda tersebut karena di dalamnya ada semua kawan-kawan seangkatan saya yang sedang tertidur. Tentu saja saya senang karena (saya pikir) akhirnya saya bisa menutup hari ini dengan tidur bersama seluruh kawan seangkatan saya.

Saya memasuki tenda tersebut dengan hati-hati & tanpa suara. Namun ketika saya sudah memasuki tenda tersebut, terdengar suara retsleting pintu tenda ditutup dan sekonyong-konyong tenda tersebut menjadi terang-benderang oleh cahaya sejumlah senter berdaya pancar besar. Tiba-tiba muncul satu orang senior yang menyoroti muka & mata saya dengan senternya. Suasana di dalam tenda itu dibuat sangat gaduh. Mulai dari memukul-mukul botol air galon kosong, memukul-mukul rantang dengan sendok, meniup peluit, dan masih banyak sumber suara lainnya. Kembali saya dibentak-bentak, dicaci-maki dengan kata-kata yang tidak pantas, dan saya disuruh berlutut dengan tetap menggendong tas. Saya berusaha menghafal wajah-wajah senior saya tersebut.

Tebak... Salah satunya adalah senior yang merobek tas saya, terlihat sedang tertawa puas. Perut saya langsung terasa mual dan spirit saya untuk bergabung dengan PA ini langsung terjun bebas ke titik nadir hanya dalam beberapa menit saya berada di tenda tersebut. Saya menjadi seperti itu bukan karena melihat sang senior satu itu sebenarnya, tapi lebih karena hati & pikiran saya yang terus-menerus mempertanyakan apa sebenarnya kegunaan dari perpeloncoan konyol semacam ini. Saya tidak melihat sedikit pun manfaat dari perpeloncoan seperti ini. Memperkuat mental tidak, memperkuat fisik jelas tidak, memperkuat intelijensi para calon anggota, sama sekali tidak. Lalu untuk apa mereka melakukan hal itu? Tanyaku terus membatin.

Pikiran & pertanyaan itu benar-benar berkecamuk di benak saya, sembari saya tetap dimaki-maki oleh mereka. Karena mereka melihat saya sedang berpikir dalam & terlihat seperti melamun, mereka memukulkan sendok ke rantang persis di dekat telinga saya dan saya yang terkaget-kaget pun segera menjadi bahan tertawaan. Saat itu, saya sungguh-sungguh merenungkan pemikiran saya tadi & batin saya terus berkecamuk.

Pertanyaan terbesar saya saat itu di dalam hati adalah: Memasuki organisasi ini bersama orang-orang berbadan besar tapi bermental hanya sebatas orang-orang stres dan sakit jiwa, apakah hal itu yang benar-benar saya inginkan terjadi dalam hidup saya? Sementara organisasi PA lain berlomba mendaki gunung tertinggi di dunia, lalu bagaimana sistem pendidikan konyol ini bisa mencetak anggota-anggota organisasi yang sanggup mendaki gunung tertinggi di dunia?

Seketika saya tersadar dari pikiran saya, dan saya berusaha keras menatap senior di depan saya yang sedang menyoroti saya dengan senternya tersebut. Saya benar-benar harus menemukan alasan yang tidak bisa diperbantahkan lagi oleh mereka, walaupun itu harus menurunkan harga diri saya. Akhirnya saya mendapatkan ide itu, dan saya tatap senior di hadapan saya dengan penuh keyakinan.

Saya: Mohon ijin bicara Kak!

Senior: Heh tolol! Buat apa loe bicara? Emangnya loe mau ngomong apa? Gw pengen loe jawab pertanyaan-pertanyaan gw tadi, loe malah ngelamun! Loe idiot bukan?

Saya: Saya tidak idiot dan saya mohon ijin bicara Kak.

Senior yang lain: Ya udah, kasih dia kesempatan bicara.

Saya: Malam ini saya memutuskan untuk berhenti sampai di sini.

Senior: Heh banci! Loe ngomong apa barusan? Bisa loe ulangi sekali lagi?

Saya: Malam ini saya memutuskan untuk berhenti sampai di sini. Saya quit.

Seketika itu juga seluruh senior di dalam tenda itu menjadi ribut dan saling berdebat. Senior yang sedang menyoroti saya dengan senter langsung berteriak.

Senior: Heh goblok! Loe tau gak apa yang loe ucapkan barusan? Cengeng loe. Banci loe. Loe lemah mental ya? Organisasi ini gak butuh pecundang kaya loe goblok!

