Sosial Media yang Gaduh

Saya adalah penggemar kesenyapan dan kesendirian. Dalam senyap dan sendirinya saya, justru saya merasa jiwa saya terisi penuh dan tercerahkan. Dalam kesenyapan dan kesendirian itu, justru saya tidak pernah kesepian. Tentu saja karena saya udah berkeluarga, ada kalanya kita kemana-mana bareng, dan itu gak masalah buat saya. Tapi ketika saya harus kemana atau melakukan apapun sendirian, saya sangat menikmati momen-momen itu.

Di sinilah pangkal masalahnya, tatkala orang-orang tidak bisa membedakan antara kesendirian (Eng: alone) dan kesepian (Eng: lonely). Orang yang suka sendiri kemana-mana dan sendiri ngapa-ngapain, justru orang yang biasanya kebal kesepian. Mereka enjoy dengan diri mereka sendiri, dan tetap fokus dengan tujuan-tujuan mereka betapapun tidak ada siapa-siapa yang bersama atau mengawasi mereka.

Sementara itu sejumlah orang di "kutub" lainnya selalu berpikir bahwa untuk melakukan apapun, harus ada temannya. Makan siang di kantor harus ada teman. Beli obat di apotek harus ada teman. Mungkin cuman mandi sama berak aja yang gak harus bareng teman, ha ha ha... Kalo perempuan sih masih mending ya, tapi kalo lelaki dewasa... saya melihatnya kurang oke kalo kaya begini kejadiannya. Terutama lelaki dewasa, di mata saya tuh harus bisa beradaptasi. Tetep enjoy kalo sendirian, dan bisa luwes kalo lagi berinteraksi sama orang lain...

Kondisi yang paralel juga terjadi di dunia sosial media. Makanya kenapa saya pindah dari Facebook ke blog ini, tidak lain adalah karena saya tidak suka kegaduhan, apalagi kegaduhan yang tidak esensial & tidak penting bagi terbentuknya sebuah kesimpulan yang bermutu dari sebuah diskusi. Tadinya tujuan saya menulis di Facebook murni adalah karena memang saya senang menulis. Apa yang saya pikirkan harus saya tuangkan kedalam bentuk tulisan, sebelum menguap dan terlupakan. Tapi karakter Facebook kan memang begitu, apa yang kita tulis pasti "dipaksa" hadir di laman News Feed nyaris semua kawan-kawan kita. Alhasil, selalu ada yang terpicu untuk menanggapi status kita tersebut.

Misalnya kita gak suka sama komentar kawan kita, bisa aja kita ngomong begini: Lah ya ini kan Wall gw, suka-suka gw dong. Tapi nanti doi ngomong begini: Lah ya status loe tiba-tiba mampir di News Feed gw, ya gw tanggepin dong... Bisa aja kita jawab lagi pake topik Unfollow atau Unfriend, tapi malah jadi gak asik lah ya... Kita jadi kehilangan esensi pertemanan di dunia maya.

Pada dasarnya saya menulis status di Facebook tuh bukan mencari banyak Like atau komentar. Makanya saya tidak pernah menggunakan fitur Follower di laman saya. Saya ingin siapapun yang Like atau komentar di status saya, ya saya tahu orangnya siapa. Bukan manusia antah-berantah, apalagi akun pseudonym yang antara tampak laman dengan dunia nyatanya gak ada kejelasan.


Nah, disinilah masalah yang kemudian saya hadapi. Di Facebook, saya membuat status sebagus & sepositif apapun, ada saja tanggapan negatif dari kawan-kawan saya. Sebenarnya saya bukan tipe yang mempedulikan komentar negatif. Tapi bagi saya, sopan-santun dalam berkomunikasi di dunia maya sekalipun harus saya jalankan dengan baik, bahkan kepada mereka yang berkomentar negatif sekalipun. Saya tidak pernah tidak membalas komentar. Minimal sekali komentarnya saya kasih Like. Karena saya pun tidak suka dengan orang yang tidak menanggapi komentar saya. Kesannya buta etika.

Ada saja orang-orang yang kita tanggapi dengan baik & sopan, tetap berujung pada perdebatan sengit. Bahkan pernah kawan saya si A sampai debat kusir dengan B, hanya gara-gara hal sepele. Saya yang tadinya menulis hal-hal baik, di bagian tanggapan komentar malah jadi terbawa emosi. Lantas hilanglah esensi saya dalam menulis hal-hal baik itu. Kalaupun bukan saya yang terbawa emosi, ada saja orang lain terbawa emosi dan jadi berdebat dengan orang lain di status saya.

Repotnya di Facebook, fitur komentar tidak bisa di-non-aktifkan. Itulah yang awalnya membuat saya ingin membangun website. Sehingga apapun yang saya tulis bersifat satu arah, tidak perlu ditanggapi. Tapi ternyata membangun blog ini sudah cukup bagi saya untuk mengakomodasi kelelahan dua arah saya di Facebook tersebut.

Sejumlah penulis yang lebih hebat dari saya, tampak enjoy dengan membuka gerbang Follower yang banyak, dan status-statusnya jadi ajang perdebatan yang seru. Balik lagi ke karakter saya, saya tidak suka kegaduhan dan debat-debat yang tidak penting. Saya suka kesenyapan dan kesendiran. Saya bukan fakir Like atau fakir komentar di status saya. Masih banyak masalah di dunia nyata yang harus saya tangani sehari-harinya, alangkah sayangnya jika waktu saya yang terbatas itu habis hanya untuk menyenangkan sejumlah orang yang... yah gitu deh, tau sendiri...

Di dunia yang gak ideal ini, akan selalu ada orang-orang yang tak pernah terpuaskan, apapun yang kita katakan. Jiwa mereka selalu kosong. Mereka seperti spons, yang selalu berusaha menyerap air kehidupan sebanyak-banyaknya dari orang lain, tanpa berkontribusi balik bagi kemanusiaan. Cukup kenal saja dengan orang-orang seperti itu. Tentang jiwa-jiwa kosong ini, akan saya tuliskan dalam artikel lainnya di blog ini. Tunggu aja yahhh...

Habiskanlah waktu, energi dan pemikiran terbaik kita bersama orang-orang yang jelas bisa membawa kehidupan kita ke tempat-tempat tertinggi, terjauh dan terdalam. Indahnya... misteriusnya... orang-orang terbaik tersebut seringkali bukanlah kawan terdekat kita, bahkan seringkali bukan saudara kita. Maka dari itu selalu bukalah pikiran & hati kita terhadap wacana baru, keahlian baru, perkenalan dengan orang baru, dan percakapan-percakapan kecil dengan orang asing.

Kita tidak pernah tahu kehidupan ini setiap detiknya akan membawa nasib kita ke mana saja... Kita hanya bisa melakukan yang terbaik...

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Sosial Media yang Gaduh"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel