KMK: Ngusilin Tukang Bakso Tahu Resek
Thursday, March 30, 2017
Add Comment
Bagi yang tidak atau kurang mengenal saya secara pribadi, pasti menganggap saya sebagai orang yang terlalu serius dan tidak suka humor. Deuh... salah besar deh, hahaha... Sebenernya jauh di dalem hati saya, saya tuh humoris dan suka ngusilin orang laen; setidaknya dulu ya... Akan ada beberapa seri artikel yang akan menceritakan kejahilan saya di masa kecil, ini salah satunya. Oh ya, maksud dari judul artikel ini "KMK" adalah singkatan dari Kenakalan Masa Kecil.
Jaman dulu saya kecil di tahun 80an akhir dan 90an awal, boleh dikatakan saya sangat puas dan bahagia bermain secara fisik bersama dengan anak-anak tetangga saya. Jika dihitung dari ujung ke ujung jalanan rumah masa kecil saya, totalnya ada sekitar 12 orang anak-anak nakal yang sering bermain di luar rumah, dan semuanya cowo... ada juga anak-anak cewenya, tapi mereka jarang bermain bersama kami.
Yang paling sering bermain bersama saya adalah dua orang tetangga samping rumah dan tetangga belakang rumah, namanya Bodi dan Budi. Ini nama beneran loh, dan emang nama pasaran banget, hahaha... Saya menulis artikel ini salah satunya untuk mengenang mereka berdua juga yang sudah entah kemana riwayatnya kini.
Jadi ketika banyak anak lelaki berdatangan main ke dekat rumah saya atau di pekarangan, selalu ada seorang tukang bakso tahu siomay yang lewat. Sebenarnya saya sudah lupa namanya, tapi sebut saja namanya Pak Ujang, agar memudahkan saya bercerita. Pak Ujang sudah tua. Jaman saya masih SD saja, umurnya sudah tampak tua, dan badannya pun agak bungkuk. Ciri khasnya yang paling saya ingat adalah dia selalu menggunakan topi koboy dan sepatu bot karet, mungkin untuk menghadapi panas dan hujan yang menerpa selama dia berdagang.
Sebenarnya bakso tahu yang dijualnya enak sekali, walaupun agak mahal. Saya harus ijin dulu ke Ayah dan Ibu saya jika mau membelinya, itupun belum tentu diijinkan. Kalaupun diijinkan, banyak syaratnya. Harus makan nasi dulu lah, harus ngerjain PR dulu lah, harus tidur siang lah, yah pokoknya ribet deh, hahaha...
Sayangnya, perilaku Pak Ujang kadang menyebalkan bagi anak-anak. Selain judes, kadang dia juga suka seperti menghalau atau menyuruh kami minggir ketika dia lewat dengan gerobaknya, padahal kami tengah asik-asiknya bermain. Yah namanya anak kecil, melihat orang tua, ya terpaksa menurut. Tapi dalam hati kami selalu gatal ingin membalas dendam padanya, ha ha ha...
Hingga pada suatu sore, momen itu datang... dag dig dug...
Jadi rencananya begini. Saya, Bodi dan Budi sudah sepakat dan kompakan untuk menjahili Pak Ujang. Rencana telah kami susun, bahwa jika dia datang, kita akan beri dia pelajaran ringan. Kami bertiga menyusun strategi dan jalan keluarnya untuk rencana itu terlaksana. Tenang saja, kami tidak berbuat kriminal koq, hanya kejahilan standar saja...
Nah, dari apa yang kami bertiga pelajari, ada satu kebiasaan Pak Ujang jika gerobaknya sedang nongkrong di dekat rumah saya. Setelah gerobaknya mapan di satu posisi yang tetap, dia akan berjalan-jalan ke rumah-rumah sembari membunyikan kentongan kayu kecil di tangannya, berharap ada yang membeli dagangannya. Biasanya memang ada beberapa orang yang membelinya. Seperti apa yang saya katakan tadi, bakso tahunya memang enak dan pas sekali disantap ketika sore menjelang.
Dengan suka adanya orang-orang yang keluar rumah untuk membeli bakso tahunya, kurun waktu kami untuk melaksanakan rencana kejahilan tersebut sudah pasti sangat singkat, harus sekejap. Selain itu rencana ini adalah rahasia kami bertiga, agar tidak ada yang membocorkannya ke Pak Ujang. Kami sama sekali tidak memberitahukan rencana kejahilan ini ke siapapun juga, bahkan ke kawan-kawan sepermainan kami.
Dari ujung gang, sore itu kami bertiga sudah melihat Pak Ujang datang. Saya, Bodi dan Budi sudah saling memberi kode untuk bersiaga "menyambut" Pak Ujang. Kami berpura-pura bermain, dan seperti biasa, Pak Ujang dengan judesnya menyuruh kami minggir agar gerobaknya bisa lewat. Kami senyum-senyum saja, membayangkan Pak Ujang panik setelah kami jahili, hahaha...
Nah, Pak Ujang sudah merapat ke dekat rumah saya. Kami bertiga bersiaga untuk bergerak melaksanakan rencana. Kami yakin saat itu kami bertiga sedang deg-degan luar biasa...
Sesuai kebiasaan Pak Ujang, dia berkeliling dahulu ke rumah-rumah sembari membunyikan kentongannya. Nah, kebetulan sekali, dia pergi dulu ke gang samping rumah saya, sehingga dia tidak bisa melihat gerobaknya. Wahhh, mulus sekali, pikir kami...
Setelah dia masuk gang tersebut dan kami bersiaga mengawasi seluruh bidang jalan, kebetulan sekali tidak ada orang lewat di detik-detik itu. Langsung dengan sigap kami bertiga mendatangi gerobaknya sesuai rencana. Bayangkan dulu bentuk pengukus bakso tahu, kan tutupnya berbentuk kerucut landai dengan pegangan. Ketika dibuka, ada sejumlah bakso tahu yang terus dihangatkan dengan kompor penanak.
Nah, Bodi membuka tutup pengukus bakso tersebut dan menggantungnya di paku pada gerobak Pak Ujang (seperti foto ilustrasi di atas). Maka tersembul kumpulan bakso tahu lezat tersebut. Eitsss, tapi kami bukan maling ya, ha ha ha... Kami hanya ingin menjahili Pak Ujang saja, tidak lebih. Setelah pengukusnya terbuka, saya dan Budi dengan sigap mengambil masing-masing tiga unit piring di gerobaknya, dan langsung menelengkupkan piring bertumpuk tersebut ke atas pengukusnya yang tengah terbuka. Jadi total ada enam piring terbalik yang bertumpuk diatas bakso-bakso tahu di pengukusnya yang tengah terbuka, ha ha ha...
Dan kami biarkan saja pengukusnya terbuka. Seingat saya, aksi penyergapan tersebut memakan waktu tidak lebih dari 30 detik. Seolah didukung oleh situasi yang sepi di jalan tersebut, rencana itu berjalan sangat mulus tanpa ada yang tahu. Segera setelah beraksi, kami sembunyi di rumah masing-masing. Keuntungan dari posisi rumah kami bertiga adalah baik saya, Bodi maupun Budi dapat melihat gerobak Pak Ujang ini dari rumah masing-masing, sehingga kami dapat langsung melihat dari jauh ekspresi Pak Ujang jika mendapati gerobaknya telah kami oprek.
Saya langsung naik ke loteng rumah saya dan menatap lekat-lekat gerobak Pak Ujang tersebut. Ternyata ada 1-2 orang tetangga yang mendekati gerobaknya sambil terheran-heran dengan pengukus yang terbuka dengan enam piring tertelengkup di atasnya, ha ha ha...
Saya tertawa terbahak-bahak sendiri di loteng sambil melihat dua tetangga saya keheranan setengah mati dengan kondisi gerobak Pak Ujang. Nah, Pak Ujang sudah berjalan menuju gerobaknya dari gang samping rumah saya. Setelah Pak Ujang tiba di gerobaknya, mukanya pucat pasi sambil kaget, ditambah lagi dengan dua tetangga saya yang kaget. Hadeuhhh saya benar-benar tertawa terbahak-bahak sambil tertahan dibalik jendela rumah saya, mengamati pemandangan itu...
Dan yang lebih membuat saya tertawa lagi adalah Pak Ujang yang mengira itu adalah perampokan bakso tahunya, ha ha ha... dengan sigap dia menghitung jumlah bakso tahunya di pengukusnya itu. Ada beberapa orang tetangga lagi yang datang ke gerobaknya untuk membelinya, tidak kalah herannya dan terkejutnya dengan Pak Ujang yang tampak panik sambil berulang-ulang menghitung jumlah bakso tahunya di pengukusnya, ha ha ha ha ha ha...
Nah, saya masih terus tertawa ketika muka Pak Ujang berubah menjadi heran, mengerenyitkan dahinya, karena apa? Karena tidak ada satupun bakso tahu yang hilang, ha ha ha...
Dengan muka keheranan, Pak Ujang melayani para pembeli, sambil mulutnya komat-kamit, mungkin menggerutu dan curhat kepada para pembelinya karena merasa dizolimi, ha ha ha...
Yang tidak saya duga, makin lama makin banyak orang yang mengerumuni gerobak Pak Ujang, dan dia semakin bersemangat menceritakan kronologis kejadian tersebut... terbayangkah, saya semakin terpingkal-pingkal?
Ketegangan pun menurun, dan Pak Ujang langsung pergi setelah melayani pembeli terakhir. Tanpa dikomando, saya dan Budi beranjak ke rumah Bodi untuk membicarakan kejadian tadi, sambil tertawa terus hingga sakit perut...
Keesokan harinya tidak kalah lucu lagi. Kami bertiga tengah bermain, dan Pak Ujang pun datang seperti biasanya. Tapi yang tidak biasa adalah kini dia tidak lagi tengil terhadap anak-anak yang sedang bermain. Memang tidak lantas dia menjadi ramah dan murah senyum, tapi minimal dia tidak bersikap tengil lagi. Dia lewat begitu saja, tapi kami tahu harga dirinya tersakiti dengan kejadian kemarin sore, ha ha ha ha ha ha...
Selain itu ketika gerobaknya menepi seperti biasa di dekat rumah saya, dia sama sekali tidak berani meninggalkan gerobaknya. Dia mengubah caranya memanggil calon pembeli bakso tahunya, dengan memukul-mukul kentongannya di dekat gerobaknya, tidak berkeliling seperti biasanya. Mungkin dia kuatir gerobaknya disergap lagi, ha ha ha...
Setelah kejadian lucu itu, Pak Ujang masih tetap suka berkunjung ke jalanan rumah masa kecil saya tersebut. Tapi selanjutnya saya sudah lupa riwayat Pak Ujang. Kalaupun Pak Ujang sudah meninggal, semoga dia sudah tenang bersama-Nya di alam sana. Maafkan kami ya Pak Ujang, anak-anak nakal ini... Saya akan selalu mengenang bakso tahu Pak Ujang yang lezat dan berselera...
Jaman dulu saya kecil di tahun 80an akhir dan 90an awal, boleh dikatakan saya sangat puas dan bahagia bermain secara fisik bersama dengan anak-anak tetangga saya. Jika dihitung dari ujung ke ujung jalanan rumah masa kecil saya, totalnya ada sekitar 12 orang anak-anak nakal yang sering bermain di luar rumah, dan semuanya cowo... ada juga anak-anak cewenya, tapi mereka jarang bermain bersama kami.
Yang paling sering bermain bersama saya adalah dua orang tetangga samping rumah dan tetangga belakang rumah, namanya Bodi dan Budi. Ini nama beneran loh, dan emang nama pasaran banget, hahaha... Saya menulis artikel ini salah satunya untuk mengenang mereka berdua juga yang sudah entah kemana riwayatnya kini.
Jadi ketika banyak anak lelaki berdatangan main ke dekat rumah saya atau di pekarangan, selalu ada seorang tukang bakso tahu siomay yang lewat. Sebenarnya saya sudah lupa namanya, tapi sebut saja namanya Pak Ujang, agar memudahkan saya bercerita. Pak Ujang sudah tua. Jaman saya masih SD saja, umurnya sudah tampak tua, dan badannya pun agak bungkuk. Ciri khasnya yang paling saya ingat adalah dia selalu menggunakan topi koboy dan sepatu bot karet, mungkin untuk menghadapi panas dan hujan yang menerpa selama dia berdagang.
Sebenarnya bakso tahu yang dijualnya enak sekali, walaupun agak mahal. Saya harus ijin dulu ke Ayah dan Ibu saya jika mau membelinya, itupun belum tentu diijinkan. Kalaupun diijinkan, banyak syaratnya. Harus makan nasi dulu lah, harus ngerjain PR dulu lah, harus tidur siang lah, yah pokoknya ribet deh, hahaha...
Sayangnya, perilaku Pak Ujang kadang menyebalkan bagi anak-anak. Selain judes, kadang dia juga suka seperti menghalau atau menyuruh kami minggir ketika dia lewat dengan gerobaknya, padahal kami tengah asik-asiknya bermain. Yah namanya anak kecil, melihat orang tua, ya terpaksa menurut. Tapi dalam hati kami selalu gatal ingin membalas dendam padanya, ha ha ha...
Hingga pada suatu sore, momen itu datang... dag dig dug...
Jadi rencananya begini. Saya, Bodi dan Budi sudah sepakat dan kompakan untuk menjahili Pak Ujang. Rencana telah kami susun, bahwa jika dia datang, kita akan beri dia pelajaran ringan. Kami bertiga menyusun strategi dan jalan keluarnya untuk rencana itu terlaksana. Tenang saja, kami tidak berbuat kriminal koq, hanya kejahilan standar saja...
Nah, dari apa yang kami bertiga pelajari, ada satu kebiasaan Pak Ujang jika gerobaknya sedang nongkrong di dekat rumah saya. Setelah gerobaknya mapan di satu posisi yang tetap, dia akan berjalan-jalan ke rumah-rumah sembari membunyikan kentongan kayu kecil di tangannya, berharap ada yang membeli dagangannya. Biasanya memang ada beberapa orang yang membelinya. Seperti apa yang saya katakan tadi, bakso tahunya memang enak dan pas sekali disantap ketika sore menjelang.
Dengan suka adanya orang-orang yang keluar rumah untuk membeli bakso tahunya, kurun waktu kami untuk melaksanakan rencana kejahilan tersebut sudah pasti sangat singkat, harus sekejap. Selain itu rencana ini adalah rahasia kami bertiga, agar tidak ada yang membocorkannya ke Pak Ujang. Kami sama sekali tidak memberitahukan rencana kejahilan ini ke siapapun juga, bahkan ke kawan-kawan sepermainan kami.
Dari ujung gang, sore itu kami bertiga sudah melihat Pak Ujang datang. Saya, Bodi dan Budi sudah saling memberi kode untuk bersiaga "menyambut" Pak Ujang. Kami berpura-pura bermain, dan seperti biasa, Pak Ujang dengan judesnya menyuruh kami minggir agar gerobaknya bisa lewat. Kami senyum-senyum saja, membayangkan Pak Ujang panik setelah kami jahili, hahaha...
Nah, Pak Ujang sudah merapat ke dekat rumah saya. Kami bertiga bersiaga untuk bergerak melaksanakan rencana. Kami yakin saat itu kami bertiga sedang deg-degan luar biasa...
Sesuai kebiasaan Pak Ujang, dia berkeliling dahulu ke rumah-rumah sembari membunyikan kentongannya. Nah, kebetulan sekali, dia pergi dulu ke gang samping rumah saya, sehingga dia tidak bisa melihat gerobaknya. Wahhh, mulus sekali, pikir kami...
Setelah dia masuk gang tersebut dan kami bersiaga mengawasi seluruh bidang jalan, kebetulan sekali tidak ada orang lewat di detik-detik itu. Langsung dengan sigap kami bertiga mendatangi gerobaknya sesuai rencana. Bayangkan dulu bentuk pengukus bakso tahu, kan tutupnya berbentuk kerucut landai dengan pegangan. Ketika dibuka, ada sejumlah bakso tahu yang terus dihangatkan dengan kompor penanak.
Foto: Istimewa |
Dan kami biarkan saja pengukusnya terbuka. Seingat saya, aksi penyergapan tersebut memakan waktu tidak lebih dari 30 detik. Seolah didukung oleh situasi yang sepi di jalan tersebut, rencana itu berjalan sangat mulus tanpa ada yang tahu. Segera setelah beraksi, kami sembunyi di rumah masing-masing. Keuntungan dari posisi rumah kami bertiga adalah baik saya, Bodi maupun Budi dapat melihat gerobak Pak Ujang ini dari rumah masing-masing, sehingga kami dapat langsung melihat dari jauh ekspresi Pak Ujang jika mendapati gerobaknya telah kami oprek.
Saya langsung naik ke loteng rumah saya dan menatap lekat-lekat gerobak Pak Ujang tersebut. Ternyata ada 1-2 orang tetangga yang mendekati gerobaknya sambil terheran-heran dengan pengukus yang terbuka dengan enam piring tertelengkup di atasnya, ha ha ha...
Saya tertawa terbahak-bahak sendiri di loteng sambil melihat dua tetangga saya keheranan setengah mati dengan kondisi gerobak Pak Ujang. Nah, Pak Ujang sudah berjalan menuju gerobaknya dari gang samping rumah saya. Setelah Pak Ujang tiba di gerobaknya, mukanya pucat pasi sambil kaget, ditambah lagi dengan dua tetangga saya yang kaget. Hadeuhhh saya benar-benar tertawa terbahak-bahak sambil tertahan dibalik jendela rumah saya, mengamati pemandangan itu...
Dan yang lebih membuat saya tertawa lagi adalah Pak Ujang yang mengira itu adalah perampokan bakso tahunya, ha ha ha... dengan sigap dia menghitung jumlah bakso tahunya di pengukusnya itu. Ada beberapa orang tetangga lagi yang datang ke gerobaknya untuk membelinya, tidak kalah herannya dan terkejutnya dengan Pak Ujang yang tampak panik sambil berulang-ulang menghitung jumlah bakso tahunya di pengukusnya, ha ha ha ha ha ha...
Nah, saya masih terus tertawa ketika muka Pak Ujang berubah menjadi heran, mengerenyitkan dahinya, karena apa? Karena tidak ada satupun bakso tahu yang hilang, ha ha ha...
Dengan muka keheranan, Pak Ujang melayani para pembeli, sambil mulutnya komat-kamit, mungkin menggerutu dan curhat kepada para pembelinya karena merasa dizolimi, ha ha ha...
Yang tidak saya duga, makin lama makin banyak orang yang mengerumuni gerobak Pak Ujang, dan dia semakin bersemangat menceritakan kronologis kejadian tersebut... terbayangkah, saya semakin terpingkal-pingkal?
Ketegangan pun menurun, dan Pak Ujang langsung pergi setelah melayani pembeli terakhir. Tanpa dikomando, saya dan Budi beranjak ke rumah Bodi untuk membicarakan kejadian tadi, sambil tertawa terus hingga sakit perut...
Keesokan harinya tidak kalah lucu lagi. Kami bertiga tengah bermain, dan Pak Ujang pun datang seperti biasanya. Tapi yang tidak biasa adalah kini dia tidak lagi tengil terhadap anak-anak yang sedang bermain. Memang tidak lantas dia menjadi ramah dan murah senyum, tapi minimal dia tidak bersikap tengil lagi. Dia lewat begitu saja, tapi kami tahu harga dirinya tersakiti dengan kejadian kemarin sore, ha ha ha ha ha ha...
Selain itu ketika gerobaknya menepi seperti biasa di dekat rumah saya, dia sama sekali tidak berani meninggalkan gerobaknya. Dia mengubah caranya memanggil calon pembeli bakso tahunya, dengan memukul-mukul kentongannya di dekat gerobaknya, tidak berkeliling seperti biasanya. Mungkin dia kuatir gerobaknya disergap lagi, ha ha ha...
Setelah kejadian lucu itu, Pak Ujang masih tetap suka berkunjung ke jalanan rumah masa kecil saya tersebut. Tapi selanjutnya saya sudah lupa riwayat Pak Ujang. Kalaupun Pak Ujang sudah meninggal, semoga dia sudah tenang bersama-Nya di alam sana. Maafkan kami ya Pak Ujang, anak-anak nakal ini... Saya akan selalu mengenang bakso tahu Pak Ujang yang lezat dan berselera...
0 Response to "KMK: Ngusilin Tukang Bakso Tahu Resek"
Post a Comment