Saya: Ya bener Kak, saya memang lemah. Saya tahu bahwa organisasi ini memang tidak akan membutuhkan orang-orang seperti saya. Maka dari itu saya putuskan stop sampai di sini saja.

Seketika itu juga senior tersebut mematikan senternya, dan berkata pada kawan seniornya yang lain untuk berbicara dengan saya.

Senior: Eh coba loe ngomong ama anak ini deh! Gw ga tau maunya dia apa.

Dalam kondisi saya yang masih berlutut, ada seorang senior perempuan yang berusaha berbicara kepada saya. Kali ini dia berbicara dengan cukup lembut.

Senior perempuan: Kamu yakin dengan apa yang kamu katakan tadi?

Saya: Ya, saya yakin. Saya tidak ingin meneruskan pendidikan ini lagi. Saya memang lemah mental.

Senior perempuan: Saya tidak percaya mental kamu selemah itu. Selama ini kami semua tahu bahwa kamu termasuk yang tanpa cacat-cela selama pendidikan mental, pendidikan fisik dan tes intelijensi. Absen kamu pun sempurna. Kamu yakin bahwa itu semua udah gak berarti lagi dengan keputusan kamu barusan?

Saya: Ya, saya sangat yakin Kak.

Senior perempuan: Kayanya kamu terlalu ngambil hati deh Peter. Semua kata-kata & makian itu kan bagian dari pendidikan ini. Nothing’s personally.

Saya: Saya gak ambil hati koq Kak. Saya yakin masih banyak orang lain yang jauh lebih baik & berkualifikasi dari saya yang bisa berkarya di organisasi ini. Saya sih gak ada apa-apanya.

Senior perempuan: Sekali lagi saya tanya kamu. Kamu yakin dengan keputusan ini? Setelah kami nyatakan keputusan kamu ini berlaku, tidak ada jalan kembali lho.

Saya: Saya masih berakal sehat Kak, dan keyakinan saya masih sama untuk keluar dari ujian tingkat akhir ini.

Senior perempuan: (Menghela nafas panjang) Sayang sekali kamu memutuskan seperti itu. Tapi baiklah, itu adalah keputusan kamu sendiri. Eh loe (berbicara kepada seorang senior lelaki yang lain), tolong loe ajak Peter ke sayap sana, pisahin dari yang laen.

Senior yang lain: Oke, siap.

Senior yang lain: Saya heran dengan keputusan kamu ini. Ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah organisasi ini, seorang calon anggota yang hanya beberapa jam lagi lulus, lalu menyatakan mundur.

Saya: (Hanya tersenyum) Buat saya, sudah tidak penting lagi apakah saya anggota organisasi ini atau tidak. Saya sudah mencapai tujuan utama saya, yaitu pengetahuan untuk menjelajah & bertahan hidup di alam bebas. Sejujurnya, ada beberapa nilai-nilai organisasi ini yang gak sesuai dengan harapan & cara berpikir saya. Oleh sebab itu, tidak penting lagi bagi saya untuk bergabung di sini. Saya yakin organisasi ini pun akan lebih baik tanpa saya.

Senior yang lain: Baiklah kalo gitu. Kamu akan kami pisahkan ya. Kamu malam ini tidur di sana saja (sambil menunjuk hutan lebat ditengah kegelapan malam).

Saya: Baik Kak, terima kasih.

Saya segera menuju lokasi yang mereka tunjukkan, dan saya mencari kumpulan pepohonan yang cukup rapat namun ada ruang terbuka di bawahnya. Akhirnya saya mendapatkan lokasi untuk tidur yang pas. Dengan hanya beralaskan ponco dan beratapkan pepohonan, saya merasakan kebahagiaan saat itu karena telah memutuskan suatu hal penting dengan tepat. Setelah berdoa dan mengucapkan syukur, saya langsung tertidur lelap.


Moment of Truth

Esok subuh saya terbangun dan langsung menyadari bahwa sekujur tubuh & pakaian saya sudah basah karena embun semalaman. Setelah berganti pakaian, salah seorang senior menghampiri saya dan mengajak saya untuk menemui kembali kawan-kawan seangkatan saya. Dengan tanpa beban apapun, saya turuti ajakannya. Ternyata saya dibawa ke hadapan seluruh kawan seangkatan saya yang telah berbaris rapi dalam empat zap. Seluruh kawan seangkatan saya kebingungan, mengapa saya dipisahkan dari formasi rombongan.

Seorang senior berbisik pada saya agar saya menyampaikan salam perpisahan pada seluruh kawan saya karena sekitar 1-2 jam lagi akan ada inaugurasi final dari ujian tahap akhir ini. Dengan tetap berdiri dan tanpa gairah, secara singkat saya mengatakan pada seluruh kawan seangkatan saya bahwa saya mundur dari program ujian tahap akhir ini. Semua kawan saya terperangah. Kesemuanya hanya bertanya: Kenapa Pete? Saya hanya menjawab singkat: Saya sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan program ini. Titik.

Mereka pun terlihat gemas dengan alasan saya tersebut, dan berusaha untuk memotivasi saya. 1-2 orang kawan saya yang di hari pertama membantu menjahitkan tas saya tampak paham dan tidak terlalu banyak bertanya. Saya katakan, percuma saja. Keputusan telah diambil dan tidak bisa mundur lagi. Di dalam hati saya, toh saya memang sudah benar-benar tidak ingin berada di organisasi ini lagi. Momen singkat itu segera berlalu karena seluruh kawan seangkatan saya diperintahkan untuk menuju ke lokasi inaugurasi tahap akhir.

Kami kembali dipisahkan dimana saya dibiarkan duduk sendiri oleh para senior. Setelah sekitar tiga jam menunggu, akhirnya saat itu tiba. Seorang senior mengajak saya berjalan kaki ke “Kawah Candradimuka” tempat penggojlokan semua kawan saya tersebut. Setelah penggojlokan selesai, mereka telah membentuk formasi melingkar sambil bergandengan tangan dan masing-masing anak memecahkan sebutir telur mentah di kepala kawannya di sebelah kanannya. Mereka lakukan itu dengan sorak kemenangan dan rasa haru sambil saling berpelukan. Mereka sudah resmi menjadi anggota organisasi ini. Saya sungguh berbahagia melihat mereka, tanpa beban & rasa penyesalan sedikit pun.

Senior yang barusan mengajak saya jalan menyuruh saya untuk menyelamati kawan-kawan saya. Tentu saja dengan senang hati saya bergegas menuju kumpulan kawan-kawan saya tersebut. Sambil berjalan dengan muka gembira, saya masuk ke tengah-tengah lingkaran itu untuk memberikan selamat & pelukan perpisahan. Saya berbahagia & tidak sedih sedikitpun, tapi ternyata mereka tidak merasa seperti itu. Hampir semua anak yang saya peluk bertanya: Kenapa? Kenapa? Kenapa? Bahkan ada satu kawan perempuan saya yang memeluk saya sedemikian erat & lama sambil menangis. Entahlah, tapi sudah lama digosipkan bahwa dia menaruh hati pada saya. Di detik itu saya bisa merasakan penyesalannya yang mendalam karena saya tidak lagi menjadi satu dengan mereka.

Kawan perempuan: Peter, kenapa sampe terjadi kaya begini? Gw gak percaya semua alasan loe (sambil tetap memeluk erat & menangis).

Saya: Gw emang udah berbulat tekad untuk gak bergabung di organisasi ini. Dan itu bukan karena kalian...

Kawan perempuan: Kenapa sih loe egois? Bukankah selama ini kita selalu bersama. Gak ada satupun yang meragukan kemampuan loe untuk bergabung di sini.

Saya: Ceritanya panjang, kawan. Suatu saat nanti, loe akan tahu alasan gw yang sebenar-benarnya.

Saya tatap matanya yang sembab, dan sekali lagi ia berusaha tidak melepaskan pelukannya pada saya. Saya sampai agak rikuh karena membuat yang lain bersedih dengan adegan itu. Akhirnya kawan saya tersebut diingatkan oleh kawan yang lain untuk melepaskan saya, karena masih cukup banyak kawan yang harus saya salami satu-persatu. Saya membayangkan betapa kasihannya saya dari sudut pandang orang lain. Sudah tidak lulus, menggendong tas robek pula. Tapi dalam hati saya, tidak ada rasa penyesalan sedikitpun, karena saya ambil keputusan itu dengan sadar & rasional.

Acara pun selesai, dan kami semua diangkut pulang dengan menggunakan truk bak terbuka. Kami sampai di sekolah kami sore menjelang malam. Masing-masing dijemput oleh orang tuanya, dan saya pulang sendiri dengan terlebih dahulu menyantap Indomie telor di warung terdekat. Sungguh nikmat rasanya setelah beberapa hari kedinginan di hutan. Saya pun pulang ke rumah dengan senyap. Saya hanya malas menjawab pertanyaan orang tua atau kakak saya seputar keputusan saya tersebut.

