Halo... Bisa Bicara Dengan Peter Febian?

Di jaman dulu sebelum ada teknologi Smartphone, Internet dan macam-macamnya itu... kebanyakan berita datang dari telepon rumah / Fixed Line / PSTN. Bisa juga melalui surat yang dikirimkan oleh Pak Pos, tapi jarang. Ya, mungkin kebanyakan anak-anak Millenial jaman sekarang bahkan sudah tidak lagi ada yang ingat atau melihat bentuk pesawat PSTN itu seperti apa wujudnya. Saya termasuk generasi yang beruntung karena masih mengalami perubahan jalan hidup semasa sekolah, lewat panggilan telepon PSTN di pagi hari.

Saya dulu bersekolah di SMP dan SMA Katolik favorit di Bandung. Untuk bisa masuk ke sekolah itu, Ayah dan Ibu saya berusaha sedemikian kerasnya untuk mengumpulkan uang dan mendorong kami, anak-anaknya, untuk juga berusaha keras dalam hal studi demi diterima di sekolah tersebut. Jujur saja, selain harus memiliki Passing Grade Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) yang cukup tinggi, masuk ke sekolah tersebut juga membutuhkan biaya besar. Oleh sebab itu tidak heran jika yang bisa masuk ke sekolah tersebut dicitrakan sebagai sangat pintar, mampu secara finansial, atau keduanya. Padahal sih setelah saya masuk situ, ada juga sejumlah siswa yang tidak pintar dan tidak tajir, salah satunya saya...

Di sekolah tersebut ada dua pembagian kelas, yaitu kelas pagi dan kelas siang. Kelas pagi dicitrakan untuk anak-anak pintar, dan kelas siang dicitrakan untuk anak-anak gaul, ha ha ha... Intinya, untuk masuk ke sekolah tersebut yang kelas siang saja sudah susah, apalagi kelas pagi. Banyak orang mengatakan bahwa lebih baik masuk ke sekolah itu di kelas siang, daripada ke sekolah lainnya. Gengsi dan prestise-nya tetap beda, celetuk beberapa orang di saat itu.


Singkat kata, dengan susah payah saya jalani masa-masa SMP di sekolah tersebut. Hingga tibalah waktunya Ebtanas (sekarang Ujian Nasional / UN), dan saya mendapatkan nilai akhir Ebtanas sebesar 42.50. Harapan saya adalah tentunya bisa meneruskan sekolah SMA di sekolah tersebut. Kelas pagi syukur, kelas siang pun tidak masalah. Sayangnya, untuk masuk ke kelas pagi, Passing Grade yang ditetapkan adalah 42.56. Ahhh gilaaa, meleset sedikit saja... pikirku...

Ayah dan Ibu saya sebenarnya tidak mempermasalahkan sama sekali kalaupun saya akhirnya masuk kelas siang. Bagi mereka, yang penting adalah saya bisa tetap bersekolah di situ. Bisa masuk ke sekolah itu saja dan naik kelas terus, sudah luar biasa bagi saya. Namun untuk berjaga-jaga, ketika itu saya membeli juga formulir pendaftaran SMA dari sekolah Katolik favorit kedua di Bandung, yang dicitrakan sebagai sekolah siswa perempuan. Saya pikir... lumayan lah kalaupun saya masuk ke situ, bisa gaul sama banyak temen cewek, ha ha ha... Dari sejak kecil saya memang banyak berkawan dengan perempuan dan tidak canggung ketika harus bermain dengan mereka. Namun tetap saja target utama saya adalah masuk ke sekolah favorit Katolik pertama tersebut, betapapun di kelas siang. Di suatu hari, administrasi telah saya lengkapi hingga sempurna, tinggal menikmati liburan sisa saja.

Pak Ronald ketika dikunjungi salah seorang alumni angkatan 1988, Jeannete Widodo. Pak Ronald tampak sudah mulai kurus akibat sakit. Terima kasih kepada Jeannete Widodo atas fotonya.

Suatu pagi yang tenang... dan saya pun baru selesai mandi pagi... telepon rumah saya berdering. Saya bergegas mengangkatnya, dan terdengar suara berat seorang pria di seberang sana...

Telepon: Halo, selamat pagi... apakah ini kediaman Peter Febian?

Saya: Selamat pagi Pak... Ya betul, ini saya Peter Febian. Ini dengan siapa saya berbicara ya Pak?

Telepon: Ahhh kebetulan Peter, ini saya dengan Pak Ronald dari sekolah kamu.

Saya: Pak Ronald? Maksudnya Bapak adalah Pak Ronald Iskandar yang guru Bahasa Inggris itu? (Walaupun suaranya tidak asing, namun saya nyaris tidak percaya karena seumur hidup saya, tidak pernah ada guru yang menelepon ke rumah saya)

Telepon: Ya betul sekali Peter, saya Pak Ronald Iskandar. Saya mau menyampaikan satu penawaran buat kamu.

Saya: Oh ya baik Pak, penawaran apa Pak?

Telepon: Jadi begini Peter... nilai Ebtanas kamu kan 42.50, hanya berbeda sedikit dengan Passing Grade sekolah ini yang pagi, di level 42.56. Sehingga dengan demikian itu menempatkan kamu di daftar paling atas siswa yang bisa masuk ke kelas siang.

Saya: Baik Pak... saya mendengarkan...

Telepon: Nah, kabar terbaru yang telah saya terima dan verifikasi adalah ternyata ada dua orang siswa kelas pagi yang memutuskan untuk pergi bersekolah di luar negeri. Mereka tadinya sudah diterima di kelas pagi, namun keduanya memutuskan untuk pergi ke luar negeri. Sehingga ada dua kursi kosong di kelas pagi, yang akan kami tawarkan kepada dua orang teratas yang tadinya masuk ke kelas siang.

Saya: (Mendengarkan dengan seksama sambil deg-degan...)

Telepon: Nah, saya ingin bertanya kepada Peter, apakah kamu mau mengisi bangku kelas pagi tersebut?

Saya: SAYA MAUUUUUUUUU PAKKKKKKKKK... SAYA MAUUU... (sambil loncat-loncat kegirangan dan dipelototi heran oleh kakak saya...)

Telepon: Baik Peter, jika kamu mau mengisinya, bisakah hari ini datang ke Tata Usaha sekolah untuk mengubah beberapa data pendaftaran dan mengisi-ulang beberapa formulir?

Saya: Tunggu sebentar Pak... apakah ada biaya tambahan yang harus saya bayarkan?

Telepon: Tidak ada tambahan biaya sama sekali, Peter...

Saya: SIAPPPPPP PAKKK... Oh ya Pak Ronald, kan tadi kata Bapak, ada dua kursi kosong. Kepada siapa satu kursi kosong lagi itu akan Bapak tawarkan, kalo saya boleh tahu?

Telepon: Oh ya itu akan kami tawarkan ke yang namanya Toni Susanto, Peter... mungkin kamu kenal?

Saya: (menerawang sejenak...) Hmmm, saya tidak ingat Pak. Mungkin memang tidak pernah sekelas dengannya.

Telepon: Baik Peter, saya tunggu kamu di sekolah hari ini ya. Tolong datang sepagi mungkin.

Saya: Baik Pak Ronald, saya berterima kasih sekali atas pagi ini, Bapak telah berusaha menghubungi saya...

Telepon: Baik, terima kasih kembali Peter... selamat pagi... (telepon pun ditutup)

Seketika itu juga adrenalin saya naik ke ubun-ubun, sambil berganti baju segera, memanaskan motor, dan langsung bergegas ke bilangan Dago, Bandung, tempat sekolah saya tersebut berada. Sesampainya di sekolah pun saya bereskan semua urusan administrasi, dan selebihnya adalah sejarah.

Berkat seorang guru Bahasa Inggris bernama Pak Ronald Iskandar...

Anyway, Pak Ronald sendiri memang cukup mengenal juga Ibu saya, karena mereka berdua adalah sama-sama guru Bahasa Inggris. Bedanya, Pak Ronald mengajar di sekolah, sedangkan Ibu saya mengajar les privat.

Pada dasarnya Pak Ronald adalah guru yang lembut, gentleman dan bisa diajak bicara baik-baik. Namun jangan sampai membuatnya marah. Saya pernah menyaksikan langsung kemarahannya dan... sangatlah mengerikan... Teriakannya menggema hingga ke seluruh lorong sekolah tersebut. Lorong kelas-kelas sekolah tersebut terkenal panjang. Bayangkan saja, jaman dulu, satu angkatan di sekolah itu jumlah muridnya bisa sekitar 300 hingga 400 orang... Menurut gosip yang sekarang beredar sih, jumlah siswa per angkatan di sana sudah berkurang.

Di mata para siswa, Pak Ronald adalah sosok yang sangat mendorong kegiatan-kegiatan ekstra-kurikuler yang positif dan bermanfaat bagi generasi muda. Pak Ronald selalu mendorong siswa-siswanya agar mau aktif di berbagai organisasi dan kegiatan positif yang telah banyak tersedia pilihannya di sekolah saya tersebut. Pak Ronald sudah berpulang, merupakan kehilangan yang besar bagi seluruh kegiatan ekstrakurikuler di almamater saya tersebut.

Tahun demi tahun berlalu, dan saya pun lulus dari sekolah tersebut. Saya pun kuliah hingga selesai, dan berkarier di Jakarta. Sayangnya, saya dengan Pak Ronald sudah tidak pernah kontak lagi.

Hingga pada tanggal 08 Desember 2013, saya menerima kabar duka dari para alumnus sekolah itu, bahwa Pak Ronald meninggal dunia karena sakit yang telah lama dideritanya. Menurut pengakuan beberapa kawan, Pak Ronald yang dulunya berbadan besar, kini kurus kering karena penyakitnya.

Pak Ronald Iskandar dikenal sebagai guru yang cukup mengerikan jika sedang marah besar. Namun sesungguhnya beliau memiliki hati yang penuh kasih dan penuh perhatian akan perkembangan anak-anak didiknya. Terima kasih kepada Jeannete Widodo atas fotonya.

Saya merasa sedih & terpukul, bukan karena meninggalnya Pak Ronald, tapi lebih karena saya abai terhadap komunikasi bersama guru-guru jaman sekolah yang telah berjasa besar dalam hidup saya. Ketika saya tersadar, satu-persatu mereka telah berpulang pada Yang Maha Kuasa. Saya teramat dalam menyesalinya.

Lebih menyesal lagi adalah ketika kabar itu datang, saya sedang ditugaskan ke luar kota oleh kantor tempat saya bekerja. Saya benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa untuk menjenguk pemakaman Pak Ronald.

Tahun demi tahun pun berlalu, dan para alumni seangkatan saya kembali bisa berkumpul di grup WhatsApp. Saya kembali tergugah perihal Pak Ronald ketika ada salah seorang kawan saya yang saat itu menghadiri pemakamannya dan masih menyimpan selembar puisi yang ditulis oleh Pak Ronald sebelum beliau meninggal dunia.

Perihal puisi ini pun saya baru tahu... dan ketika membacanya, mata saya berkaca-kaca mengingat Pak Ronald semasa hidupnya...


Do Not Stand At My Grave

Do not stand at my grave and weep...
I am not there. I do not sleep.

I am a 1.000 winds,
that blow in the mountain...

I am the diamond glints
on a deep caves...

I am the sun
on a beautiful sunrise...

I am the gentle afternoon rain...

When you awaken in the morning's hush,
I am the swift uplifting rush
of quiet birds in circled light...

I am the soft star
that shines at night...

Do not stand at my grave and cry...

I am not there. I am home...

In Memoriam
Ronald Yakobus Iskandar
29 September 1944 - 08 Desember 2013


Terima kasih Pak Ronald Iskandar, untuk menelepon saya pada pagi itu, dan menjadi guru yang telah mengubah sejarah hidup saya...

Tuhan mengasihi engkau selalu di rumah-Nya...

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Halo... Bisa Bicara Dengan Peter Febian?"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel