Idealisasi Konsep Integritas (Bag. 8: Hasil - Konduite)
Thursday, September 29, 2016
Add Comment
Pepatah lama mengatakan bahwa nama baik adalah segalanya. Dalam banyak kejadian, nama baik seringkali menjadi "harta terakhir" seseorang atau sebuah organisasi yang sedang terperosok kedalam kesukaran-kesukaran kehidupan. Lalu mengapa konduite, reputasi atau nama baik ini sedemikian pentingnya bagi kita semua, baik di tingkatan personal maupun tingkatan korporasi? Karena kita semua tahu, mempertahankan nama baik selama-lamanya adalah pekerjaan yang sangat sulit; lebih sulit daripada ketika kita memperjuangkan untuk meraih nama baik tersebut pertama kalinya.
Konduite didefinisikan sebagai sebentuk ketaatan seseorang atau sebuah organisasi terhadap berbagai peraturan, norma dan batas-batas legal-sosiologis yang melingkupi dirinya. Ketaatan terhadap peraturan atau otoritas yang lebih besar dari diri seseorang / organisasi, sering dilihat sebagai salah satu dari aspek terpenting kualitas pribadi seseorang / sebuah organisasi.
Namun sebelum lebih jauh membicarakan perihal konduite, marilah kita lihat kembali bagan idealisasi konsep integritas yang telah saya susun dan pergunakan dari sejak artikel bagian pertama.
Misalnya, konduite seorang karyawan. Konduite seseorang tersebut dikatakan baik ketika yang bersangkutan dikenal sebagai karyawan yang disiplin, absen selalu tertib, dan menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan tepat waktu.
Di ruang lingkup pekerjaan lain yang tidak menuntut ketepatan waktu absen, konduite bisa dilihat dalam perspektif penghantaran hasil kerja yang tepat waktu dan tepat kualitasnya. Misalnya, seorang desainer grafis yang mendapatkan pekerjaan dari klien. Mau sang desainer grafis itu bangun siang, atau jungkir balik, atau dugem terus selama berhari-hari; klien jelas tidak peduli. Yang klien pedulikan adalah apakah sang desainer grafis tersebut berhasil memenuhi tenggat waktu pekerjaannya. Apakah sang desainer grafis tersebut membuat karyanya sesuai ekspektasi sang klien? Jika sang desainer grafis tersebut berhasil memenuhi keduanya, maka konduitenya di mata klien akan baik adanya. Perihal perilaku pribadinya, itu adalah urusan pribadi sang desainer grafis.
Atau misalnya di ruang lingkup pengusaha atau pemilik perusahaan. Konduite seorang pemilik perusahaan dikatakan baik jika ia memperlakukan karyawannya dengan baik, dan memperlakukan komitmen pembayaran ke pihak-pihak ketiga dengan baik. Misalnya janji bayar ke pemasok bahan baku dalam 2 minggu, tapi kenyataannya mulur pembayaran hingga satu bulan; tentu itu bukan merupakan konduite yang baik bagi sang pemilik perusahaan tersebut. Karena betapapun dia berkuasa sebagai seorang pemilik perusahaan, tapi ia juga terikat pada sejumlah norma dan kesepakatan legal-sosial yang melingkupinya.
Selain sebagai salah satu bentuk kerendahan hati, konduite yang baik atas diri seseorang juga merupakan sebuah kesadaran penuh, bahwa sehebat apapun dirinya, tanpa ketaatan yang baik atas kesepakatan-kesepakatan luhur yang melingkupi dirinya; maka kehebatan dirinya tersebut menjadi sia-sia.
Intinya adalah konduite merupakan sebuah kualitas yang bukan saja tercermin dari proses-proses yang berjalan, melainkan juga tercermin dari hasil. Bahkan di jaman sekarang, ada sejumlah badan dunia dengan kredibilitas tinggi yang dapat memberikan label resmi pada sebuah proses atau sebuah hasil, mengenai seberapa besarnyakah konduite perusahaan tersebut pada kepatuhan akan norma proses dan norma hasil.