Beberapa hari kemudian saya menulis puisi perpisahan untuk seluruh kawan saya di organisasi itu. Semua kawan sekolah saya sama sekali tidak ada yang menyangka keputusan saya itu. Mereka hanya bertanya, mengapa saya tidak memakai sweater-nya yang khas & membanggakan itu. Saya katakan bahwa saya memang sudah keluar dari PA tersebut. Kesemuanya terkejut & bingung.

Telah banyak waktu berlalu dari sejak tahun 1994. Terakhir saya berinteraksi dengan kawan seangkatan saya lewat grup WhatsApp, organisasi PA tersebut sudah resmi tidak diteruskan lagi keberadaannya. Faktor utamanya adalah anggota yang semakin menipis, hingga pada suatu waktu sudah tidak ada anggota baru lagi yang mendaftar ke organisasi tersebut, sehingga para pendiri dan pengurusnya memutuskan untuk menutup organisasi itu.

Ternyata... apa yang saya keluhkan puluhan tahun lalu itu, terjadi juga kan?

Artikel ini bukanlah ajang curhat saya yang tidak penting seputar kejadian yang sudah lama berlalu. Ada sejumlah pesan moral dari cerita saya tersebut yang ingin saya sampaikan pada para pembaca.


Terjadi di Mana-mana

Hal yang persis sama juga sebenarnya terjadi di organisasi lain, apapun bentuknya. Apakah itu organisasi politik, kemasyarakatan, korporasi dan masih banyak lagi. Inti cerita saya panjang-lebar tersebut adalah bahwa hingga saat ini, saya melihat banyak sekali organisasi atau korporasi yang melakukan langkah-langkah tidak etis ketika menghadapi anggota organisasi yang cemerlang & berprestasi (atau terlihat berbeda) hanya karena ia dianggap sebagai ancaman laten oleh sekelompok anggota lain.

Entah mengapa, banyak anggota organisasi yang memang pada dasarnya sudah tidak suka dengan individu yang mungkin dilihat sebagai pengancam kedudukan mereka saat ini. Alih-alih berkompetisi secara sehat, biasanya mereka memilih untuk menggunakan cara yang cepat & murah agar sumber ancaman ini segera menghilang dari organisasi tersebut.


Dalam sebuah organisasi, sebenarnya kompetisi adalah hal yang mutlak harus ada dan bahkan lebih baik jika dipelihara. Kompetisi yang sehat sangat berguna untuk proses “seleksi alam” dalam organisasi tersebut, agar suatu saat hanya orang-orang terbaik yang bisa menduduki posisi sebagai pemimpin. Kompetisi juga berguna untuk dinamika organisasi sehingga para anggotanya selalu merasa ada motivasi & tantangan untuk terus menyempurnakan hasil kerja mereka. Sekali lagi, itu adalah kompetisi yang sehat & positif, layak dipelihara.

Satu hal yang sangat disayangkan adalah ketika pemimpin yang semestinya punya kewenangan untuk memonitor kompetisi yang sehat tersebut, justru adalah pihak yang paling tidak memahami apa definisi kompetisi yang sehat itu sendiri. Kebanyakan para pemimpin organisasi secara tidak sadar telah membiarkan sebuah proses kompetisi yang tidak sehat berlangsung terus dalam organisasi dibawah kepemimpinannya.

Sudah merupakan hukum alam bahwa orang-orang bagus yang sarat dengan ide, kreativitas, etos kerja terbaik, berkarakter, cemerlang dan berprestasi; adalah yang biasanya paling malas berlama-lama menghadapi situasi kompetisi tidak sehat. Mereka tidak butuh Office Politics untuk bisa mempertahankan eksistensi mereka di situ, karena mereka jelas bisa bertahan dimanapun juga dengan semua kapabilitas yang mereka miliki. Politik orang-orang terbaik adalah hasil karya yang nyata, bukan persekongkolan.

