Tiga Hal yang Harus Berjodoh
Thursday, March 23, 2017
Add Comment
Bagi mereka yang uang dan waktunya sudah tidak lagi menjadi masalah, kelihatannya artikel ini bukan untuk Anda, karena Anda tidak akan mengalami apa yang saya paparkan di artikel ini. Pemaparan artikel ini umumnya terjadi pada hidup mereka yang uang dan waktunya masih harus terus diperjuangkan setiap harinya. Saya pun mengalaminya sendiri, dan berpikir bahwa saya harus membagikan pemikiran ini demi masa depan orang-orang lain diluar sana yang lebih baik.
Dalam hidup kita ini, sudah jelas bahwa setiap orang tidak bisa memiliki atau memperoleh apapun yang mereka mau, betapapun jelas-jelas kemampuannya ada. Sejumlah orang yang beruntung karena punya banyak uang dan banyak waktu bisa saja mematahkan argumen ini, walaupun pada akhirnya kita semua tahu bahwa mereka pun tidak bisa mendapatkan apapun. Bedanya adalah mereka yang punya banyak uang dan banyak waktu, bisa lebih mudah dalam memperoleh atau menjalankan banyak hal. Tapi tetap, bukan lantas mereka bisa meraih segala-galanya dalam hidup ini. Realitas inilah yang pertama-tama harus kita sadari.
Orang jaman dulu menyebutnya sebagai takdir, atau garis tangan. Orang Cina Daratan menyebutnya sebagai Feng Shui. Beberapa orang lain (dan saya juga) menyebutnya sebagai perjodohan. Intinya, ada sejumlah hal dalam hidup ini yang pemenuhan atau pencapaiannya harus berjodoh dalam titik-temu dan keselarasan yang baik.
Maksudnya, banyak hal dalam hidup ini yang telah kita perjuangkan sedemikian rupanya, tetap tidak kesampaian kita peroleh. Tetapi banyak juga hal dalam hidup ini yang kita biarkan apa adanya seperti air mengalir, dan kita bisa memperolehnya (tentunya dengan sejumlah usaha terlebih dahulu).
Saya dapati bahwa pemenuhan tiga hal ini harus berjodoh:
Persahabatan & Perjodohan
Ini adalah hal paling lumrah dan paling diketahui banyak orang, yang harus berjodoh terlebih dahulu. Tapi betapapun demikian, masih banyak orang yang tidak atau belum bisa menerima realitas ini, dan selalu berpikir bahwa persahabatan atau perjodohan yang diperjuangkan setengah mati, sudah pasti langgeng. Percayalah dengan saya, ini tidaklah sesederhana itu. Kita ini manusia, ada sisi sederhananya, ada sisi kompleksnya. Terimalah realitas ini, bahwa tidak semua persahabatan & perjodohan yang kita perjuangkan mati-matian, akan membuahkan hasil yang kita harapkan.
Oleh sebab itu, jalani saja persahabatan dan perjodohan seperti air mengalir... Maksudnya, bukan berarti kita pasrah atau hanyut tenggelam didalamnya, tetapi berenanglah. Sesekali berenang melawan arus, sesekali istirahat menepi, tapi mayoritas waktu kita pasti akan berenang dengan mengikuti arus air. Menurut apa yang saya alami dalam hidup saya, seperti inilah seharusnya kita memandang persahabatan dan perjodohan.
Bergaulah dengan sebanyak-banyaknya orang, habiskanlah waktu dengan mereka yang bisa membawa kita ke tingkatan kehidupan dan kebijaksanaan yang lebih tinggi lagi, dan fokuskanlah hidup kita pada mereka yang memang benar-benar mau bersahabat dengan kita dan telah menunjukkan usaha nyatanya secara timbal-balik untuk itu.
Dalam hal persahabatan ini saya merasa beruntung, karena saya tergolong orang yang soliter alias senang menyendiri. Saya sangat menikmati kemana-mana sendirian saja, makan di restoran pun sendiri, nonton sendiri pun asik-asik saja, bahkan dulu saya ke gunung sendirian juga. Bahkan hingga saat ini setelah saya menjalani pernikahan dalam waktu lama pun, saya tetap menikmati kesendirian saya, jika memang tidak sedang berjalan bersama keluarga saya.
Dengan demikian, saya dari dulunya secara otomatis memang sudah memandang persahabatan sebagai hal yang harus berjodoh dan tidak perlu dipaksakan. Jika seorang sahabat memang ditakdirkan untuk terus berada bersama kita, dia akan tinggal didalam hidup kita apapun yang terjadi, dan kita tidak perlu mati-matian berkeringat darah untuk mempertahankannya.
Demikian pula jika persahabatan itu memang tidak berjodoh. Mau sampe keringetan darah pun kita berusaha mempertahankannya, persahabatan itu akan tetap berakhir.
Sehingga saya bisa yakin bahwa sahabat-sahabat dalam hidup saya yang jumlahnya sedikit itu, memang mereka yang telah bulat memutuskan untuk tetap bersahabat dengan saya, apapun yang terjadi dalam hubungan persahabatan kita. Sesederhana itu. Dan buat saya ini jauh lebih membahagiakan ketimbang memiliki banyak "sahabat" tapi ternyata semu. Saya yakin banyak dari kita yang setuju dengan hal ini.
Satu hal terpenting adalah bahwa semua sahabat saya tersebut, dengan keputusan mereka untuk tetap ada di dalam hidup saya, tentu merupakan orang-orang yang bisa menghargai prinsip-prinsip hidup saya dan kebiasaan-kebiasaan saya dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan mereka. Inilah poin terpenting dalam sebuah hubungan persahabatan. Namun untuk itu ya jelas, kita harus punya prinsip hidup. Orang berprinsip akan bersahabat dengan orang yang juga berprinsip. Sebaliknya, orang yang tidak berprinsip akan menarik bagi mereka yang juga tidak berprinsip. Logikanya (dan kenyataannya juga) sesederhana itu.
Misalnya begini. Saya tidak merokok dan saya tidak suka dengan bau rokok. Jika bukan sahabat, sudah pasti dia akan merokok sembarangan di depan saya. Tapi para sahabat saya paham dengan prinsip saya dan mereka tidak akan merokok ngebul di depan saya. Dan tentunya saya memilih untuk tidak berdekatan atau menghabiskan waktu dengan mereka yang perokok berat. Bukan karena saya tidak suka orangnya, ya tapi karena saya tidak tahan dengan bau asap rokok. Simpel saja.
Demikian juga dengan saling menghargai dalam hal komunikasi. Saya bukanlah orang yang harus terus-terusan disapa agar persahabatan tetap terjaga. Saya tuh tipe orang yang bisa saja tidak saling sapa sebulan penuh misalnya, tapi sekalinya saling sapa, bisa ngobrol berjam-jam. Saya mementingkan kualitas komunikasi, bukan frekuensinya. Saya tidak masalah dengan saling berdiam, selama hati dan pikiran kita damai.
Jadi ketika ada teman yang tipenya ingin terus disapa setiap hari, ya bisa dipastikan hubungannya hanya akan singkat bersama saya.
Demikian juga ketika saya berkomunikasi dengan seseorang, jika ternyata komunikasinya mampet atau tidak nyaman, ya buat apa juga saya mati-matian berusaha mempertahankan hubungan itu kan? Sekali lagi, saya sangat diuntungkan dengan karakter saya yang soliter, sehingga saya nothing to lose dalam berkawan dengan semua orang, tidak ada beban apapun.
Nah, hal yang sama juga seharusnya kita aplikasikan pada dunia percintaan. Sama persis. Bedanya, di hubungan percintaan, sudah melibatkan perasaan, sehingga biasanya lebih susah move on ketika terjadi sesuatu. Pada hubungan percintaan, reflek alamiah kita adalah berusaha mati-matian mempertahankan sebuah hubungan percintaan yang jelas-jelas tidak mungkin lagi untuk diteruskan.
Ini wajar saja terutama jika kita masih muda. Tapi dengan semakin menuanya dan dewasanya kita, sudah seharusnya kita bisa memandang sebuah hubungan percintaan secara matang & dewasa juga.
Siapapun yang benar-benar mencintai kita, akan melakukan upaya yang sama baiknya dengan kita sendiri, secara otomatis, secara timbal-balik, demi mempertahankan hubungan tersebut; apakah itu hubungan persahabatan atau percintaan. Dewasalah, terimalah, dan biasakanlah diri kita dengan realitas ini.
Pekerjaan & Bisnis
Bagi saya yang setiap harinya masih harus bekerja, dan pernah mengundurkan diri, pernah juga dipecat karena office politics, pernah juga susah sekali mencari pekerjaan; dapat saya simpulkan bahwa pekerjaan pun harus berjodoh.
Saya pernah menganggur selama setahun dan telah melayangkan lebih dari 400 lamaran kerja dan menghadiri sekitar 20 wawancara kerja, hasilnya nihil belaka. Padahal bagi yang sudah mengenal saya, background dan karir saya gak jelek-jelek amat. Saya pun selalu mencari informasi tentang bagaimana seharusnya kita menjalani sebuah wawancara kerja dalam berbagai kondisi. Namun tetap saja, saya sendiri kadang tidak bisa menjawab dengan tegas dan pasti kenapa hal itu terjadi dengan saya.
Jika saya pikir bahwa sulitnya saya mendapatkan pekerjaan itu dikarenakan kemampuan berbahasa Inggris saya termasuk biasa saja, lah itu banyak kawan saya yang lebih-lebih lagi tidak mahir berbahasa Inggris (saya tidak bermaksud merendahkan, tapi saya dapati sendiri kenyataannya memang demikian), malah karirnya bagus dan terus meningkat. Dan demikian juga dengan variabel-variabel lainnya, tetap tidak masuk dalam logika saya.
Hingga tiba saatnya pada suatu hari, ada kenalan lama saya bertemu di sebuah event pameran, kita saling sapa dan ngobrol sejenak, dan dia langsung MENAWARKAN posisi di perusahaan yang dia pimpin, tanpa ada pembicaraan sebelumnya yang mengarah ke topik itu. Gayung pun bersambut, dan saya bekerja cukup lama di perusahaan tersebut. Padahal saya dan dia sudah lama sekali tidak berkomunikasi, dan dia tidak terlalu tahu perihal saya yang sedang menganggur dan memang sedang mencari pekerjaan, karena saya memang tidak menceritakannya padanya.
Saya begitu berterimakasih padanya hingga disaat saya mengundurkan diri dan terakhir kali bertemu dengannya, saya katakan ini: Pak, saya tidak akan pernah melupakan hari dimana Bapak menyapa saya dan menawarkan pekerjaan ini pada saya. Terima kasih sudah pernah menjadi malaikat penolong dalam hidup saya. Namun hidup saya berubah, dan saya harus terus berjalan melanjutkan hidup saya. Sukses selalu ya Pak...
Saya mengalami kejadian seperti ini bukan satu kali saja. Itulah sebabnya kenapa saya katakan bahwa setidaknya dari apa yang saya alami secara pribadi, pekerjaan itu haruslah berjodoh. Harus ada waktunya. Harus ada tempatnya. Pekerjaanlah yang memilih kita, sebenarnya bukan kita yang memilih pekerjaan.
Sehebat apapun background dan pengalaman karir kita, jika memang belum berjodoh, kita meladeni wawancara dengan 12 bahasa asing pun, pekerjaan itu tidak akan kita dapatkan. Tapi jika memang sudah jodoh, kita bersikap biasa saja pun, pekerjaan itu akan kita dapatkan. Inilah realitasnya.
Namun jangan salah paham. Saya tidak sedang mengatakan bahwa kita tidak perlu mengerahkan seluruh upaya terbaik kita dalam mencari dan menggeluti pekerjaan kita. Pada akhirnya, pendidikan, pengalaman dan keahlian khusus yang kita miliki, bisa sangat mempermudah perjodohan kita dengan pekerjaan-pekerjaan diluar sana. Mereka yang memang background dan karirnya mengkilap, dapat saya pastikan akan lebih mudah berjodoh dengan banyak pilihan pekerjaan. Namun ujungnya tetaplah harus berjodoh.
Ini ibaratnya kita yang harus berjodoh dengan pacar kita kelak. Misalnya kita ini adalah orang yang cerdas, sopan, mau bekerja keras; sudah pasti lebih gampang berjodoh dengan lebih banyak pilihan pasangan hidup. Intinya, tetap harus berjodoh. Semua karakter baik itu akan mempercepat dan mempermudah kita dalam berjodoh tersebut, dan oleh karenanya sangatlah penting bagi kita untuk selalu mengembangkan dan memelihara karakter-karakter baik tersebut dalam diri kita.
Itulah sebabnya kenapa bahkan orang-orang hebat di pekerjaan mereka pun, akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri pada suatu saat. Karena bisa saja awalnya mereka memang berjodoh, namun kelak di masa depan, mereka sudah tidak berjodoh lagi. Ini adalah hal yang lumrah dan wajar saja di dunia korporasi.
Sehingga dengan demikian, wajar saja jika saya bukanlah tipe pekerja yang bisa menggadaikan prinsip dan karakter saya hanya demi mempertahankan karir saya di sebuah kantor. Untuk beberapa saat lamanya bisa saja hal itu saya lakukan, tapi biasanya tidak lama. Ketika ada hal-hal yang mengingkari prinsip atau nurani saya, saya putuskan untuk tidak berlama-lama berada di situ.
Banyak orang mengatakan bahwa saya cengeng, terlalu idealis, kadang lebay dalam menanggapi office politics. Saya katakan pada mereka bahwa saya justru bisa jadi karyawan yang sangat penurut dan sangat adaptif dalam lingkungan beracun yang dipenuhi politik kotor. Tapi saya juga memiliki batas waktu dan batasan spiritual yang tidak bisa saya langgar. Karena apa? Karena saya selalu percaya, sesulit apapun saya mencari pekerjaan, Tuhan akan selalu memelihara saya dan mencukupkan rejeki saya bahkan disaat-saat tersulit sekalipun.
Bahkan saya mengalami bahwa teman-teman saya yang tadinya bahkan tidak pernah saling sapa, justru membantu saya dengan bantuan nyata disaat-saat tersulit hidup saya. Demikian juga dengan saudara-saudara saya.
Jadi saya bisa mengatakan pada mereka, bahwa ya puji Tuhan, anak dan istri saya hidup normal dan cukup makan dengan pendidikan yang baik, ada tempat berteduh yang layak, tanpa saya harus menjadi penjilat atau yang menggadaikan nurani saya demi bertahan di pekerjaan saya. Saya memang bukan pekerja yang karirnya setinggi langit, atau yang bisa membeli rumah mewah. Bukan. Saya hanyalah pekerja yang berusaha untuk selalu jujur dengan prinsip dan nurani saya, betapapun karenanya saya sesekali mendapatkan kesulitan.
Tapi bukankah kesulitan itu ada memang untuk kita hadapi demi mendewasakan dan mematangkan kita? Jadi, kenapa harus takut? Karena apakah kita memilih untuk memihak nurani kita atau memilih untuk mengingkari nurani kita; kedua pilihan tersebut sama-sama punya konsekuensi dan kesulitannya masing-masing. Dengan kita memilih untuk mengingkari nurani kita, tidak lantas hidup kita akan menjadi mudah dan mulus selalu. Jikapun seperti itu yang terjadi, biasanya waktunya tidak lama.
Padahal saya bukanlah orang yang segan bekerja kasar. Saya pernah berusaha melamar menjadi pelayan restoran, pencuci piring, loper koran, bahkan supir pribadi. Tapi toh pekerjaan itu tidak saya dapatkan juga, betapapun saya siap bekerja apapun dan dimanapun.
Karena apa? Ya karena harus berjodoh tadi. Pada akhirnya pun Tuhan selalu mempertemukan saya dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak saya duga akan saya dapatkan. Apakah saya bisa mengingkari hal itu? Jelas tidak.
Demikian juga dengan bisnis, pun harus berjodoh. Jodoh dengan bisnisnya, jodoh juga dengan rekan bisnisnya. Banyak kawan saya yang keturunan Tionghoa menamakannya sebagai Feng Shui di pekerjaan atau bisnis. Saya menyebutnya sebagai garis tangan. Intinya, tidak semua orang cocok untuk mengerjakan semua jenis bisnis. Bahkan mereka yang memiliki kekayaan luar biasa pun, memilih-milih dan memilah-milah bisnis yang akan mereka tekuni. Ini berlaku di seluruh dunia, tanpa memandang orangnya apakah orang Cina, Bule atau jenis ras apapun.
Apalagi dengan rekan bisnis, jelas harus berjodoh. Tidak selamanya rekan bisnis yang punya banyak duit atau punya banyak ide brilian, bisa cocok dengan kita dalam berbisnis atau menjalankan perusahaan. Tidak percaya? Maka Anda belum pernah benar-benar berbisnis bersama orang lain.
Realitas inilah yang SELALU disangkal oleh para pegiat bisnis MLM atau asuransi, dan saya sungguh tidak menyukainya. Saya bukannya tidak menyukai mereka yang menjalankan MLM atau asuransi, karena saya pun pernah menjalankannya. Saya hanya tidak menyukai doktrin banyak perusahaan MLM yang mengatakan bahwa siapapun bisa mengerjakan bisnis apapun jika memang mau. Buat saya, ini argumen yang sangat menyesatkan, apalagi jika ditambahi embel-embel bisa kaya-raya tanpa modal selangit. Ha ha ha ha ha...
Jika memang kenyataannya demikian, kenapa tidak semua orang saja menjalankan bisnis itu dan menjadi kaya semua sedunia? Semuanya berbahagia kan? Jika memang ada satu obat untuk semua penyakit, kenapa masih ada dokter dan penyakit di dunia ini? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Coba tanyakan logika sederhana ini pada mereka yang sedang berbulan-madu bersama bisnis MLM atau asuransi yang mereka jalankan.
Saya tidak sedang menjelekkan bisnis asuransi atau MLM. Saya hanya sedang menggugah akal sehat kita semua dalam melakukan semua hal, termasuk dalam melakukan bisnis. Apalagi jika dicitrakan bisnis tersebut modal kecil, mudah untuk dilakukan siapapun, dan bisa kaya-raya dalam waktu cepat. Akal sehat kita harus lebih keras bekerja terlebih dahulu, sebelum kita menyesal karena telah melakukannya dengan sia-sia belaka. Dan satu hal terpenting adalah bahwa tidak semua orang bisa dan berjodoh mengerjakan semua hal.
Terimalah kenyataan ini dengan lapang dada.
Setiap orang punya kehendak bebas, punya pilihan bebas, punya kelebihan atau keterbatasan fokus, dan punya kelebihan atau keterbatasan kemampuan ruang, waktu dan kondisi finansial. Masih banyak variabel lainnya. Jadi siapapun yang masih berpendapat bahwa siapapun bisa mengerjakan apapun, tolong stop sekarang juga pemikiran bodoh itu. Sadarlah. Dan yang lebih penting lagi, jangan menyesatkan atau mengelabui orang lain dengan delusi tersebut.
Sebaliknya, justru kita harus membimbing orang-orang di sekitar kita untuk memaksimalkan bakatnya dan fokus pada kemampuannya, bukan kelemahannya. Tuntunlah mereka bagaimana caranya agar mereka bisa lebih sukses dengan apa yang mereka lakukan dengan baik, betapapun hasil awalnya kecil, misalnya. Kita harus menginspirasi orang lain agar bertekun dengan segala kelebihan maupun keterbatasan mereka, bukannya malah membuat mereka bersedih dan menghujat hidup mereka karena merasa tidak mampu melakukan pekerjaan apapun dan dikatakan sebagai orang yang tidak mau sukses.
Rumah pun Wajib Berjodoh
Nah, inilah yang tidak dialami semua orang karena berbagai faktor. Adapun orang-orang yang tidak mengalami faktor jodoh dalam membeli rumah adalah mereka yang termasuk kedalam golongan ini:
Saya termasuk penganut aliran ini. Jika memang belum punya cukup uang atau masih banyak hutang, saya tidak mau memaksakan diri membeli rumah dengan cara KPR, betapapun misalnya saya bisa melakukannya dan bisa memperoleh persetujuan KPR-nya.
Buat saya, jika kita memang belum mampu membeli rumah, ya kontrak dulu saja. Titik. Memangnya kenapa dengan mengontrak rumah? Bukan kriminal kan? Malu? Malu sama siapa? Emangnya yang kita malukan tersebut membayarkan tagihan bulanan kita? Tidak kan? Aneh-aneh saja.
Jika mengontrak dan berpindah-pindah rumah terasa merepotkan, ya terimalah realitas itu. Solusinya adalah jangan membeli banyak barang dan perabotan yang tidak benar-benar penting dan fungsional. Lihat saja mereka di negara-negara maju, mayoritas justru mengontrak rumah atau apartemen dalam waktu lama. Mereka tidak melihat adanya masalah dengan hal itu.
Terutama generasi muda di negara-negara maju, banyak yang bahkan tidak mau samasekali membeli rumah. Mereka lebih tertarik dengan hidup bebas dari hutang dan tagihan bulanan, dan mereka tidak masalah dengan mengontrak rumah atau apartemen. Gagasan inilah yang sedari dulu saya anut.
Sekali lagi, ini adalah pengalaman saya pribadi belaka, sekaligus opini saya pribadi. Saya sama sekali tidak bermaksud menjelekkan siapapun yang memilih jalan berbeda untuk membeli rumah. Jadi marilah kita lanjutkan...
Di sekitar saya bertebaran mereka yang sebenarnya tidak punya cukup uang untuk membeli rumah secara tunai, dan kemudian memaksakan diri mereka mengambil KPR. Dasar argumen mereka sama semua: ambil rumah tidak ada ruginya, nilainya naik terus. Tenang saja, untuk argumen ini saya sangat setuju.
Masalah yang saya lihat dan saya alami adalah bahwa pekerjaan apapun yang kita lakukan, entah sebagai karyawan, entah sebagai pengusaha; tidak ada satupun yang menjanjikan kepastian absolut tanpa masalah sama sekali. Di dunia kepegawaian, sehebat apapun kita, namanya office politics, bisa menyebabkan siapapun terpental dari kursinya. Demikian juga dengan pengusaha, bisa saja sewaktu-waktu bangkrut. Justru sebagai pengusaha, ketidakpastiannya lebih besar dari daripada karyawan.
Oleh sebab itu sejumlah besar kawan saya yang merintis usaha sendiri, memilih untuk tidak berurusan dengan KPR bank. Selain karena persyaratannya dan prosedurnya lebih sulit untuk pengusaha ketimbang untuk karyawan, mereka juga berpikir hal yang sama dengan saya, yaitu ketidakpastian masa depan. Alangkah menyakitkannya jika kelak ada apa-apa dengan hidup kita sehingga tidak bisa membayar tagihan KPR, lalu rumah disita. Siapa yang paling diuntungkan? Jelas bank. Itu sudah pasti.
Secara logika, jauh lebih aman mengontrak rumah dahulu, atau selangkah demi selangkah membeli tanah kosong dulu, baru membangun rumah belakangan.
Nah, saya juga melihat bahwa banyak kawan saya yang sejak mereka menikah, hingga 10, 20 atau bahkan 30 tahun pernikahannya; mereka masih mengontrak rumah. Tapi begitu mereka memutuskan untuk membeli rumah, mereka membelinya secara tunai sekali jadi, dari uang hasil tabungan selama itu. Bahkan ada diantara mereka yang hobinya mencicil beli tanah petak demi petak di daerah yang tidak terlalu ramai, sehingga murah. Setelah terkumpul sejumlah petak, dibuatlah sertifikat utuh. Dalam pandangan dan pengalaman saya, ini lebih masuk akal dan aman bagi hidup kita. Saya mengalami sendiri betapa tidak stabilnya perjalanan karir saya. Jika saya terikat dengan KPR bank, ketika terjadi sesuatu dengan karir saya, mampus deh...
Wacana agar bisa segera membeli rumah dengan cara KPR adalah adagium yang terus dihembuskan oleh pengusaha properti dan pengusaha perbankan. Karena apa? Ya karena mereka bisa untung besar dari transaksi dan KPR tersebut. Memang benar bahwa membeli rumah, betapapun dengan cara kredit, tidak pernah ada ruginya, karena nilainya yang terus naik. Tapi pemikiran kita tidak seharusnya sesederhana itu, karena sekalinya kita kejeblos dengan urusan kredit perumahan, hitungan penderitaannya bisa saja hingga 15 atau 20 tahun kedepan, jika kita tidak mampu mengambil KPR yang durasinya singkat.
Yang akhirnya menderita dengan tagihan bulanan selama 20 tahun lebih, ya kita-kita juga. Percayalah, betapapun memang benar bahwa nilai tanah dan rumah selalu naik kedepannya, namun nilai kenaikannya itu sendiri tidak selalu pasti berapa besar. Itupun belum tentu dapat mengkompensasi "penderitaan finansial" kita selama puluhan tahun tersebut karena terikat dengan tagihan bulanan berjumlah besar. Padahal hidup tidaklah selalu semulus itu.
Hal-hal tak kasat mata inilah yang biasanya terlewatkan oleh kita semua. Kita hanya terpaku pada angka-angka yang ditawarkan oleh bank dan langsung menyetujuinya, hanya karena kita berpikir bahwa kita mampu memenuhi angka-angka itu disaat kita masih berjaya di pekerjaan atau bisnis kita.
Jadi buat saya, sembari menabung, dan mana tau kejatuhan hibah atau lotere, saya menunggu saja hingga jodoh itu datang bagi rumah saya.
Selama menunggu jodoh itu, saya bisa bekerja dengan tenang, dan lebih bisa menjadi diri saya sendiri. Jika saya mengalami demoralisasi di kantor, ya mengundurkan diri saja (tentunya setelah banyak berhitung dan memperhitungkan segala hal). Tidak perlu kuatir ini-itu karena harus membayar tagihan KPR bla bla bla. Saya juga bisa lebih tenang membangun usaha sendiri, jika saya tidak dihantui oleh tagihan bulanan. Karena membangun usaha sendiri membutuhkan ketajaman fokus yang luar biasa dari kita sebagai pendirinya.
Jika memang jodoh saya baru bisa membeli rumah tipe 21 atau 36 saja, saya lebih baik membelinya dengan tunai ketimbang membeli rumah yang lebih besar tapi dengan cara KPR. Rumah kecil yang memberikan ketenangan batin, tetap lebih baik daripada rumah besar yang ditopang oleh kegelisahan batin kita terus-menerus setiap harinya, setiap bulannya. Karena sejatinya rumah adalah seharusnya menjadi sumber ketenangan batin.
Darimana kita tahu bahwa tanah atau rumah tersebut merupakan jodoh kita? Ya seperti halnya jodoh dalam hal percintaan, persahabatan, pekerjaan atau karir; kita akan bisa merasakannya di batin kita. Memang sulit saya jelaskan, tapi bisa kita rasakan.
Bisa saja kita melihat sebidang tanah atau rumah yang pas dengan kantong kita, tapi kita tidak sreg. Hati kita mengatakan "tidak". Di lain waktu, ada tanah atau rumah yang sreg sekali, tapi kantong kita tidak cukup. Kita putuskan untuk menunda membelinya, untuk mengumpulkan uang dulu. Ketika ditengok 2 tahun kemudian, ternyata tanah atau rumah itu masih belum ada yang membelinya, dan harganya pun masih sama. Ternyata disaat itu kita bisa langsung membelinya secara tunai. Nah, inilah yang saya namakan sebagai tanah atau rumah yang memang berjodoh dengan kita.
Jadi, yang namanya berjodoh dengan tanah atau rumah itu, ya gak harus yang bisa saat itu juga langsung dibeli. Banyak kasus dimana mereka yang tadinya tidak bisa membeli tanah atau rumah yang mereka maui, mereka tunda beberapa saat, dan di masa depan mereka bisa membelinya tanpa harus berkeringat darah. Masih banyak contoh lainnya lagi.
Kesimpulan
Maaf sebelumnya jika ada kata-kata saya di artikel ini yang kurang berkenan. Sekali lagi, ini adalah opini pribadi saya dan juga pengalaman nyata yang saya alami. Sama sekali tidak ada maksud dari saya untuk merendahkan atau menjelekkan siapapun yang mengambil jalan berbeda dari saya.
Dengan kita sepenuhnya menyadari konsep perjodohan ini, secara otomatis kita bisa mengerjakan segala sesuatunya dengan lebih fokus, lebih tenang dan lebih terarah. Karena semuanya kembali kepada kita sendiri yang menjalaninya.
Ironisnya, orang-orang tercinta di sekitar kita seringkali tidak menyadari konsep perjodohan ini. Mereka bisa saja seringkali bertanya, kapan punya pacar, kapan menikah, kapan dapat pekerjaan yang cocok (padahal sudah intensif melamar pekerjaan kemana-mana), kapan punya rumah sendiri, dan masih banyak pertanyaan lainnya yang seringkali mengusik ketenangan hati kita.
Tentunya mereka tidak ada maksud jahat apapun dalam menanyakan hal itu. Terkadang malah mereka cuman iseng aja. Katakan saja bahwa kita sedang menjalani prosesnya, bukannya sedang berdiam diri. Yang orang-orang perlu ketahui hanyalah bahwa kita memang sedang mengusahakan segala sesuatunya, sedang berjalan, sedang berlari... bukan sedang duduk, tiarap atau tertidur. Karena setiap orang memiliki dan menjalani takdir masing-masing, dengan segala sukacita dan kesedihannya masing-masing pula.
Yang bisa kita hanyalah selalu mendukung dan mendorong mereka yang selalu berusaha menjalani takdirnya sendiri, membesarkan hatinya, memberinya pengharapan dan sukacita... bukannya malah terkesan mengintervensi secara tidak santun, menasihati (tanpa diminta) dan merendahkan dirinya.
Marilah kita menjadi sumber sukacita dan terang dalam hidup orang lain. Urusan perjodohan dalam tiga aspek ini adalah permulaannya saja. Selalu bantulah orang lain dalam saat-saat tersulit mereka sebelum mereka menemukan jodoh atau takdirnya, dalam hal apapun. Maka dunia dan alam ini akan membantu kita juga disaat-saat tergelap dalam kehidupan kita.
Dalam hidup kita ini, sudah jelas bahwa setiap orang tidak bisa memiliki atau memperoleh apapun yang mereka mau, betapapun jelas-jelas kemampuannya ada. Sejumlah orang yang beruntung karena punya banyak uang dan banyak waktu bisa saja mematahkan argumen ini, walaupun pada akhirnya kita semua tahu bahwa mereka pun tidak bisa mendapatkan apapun. Bedanya adalah mereka yang punya banyak uang dan banyak waktu, bisa lebih mudah dalam memperoleh atau menjalankan banyak hal. Tapi tetap, bukan lantas mereka bisa meraih segala-galanya dalam hidup ini. Realitas inilah yang pertama-tama harus kita sadari.
Maksudnya, banyak hal dalam hidup ini yang telah kita perjuangkan sedemikian rupanya, tetap tidak kesampaian kita peroleh. Tetapi banyak juga hal dalam hidup ini yang kita biarkan apa adanya seperti air mengalir, dan kita bisa memperolehnya (tentunya dengan sejumlah usaha terlebih dahulu).
Saya dapati bahwa pemenuhan tiga hal ini harus berjodoh:
- Persahabatan & percintaan
- Pekerjaan & bisnis
- Tanah & rumah
Persahabatan & Perjodohan
Ini adalah hal paling lumrah dan paling diketahui banyak orang, yang harus berjodoh terlebih dahulu. Tapi betapapun demikian, masih banyak orang yang tidak atau belum bisa menerima realitas ini, dan selalu berpikir bahwa persahabatan atau perjodohan yang diperjuangkan setengah mati, sudah pasti langgeng. Percayalah dengan saya, ini tidaklah sesederhana itu. Kita ini manusia, ada sisi sederhananya, ada sisi kompleksnya. Terimalah realitas ini, bahwa tidak semua persahabatan & perjodohan yang kita perjuangkan mati-matian, akan membuahkan hasil yang kita harapkan.
Oleh sebab itu, jalani saja persahabatan dan perjodohan seperti air mengalir... Maksudnya, bukan berarti kita pasrah atau hanyut tenggelam didalamnya, tetapi berenanglah. Sesekali berenang melawan arus, sesekali istirahat menepi, tapi mayoritas waktu kita pasti akan berenang dengan mengikuti arus air. Menurut apa yang saya alami dalam hidup saya, seperti inilah seharusnya kita memandang persahabatan dan perjodohan.
Bergaulah dengan sebanyak-banyaknya orang, habiskanlah waktu dengan mereka yang bisa membawa kita ke tingkatan kehidupan dan kebijaksanaan yang lebih tinggi lagi, dan fokuskanlah hidup kita pada mereka yang memang benar-benar mau bersahabat dengan kita dan telah menunjukkan usaha nyatanya secara timbal-balik untuk itu.
Dalam hal persahabatan ini saya merasa beruntung, karena saya tergolong orang yang soliter alias senang menyendiri. Saya sangat menikmati kemana-mana sendirian saja, makan di restoran pun sendiri, nonton sendiri pun asik-asik saja, bahkan dulu saya ke gunung sendirian juga. Bahkan hingga saat ini setelah saya menjalani pernikahan dalam waktu lama pun, saya tetap menikmati kesendirian saya, jika memang tidak sedang berjalan bersama keluarga saya.
Dengan demikian, saya dari dulunya secara otomatis memang sudah memandang persahabatan sebagai hal yang harus berjodoh dan tidak perlu dipaksakan. Jika seorang sahabat memang ditakdirkan untuk terus berada bersama kita, dia akan tinggal didalam hidup kita apapun yang terjadi, dan kita tidak perlu mati-matian berkeringat darah untuk mempertahankannya.
Demikian pula jika persahabatan itu memang tidak berjodoh. Mau sampe keringetan darah pun kita berusaha mempertahankannya, persahabatan itu akan tetap berakhir.
Sehingga saya bisa yakin bahwa sahabat-sahabat dalam hidup saya yang jumlahnya sedikit itu, memang mereka yang telah bulat memutuskan untuk tetap bersahabat dengan saya, apapun yang terjadi dalam hubungan persahabatan kita. Sesederhana itu. Dan buat saya ini jauh lebih membahagiakan ketimbang memiliki banyak "sahabat" tapi ternyata semu. Saya yakin banyak dari kita yang setuju dengan hal ini.
Satu hal terpenting adalah bahwa semua sahabat saya tersebut, dengan keputusan mereka untuk tetap ada di dalam hidup saya, tentu merupakan orang-orang yang bisa menghargai prinsip-prinsip hidup saya dan kebiasaan-kebiasaan saya dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan mereka. Inilah poin terpenting dalam sebuah hubungan persahabatan. Namun untuk itu ya jelas, kita harus punya prinsip hidup. Orang berprinsip akan bersahabat dengan orang yang juga berprinsip. Sebaliknya, orang yang tidak berprinsip akan menarik bagi mereka yang juga tidak berprinsip. Logikanya (dan kenyataannya juga) sesederhana itu.
Misalnya begini. Saya tidak merokok dan saya tidak suka dengan bau rokok. Jika bukan sahabat, sudah pasti dia akan merokok sembarangan di depan saya. Tapi para sahabat saya paham dengan prinsip saya dan mereka tidak akan merokok ngebul di depan saya. Dan tentunya saya memilih untuk tidak berdekatan atau menghabiskan waktu dengan mereka yang perokok berat. Bukan karena saya tidak suka orangnya, ya tapi karena saya tidak tahan dengan bau asap rokok. Simpel saja.
Demikian juga dengan saling menghargai dalam hal komunikasi. Saya bukanlah orang yang harus terus-terusan disapa agar persahabatan tetap terjaga. Saya tuh tipe orang yang bisa saja tidak saling sapa sebulan penuh misalnya, tapi sekalinya saling sapa, bisa ngobrol berjam-jam. Saya mementingkan kualitas komunikasi, bukan frekuensinya. Saya tidak masalah dengan saling berdiam, selama hati dan pikiran kita damai.
Jadi ketika ada teman yang tipenya ingin terus disapa setiap hari, ya bisa dipastikan hubungannya hanya akan singkat bersama saya.
Demikian juga ketika saya berkomunikasi dengan seseorang, jika ternyata komunikasinya mampet atau tidak nyaman, ya buat apa juga saya mati-matian berusaha mempertahankan hubungan itu kan? Sekali lagi, saya sangat diuntungkan dengan karakter saya yang soliter, sehingga saya nothing to lose dalam berkawan dengan semua orang, tidak ada beban apapun.
Nah, hal yang sama juga seharusnya kita aplikasikan pada dunia percintaan. Sama persis. Bedanya, di hubungan percintaan, sudah melibatkan perasaan, sehingga biasanya lebih susah move on ketika terjadi sesuatu. Pada hubungan percintaan, reflek alamiah kita adalah berusaha mati-matian mempertahankan sebuah hubungan percintaan yang jelas-jelas tidak mungkin lagi untuk diteruskan.
Ini wajar saja terutama jika kita masih muda. Tapi dengan semakin menuanya dan dewasanya kita, sudah seharusnya kita bisa memandang sebuah hubungan percintaan secara matang & dewasa juga.
Siapapun yang benar-benar mencintai kita, akan melakukan upaya yang sama baiknya dengan kita sendiri, secara otomatis, secara timbal-balik, demi mempertahankan hubungan tersebut; apakah itu hubungan persahabatan atau percintaan. Dewasalah, terimalah, dan biasakanlah diri kita dengan realitas ini.
Pekerjaan & Bisnis
Bagi saya yang setiap harinya masih harus bekerja, dan pernah mengundurkan diri, pernah juga dipecat karena office politics, pernah juga susah sekali mencari pekerjaan; dapat saya simpulkan bahwa pekerjaan pun harus berjodoh.
Saya pernah menganggur selama setahun dan telah melayangkan lebih dari 400 lamaran kerja dan menghadiri sekitar 20 wawancara kerja, hasilnya nihil belaka. Padahal bagi yang sudah mengenal saya, background dan karir saya gak jelek-jelek amat. Saya pun selalu mencari informasi tentang bagaimana seharusnya kita menjalani sebuah wawancara kerja dalam berbagai kondisi. Namun tetap saja, saya sendiri kadang tidak bisa menjawab dengan tegas dan pasti kenapa hal itu terjadi dengan saya.
Jika saya pikir bahwa sulitnya saya mendapatkan pekerjaan itu dikarenakan kemampuan berbahasa Inggris saya termasuk biasa saja, lah itu banyak kawan saya yang lebih-lebih lagi tidak mahir berbahasa Inggris (saya tidak bermaksud merendahkan, tapi saya dapati sendiri kenyataannya memang demikian), malah karirnya bagus dan terus meningkat. Dan demikian juga dengan variabel-variabel lainnya, tetap tidak masuk dalam logika saya.
Hingga tiba saatnya pada suatu hari, ada kenalan lama saya bertemu di sebuah event pameran, kita saling sapa dan ngobrol sejenak, dan dia langsung MENAWARKAN posisi di perusahaan yang dia pimpin, tanpa ada pembicaraan sebelumnya yang mengarah ke topik itu. Gayung pun bersambut, dan saya bekerja cukup lama di perusahaan tersebut. Padahal saya dan dia sudah lama sekali tidak berkomunikasi, dan dia tidak terlalu tahu perihal saya yang sedang menganggur dan memang sedang mencari pekerjaan, karena saya memang tidak menceritakannya padanya.
Saya begitu berterimakasih padanya hingga disaat saya mengundurkan diri dan terakhir kali bertemu dengannya, saya katakan ini: Pak, saya tidak akan pernah melupakan hari dimana Bapak menyapa saya dan menawarkan pekerjaan ini pada saya. Terima kasih sudah pernah menjadi malaikat penolong dalam hidup saya. Namun hidup saya berubah, dan saya harus terus berjalan melanjutkan hidup saya. Sukses selalu ya Pak...
Saya mengalami kejadian seperti ini bukan satu kali saja. Itulah sebabnya kenapa saya katakan bahwa setidaknya dari apa yang saya alami secara pribadi, pekerjaan itu haruslah berjodoh. Harus ada waktunya. Harus ada tempatnya. Pekerjaanlah yang memilih kita, sebenarnya bukan kita yang memilih pekerjaan.
Sehebat apapun background dan pengalaman karir kita, jika memang belum berjodoh, kita meladeni wawancara dengan 12 bahasa asing pun, pekerjaan itu tidak akan kita dapatkan. Tapi jika memang sudah jodoh, kita bersikap biasa saja pun, pekerjaan itu akan kita dapatkan. Inilah realitasnya.
Namun jangan salah paham. Saya tidak sedang mengatakan bahwa kita tidak perlu mengerahkan seluruh upaya terbaik kita dalam mencari dan menggeluti pekerjaan kita. Pada akhirnya, pendidikan, pengalaman dan keahlian khusus yang kita miliki, bisa sangat mempermudah perjodohan kita dengan pekerjaan-pekerjaan diluar sana. Mereka yang memang background dan karirnya mengkilap, dapat saya pastikan akan lebih mudah berjodoh dengan banyak pilihan pekerjaan. Namun ujungnya tetaplah harus berjodoh.
Ini ibaratnya kita yang harus berjodoh dengan pacar kita kelak. Misalnya kita ini adalah orang yang cerdas, sopan, mau bekerja keras; sudah pasti lebih gampang berjodoh dengan lebih banyak pilihan pasangan hidup. Intinya, tetap harus berjodoh. Semua karakter baik itu akan mempercepat dan mempermudah kita dalam berjodoh tersebut, dan oleh karenanya sangatlah penting bagi kita untuk selalu mengembangkan dan memelihara karakter-karakter baik tersebut dalam diri kita.
Itulah sebabnya kenapa bahkan orang-orang hebat di pekerjaan mereka pun, akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri pada suatu saat. Karena bisa saja awalnya mereka memang berjodoh, namun kelak di masa depan, mereka sudah tidak berjodoh lagi. Ini adalah hal yang lumrah dan wajar saja di dunia korporasi.
Sehingga dengan demikian, wajar saja jika saya bukanlah tipe pekerja yang bisa menggadaikan prinsip dan karakter saya hanya demi mempertahankan karir saya di sebuah kantor. Untuk beberapa saat lamanya bisa saja hal itu saya lakukan, tapi biasanya tidak lama. Ketika ada hal-hal yang mengingkari prinsip atau nurani saya, saya putuskan untuk tidak berlama-lama berada di situ.
Banyak orang mengatakan bahwa saya cengeng, terlalu idealis, kadang lebay dalam menanggapi office politics. Saya katakan pada mereka bahwa saya justru bisa jadi karyawan yang sangat penurut dan sangat adaptif dalam lingkungan beracun yang dipenuhi politik kotor. Tapi saya juga memiliki batas waktu dan batasan spiritual yang tidak bisa saya langgar. Karena apa? Karena saya selalu percaya, sesulit apapun saya mencari pekerjaan, Tuhan akan selalu memelihara saya dan mencukupkan rejeki saya bahkan disaat-saat tersulit sekalipun.
Bahkan saya mengalami bahwa teman-teman saya yang tadinya bahkan tidak pernah saling sapa, justru membantu saya dengan bantuan nyata disaat-saat tersulit hidup saya. Demikian juga dengan saudara-saudara saya.
Jadi saya bisa mengatakan pada mereka, bahwa ya puji Tuhan, anak dan istri saya hidup normal dan cukup makan dengan pendidikan yang baik, ada tempat berteduh yang layak, tanpa saya harus menjadi penjilat atau yang menggadaikan nurani saya demi bertahan di pekerjaan saya. Saya memang bukan pekerja yang karirnya setinggi langit, atau yang bisa membeli rumah mewah. Bukan. Saya hanyalah pekerja yang berusaha untuk selalu jujur dengan prinsip dan nurani saya, betapapun karenanya saya sesekali mendapatkan kesulitan.
Tapi bukankah kesulitan itu ada memang untuk kita hadapi demi mendewasakan dan mematangkan kita? Jadi, kenapa harus takut? Karena apakah kita memilih untuk memihak nurani kita atau memilih untuk mengingkari nurani kita; kedua pilihan tersebut sama-sama punya konsekuensi dan kesulitannya masing-masing. Dengan kita memilih untuk mengingkari nurani kita, tidak lantas hidup kita akan menjadi mudah dan mulus selalu. Jikapun seperti itu yang terjadi, biasanya waktunya tidak lama.
Padahal saya bukanlah orang yang segan bekerja kasar. Saya pernah berusaha melamar menjadi pelayan restoran, pencuci piring, loper koran, bahkan supir pribadi. Tapi toh pekerjaan itu tidak saya dapatkan juga, betapapun saya siap bekerja apapun dan dimanapun.
Karena apa? Ya karena harus berjodoh tadi. Pada akhirnya pun Tuhan selalu mempertemukan saya dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak saya duga akan saya dapatkan. Apakah saya bisa mengingkari hal itu? Jelas tidak.
Demikian juga dengan bisnis, pun harus berjodoh. Jodoh dengan bisnisnya, jodoh juga dengan rekan bisnisnya. Banyak kawan saya yang keturunan Tionghoa menamakannya sebagai Feng Shui di pekerjaan atau bisnis. Saya menyebutnya sebagai garis tangan. Intinya, tidak semua orang cocok untuk mengerjakan semua jenis bisnis. Bahkan mereka yang memiliki kekayaan luar biasa pun, memilih-milih dan memilah-milah bisnis yang akan mereka tekuni. Ini berlaku di seluruh dunia, tanpa memandang orangnya apakah orang Cina, Bule atau jenis ras apapun.
Apalagi dengan rekan bisnis, jelas harus berjodoh. Tidak selamanya rekan bisnis yang punya banyak duit atau punya banyak ide brilian, bisa cocok dengan kita dalam berbisnis atau menjalankan perusahaan. Tidak percaya? Maka Anda belum pernah benar-benar berbisnis bersama orang lain.
Realitas inilah yang SELALU disangkal oleh para pegiat bisnis MLM atau asuransi, dan saya sungguh tidak menyukainya. Saya bukannya tidak menyukai mereka yang menjalankan MLM atau asuransi, karena saya pun pernah menjalankannya. Saya hanya tidak menyukai doktrin banyak perusahaan MLM yang mengatakan bahwa siapapun bisa mengerjakan bisnis apapun jika memang mau. Buat saya, ini argumen yang sangat menyesatkan, apalagi jika ditambahi embel-embel bisa kaya-raya tanpa modal selangit. Ha ha ha ha ha...
Jika memang kenyataannya demikian, kenapa tidak semua orang saja menjalankan bisnis itu dan menjadi kaya semua sedunia? Semuanya berbahagia kan? Jika memang ada satu obat untuk semua penyakit, kenapa masih ada dokter dan penyakit di dunia ini? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Coba tanyakan logika sederhana ini pada mereka yang sedang berbulan-madu bersama bisnis MLM atau asuransi yang mereka jalankan.
Saya tidak sedang menjelekkan bisnis asuransi atau MLM. Saya hanya sedang menggugah akal sehat kita semua dalam melakukan semua hal, termasuk dalam melakukan bisnis. Apalagi jika dicitrakan bisnis tersebut modal kecil, mudah untuk dilakukan siapapun, dan bisa kaya-raya dalam waktu cepat. Akal sehat kita harus lebih keras bekerja terlebih dahulu, sebelum kita menyesal karena telah melakukannya dengan sia-sia belaka. Dan satu hal terpenting adalah bahwa tidak semua orang bisa dan berjodoh mengerjakan semua hal.
Terimalah kenyataan ini dengan lapang dada.
Setiap orang punya kehendak bebas, punya pilihan bebas, punya kelebihan atau keterbatasan fokus, dan punya kelebihan atau keterbatasan kemampuan ruang, waktu dan kondisi finansial. Masih banyak variabel lainnya. Jadi siapapun yang masih berpendapat bahwa siapapun bisa mengerjakan apapun, tolong stop sekarang juga pemikiran bodoh itu. Sadarlah. Dan yang lebih penting lagi, jangan menyesatkan atau mengelabui orang lain dengan delusi tersebut.
Sebaliknya, justru kita harus membimbing orang-orang di sekitar kita untuk memaksimalkan bakatnya dan fokus pada kemampuannya, bukan kelemahannya. Tuntunlah mereka bagaimana caranya agar mereka bisa lebih sukses dengan apa yang mereka lakukan dengan baik, betapapun hasil awalnya kecil, misalnya. Kita harus menginspirasi orang lain agar bertekun dengan segala kelebihan maupun keterbatasan mereka, bukannya malah membuat mereka bersedih dan menghujat hidup mereka karena merasa tidak mampu melakukan pekerjaan apapun dan dikatakan sebagai orang yang tidak mau sukses.
Rumah pun Wajib Berjodoh
Nah, inilah yang tidak dialami semua orang karena berbagai faktor. Adapun orang-orang yang tidak mengalami faktor jodoh dalam membeli rumah adalah mereka yang termasuk kedalam golongan ini:
- Penerima rumah warisan atau hibah
- Rumah jadi yang dibelikan oleh keluarga atau pihak lain
- Mereka yang membeli rumah dengan cara KPR
Saya termasuk penganut aliran ini. Jika memang belum punya cukup uang atau masih banyak hutang, saya tidak mau memaksakan diri membeli rumah dengan cara KPR, betapapun misalnya saya bisa melakukannya dan bisa memperoleh persetujuan KPR-nya.
Buat saya, jika kita memang belum mampu membeli rumah, ya kontrak dulu saja. Titik. Memangnya kenapa dengan mengontrak rumah? Bukan kriminal kan? Malu? Malu sama siapa? Emangnya yang kita malukan tersebut membayarkan tagihan bulanan kita? Tidak kan? Aneh-aneh saja.
Jika mengontrak dan berpindah-pindah rumah terasa merepotkan, ya terimalah realitas itu. Solusinya adalah jangan membeli banyak barang dan perabotan yang tidak benar-benar penting dan fungsional. Lihat saja mereka di negara-negara maju, mayoritas justru mengontrak rumah atau apartemen dalam waktu lama. Mereka tidak melihat adanya masalah dengan hal itu.
Terutama generasi muda di negara-negara maju, banyak yang bahkan tidak mau samasekali membeli rumah. Mereka lebih tertarik dengan hidup bebas dari hutang dan tagihan bulanan, dan mereka tidak masalah dengan mengontrak rumah atau apartemen. Gagasan inilah yang sedari dulu saya anut.
Sekali lagi, ini adalah pengalaman saya pribadi belaka, sekaligus opini saya pribadi. Saya sama sekali tidak bermaksud menjelekkan siapapun yang memilih jalan berbeda untuk membeli rumah. Jadi marilah kita lanjutkan...
Di sekitar saya bertebaran mereka yang sebenarnya tidak punya cukup uang untuk membeli rumah secara tunai, dan kemudian memaksakan diri mereka mengambil KPR. Dasar argumen mereka sama semua: ambil rumah tidak ada ruginya, nilainya naik terus. Tenang saja, untuk argumen ini saya sangat setuju.
Masalah yang saya lihat dan saya alami adalah bahwa pekerjaan apapun yang kita lakukan, entah sebagai karyawan, entah sebagai pengusaha; tidak ada satupun yang menjanjikan kepastian absolut tanpa masalah sama sekali. Di dunia kepegawaian, sehebat apapun kita, namanya office politics, bisa menyebabkan siapapun terpental dari kursinya. Demikian juga dengan pengusaha, bisa saja sewaktu-waktu bangkrut. Justru sebagai pengusaha, ketidakpastiannya lebih besar dari daripada karyawan.
Oleh sebab itu sejumlah besar kawan saya yang merintis usaha sendiri, memilih untuk tidak berurusan dengan KPR bank. Selain karena persyaratannya dan prosedurnya lebih sulit untuk pengusaha ketimbang untuk karyawan, mereka juga berpikir hal yang sama dengan saya, yaitu ketidakpastian masa depan. Alangkah menyakitkannya jika kelak ada apa-apa dengan hidup kita sehingga tidak bisa membayar tagihan KPR, lalu rumah disita. Siapa yang paling diuntungkan? Jelas bank. Itu sudah pasti.
Secara logika, jauh lebih aman mengontrak rumah dahulu, atau selangkah demi selangkah membeli tanah kosong dulu, baru membangun rumah belakangan.
Nah, saya juga melihat bahwa banyak kawan saya yang sejak mereka menikah, hingga 10, 20 atau bahkan 30 tahun pernikahannya; mereka masih mengontrak rumah. Tapi begitu mereka memutuskan untuk membeli rumah, mereka membelinya secara tunai sekali jadi, dari uang hasil tabungan selama itu. Bahkan ada diantara mereka yang hobinya mencicil beli tanah petak demi petak di daerah yang tidak terlalu ramai, sehingga murah. Setelah terkumpul sejumlah petak, dibuatlah sertifikat utuh. Dalam pandangan dan pengalaman saya, ini lebih masuk akal dan aman bagi hidup kita. Saya mengalami sendiri betapa tidak stabilnya perjalanan karir saya. Jika saya terikat dengan KPR bank, ketika terjadi sesuatu dengan karir saya, mampus deh...
Wacana agar bisa segera membeli rumah dengan cara KPR adalah adagium yang terus dihembuskan oleh pengusaha properti dan pengusaha perbankan. Karena apa? Ya karena mereka bisa untung besar dari transaksi dan KPR tersebut. Memang benar bahwa membeli rumah, betapapun dengan cara kredit, tidak pernah ada ruginya, karena nilainya yang terus naik. Tapi pemikiran kita tidak seharusnya sesederhana itu, karena sekalinya kita kejeblos dengan urusan kredit perumahan, hitungan penderitaannya bisa saja hingga 15 atau 20 tahun kedepan, jika kita tidak mampu mengambil KPR yang durasinya singkat.
Yang akhirnya menderita dengan tagihan bulanan selama 20 tahun lebih, ya kita-kita juga. Percayalah, betapapun memang benar bahwa nilai tanah dan rumah selalu naik kedepannya, namun nilai kenaikannya itu sendiri tidak selalu pasti berapa besar. Itupun belum tentu dapat mengkompensasi "penderitaan finansial" kita selama puluhan tahun tersebut karena terikat dengan tagihan bulanan berjumlah besar. Padahal hidup tidaklah selalu semulus itu.
Hal-hal tak kasat mata inilah yang biasanya terlewatkan oleh kita semua. Kita hanya terpaku pada angka-angka yang ditawarkan oleh bank dan langsung menyetujuinya, hanya karena kita berpikir bahwa kita mampu memenuhi angka-angka itu disaat kita masih berjaya di pekerjaan atau bisnis kita.
Jadi buat saya, sembari menabung, dan mana tau kejatuhan hibah atau lotere, saya menunggu saja hingga jodoh itu datang bagi rumah saya.
Selama menunggu jodoh itu, saya bisa bekerja dengan tenang, dan lebih bisa menjadi diri saya sendiri. Jika saya mengalami demoralisasi di kantor, ya mengundurkan diri saja (tentunya setelah banyak berhitung dan memperhitungkan segala hal). Tidak perlu kuatir ini-itu karena harus membayar tagihan KPR bla bla bla. Saya juga bisa lebih tenang membangun usaha sendiri, jika saya tidak dihantui oleh tagihan bulanan. Karena membangun usaha sendiri membutuhkan ketajaman fokus yang luar biasa dari kita sebagai pendirinya.
Jika memang jodoh saya baru bisa membeli rumah tipe 21 atau 36 saja, saya lebih baik membelinya dengan tunai ketimbang membeli rumah yang lebih besar tapi dengan cara KPR. Rumah kecil yang memberikan ketenangan batin, tetap lebih baik daripada rumah besar yang ditopang oleh kegelisahan batin kita terus-menerus setiap harinya, setiap bulannya. Karena sejatinya rumah adalah seharusnya menjadi sumber ketenangan batin.
Darimana kita tahu bahwa tanah atau rumah tersebut merupakan jodoh kita? Ya seperti halnya jodoh dalam hal percintaan, persahabatan, pekerjaan atau karir; kita akan bisa merasakannya di batin kita. Memang sulit saya jelaskan, tapi bisa kita rasakan.
Bisa saja kita melihat sebidang tanah atau rumah yang pas dengan kantong kita, tapi kita tidak sreg. Hati kita mengatakan "tidak". Di lain waktu, ada tanah atau rumah yang sreg sekali, tapi kantong kita tidak cukup. Kita putuskan untuk menunda membelinya, untuk mengumpulkan uang dulu. Ketika ditengok 2 tahun kemudian, ternyata tanah atau rumah itu masih belum ada yang membelinya, dan harganya pun masih sama. Ternyata disaat itu kita bisa langsung membelinya secara tunai. Nah, inilah yang saya namakan sebagai tanah atau rumah yang memang berjodoh dengan kita.
Jadi, yang namanya berjodoh dengan tanah atau rumah itu, ya gak harus yang bisa saat itu juga langsung dibeli. Banyak kasus dimana mereka yang tadinya tidak bisa membeli tanah atau rumah yang mereka maui, mereka tunda beberapa saat, dan di masa depan mereka bisa membelinya tanpa harus berkeringat darah. Masih banyak contoh lainnya lagi.
Kesimpulan
Maaf sebelumnya jika ada kata-kata saya di artikel ini yang kurang berkenan. Sekali lagi, ini adalah opini pribadi saya dan juga pengalaman nyata yang saya alami. Sama sekali tidak ada maksud dari saya untuk merendahkan atau menjelekkan siapapun yang mengambil jalan berbeda dari saya.
Dengan kita sepenuhnya menyadari konsep perjodohan ini, secara otomatis kita bisa mengerjakan segala sesuatunya dengan lebih fokus, lebih tenang dan lebih terarah. Karena semuanya kembali kepada kita sendiri yang menjalaninya.
Ironisnya, orang-orang tercinta di sekitar kita seringkali tidak menyadari konsep perjodohan ini. Mereka bisa saja seringkali bertanya, kapan punya pacar, kapan menikah, kapan dapat pekerjaan yang cocok (padahal sudah intensif melamar pekerjaan kemana-mana), kapan punya rumah sendiri, dan masih banyak pertanyaan lainnya yang seringkali mengusik ketenangan hati kita.
Tentunya mereka tidak ada maksud jahat apapun dalam menanyakan hal itu. Terkadang malah mereka cuman iseng aja. Katakan saja bahwa kita sedang menjalani prosesnya, bukannya sedang berdiam diri. Yang orang-orang perlu ketahui hanyalah bahwa kita memang sedang mengusahakan segala sesuatunya, sedang berjalan, sedang berlari... bukan sedang duduk, tiarap atau tertidur. Karena setiap orang memiliki dan menjalani takdir masing-masing, dengan segala sukacita dan kesedihannya masing-masing pula.
Yang bisa kita hanyalah selalu mendukung dan mendorong mereka yang selalu berusaha menjalani takdirnya sendiri, membesarkan hatinya, memberinya pengharapan dan sukacita... bukannya malah terkesan mengintervensi secara tidak santun, menasihati (tanpa diminta) dan merendahkan dirinya.
Marilah kita menjadi sumber sukacita dan terang dalam hidup orang lain. Urusan perjodohan dalam tiga aspek ini adalah permulaannya saja. Selalu bantulah orang lain dalam saat-saat tersulit mereka sebelum mereka menemukan jodoh atau takdirnya, dalam hal apapun. Maka dunia dan alam ini akan membantu kita juga disaat-saat tergelap dalam kehidupan kita.
0 Response to "Tiga Hal yang Harus Berjodoh"
Post a Comment