Hal-Hal Baik Dimulai Dari Indahnya Pagi Hari
Friday, July 21, 2017
Add Comment
Ada sebuah adagium berkata, bahwa persiapan dan kesiapan adalah segalanya. Ini berlaku dalam nyaris semua hal di kehidupan kita ini. Bahkan lebih jauh lagi sejumlah Kitab Suci berkata (tersirat) bahwa rejeki yang baik hanya akan datang kepada mereka yang memang selalu siap untuk menyambut rejeki tersebut setiap harinya.
Bagi banyak orang, kata "persiapan" dan "kesiapan" tampak menakutkan, karena mereka tidak terbiasa siap dalam banyak hal. Namun bagi beberapa orang lain, persiapan dan kesiapan sesungguhnya bermula dari kebiasaan-kebiasaan kecil saja. Persiapan dan kesiapan bukanlah narasi besar yang harus mengorbankan banyak hal untuk mencapainya.
Sehingga dengan demikian dapat saya katakan bahwa persiapan dan kesiapan tidaklah menakutkan sama sekali, namun bisa mendatangkan buah yang manis dalam kehidupan kita ini.
Apakah jika kita sudah siap, lantas semua masalah hidup selesai dan hidup bisa selalu berbahagia dan berhasil terus? TIDAK. Persiapan dan kesiapan bukanlah sebuah janji sorga, tapi sebuah penghargaan atas proses-proses kehidupan yang memang harus kita lalui demi sebuah keberhasilan.
Persiapan dan kesiapan adalah sebuah sikap mental yang positif. Dengan sikap mental dan cara berpikir yang positif, kemungkinan keberhasilan akan lebih besar. Sebaliknya, sikap mental dan cara berpikir yang negatif sudah pasti akan menjerumuskan kita ke dalam berbagai kegagalan.
Apa saja contoh persiapan dan kesiapan yang baik dalam hidup kita? Ini contohnya:
1. Bangun pagi, jadilah morning person. Jangan terlalu lama tidur dan memanjakan badan kita. Sekiranya memang kita butuh beristirahat lama karena kelelahan, silakan. Tapi jika sedang dalam kondisi normal dan sehat, bangunlah pagi-pagi. Bangun pagi terbukti dapat mendatangkan ritme biologis yang positif bagi tubuh & pikiran kita.
2. Rawatlah rumah kita, rawatlah tempat dimana kita merebahkan kepala. Dalam tahapan paling awal, membiasakan anak-anak kita membereskan tempat tidur dan kamarnya sendiri merupakan langkah awal yang sangat dianjurkan. Ketika mereka sudah terbiasa melakukan hal tersebut, teruskanlah ke tahapan membereskan bagian lain di rumah. Misalnya kita tidur di kost, ya rawatlah kamar kost tersebut dengan sebaik-baiknya.
3. Periksalah sejumlah hal di sekeliling kita, apakah berfungsi dengan baik? Apakah sudah waktunya diganti? Apakah mendatangkan keuntungan atau kerugian? Apakah mengganggu? Sangatlah penting untuk selalu paham dengan apa yang terjadi di sekeliling kita, paling minimal rumah kita sendiri. Misalnya, memantau angka meteran listrik pra-bayar setiap pagi atau dua hari sekali. Tampaknya ini remeh, namun jika terlewat, akibatnya bisa merepotkan kita. Kita sebagai pemilik rumah, wajib paham seluruh sudut rumah kita. Ini adalah hal yang logis dan alamiah.
Menjadi Morning Person
Untuk poin 1, sebenarnya apa yang saya suratkan sudah jelas. Memang benar bahwa tidak semua orang bisa menjadi morning person. Saya pun sebenarnya jika hari libur dan tidak ada apa-apa yang harus saya kerjakan, ya saya menikmati bangun siang juga. Namun itu bukanlah sebuah kebiasaan sepanjang hidup. Dasarnya saya adalah morning person, namun menikmati bangun siang jika memang semua kondisinya memungkinkan.
Nah, apa definisi "pagi" bagi seorang morning person? Bagi saya, bangun pagi diatas jam 8 sudah terasa tidak nyaman bagi fisik dan psikologis saya, kecuali jika malam atau subuh sebelumnya saya memang harus mengerjakan sesuatu hingga begadang. Tapi dalam kondisi normal, tanpa weker sekalipun, saya otomatis terbangun sekitar jam 5 pagi. Dengan bangun pagi, saya bisa mengerjakan banyak hal terlebih dahulu sebelum berangkat kerja, misalnya membereskan rumah, cucian piring, cucian pakaian hingga menjemurnya, atau mungkin menyeterika beberapa helai pakaian.
Bagi saya, inilai Sense of Achievement saya, inilah kepuasan harian saya. Saya selalu merasa tidak enak atau tidak sreg ketika harus meninggalkan rumah untuk kerja, dalam keadaan berantakan. Nah, lalu mengapa saya tidak menggunakan saja jasa pembantu? Saya tidak suka pembantu. Sesederhana itu. Saya tidak suka ada orang asing di rumah saya, apalagi yang menetap. Sehingga semuanya saya kerjakan sendiri, bersama istri dan anak-anak saya tentunya. Intinya, kami merasa bahwa kami belum ada di tahap menjelang kiamat yang benar-benar harus menggunakan jasa pembantu. Apa yang bisa kita kerjakan sendiri, mengapa tidak kita kerjakan sendiri saja?