Orang-orang berkualitas tinggi selalu punya percaya diri tinggi untuk pindah ke organisasi atau perusahaan lain dan bisa mendapatkan posisi dan perlakuan yang lebih layak. Sudah merupakan hukum alam bahwa kompetisi tidak sehat & permusuhan terhadap orang-orang berkualitas tinggi tersebut dilancarkan oleh mereka yang tidak memiliki kualitas cukup untuk bertahan di organisasi tersebut. Hanya saja agar bisa bertahan, alih-alih berusaha menciptakan prestasi pribadi, mereka memilih cara yang lebih mudah untuk menyingkirkan orang-orang berkualitas tinggi. Hasilnya, pemimpin mereka melihat bahwa orang-orang yang tidak berkualitas ini ternyata berkualitas tinggi, hanya karena tidak ada pembanding berupa orang lain yang punya kualitas jauh lebih tinggi dari mereka.


Pentingnya (Ke)Pemimpin(An) yang Membumi

Betapapun tingginya jabatan seorang pemimpin, ia tidak bisa begitu saja terus-menerus duduk diam dengan nyaman diatas singgasananya. John C. Maxwell, mahaguru kepemimpinan & manajemen modern mengatakan, bahwa pemimpin bukanlah jabatan melainkan sebuah figur, role model, karakter dan pengaruh. Dengan adanya divisi Human Resource Development (HRD) di dalam sebuah organisasi, bukan berarti lantas semua masalah SDM akan selesai dengan baik & mulus. Kita bahkan tidak pernah tahu persis seberapa baik penguasaan divisi HRD akan berbagai masalah ketenagakerjaan beserta pernak-pernik psikologinya.

Akan lebih baik bila secara berkala, pemimpin tertinggi mengundang semua kepala bagian atau kepala divisi dalam situasi informal untuk saling bertukar pikiran soal berbagai masalah yang terjadi di dalam organisasi. Biasanya di ajang itulah akan muncul berbagai masalah yang baru didengar oleh sang pemimpin tertinggi, yang mungkin selama ini ditutupi oleh divisi lain yang berwenang hanya demi agar mereka terlihat baik di mata bos.

Dalam kasus organisasi PA yang saya alami, saya merasakan hal yang sama. Senior sakit jiwa yang merobek tas saya tentunya bukan senior paling tua di organisasi itu. Masih banyak para senior lain angkatan atas yang turut hadir di acara itu, dan sesungguhnya mereka adalah senior-senior yang jauh lebih baik & lebih dewasa daripada sang senior sakit jiwa itu. Tadinya saya berharap bahwa ada semacam “Provoost” atau kelompok pengawas yang terdiri dari para senior sepuh, yang bertugas mengawasi keberlangsungan etika & keulitas pendidikan di acara itu. Sayangnya, saya tidak melihat itu terjadi.

Bahkan ketua panitia atau ketua organisasi tampak adem-ayem dengan kejadian itu, mungkin karena merasa takut dengan para seniornya. Jadi ada semacam pembiaran yang dilakukan oleh para senior sepuh, ketua panitia dan ketua organisasi sehingga panitia ujian merasa bebas-bebas saja menjalankan sistem pelatihan seperti apapun yang mereka suka. Dari sudut pandang manapun, dengan sengaja merobek tas calon anggota adalah tidak dapat dibenarkan. Ini hanya organisasi PA tingkat SMA, bukan organisasi militer bagian pasukan khusus. Jauh panggang dari api.

Saya melihat bahwa proses edukasi yang saat itu terjadi jauh dari kata “etis” & “edukatif”. Sekitar 70% tindakan dan kata-kata para senior tersebut saya dapatkan tidak ada korelasinya sama sekali dengan ketahanan fisik, ketahanan mental dan kualitas intelijensi yang semestinya dibangun & ditanamkan pada calon anggota.

Jika calon anggota berbuat kesalahan, misalnya; mengapa tidak disuruh memperagakan 10 macam simpul tali-temali saja di hadapan panitia? Atau disuruh memperagakan Semaphore? Atau disuruh menerjemahkan kode morse? Misalnya mereka tidak mampu, tinggal suruh Push-up saja misalnya 50 kali. Saya yakin hukuman semacam itu akan jauh lebih berguna & masuk akal bagi siswa agar dapat bertahan di alam bebas yang ganas dengan keterampilan yang memadai.

Ini sangat bertolak-belakang dengan gerakan kepramukaan yang pernah saya jalani sebagai ekstra-kurikuler di jenjang SMP. Tidak ada bentak-bentakan di gerakan kepramukaan ketika mengadakan ujian akhir kelulusan anggota. Sebaliknya, kegiatan kepramukaan menjejali jadwal pertemuan dan ujiannya dengan latihan tiada henti seputar hal-hal teknis untuk hidup di alam bebas. Diantara semua keterampilan yang diajarkan, saya sempat gemar tali-temali dan memutuskan untuk berfokus di spesialisasi itu. Ketika saya memasuki organisasi PA di jenjang SMA, sebenarnya banyak keahlian teknis yang merupakan repetisi dari apa yang saya dapatkan di gerakan kepramukaan.