Contohnya adalah badan dunia bernama ISO (International Standard Organization). ISO banyak mengeluarkan sertifikasi bagi perusahaan yang telah memenuhi kriteria proses tertentu atau kriteria hasil tertentu. Sehingga misalnya sebuah perusahaan telah mendapatkan sertifikat ISO dengan kode tertentu, maka konsumen dapat menyimpulkan dengan pasti bahwa perusahaan tersebut telah patuh & memenuhi sejumlah kriteria ketat akan standar tertentu. Standar ISO pun secara berkala diaudit, sehingga memastikan konsistensi perusahaan tersebut akan kualitas proses dan kualitas hasil produknya.
Pertanyaan yang suka muncul adalah: Setelah ada azas Best Practice, lalu mengapa harus ada aspek konduite sebuah produk hingga ada standarisasinya? Jawabannya adalah begini...
Best Practice adalah sebuah norma, bukan sesuatu yang terstandarisasi dan dapat dilihat kasat mata oleh kita semua. Selain itu Best Practice bersifat relatif. Best Practice di sebuah perusahaan, belum tentu merupakan Best Practice di perusahaan lain; betapapun mereka menjalankan format bisnis, proses dan produk yang nyaris identik. Best Practice masih dipengaruhi oleh banyak variabel, misalnya persepsi, kultur dan kondisi keuangan perusahaan.
Maka dari itulah norma Best Practice harus dituangkan kedalam standar-standar internasional yang universal dan mudah dipahami oleh kalangan awam sekalipun. Selain agar konsumen mendapatkan kepastian standar kualitas produk yang mereka gunakan, juga agar kenaikan standar Best Practice dapat selalu diikuti oleh semua industri terkait. Sehingga kualitas proses maupun kualitas hasil pun dapat meningkat secara keseluruhan.
Dengan konduite yang terstandarisasi secara internasional, diharapkan seluruh industri menjadi terpacu untuk meningkatkan konduitenya masing-masing. Konsumen pun diuntungkan dengan produk dan jasa yang berkualitas; pada akhirnya pun roda ekonomi berputar dengan sehat.
Kesimpulannya, Best Practice adalah norma & idealisasi. Sedangkan semacam ISO, Six Sigma atau standar-standar manajemen korporasi lainnya; adalah sebuah kualifikasi dunia nyata yang terkuantifikasi.
Di tingkatan personal, konduite juga sama pentingnya untuk diperhatikan. Memang benar bahwa tidak ada patokan atau standar yang kasat mata akan konduite di tingkatan personal. Tapi orang-orang di sekeliling kita akan mengenal kita dari apa yang kita konduite-kan kepada mereka. Konduite di tingkatan personal umumnya disebut sebagai reputasi. Baik konduite yang terstandarisasi di tingkatan perusahaan atau bisnis, maupun konduite di tingkatan personal; keduanya dibangun diatas prinsip yang sama, yaitu: ketika dijalankan dengan baik, bisa membangun tingkat kredibilitas yang tinggi, dan nama baik yang berkualitas. Kredibilitas dan nama baik itulah yang kelak akan memudahkan kita disaat kejayaan, dan bisa menyelamatkan kita disaat penuh kesukaran.
Sebagai contoh di tingkatan personal, misalnya kita dikenal sebagai karyawan yang selalu tepat waktu. Sehingga ketika ada kejadian tak terduga dan kita harus terlambat datang ke kantor, proses pemintaan ijin terlambat kita tidak akan dipersulit oleh HRD kantor kita. Karena seisi kantor kita mengenal kita sebagai orang yang tepat waktu. Sehingga ketika kita tidak tepat waktu, sudah pasti ada kesulitan yang kita alami. Orang-orang jadi lebih longgar kepada kita disaat-saat tersulit yang kita alami.
Atau misalnya dalam hal kebiasaan membalas pesan. Saya mengenal dan pernah bekerja bersama seorang Founder dan Owner perusahaan besar, yang SELALU membalas pesan saya, betapapun saya bukanlah siapa-siapa di dalam ruang lingkup bisnisnya, dibandingkan dengan kenalan-kenalannya yang kelas berat. Tapi saya juga kenal beberapa kawan saya yang - maaf-maaf saja - hidupnya belum kemana-mana, tapi membalas pesan saja kadang terasa sulit, tampak sok sibuk.
Saya di sini tidak sedang membicarakan pembalasan pesan yang harus instan seketika. Bagi saya tidak masalah jika seseorang tersebut baru membalas pesan beberapa jam kemudian, atau mungkin keesokan harinya. Yang saya perhatikan adalah konten pesannya. Yang teramat tidak saya sukai adalah mereka yang beberapa kali sudah membaca pesan (Read / centang ganda biru di WhatsApp) tapi tidak meresponnya sama sekali, walaupun sudah berhari-hari berlalu.
Dari situ dapat kita simpulkan bahwa menjaga konduite atau nama baik, sesungguhnya didasari dari niat baik dan kerendahan hati terlebih dahulu. Setelah dua fondasi itu ada, hal-hal teknis mudah sekali mengikuti setelahnya.
Sehingga jika dalam contoh kasus diatas tersebut, kawan saya yang penggede itu tidak membalas pesan, saya memakluminya. Karena selama ini dia selalu membalas pesan. Sehingga saya lebih mudah berpikir positif, misalnya dia mungkin sibuk, atau sedang ke luar negeri, atau sinyal bermasalah, dan potensi sebab lainnya. Mengapa ini terjadi? Karena kawan saya ini memiliki "tabungan" atau "deposito" konduite yang banyak dalam hal komunikasi.
Tapi jika saya menghadapi kawan-kawan saya yang memang sok sibuk tersebut, ketika mereka tidak membalas pesan, secara manusiawi dan secara logika juga, saya sudah "menghakimi" dulu mereka, misalnya: ah sok sibuk loe. Mengapa terjadi demikian? Karena kawan saya ini tidak memiliki "tabungan" atau "deposito" konduite atas masalah komunikasi dalam dirinya.
Di tingkatan perusahaan juga demikian. Misalnya sebuah merek mobil sudah terkenal sebagai produsen mobil yang berkualitas. Sehingga ketika ada cacat produksi dan merek tersebut melakukan penarikan produk dari pasar, mayoritas konsumen tidak mengeluh. Karena konsumen mengenal merek tersebut dengan standar produksi yang ketat dan komitmen kepada konsumen yang tinggi. Sehingga ketika ada masalah terjadi secara masal, konsumen lebih longgar dan lebih mudah memaklumi.
Inilah yang disebut sebagai "deposito" atau "tabungan" konduite / reputasi / nama baik. Ada kalanya hal buruk terjadi, dan "tabungan" tersebut bisa menyelamatkan kita dari masalah yang lebih besar disaat-saat sulit tersebut.
Maka benarlah pepatah ini: keraslah terhadap diri sendiri, maka kehidupan ini akan melunak pada kita. Lunaklah terhadap diri sendiri, maka kehidupan ini akan menjadi keras terhadap kita.
Siapapun yang sejak awal telah sepenuh hati menjaga konduite, reputasi dan nama baiknya; mungkin kadang sambil bercucuran air mata dan keringat; kelak akan menuai itu dengan senyuman.
Konduite didefinisikan sebagai sebentuk ketaatan seseorang atau sebuah organisasi terhadap berbagai peraturan, norma dan batas-batas legal-sosiologis yang melingkupi dirinya. Ketaatan terhadap peraturan atau otoritas yang lebih besar dari diri seseorang / organisasi, sering dilihat sebagai salah satu dari aspek terpenting kualitas pribadi seseorang / sebuah organisasi.
Namun sebelum lebih jauh membicarakan perihal konduite, marilah kita lihat kembali bagan idealisasi konsep integritas yang telah saya susun dan pergunakan dari sejak artikel bagian pertama.
Di ruang lingkup pekerjaan lain yang tidak menuntut ketepatan waktu absen, konduite bisa dilihat dalam perspektif penghantaran hasil kerja yang tepat waktu dan tepat kualitasnya. Misalnya, seorang desainer grafis yang mendapatkan pekerjaan dari klien. Mau sang desainer grafis itu bangun siang, atau jungkir balik, atau dugem terus selama berhari-hari; klien jelas tidak peduli. Yang klien pedulikan adalah apakah sang desainer grafis tersebut berhasil memenuhi tenggat waktu pekerjaannya. Apakah sang desainer grafis tersebut membuat karyanya sesuai ekspektasi sang klien? Jika sang desainer grafis tersebut berhasil memenuhi keduanya, maka konduitenya di mata klien akan baik adanya. Perihal perilaku pribadinya, itu adalah urusan pribadi sang desainer grafis.