Selain menambah kedekatan dan kekompakan kita sekeluarga, mengerjakan segala sesuatunya sendiri pun sesungguhnya merupakan kultur orang-orang di negara maju. Tidak percaya? Silakan lihat sendiri. Budaya menggunakan jasa pembantu merupakan budaya orang-orang Indonesia saja. Apakah ini positif atau negatif, saya tidak bermaksud menghakimi. Toh kondisi setiap rumahtangga berbeda-beda. Namun saya menemukan bahwa kehidupan kami baik-baik saja dari sejak saya menikahi istri saya pada tahun 2001, tanpa pernah menggunakan jasa pembantu samasekali. Anak-anak terawat dengan baik, rumah selalu bersih, dan semuanya selalu terorganisir.
Merawat Tempat Kita Merebahkan Kepala
Kebanyakan orang berpikir bahwa merawat rumah identik dengan hal-hal yang kita lakukan secara insidental, misalnya melakukan pengecatan tembok, pengepelan lantai, perbaikan atap bocor, dan sejumlah hal-hal insidental lainnya.
Tentunya tidak ada yang salah dengan anggapan tersebut. Namun dalam pengertian yang paling sederhana, setidaknya dalam definisi saya, merawat rumah juga berarti tidak menjadikan rumah kita sebagai tempat sampah raksasa. Rumah kita bukanlah TPA alias Tempat Pembuangan Akhir. Titik.
Maksudnya bagaimana?
Sederhana saja. Karena saya bukan orang kaya dan bagi saya memiliki rumah sesederhana apapun merupakan sebuah kemewahan, maka saya harus memenej isi rumah tersebut agar bisa selalu cukup dan nyaman bagi eksistensi semua manusia yang bernaung di bawahnya. Bahkan jika memungkinkan, rumah tersebut harus menyisakan ruang yang cukup untuk melakukan hal-hal produktif lainnya dengan nyaman.
Saya ada cerita nyata...
Saya memiliki sejumlah kawan dekat. Nah, salah satu kawan dekat saya ketika itu mengundang saya untuk menginap di rumahnya. Sebenarnya rumahnya tidak kecil-kecil amat. Fondasi rumah tersebut adalah tipe 36 (sekitar 6 x 6 meter), namun telah mengalami banyak renovasi hingga akhirnya menjadi rumah 3 tingkat. Jumlah orang yang mengisi rumahnya pun sebenarnya tidak banyak, hanya sekitar 5 orang. Ada beberapa kamar dan ruangan yang (sebenarnya) kosong karena tidak ditempati orang.
Saya kemana-mana selalu membawa laptop, baik untuk menulis, membaca ataupun membuat sejumlah materi pekerjaan. Namun saya mendapati bahwa ketika saya menginap di sini, saya begitu kesulitan untuk sekedar bisa bekerja dengan layak bersama laptop saya. Semua meja terisi dengan barang, kebanyakan berantakan. Saya bisa saja duduk di lantai dan bekerja di meja tamu yang kakinya pendek, tapi saya tidak pernah suka posisi duduk seperti itu. Bagi saya, duduk ya harus di kursi dan meja yang tingginya wajar. Posisi tubuh tidak cepat lelah, dan itu penting bagi saya dalam bekerja bersama laptop saya.
Pun saya bukan tipe yang senang bekerja dengan laptop di atas kasur. Sekali lagi, posisi itu tidak nyaman untuk saya.
Kawan saya sampai rikuh dan canggung ketika berusaha mencarikan meja dan kursi untuk saya bekerja dengan laptop. Sesekali dia "meringis kuda" ketika melihat ekspresi saya yang keheranan dengan betapa berantakannya rumahnya, padahal penghuninya hanya sekitar 5 orang.
Bahkan dapat saya katakan, 70% hingga 80% isi rumah kawan saya tersebut adalah sampah dan barang-barang yang sesungguhnya sudah tidak terpakai lagi, yang terus-menerus ditumpuk dan bertambah jumlahnya.
Saya bertanya pada kawan saya, mengapa rumah yang sebesar ini bisa menjadi sedemikian menyerupai TPA. Akhirnya dia bercerita...
Intinya, baik ayahnya, ibunya maupun saudaranya adalah tipe orang yang paling takut membuang sesuatu, betapapun barang tersebut sudah jelas-jelas tidak ada fungsinya lagi, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Misalnya saja kabel USB untuk charger handphone yang sudah rusak dan tidak terpakai lagi. Bukannya dibuang, malah dimasukkan ke laci lemari. Itupun tidak diberi penanda bahwa kabel tersebut sudah rusak. Sehingga ketika beberapa waktu kemudian laci tersebut dibuka, seisi penghuni rumah tersebut berpikir bahwa kabel tersebut tidak rusak dan masih bisa dipakai, sehingga tidak dibuang.
Pola seperti ini berlangsung juga atas barang-barang lainnya, bahkan hingga yang ukuran terbesar sekalipun. Bahkan lemari belajar adiknya kawan saya tersebut, yang merupakan lemari belajar turun-temurun dari sejak kakaknya masih kecil, dan lemari tersebut sudah jelas-jelas tidak dapat digunakan karena sudah rusak dan lapuk karena rayap, masih teronggok di sebuah sudut ruangan. Malah menjadi sarang nyamuk dan debu. Menurut kawan saya, lemari itu tidak kunjung dibuang karena ada nilai historis dan sentimentilnya. Saya pikir... nilai sentimentil mbahmu ya... Sentimentil bareng debu dan nyamuk? Walah walah walah...
Jika semuanya dikembalikan lagi ke nilai sentimentil, tidak akan pernah ada selesainya. Bahkan mungkin mobil pertama yang bisa kita beli disaat kita susah, misalnya, harus ditaruh di rumah seperti barang museum. Memangnya rumah kita sebesar rumah orang-orang kaya di luar sana?
Supaya pembaca juga paham, saya pun sesungguhnya adalah orang yang sentimentil, khususnya dengan barang. Ada beberapa barang yang saya masih simpan, TAPI saya simpan dengan baik, rapi dan sesekali saya bersihkan dan rawat. Itupun bukan barang-barang yang berukuran besar. Saya pernah memiliki motor yang sangat membangkitkan sisi sentimentil saya, tapi akhirnya saya putuskan untuk saya jual karena selain suku cadangnya sudah sangat susah, juga karena penyimpanannya memakan banyak tempat. Buat apa? Saya putuskan untuk memprioritaskan kenyamanan dan kesehatan orang-orang yang saya kasihi yang berlindung di rumah bersama saya.
Saya geleng-geleng kepala dengan isi rumah kawan saya tersebut. Saya amat menghargai niatan baiknya mengajak saya menginap di rumahnya, dan kesemua isi rumah tersebut pun baik & ramah adanya. Namun untuk kembali menginap di sana, sesungguhnya saya segan. Saya bukanlah tipe orang yang betah dikelilingi oleh sampah dan onggokan barang tidak terpakai.
Jadi di seluruh tingkat rumah kawan saya tersebut, tidak ada satupun lokasi atau sudut yang benar-benar nyaman untuk beristirahat atau sekedar duduk saja. Luar biasa sekali...
Kawan saya kembali bercerita. Sebenarnya dia bukanlah orang seperti itu. Secara teratur dia selalu membuang barang-barang yang tidak terpakai lagi. Kamarnya kawan saya pun terlihat paling rapi dan bersih. Tapi apakah ada gunanya ketika di luar kamarnya tersebut ternyata "neraka"? Dia bercerita bahwa seisi rumahnya tersebut adalah tipe-tipe yang bisa langsung memarahinya jika dia berusaha merapikan dan membuang barang-barang tersebut. Intinya, selama barang tersebut bukan miliknya, tidak perlu peduli apakah itu sampah atau bukan. Taruh dan tumpuk saja dulu... Bahkan terorganisir pun tidak sama sekali. Dari mulai perintilan sekrup bekas yang berkarat hingga struk ATM yang sudah tidak terlihat lagi tulisannya, bertebaran dimana-mana. Gila...
Kawan saya pun paham kegelisahan saya. Dia bercerita bahwa dia memang dalam waktu secepat mungkin ingin merantau, bahkan jika perlu membeli rumah sendiri. Saya pun mendukung impiannya tersebut. Saya selalu mendukung orang-orang yang memiliki sikap mental positif, betapapun di sekelilingnya adalah manusia-manusia bermental negatif. Justru orang-orang seperti itu harus terus kita dorong untuk bergerak ke tempat lain yang lebih positif dan kondusif bagi perkembangan jiwanya.
Rumah adalah tempat dimana kita meletakkan jiwa dan hati kita. Ketika rumah sudah membuat kita tidak nyaman, lalu di mana lagikah kita akan mencari kenyamanan? Rumah teman? Mal? Kafe? Kantor?
Sangat kontras dengan saya. Setiap pagi setelah melakukan beberapa pekerjaan rumah, secara berkala saya melakukan review terhadap semua sudut rumah, khususnya untuk melihat barang-barang yang ada di setiap penjuru rumah. Ada barang yang bisa segera saya buang, ya saya buang. Ada barang yang sekiranya masih berguna untuk jangka menengah atau jangka panjang, ya saya rapikan dan organisir, entah masuk kotak plastik atau dus yang rapi. Ada barang yang masih terus terpakai, saya letakkan dengan rapi, bersihkan dan cek fungsinya.
Bagi saya ini adalah hal yang sangat sederhana. Saya mengerjakannya dengan penuh cinta dan semangat. Saya selalu berpikir bahwa rumah adalah salah satu bentuk kasih Tuhan terhadap saya dan keluarga saya. Oleh karena itu saya TIDAK AKAN PERNAH menjadikan rumah saya sebagai tempat sampah atau TPA. Saya pastikan rumah saya yang kecil, justru terasa lega dan nyaman bagi kami dan bahkan bagi tamu-tamu yang berkunjung. Rumah saya tidak mewah, tapi nyaman dan sehat.
Semuanya dimulai dari keteraturan-keteraturan kecil yang kita lakukan secara teratur, penuh kesadaran dan penuh rasa cinta akan hal-hal yang baik (passion). Kesemua keteraturan tersebut hanya akan optimal terlaksana jika kita sudah sukses menjadi morning person, yaitu orang yang tidak lagi bersungut-sungut ketika harus bangun pagi. Bangun pagi sudah menjadi refleks, bangun pagi sudah menjadi kebutuhan. Itulah tujuannya.
Selalu Memeriksa dan Memastikan Fungsi Apapun di Sekeliling Kita
Inilah yang juga sering tidak dilakukan oleh kebanyakan orang, lagi-lagi hanya karena tidak terbiasa dan tidak dibiasakan sejak awal.
Contohnya telah saya kemukakan di atas, misalnya dalam hal angka meteran listrik pra-bayar. Kita semua tahu bahwa meteran listrik pra-bayar bisa mengeluarkan bunyi yang mengganggu tetangga jika pulsa listriknya menjelang minim atau habis. Misalnya sebelum kita berangkat kerja kita tidak periksa angkanya, lalu siangnya berbunyi hingga malam karena angkanya menjadi minim, maka tetanggalah yang terganggu. Tetangga seringkali bertoleransi dan tidak mempermasalahkan bunyi tersebut. Namun jika kita bisa tidak mengganggu tetangga, mengapa tidak kita lakukan? Periksalah, dan isilah sebelum berbunyi. Sesederhana itu.
Atau misalnya kunci jendela rumah kita yang tidak bisa mengunci dengan benar karena sudah berumur lama. Wajib langsung diperbaiki, wajib langsung diberikan tindakan. Bagaimana ceritanya jika pas kita bekerja dan rumah kosong, lalu jendela rumah kita tiba-tiba terbuka karena kuncinya sudah tidak bisa menahan rapat jendelanya? Maling dengan gampangnya masuk rumah. Padahal tadinya itu berawal dari hal kecil yang tidak kita inspeksi dan tidak kita segera tindak.
Demikian juga dengan motor atau mobil kita. Selalu ceklah, kapan kita harus memasukkannya ke bengkel untuk servis berkala. Begitu ada masalah kecil, langsung beri tindakan. Misalnya, susah distater. Langsung bertindaklah ke bengkel, periksa saja. Jangan sampai pas pagi-pagi kita buru-buru berangkat kerja, ternyata sama sekali tidak bisa distater. Ini lebih konyol. Sekali lagi, hanya karena hal kecil yang tidak kita segera tindak.
Selalu isilah tangki bensin kita hingga penuh. Ketika saya harus mengemudikan mobil, saya selalu suka jika tangki bensinnya penuh atau minimal setengah tangki lebih. Begitu menuju setengah tangki, langsung saya pergi ke pom bensin untuk memenuhinya. Saya benci mengemudikan mobil dengan tangki kosong. Saya selalu senang jika mobil yang saya kendarai, selalu siap kemana saja kapan saja dengan tangki bensin yang terisi penuh. Oleh karena itu saya paling eneg dengan orang yang ogah, malas atau gemar menunda mengisi tangki bensin mobilnya disaat isinya sudah tinggal sedikit. Karena apa? Disaat kita sedang terburu-buru dan terhadang kemacetan, eh masih harus mampir ke pom bensin untuk isi bensin, antri panjang pula. Ini namanya brengsek. Jika ada waktu luang atau pom bensin kosong, ISILAH BENSIN. Jangan antri isi bensin ketika sedang injury time terburu-buru ke suatu tempat. Itu sangat menjengkelkan.
Atau misalnya ban motor atau ban mobil kita yang terus kempes selama beberapa hari, padahal dipompa terus. Cek, apakah ada kebocoran kecil? Jangan sampai ban tersebut benar-benar bocor parah hingga rusak, ketika malam dan hujan. Tidak mau mengalami itu kan? Makanya, awalilah dari hal-hal kecil yang kita lakukan dengan benar, dan kita lakukan tindakan yang diperlukan, sesegera mungkin. JANGAN MENUNDA APAPUN.
Kesimpulan dan Penutup
Cerita panjang-lebar di artikel ini, jika kita tarik benang merahnya, sesungguhnya bermuara pada tiga hal saja, yaitu:
Apa bukti cinta kita pada keluarga? Kesadaran, pengharapan baik dan disiplin.
Apa bukti cinta kita pada diri sendiri? Kesadaran, pengharapan baik dan disiplin.
Apa bukti cinta kita pada bangsa ini? Kesadaran, pengharapan baik dan disiplin.
Contohnya, ketika kita memperlakukan rumah kita selayaknya istana; itulah kesadaran, itulah pengharapan baik kita, dan itulah disiplin kita. Di semua bidang kehidupan lainnya pun berlaku demikian adanya. Sesederhana itu.
Marilah kita terus melatih jiwa, pikiran dan mentalitas kita menuju ketiga keluhuran tersebut. Generasi anak-anak kita sungguh membutuhkan orangtua yang selalu sadar, selalu berpengharapan baik dan selalu berdisiplin akan hidupnya; agar bisa menjadi teladan baik bagi kehidupan mereka yang semakin keras dan sulit ke depannya.
Bagi banyak orang, kata "persiapan" dan "kesiapan" tampak menakutkan, karena mereka tidak terbiasa siap dalam banyak hal. Namun bagi beberapa orang lain, persiapan dan kesiapan sesungguhnya bermula dari kebiasaan-kebiasaan kecil saja. Persiapan dan kesiapan bukanlah narasi besar yang harus mengorbankan banyak hal untuk mencapainya.
Sehingga dengan demikian dapat saya katakan bahwa persiapan dan kesiapan tidaklah menakutkan sama sekali, namun bisa mendatangkan buah yang manis dalam kehidupan kita ini.
Apakah jika kita sudah siap, lantas semua masalah hidup selesai dan hidup bisa selalu berbahagia dan berhasil terus? TIDAK. Persiapan dan kesiapan bukanlah sebuah janji sorga, tapi sebuah penghargaan atas proses-proses kehidupan yang memang harus kita lalui demi sebuah keberhasilan.
Persiapan dan kesiapan adalah sebuah sikap mental yang positif. Dengan sikap mental dan cara berpikir yang positif, kemungkinan keberhasilan akan lebih besar. Sebaliknya, sikap mental dan cara berpikir yang negatif sudah pasti akan menjerumuskan kita ke dalam berbagai kegagalan.
Apa saja contoh persiapan dan kesiapan yang baik dalam hidup kita? Ini contohnya:
1. Bangun pagi, jadilah morning person. Jangan terlalu lama tidur dan memanjakan badan kita. Sekiranya memang kita butuh beristirahat lama karena kelelahan, silakan. Tapi jika sedang dalam kondisi normal dan sehat, bangunlah pagi-pagi. Bangun pagi terbukti dapat mendatangkan ritme biologis yang positif bagi tubuh & pikiran kita.
2. Rawatlah rumah kita, rawatlah tempat dimana kita merebahkan kepala. Dalam tahapan paling awal, membiasakan anak-anak kita membereskan tempat tidur dan kamarnya sendiri merupakan langkah awal yang sangat dianjurkan. Ketika mereka sudah terbiasa melakukan hal tersebut, teruskanlah ke tahapan membereskan bagian lain di rumah. Misalnya kita tidur di kost, ya rawatlah kamar kost tersebut dengan sebaik-baiknya.
3. Periksalah sejumlah hal di sekeliling kita, apakah berfungsi dengan baik? Apakah sudah waktunya diganti? Apakah mendatangkan keuntungan atau kerugian? Apakah mengganggu? Sangatlah penting untuk selalu paham dengan apa yang terjadi di sekeliling kita, paling minimal rumah kita sendiri. Misalnya, memantau angka meteran listrik pra-bayar setiap pagi atau dua hari sekali. Tampaknya ini remeh, namun jika terlewat, akibatnya bisa merepotkan kita. Kita sebagai pemilik rumah, wajib paham seluruh sudut rumah kita. Ini adalah hal yang logis dan alamiah.
Menjadi Morning Person
Untuk poin 1, sebenarnya apa yang saya suratkan sudah jelas. Memang benar bahwa tidak semua orang bisa menjadi morning person. Saya pun sebenarnya jika hari libur dan tidak ada apa-apa yang harus saya kerjakan, ya saya menikmati bangun siang juga. Namun itu bukanlah sebuah kebiasaan sepanjang hidup. Dasarnya saya adalah morning person, namun menikmati bangun siang jika memang semua kondisinya memungkinkan.
Nah, apa definisi "pagi" bagi seorang morning person? Bagi saya, bangun pagi diatas jam 8 sudah terasa tidak nyaman bagi fisik dan psikologis saya, kecuali jika malam atau subuh sebelumnya saya memang harus mengerjakan sesuatu hingga begadang. Tapi dalam kondisi normal, tanpa weker sekalipun, saya otomatis terbangun sekitar jam 5 pagi. Dengan bangun pagi, saya bisa mengerjakan banyak hal terlebih dahulu sebelum berangkat kerja, misalnya membereskan rumah, cucian piring, cucian pakaian hingga menjemurnya, atau mungkin menyeterika beberapa helai pakaian.
Bagi saya, inilai Sense of Achievement saya, inilah kepuasan harian saya. Saya selalu merasa tidak enak atau tidak sreg ketika harus meninggalkan rumah untuk kerja, dalam keadaan berantakan. Nah, lalu mengapa saya tidak menggunakan saja jasa pembantu? Saya tidak suka pembantu. Sesederhana itu. Saya tidak suka ada orang asing di rumah saya, apalagi yang menetap. Sehingga semuanya saya kerjakan sendiri, bersama istri dan anak-anak saya tentunya. Intinya, kami merasa bahwa kami belum ada di tahap menjelang kiamat yang benar-benar harus menggunakan jasa pembantu. Apa yang bisa kita kerjakan sendiri, mengapa tidak kita kerjakan sendiri saja?
Selain menambah kedekatan dan kekompakan kita sekeluarga, mengerjakan segala sesuatunya sendiri pun sesungguhnya merupakan kultur orang-orang di negara maju. Tidak percaya? Silakan lihat sendiri. Budaya menggunakan jasa pembantu merupakan budaya orang-orang Indonesia saja. Apakah ini positif atau negatif, saya tidak bermaksud menghakimi. Toh kondisi setiap rumahtangga berbeda-beda. Namun saya menemukan bahwa kehidupan kami baik-baik saja dari sejak saya menikahi istri saya pada tahun 2001, tanpa pernah menggunakan jasa pembantu samasekali. Anak-anak terawat dengan baik, rumah selalu bersih, dan semuanya selalu terorganisir.
Merawat Tempat Kita Merebahkan Kepala
Kebanyakan orang berpikir bahwa merawat rumah identik dengan hal-hal yang kita lakukan secara insidental, misalnya melakukan pengecatan tembok, pengepelan lantai, perbaikan atap bocor, dan sejumlah hal-hal insidental lainnya.
Tentunya tidak ada yang salah dengan anggapan tersebut. Namun dalam pengertian yang paling sederhana, setidaknya dalam definisi saya, merawat rumah juga berarti tidak menjadikan rumah kita sebagai tempat sampah raksasa. Rumah kita bukanlah TPA alias Tempat Pembuangan Akhir. Titik.
Maksudnya bagaimana?
Sederhana saja. Karena saya bukan orang kaya dan bagi saya memiliki rumah sesederhana apapun merupakan sebuah kemewahan, maka saya harus memenej isi rumah tersebut agar bisa selalu cukup dan nyaman bagi eksistensi semua manusia yang bernaung di bawahnya. Bahkan jika memungkinkan, rumah tersebut harus menyisakan ruang yang cukup untuk melakukan hal-hal produktif lainnya dengan nyaman.
Saya ada cerita nyata...
Ilustrasi: Istimewa |
Saya kemana-mana selalu membawa laptop, baik untuk menulis, membaca ataupun membuat sejumlah materi pekerjaan. Namun saya mendapati bahwa ketika saya menginap di sini, saya begitu kesulitan untuk sekedar bisa bekerja dengan layak bersama laptop saya. Semua meja terisi dengan barang, kebanyakan berantakan. Saya bisa saja duduk di lantai dan bekerja di meja tamu yang kakinya pendek, tapi saya tidak pernah suka posisi duduk seperti itu. Bagi saya, duduk ya harus di kursi dan meja yang tingginya wajar. Posisi tubuh tidak cepat lelah, dan itu penting bagi saya dalam bekerja bersama laptop saya.
Pun saya bukan tipe yang senang bekerja dengan laptop di atas kasur. Sekali lagi, posisi itu tidak nyaman untuk saya.
Kawan saya sampai rikuh dan canggung ketika berusaha mencarikan meja dan kursi untuk saya bekerja dengan laptop. Sesekali dia "meringis kuda" ketika melihat ekspresi saya yang keheranan dengan betapa berantakannya rumahnya, padahal penghuninya hanya sekitar 5 orang.
Bahkan dapat saya katakan, 70% hingga 80% isi rumah kawan saya tersebut adalah sampah dan barang-barang yang sesungguhnya sudah tidak terpakai lagi, yang terus-menerus ditumpuk dan bertambah jumlahnya.
Saya bertanya pada kawan saya, mengapa rumah yang sebesar ini bisa menjadi sedemikian menyerupai TPA. Akhirnya dia bercerita...
Intinya, baik ayahnya, ibunya maupun saudaranya adalah tipe orang yang paling takut membuang sesuatu, betapapun barang tersebut sudah jelas-jelas tidak ada fungsinya lagi, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Misalnya saja kabel USB untuk charger handphone yang sudah rusak dan tidak terpakai lagi. Bukannya dibuang, malah dimasukkan ke laci lemari. Itupun tidak diberi penanda bahwa kabel tersebut sudah rusak. Sehingga ketika beberapa waktu kemudian laci tersebut dibuka, seisi penghuni rumah tersebut berpikir bahwa kabel tersebut tidak rusak dan masih bisa dipakai, sehingga tidak dibuang.
Pola seperti ini berlangsung juga atas barang-barang lainnya, bahkan hingga yang ukuran terbesar sekalipun. Bahkan lemari belajar adiknya kawan saya tersebut, yang merupakan lemari belajar turun-temurun dari sejak kakaknya masih kecil, dan lemari tersebut sudah jelas-jelas tidak dapat digunakan karena sudah rusak dan lapuk karena rayap, masih teronggok di sebuah sudut ruangan. Malah menjadi sarang nyamuk dan debu. Menurut kawan saya, lemari itu tidak kunjung dibuang karena ada nilai historis dan sentimentilnya. Saya pikir... nilai sentimentil mbahmu ya... Sentimentil bareng debu dan nyamuk? Walah walah walah...
Jika semuanya dikembalikan lagi ke nilai sentimentil, tidak akan pernah ada selesainya. Bahkan mungkin mobil pertama yang bisa kita beli disaat kita susah, misalnya, harus ditaruh di rumah seperti barang museum. Memangnya rumah kita sebesar rumah orang-orang kaya di luar sana?
Supaya pembaca juga paham, saya pun sesungguhnya adalah orang yang sentimentil, khususnya dengan barang. Ada beberapa barang yang saya masih simpan, TAPI saya simpan dengan baik, rapi dan sesekali saya bersihkan dan rawat. Itupun bukan barang-barang yang berukuran besar. Saya pernah memiliki motor yang sangat membangkitkan sisi sentimentil saya, tapi akhirnya saya putuskan untuk saya jual karena selain suku cadangnya sudah sangat susah, juga karena penyimpanannya memakan banyak tempat. Buat apa? Saya putuskan untuk memprioritaskan kenyamanan dan kesehatan orang-orang yang saya kasihi yang berlindung di rumah bersama saya.
Saya geleng-geleng kepala dengan isi rumah kawan saya tersebut. Saya amat menghargai niatan baiknya mengajak saya menginap di rumahnya, dan kesemua isi rumah tersebut pun baik & ramah adanya. Namun untuk kembali menginap di sana, sesungguhnya saya segan. Saya bukanlah tipe orang yang betah dikelilingi oleh sampah dan onggokan barang tidak terpakai.
Jadi di seluruh tingkat rumah kawan saya tersebut, tidak ada satupun lokasi atau sudut yang benar-benar nyaman untuk beristirahat atau sekedar duduk saja. Luar biasa sekali...
Kawan saya kembali bercerita. Sebenarnya dia bukanlah orang seperti itu. Secara teratur dia selalu membuang barang-barang yang tidak terpakai lagi. Kamarnya kawan saya pun terlihat paling rapi dan bersih. Tapi apakah ada gunanya ketika di luar kamarnya tersebut ternyata "neraka"? Dia bercerita bahwa seisi rumahnya tersebut adalah tipe-tipe yang bisa langsung memarahinya jika dia berusaha merapikan dan membuang barang-barang tersebut. Intinya, selama barang tersebut bukan miliknya, tidak perlu peduli apakah itu sampah atau bukan. Taruh dan tumpuk saja dulu... Bahkan terorganisir pun tidak sama sekali. Dari mulai perintilan sekrup bekas yang berkarat hingga struk ATM yang sudah tidak terlihat lagi tulisannya, bertebaran dimana-mana. Gila...
Kawan saya pun paham kegelisahan saya. Dia bercerita bahwa dia memang dalam waktu secepat mungkin ingin merantau, bahkan jika perlu membeli rumah sendiri. Saya pun mendukung impiannya tersebut. Saya selalu mendukung orang-orang yang memiliki sikap mental positif, betapapun di sekelilingnya adalah manusia-manusia bermental negatif. Justru orang-orang seperti itu harus terus kita dorong untuk bergerak ke tempat lain yang lebih positif dan kondusif bagi perkembangan jiwanya.
Rumah adalah tempat dimana kita meletakkan jiwa dan hati kita. Ketika rumah sudah membuat kita tidak nyaman, lalu di mana lagikah kita akan mencari kenyamanan? Rumah teman? Mal? Kafe? Kantor?
Sangat kontras dengan saya. Setiap pagi setelah melakukan beberapa pekerjaan rumah, secara berkala saya melakukan review terhadap semua sudut rumah, khususnya untuk melihat barang-barang yang ada di setiap penjuru rumah. Ada barang yang bisa segera saya buang, ya saya buang. Ada barang yang sekiranya masih berguna untuk jangka menengah atau jangka panjang, ya saya rapikan dan organisir, entah masuk kotak plastik atau dus yang rapi. Ada barang yang masih terus terpakai, saya letakkan dengan rapi, bersihkan dan cek fungsinya.
Bagi saya ini adalah hal yang sangat sederhana. Saya mengerjakannya dengan penuh cinta dan semangat. Saya selalu berpikir bahwa rumah adalah salah satu bentuk kasih Tuhan terhadap saya dan keluarga saya. Oleh karena itu saya TIDAK AKAN PERNAH menjadikan rumah saya sebagai tempat sampah atau TPA. Saya pastikan rumah saya yang kecil, justru terasa lega dan nyaman bagi kami dan bahkan bagi tamu-tamu yang berkunjung. Rumah saya tidak mewah, tapi nyaman dan sehat.
Semuanya dimulai dari keteraturan-keteraturan kecil yang kita lakukan secara teratur, penuh kesadaran dan penuh rasa cinta akan hal-hal yang baik (passion). Kesemua keteraturan tersebut hanya akan optimal terlaksana jika kita sudah sukses menjadi morning person, yaitu orang yang tidak lagi bersungut-sungut ketika harus bangun pagi. Bangun pagi sudah menjadi refleks, bangun pagi sudah menjadi kebutuhan. Itulah tujuannya.
Selalu Memeriksa dan Memastikan Fungsi Apapun di Sekeliling Kita
Inilah yang juga sering tidak dilakukan oleh kebanyakan orang, lagi-lagi hanya karena tidak terbiasa dan tidak dibiasakan sejak awal.
Contohnya telah saya kemukakan di atas, misalnya dalam hal angka meteran listrik pra-bayar. Kita semua tahu bahwa meteran listrik pra-bayar bisa mengeluarkan bunyi yang mengganggu tetangga jika pulsa listriknya menjelang minim atau habis. Misalnya sebelum kita berangkat kerja kita tidak periksa angkanya, lalu siangnya berbunyi hingga malam karena angkanya menjadi minim, maka tetanggalah yang terganggu. Tetangga seringkali bertoleransi dan tidak mempermasalahkan bunyi tersebut. Namun jika kita bisa tidak mengganggu tetangga, mengapa tidak kita lakukan? Periksalah, dan isilah sebelum berbunyi. Sesederhana itu.
Atau misalnya kunci jendela rumah kita yang tidak bisa mengunci dengan benar karena sudah berumur lama. Wajib langsung diperbaiki, wajib langsung diberikan tindakan. Bagaimana ceritanya jika pas kita bekerja dan rumah kosong, lalu jendela rumah kita tiba-tiba terbuka karena kuncinya sudah tidak bisa menahan rapat jendelanya? Maling dengan gampangnya masuk rumah. Padahal tadinya itu berawal dari hal kecil yang tidak kita inspeksi dan tidak kita segera tindak.
Demikian juga dengan motor atau mobil kita. Selalu ceklah, kapan kita harus memasukkannya ke bengkel untuk servis berkala. Begitu ada masalah kecil, langsung beri tindakan. Misalnya, susah distater. Langsung bertindaklah ke bengkel, periksa saja. Jangan sampai pas pagi-pagi kita buru-buru berangkat kerja, ternyata sama sekali tidak bisa distater. Ini lebih konyol. Sekali lagi, hanya karena hal kecil yang tidak kita segera tindak.
Selalu isilah tangki bensin kita hingga penuh. Ketika saya harus mengemudikan mobil, saya selalu suka jika tangki bensinnya penuh atau minimal setengah tangki lebih. Begitu menuju setengah tangki, langsung saya pergi ke pom bensin untuk memenuhinya. Saya benci mengemudikan mobil dengan tangki kosong. Saya selalu senang jika mobil yang saya kendarai, selalu siap kemana saja kapan saja dengan tangki bensin yang terisi penuh. Oleh karena itu saya paling eneg dengan orang yang ogah, malas atau gemar menunda mengisi tangki bensin mobilnya disaat isinya sudah tinggal sedikit. Karena apa? Disaat kita sedang terburu-buru dan terhadang kemacetan, eh masih harus mampir ke pom bensin untuk isi bensin, antri panjang pula. Ini namanya brengsek. Jika ada waktu luang atau pom bensin kosong, ISILAH BENSIN. Jangan antri isi bensin ketika sedang injury time terburu-buru ke suatu tempat. Itu sangat menjengkelkan.
Atau misalnya ban motor atau ban mobil kita yang terus kempes selama beberapa hari, padahal dipompa terus. Cek, apakah ada kebocoran kecil? Jangan sampai ban tersebut benar-benar bocor parah hingga rusak, ketika malam dan hujan. Tidak mau mengalami itu kan? Makanya, awalilah dari hal-hal kecil yang kita lakukan dengan benar, dan kita lakukan tindakan yang diperlukan, sesegera mungkin. JANGAN MENUNDA APAPUN.
Kesimpulan dan Penutup
Cerita panjang-lebar di artikel ini, jika kita tarik benang merahnya, sesungguhnya bermuara pada tiga hal saja, yaitu:
- Apa yang kita lakukan dengan kesadaran.
- Apa yang kita lakukan dengan pengharapan baik.
- Apa yang kita lakukan dengan disiplin.
Apa bukti cinta kita pada keluarga? Kesadaran, pengharapan baik dan disiplin.
Apa bukti cinta kita pada diri sendiri? Kesadaran, pengharapan baik dan disiplin.
Apa bukti cinta kita pada bangsa ini? Kesadaran, pengharapan baik dan disiplin.
Contohnya, ketika kita memperlakukan rumah kita selayaknya istana; itulah kesadaran, itulah pengharapan baik kita, dan itulah disiplin kita. Di semua bidang kehidupan lainnya pun berlaku demikian adanya. Sesederhana itu.
Marilah kita terus melatih jiwa, pikiran dan mentalitas kita menuju ketiga keluhuran tersebut. Generasi anak-anak kita sungguh membutuhkan orangtua yang selalu sadar, selalu berpengharapan baik dan selalu berdisiplin akan hidupnya; agar bisa menjadi teladan baik bagi kehidupan mereka yang semakin keras dan sulit ke depannya.
0 Response to "Hal-Hal Baik Dimulai Dari Indahnya Pagi Hari"
Post a Comment