Sudah jelas, secara organisasi & kepemimpinan, PA ini kalah telak dibandingkan dengan gerakan kepramukaan. Padahal kedua organisasi itu berada di jenjang umur siswa yang cukup jauh berbeda. Ada kesan bahwa yang masuk PA adalah orang-orang yang berumur & pasti dewasa. Ternyata tidak.

Satu-satunya kesalahan panitia dalam menangani saya yang sudah enggan bergabung di organisasi itu hingga tahap kelulusan adalah: panitia mengutus teman seangkatannya untuk berbicara & membujuk saya agar tidak mundur. Sudah jelas perkaranya bahwa saya tidak lagi menaruh respek pada panitia acara ini beserta seluruh angkatannya. Lalu mengapa saya harus menuruti kata-kata persuasif mereka? Jika yang membujuk saya adalah senior sepuh, saya yakin minimal saya akan kembali mempertimbangkan keputusan saya itu. Bukannya mustahil saya akan kembali bergabung dengan acara itu hingga akhir.

Tapi berhubung itu tidak terjadi, saya sudah bisa membaca kultur organisasi ini secara keseluruhan. Senior sepuh tidak mau tahu, mungkin merasa diri mereka dewa.

Oleh karenanya saya tidak punya beban apapun untuk mengundurkan diri dari acara itu.


Membangun Meritokrasi

Ketika suatu saat Anda bisa mencapai posisi kepemimpinan puncak, jangan pernah lupa untuk selalu melakukan inspeksi & introspeksi langsung ke lapisan organisasi di bawah Anda. Jika perlu, mengobrollah dengan Office Boy atau sopir untuk mendengar kabar atau gosip terbaru di tubuh organisasi yang Anda pimpin. Walaupun kita tidak dididik untuk  bergosip, namun terkadang ada sejumlah isu atau nuansa batin tertentu dari organisasi yang kita pimpin, yang bisa kita tangkap dari isu-isu yang beredar.

Selain itu kembangkan juga budaya dengar-pendapat dari kepala bagian atau kepala divisi yang Anda kumpulkan sendiri. Bahkan saya suka menjalankan rapat dengar pendapat dengan anak buah saja, tanpa kehadiran kepala bagian atau kepala divisi. Saya hanya ingin mendengarkan langsung masukan-masukan dari anak buah, yang bisa jadi lebih "orisinil" jika pertemuan tersebut dilakukan tanpa kehadiran atasan langsung mereka. Ketika ada sesuatu yang harus dikoreksi dalam gaya kepemimpinan atasan langsung mereka, saya sampaikan hal tersebut baik-baik secara personal & langsung kepada yang bersangkutan. Ini jauh lebih efektif.

Percayalah bahwa ketika Anda melakukan itu dengan baik, Anda sudah satu langkah lebih maju dari kompetitor dalam hal memelihara orang-orang terbaik dalam organisasi Anda. Semua manusia butuh uang, tapi uang bukanlah satu-satunya faktor kunci utama untuk memelihara orang-orang terbaik tetap berada dalam organisasi Anda. Butuh lebih dari sekedar itu.

Mekanisme Reward & Punishment yang adil, baik dan benar; merupakan faktor utama & terpenting untuk menumbuhkan kultur positif di dalam sebuah organisasi. Nama lainnya adalah budaya meritokrasi, yaitu penumbuh-kembangan organisasi berdasarkan prestasi positif & objektif dari para anggota organisasi tersebut. Rasa aman & percaya diri; nuansa kekeluargaan yang sehat & profesional, kompetisi yang sehat, visi & misi yang jelas dan terus dikomunikasikan ke seluruh anggota organisasi; dan banyak lagi kultur positif lainnya yang bisa dikembangkan dalam organisasi yang Anda pimpin.

Hal-hal tidak kasat mata inilah yang merupakan faktor-faktor utama yang dapat mempertahankan orang-orang terbaik agar tetap berada di dalam organisasi Anda. Mereka-mereka itulah yang kelak akan membuat organisasi Anda bisa maju, membesar atau bahkan menjadi penguasa atas organisasi lainnya. Ketika itu sudah terjadi, Anda tinggal menikmati kebebasan uang & kebebasan waktu dari bisnis Anda. Semua hal terbaik terjadi ketika kita membiarkan orang-orang yang lebih pintar dari kita, mengerjakan hal-hal yang mereka kuasai demi kemajuan bisnis kita.

Intinya, seorang pemimpin tidak akan pernah bisa membuat organisasinya membesar dengan menumbuhkan budaya pembiaran terhadap keberlangsungan kultur negatif. Sikap & budaya pembiaran inilah yang pertama kalinya akan mengikis keberadaan orang-orang terbaik dalam organisasi tersebut. Secara logis, mereka akan pindah ke organisasi lain yang jauh lebih baik memperlakukan mereka dalam segala hal. Uang & fasilitas bisa menarik orang-orang terbaik untuk bergabung dengan organisasi yang Anda pimpin. Namun hanya karakter & kepemimpinan yang akan mempertahankan orang-orang terbaik dan membuat organisasi Anda membesar.

Mungkin saja hanya dibutuhkan keberanian atau keberuntungan untuk bisa berada pada jabatan sebagai pemimpin. Namun dibutuhkan karakter & kepemimpinan untuk bisa mencetak pemimpin-pemimpin baru yang lebih hebat dari Anda. Ketika karakter & kepemimpinan itu hadir dalam organisasi, jauh lebih mudah untuk mempertahankan kualitas organisasi secara keseluruhan karena bertahannya orang-orang terbaik di dalamnya.

Semuanya dimulai dari pemimpin beserta karakter kepemimpinannya. Itulah sebabnya kenapa kualitas seorang pemimpin akan sangat menentukan kualitas organisasi tersebut secara keseluruhan. Stephen R. Covey, mahaguru yang terkenal dengan 7 Habits, berkata bahwa "tidak akan pernah ada 100 orang manajer sehebat & secemerlang apapun, yang bisa mengimbangi & menutupi kegagalan pada kepemimpinan puncak". Pemimpin tertinggi adalah segalanya. Seberapa hebatnya pun anak-anak buah kita, tidak akan pernah bisa mengimbangi kegagalan yang kita perbuat di posisi tertinggi kepemimpinan.

Kita bisa menjadi pemimpin yang baik bagi diri sendiri, bagi keluarga, bagi organisasi, dan bahkan mungkin bagi kemanusiaan. Semuanya dimulai dari diri kita sendiri dulu. Itulah sebabnya kenapa ada pameo "one man can make a difference", alias "satu orang bisa membuat perbedaan". Bisa membuat perbedaan, ketika satu orang tersebut secara bersungguh-sungguh berikrar untuk menjadi pemimpin yang terbaik dari dirinya sendiri dan keluarganya terlebih dahulu.

Ini semua harus benar-benar disadari oleh semua pemimpin organisasi. Melihat yang tidak kasat mata, merasakan yang tidak dirasakan oleh orang lain, dan meneropong jauh kedepan melebihi kapasitas maupun keterbatasan organisasi yang ia pimpin saat ini. Menjadi pemimpin yang baik bukanlah tentang ikut-ikutan sibuk mengerjakan kesibukan yang bisa dikerjakan oleh anak buah (Micro Management), melainkan konsisten mengerjakan hal-hal yang tidak mungkin dikerjakan oleh anak buah.