Atau misalnya di ruang lingkup pengusaha atau pemilik perusahaan. Konduite seorang pemilik perusahaan dikatakan baik jika ia memperlakukan karyawannya dengan baik, dan memperlakukan komitmen pembayaran ke pihak-pihak ketiga dengan baik. Misalnya janji bayar ke pemasok bahan baku dalam 2 minggu, tapi kenyataannya mulur pembayaran hingga satu bulan; tentu itu bukan merupakan konduite yang baik bagi sang pemilik perusahaan tersebut. Karena betapapun dia berkuasa sebagai seorang pemilik perusahaan, tapi ia juga terikat pada sejumlah norma dan kesepakatan legal-sosial yang melingkupinya.
Selain sebagai salah satu bentuk kerendahan hati, konduite yang baik atas diri seseorang juga merupakan sebuah kesadaran penuh, bahwa sehebat apapun dirinya, tanpa ketaatan yang baik atas kesepakatan-kesepakatan luhur yang melingkupi dirinya; maka kehebatan dirinya tersebut menjadi sia-sia.
Intinya adalah konduite merupakan sebuah kualitas yang bukan saja tercermin dari proses-proses yang berjalan, melainkan juga tercermin dari hasil. Bahkan di jaman sekarang, ada sejumlah badan dunia dengan kredibilitas tinggi yang dapat memberikan label resmi pada sebuah proses atau sebuah hasil, mengenai seberapa besarnyakah konduite perusahaan tersebut pada kepatuhan akan norma proses dan norma hasil.
Contohnya adalah badan dunia bernama ISO (International Standard Organization). ISO banyak mengeluarkan sertifikasi bagi perusahaan yang telah memenuhi kriteria proses tertentu atau kriteria hasil tertentu. Sehingga misalnya sebuah perusahaan telah mendapatkan sertifikat ISO dengan kode tertentu, maka konsumen dapat menyimpulkan dengan pasti bahwa perusahaan tersebut telah patuh & memenuhi sejumlah kriteria ketat akan standar tertentu. Standar ISO pun secara berkala diaudit, sehingga memastikan konsistensi perusahaan tersebut akan kualitas proses dan kualitas hasil produknya.
Pertanyaan yang suka muncul adalah: Setelah ada azas Best Practice, lalu mengapa harus ada aspek konduite sebuah produk hingga ada standarisasinya? Jawabannya adalah begini...
Best Practice adalah sebuah norma, bukan sesuatu yang terstandarisasi dan dapat dilihat kasat mata oleh kita semua. Selain itu Best Practice bersifat relatif. Best Practice di sebuah perusahaan, belum tentu merupakan Best Practice di perusahaan lain; betapapun mereka menjalankan format bisnis, proses dan produk yang nyaris identik. Best Practice masih dipengaruhi oleh banyak variabel, misalnya persepsi, kultur dan kondisi keuangan perusahaan.
Maka dari itulah norma Best Practice harus dituangkan kedalam standar-standar internasional yang universal dan mudah dipahami oleh kalangan awam sekalipun. Selain agar konsumen mendapatkan kepastian standar kualitas produk yang mereka gunakan, juga agar kenaikan standar Best Practice dapat selalu diikuti oleh semua industri terkait. Sehingga kualitas proses maupun kualitas hasil pun dapat meningkat secara keseluruhan.
Dengan konduite yang terstandarisasi secara internasional, diharapkan seluruh industri menjadi terpacu untuk meningkatkan konduitenya masing-masing. Konsumen pun diuntungkan dengan produk dan jasa yang berkualitas; pada akhirnya pun roda ekonomi berputar dengan sehat.
Kesimpulannya, Best Practice adalah norma & idealisasi. Sedangkan semacam ISO, Six Sigma atau standar-standar manajemen korporasi lainnya; adalah sebuah kualifikasi dunia nyata yang terkuantifikasi.
Di tingkatan personal, konduite juga sama pentingnya untuk diperhatikan. Memang benar bahwa tidak ada patokan atau standar yang kasat mata akan konduite di tingkatan personal. Tapi orang-orang di sekeliling kita akan mengenal kita dari apa yang kita konduite-kan kepada mereka. Konduite di tingkatan personal umumnya disebut sebagai reputasi. Baik konduite yang terstandarisasi di tingkatan perusahaan atau bisnis, maupun konduite di tingkatan personal; keduanya dibangun diatas prinsip yang sama, yaitu: ketika dijalankan dengan baik, bisa membangun tingkat kredibilitas yang tinggi, dan nama baik yang berkualitas. Kredibilitas dan nama baik itulah yang kelak akan memudahkan kita disaat kejayaan, dan bisa menyelamatkan kita disaat penuh kesukaran.
Sebagai contoh di tingkatan personal, misalnya kita dikenal sebagai karyawan yang selalu tepat waktu. Sehingga ketika ada kejadian tak terduga dan kita harus terlambat datang ke kantor, proses pemintaan ijin terlambat kita tidak akan dipersulit oleh HRD kantor kita. Karena seisi kantor kita mengenal kita sebagai orang yang tepat waktu. Sehingga ketika kita tidak tepat waktu, sudah pasti ada kesulitan yang kita alami. Orang-orang jadi lebih longgar kepada kita disaat-saat tersulit yang kita alami.
Atau misalnya dalam hal kebiasaan membalas pesan. Saya mengenal dan pernah bekerja bersama seorang Founder dan Owner perusahaan besar, yang SELALU membalas pesan saya, betapapun saya bukanlah siapa-siapa di dalam ruang lingkup bisnisnya, dibandingkan dengan kenalan-kenalannya yang kelas berat. Tapi saya juga kenal beberapa kawan saya yang - maaf-maaf saja - hidupnya belum kemana-mana, tapi membalas pesan saja kadang terasa sulit, tampak sok sibuk.
Saya di sini tidak sedang membicarakan pembalasan pesan yang harus instan seketika. Bagi saya tidak masalah jika seseorang tersebut baru membalas pesan beberapa jam kemudian, atau mungkin keesokan harinya. Yang saya perhatikan adalah konten pesannya. Yang teramat tidak saya sukai adalah mereka yang beberapa kali sudah membaca pesan (Read / centang ganda biru di WhatsApp) tapi tidak meresponnya sama sekali, walaupun sudah berhari-hari berlalu.
Dari situ dapat kita simpulkan bahwa menjaga konduite atau nama baik, sesungguhnya didasari dari niat baik dan kerendahan hati terlebih dahulu. Setelah dua fondasi itu ada, hal-hal teknis mudah sekali mengikuti setelahnya.
Sehingga jika dalam contoh kasus diatas tersebut, kawan saya yang penggede itu tidak membalas pesan, saya memakluminya. Karena selama ini dia selalu membalas pesan. Sehingga saya lebih mudah berpikir positif, misalnya dia mungkin sibuk, atau sedang ke luar negeri, atau sinyal bermasalah, dan potensi sebab lainnya. Mengapa ini terjadi? Karena kawan saya ini memiliki "tabungan" atau "deposito" konduite yang banyak dalam hal komunikasi.
Tapi jika saya menghadapi kawan-kawan saya yang memang sok sibuk tersebut, ketika mereka tidak membalas pesan, secara manusiawi dan secara logika juga, saya sudah "menghakimi" dulu mereka, misalnya: ah sok sibuk loe. Mengapa terjadi demikian? Karena kawan saya ini tidak memiliki "tabungan" atau "deposito" konduite atas masalah komunikasi dalam dirinya.
Di tingkatan perusahaan juga demikian. Misalnya sebuah merek mobil sudah terkenal sebagai produsen mobil yang berkualitas. Sehingga ketika ada cacat produksi dan merek tersebut melakukan penarikan produk dari pasar, mayoritas konsumen tidak mengeluh. Karena konsumen mengenal merek tersebut dengan standar produksi yang ketat dan komitmen kepada konsumen yang tinggi. Sehingga ketika ada masalah terjadi secara masal, konsumen lebih longgar dan lebih mudah memaklumi.
Inilah yang disebut sebagai "deposito" atau "tabungan" konduite / reputasi / nama baik. Ada kalanya hal buruk terjadi, dan "tabungan" tersebut bisa menyelamatkan kita dari masalah yang lebih besar disaat-saat sulit tersebut.
Maka benarlah pepatah ini: keraslah terhadap diri sendiri, maka kehidupan ini akan melunak pada kita. Lunaklah terhadap diri sendiri, maka kehidupan ini akan menjadi keras terhadap kita.
Siapapun yang sejak awal telah sepenuh hati menjaga konduite, reputasi dan nama baiknya; mungkin kadang sambil bercucuran air mata dan keringat; kelak akan menuai itu dengan senyuman.
0 Response to "Idealisasi Konsep Integritas (Bag. 8: Hasil - Konduite)"
Post a Comment