Intisari & Kesimpulan Cerita Ini

  1. Memang benar bahwa kepemimpinan bisa dipelajari, dibentuk, dilatih dan dikondisikan. Tapi seperti halnya pada bidang-bidang lainnya terutama yang berhubungan dengan seni, kepemimpinan juga merupakan sebuah bentuk seni dan oleh karenanya tidak dapat kita pungkiri jika kepemimpinan terbaik juga melibatkan faktor bakat. Bakat kepemimpinan, walaupun mungkin hanya memainkan peran minor didalam kepemimpinan itu sendiri, adalah justru yang memberikan sang pemimpin tersebut semacam “sense” atau kepekaan lebih tinggi untuk meraba hal-hal tidak kasat mata & menyelesaikan berbagai masalah yang timbul dari hal-hal tak kasat mata tersebut.
  2. Kepemimpinan dengan akal budi & pengetahuan akan menghasilkan organisasi yang besar, kuat dan bertahan lama. Kualitas pemimpin & karakter kepemimpinan adalah segala-galanya & tidak terpisahkan dari kualitas organisasi secara keseluruhan.
  3. Setiap kebijakan & tindakan para pemegang keputusan di dalam organisasi tersebut harus memiliki latar belakang & tujuan yang jelas & rasional, yang pada akhirnya merujuk pada visi & misi organisasi. Jika pemimpin & setiap anggota organisasi selalu memiliki latar belakang yang kuat & rasional terhadap semua tindak-tanduknya di dalam organisasi, maka organisasi itu akan tumbuh kuat, besar dan bertahan lama.
  4. Setiap kebijakan & perilaku organisasi terhadap anggotanya harus disertai dengan penjelasan yang sederhana, rasional dan terkomunikasikan secara baik. Tidak semua pemimpin grup punya kemampuan komunikasi yang baik dengan anak buahnya. Pastikan selalu sebuah wacana atau kebijakan baru, terkomunikasikan dengan baik hingga ke lapisan terbawah organisasi yang kita pimpin.
  5. Budaya konsultasi harus terus ditumbuhsuburkan dalam organisasi Anda, untuk menjamin akurasi pelaksanaan visi & misi perusahaan. Organisasi militer adalah salah satu dari sedikit organisasi yang paling fasih dalam menjalankan budaya komando & konsultasi yang konsisten, efektif dan efisien.
  6. Budaya konsultasi juga harus dilaksanakan sehubungan dengan mempertahankan orang-orang terbaik di dalam organisasi Anda yang sudah berencana untuk angkat kaki. Misalnya ada seorang Supervisor kecewa dengan kepemimpinan Manager diatasnya. Maka Senior Manager diatas Manager tersebut harus cukup peka untuk membaca situasi ini dan langsung membicarakan solusi secara langsung dengan Supervisor tersebut. Atasan langsung yang mencoba berbicara dengan bawahan langsung, hasilnya akan berbeda dengan atasan yang tidak langsung karena anak buah tersebut tahu bahwa atasan yang tidak langsung biasanya punya kekuatan & kewenangan formal yang lebih besar dari atasan langsungnya untuk mengatasi masalahnya dengan atasan langsungnya. Gunakanlah kekuatan & kewenangan ini dengan baik, maka orang-orang terbaik ini akan terus bertahan di dalam organisasi Anda.
  7. Orang-orang baru atau anak-anak muda adalah mereka yang idealis & masih bersemangat tinggi. Terkadang aspek imbalan material dari organisasi hanya menjadi prioritas kedua bagi mereka. Yang terpenting bagi mereka adalah kreativitas mereka diakomodasi oleh pemimpin & organisasi. Jangan kecewakan mereka dalam hal dukungan logistik & dukungan moril.
  8. Anak buah yang bekerja dengan antusiasme tinggi – sesungguhnya – lebih baik daripada anak buah yang pintar. Antusiasme bisa membuat sang anak buah tersebut pada akhirnya menjadi pintar karena kemauan mempelajari hal-hal baru yang penting ia kuasai. Sebaliknya, anak buah yang pintar namun miskin antusiasme akan mudah bosan dan mudah terpancing iming-iming penghasilan yang lebih tinggi dari organisasi lain. Oleh sebab itu jangan sampai antusiasme dari orang-orang terbaik ini memudar hingga akhirnya punah hanya karena figur pemimpin yang lemah dan tidak berkarakter.
  9. Dengan kata lain, antusiasme berkaitan erat dengan loyalitas, dan loyalitas berkaitan erat dengan hal-hal tidak kasat mata lainnya yang mereka dapatkan & nikmati dari organisasi. Tugas utama pemimpin ialah mengenali kebutuhan-kebutuhan tidak kasat mata ini.
  10. Kebersamaan & kekeluargaan dalam sebuah organisasi tidak selalu harus diwujudkan dengan kebaikan tak bertepi tanpa ketegasan & tanpa wibawa dari sang pemimpin. Pemimpin terbaik adalah pemimpin yang siap menjadi tidak populer di hadapan anak buahnya ketika diperlukan, namun punya visi kuat untuk selalu menyelamatkan kapal ketika berada di pusaran badai. Tidak mungkin seorang individu dapat meraih dua hal sekaligus: keinginan untuk menjadi pemimpin yang adil & tegas sekaligus juga hidup nyaman dalam semboyan Thousand Friends Zero Enemy. Yang terpenting adalah ketika kita harus memutuskan hal-hal yang tidak populer atau tidak mengenakkan untuk dijalani bersama, komunikasikanlah sebab-sebabnya dan berikanlah keindahan gambaran besarnya jika kita semua berhasil melewati pusaran badai ini.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Organisasi Hebat = Kepemimpinan + Kultur"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel