Makanlah dan Minumlah Dengan Wajar, Etis dan Seimbang

Makan dan minum adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar. Kita semua tidak mungkin bisa menghindar dari itu semua. Sebaliknya, justru sebaiknya kita menikmati itu semua sebagai bagian dari rahmat Tuhan atas manusia. Namun dengan semakin majunya peradaban manusia dan sekaligus juga semakin menipisnya sejumlah komoditas sumber daya pangan, saya selalu berpikir bahwa sama sekali tidak ada salahnya jika kita bisa makan dan minum dengan tetap menjunjung etika, kewajaran dan keseimbangan.

Etika atau etiket itu sendiri merupakan sekumpulan nilai-nilai yang tidak kasat mata atau abstrak, yang melekat pada individu atau sekumpulan individu pada waktu dan tempat tertentu. Etika tentu berbeda dengan adat-istiadat. Adat lebih sektoral, sedangkan etika lebih luas atau lebih universal.

Contohnya begini. Di adat kebudayaan kebanyakan negara Asia, berbicara pada orang lain sambil berkacak pinggang adalah tidak sopan. Namun di Amerika, berkacak pinggang merupakan bahasa tubuh yang umum dan dianggap wajar.

Namun jika berbicara etika, nyaris semua negara di dunia sepakat bahwa berbicara dengan suara lantang, intonasi yang meledak-ledak dan mata yang melotot; adalah tidak sopan.

Dengan demikian, kacak pinggang dapat disebut sebagai adat atau budaya (kebiasaan), sedangkan cara berbicara adalah etika (nilai luhur universal).

Oke, sudah paham ya bedanya... memang di banyak pembahasan lain, antara adat kebudayaan dengan etika seringkali memasuki wilayah pembahasan yang abu-abu atau banyak beririsan. Buat saya sih tidak masalah, toh keduanya banyak merujuk pada sesuatu yang bertujuan ideal bagi kemanusiaan. Namun dalam kesempatan ini, saya ingin membahas sesuatu yang lebih umum, yaitu etika, keseimbangan dan kewajaran dalam makan dan minum yang kita lakukan sehari-harinya.

Perlu kita catat kembali, pembahasan saya kali ini juga bukanlah perihal table manner atau tata-cara makan di meja makan ya... konteks pembicaraan etika makan dan minum yang saya bahas kali ini adalah yang berkaitan dengan sumber makanan dan minuman yang kita konsumsi.

Jika seputar etika table manner, saya pernah membahas nilai-nilai saya pribadi di artikel ini.


Manusia Modern yang Semakin Tidak Peduli dengan Asal Santapan

Saya menggarisbawahi betapa semakin modern manusia saat ini, disaat yang sama mereka justru semakin tidak peduli dengan asal-muasal makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Ketidakpedulian ini menyebabkan semakin tingginya tingkat eksploitas manusia atas alam beserta seluruh komponen pendukungnya.

Artikel ini saya susun bukanlah sebagai penghakiman atas golongan tertentu. Perlu diketahui bersama terlebih dahulu, bahwa saya penyantap daging seperti layaknya pembaca semua, dan saya juga doyan sekali sayur dan buah. Namun jika saya diminta memilih, saya jauh lebih suka sayur dan buah. Saya bisa hidup baik-baik saja tanpa daging selama beberapa minggu, tidak masalah. Tanpa program diet apapun, secara refleks saya memang sudah lebih suka menyantap sayur dan buah sebagai makanan pokok.

Sehingga untuk saya pribadi, memang lebih mudah untuk menjadi etis atas makanan dan minuman yang saya santap, dalam kaitannya dengan konteks asal-muasalnya.

Dalam pandangan pribadi saya, etis terhadap makanan adalah bukan soal lebih banyak makan sayur ketimbang makan daging. Bukan itu maksud saya. Sebagai perspektif saja, menjadi vegetarian bukanlah lantas membuat saya berpandangan bahwa vegetarian adalah lebih etis ketimbang pemakan daging. Saya pun tidak berminat menjadi vegetarian karena sulit dan tidak fleksibelnya proses makan saya kelak. Saya tipe orang yang tidak mau repot dalam hal makan dan minum.

Sumber Foto: Istimewa
Kenyataannya, banyak mereka yang menjadi vegetarian bukan karena ingin hidup lebih sehat, tapi karena ingin lebih melestarikan alam. Nah, inilah yang membuat saya kadang bingung. Kenyataannya, banyak sekali tumbuhan yang kita santap, ditanam dengan cara yang tidak etis. Misalnya: pembakaran hutan untuk pembukaan lahan, eksploitasi anak-anak dibawah umur sebagai pekerja kebun, dan masih banyak contoh tindakan tidak etis lainnya demi menghadirkan sayur dan buah tersebut ke meja makan kita.

Tapi apakah sebagai konsumen kita wajib tahu itu semua? Sebenarnya tidak juga. Alangkah repotnya jika demikian, toh saya pun sebenarnya tidak sampai segitunya banget.

Yang saya maksudkan sebagai etika dalam hal ini adalah dengan sepengetahuan, sepenuh kesadaran dan semaksimal daya upaya kita; seharusnya kita bisa memilih makanan yang diproduksi atau didapatkan dengan cara-cara yang wajar, berkeadaban dan tidak menghancurkan alam.

Marilah kita bahas makna kata-kata ini satu-persatu.

Maksud saya "dengan sepengetahuan" adalah sebatas pengetahuan kita sebagai manusia yang penuh keterbatasan. Kita bukan Tuhan yang Maha Tahu. Misalnya ada sayur yang terhidang di meja kita tanpa kita tahu asal-usulnya, ya santap saja, habiskan. Karena kita memang tidak tahu asal-usulnya, selain dari supermarket atau pasar yang kita datangi untuk membelinya.

Tapi misalnya kita melihat dengan mata kepala sendiri, sayur yang kita dapatkan diperoleh dengan cara berkebun yang merusak alam. Sekiranya memungkinkan, saya sih akan menolak mengkonsumsinya. Jika memungkinkan, pilihlah santapan yang ditumbuhkan atau dikembangbiakkan dengan cara-cara yang etis, wajar dan tidak menghancurkan alam.

"Sepenuh kesadaran" adalah kita sebaiknya menyadari dulu apa yang akan kita santap. Contohnya adalah ketika saya pergi ke Bali sekitar tahun 2000an karena diajak seorang kawan. Itu pertama kalinya saya pergi ke Bali. Kawan saya ini mungkin sudah pernah ke Bali sebelumnya. Singkat kata, saya diajak makan sate ke sebuah pasar, namun kawan saya ini tidak menjelaskan secara rinci sate apa itu. Di hanya mengatakan, pokoknya sate khas Bali yang enak.

Tiba di tujuan, terhidang di depan saya beberapa tusuk sate yang unik, karena ditusuk dengan batang serai / sereh. Daging satenya berwarna putih. Tanpa ba bi bu saya santap saja langsung, karena lapar. Rasanya memang enak dan gurih. Ditengah makan-makan tersebut, saya iseng bertanya, ini sebenarnya sate daging apa?

Kawan saya tersenyum dan menjawab: ini sate daging penyu. Kontan saya agak kesal dengan kawan saya, tapi saya jelas tidak bisa marah kepadanya, karena dia memang tidak tahu perihal apa yang membuat saya kesal. Saya sedari dulu sudah menganut etika pribadi yang tidak mau menyantap daging penyu. Karena saya melihat sendiri bagaimana kejinya mereka memperlakukan penyu ketika diolah untuk diambil dagingnya. Tidak perlu saya sebutkan lagi betapa penyu adalah satwa yang lemah dan cinta damai, tidak pernah merugikan atau merepotkan manusia. Untuk etika yang saya anut, selama saya masih bisa menyantap ikan, ayam atau daging yang umum-umum saja, tidak ada urgensi bagi saya untuk menyantap daging penyu.

Seketika itu saya segera menghabiskan makan saya, dan saya beritahu baik-baik bahwa saya tidak mau dan tidak akan pernah mau lagi makan daging penyu atau telur penyu, walaupun saya akui rasa dan tekstur dagingnya lezat. Itu adalah nilai dan etika saya pribadi, tidak butuh dijelaskan dan diperdebatkan panjang-lebar. Untungnya kawan saya memahaminya.

Dalam cerita saya di atas, jelas saya tidak menyadari perihal sate penyu tersebut. Jika saya tahu dan saya sadar, tentunya tidak akan saya santap sedari awal.

"Semaksimal daya upaya kita" adalah jika kondisinya memungkinkan bagi kita untuk memilih apapun yang kita santap. Misalnya, di sebuah meja terhidang pilihan daging ikan, daging sapi dan daging anjing. Sudah pasti tanpa banyak bertanya, saya akan memilih daging ikan. Mengapa demikian? Karena cara memperoleh dan memasak ikan umumnya sama secara universal. Tidak ada metode penangkapan dan pengolahan ikan yang terlalu keji, selama ikannya bukan dari jenis yang dilindungi atau langka.

Daging anjing sudah jelas, diperoleh dan diolah dengan cara yang tidak etis bahkan keji, menurut standar saya pribadi. Karena saya sudah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana anjing ditangkap hingga tersaji di meja makan, di Manado atau di Medan. Apakah anjing merupakan santapan yang umum? Jelas tidak. Selain itu anjing adalah sahabat manusia, mereka memiliki perasaan dan loyalitas yang sudah terkenal.

Kalaupun misalnya populasi anjing sudah terlalu membludak di suatu lokasi hingga berpotensi menimbulkan penyakit, saya lebih mendukung pemusnahan dengan cara yang berkeadaban, misalnya suntik mati, dengan cara mati yang lebih nyaman untuk sang anjing (tidak tersiksa berlama-lama). Jangan lantas mengirim anjing-anjing liar tersebut untuk disantap. Banyak orang di luar sana menyukai daging anjing, tapi saya tidak, tidak dan tidak.

Lain halnya misalnya saya tersesat di hutan selama berhari-hari, dan saya hanya bisa menemukan seekor penyu di sungai dan saya mudah menangkapnya. Sudah pasti penyu itu saya santap. Karena apa? Karena kondisi saya sudah maksimal, dan hanya penyu itu yang saya temui dan bisa saya santap demi saya bertahan hidup. Andai saya bisa menangkap ikan dengan mudah, sudah pasti saya akan lebih memilih ikan.

Yeah... semoga pembaca memahami ya, ini sekedar sharing nilai-nilai dan etika pribadi saya dalam menyantap makanan. Apakah terlihat rumit? Bisa jadi, untuk beberapa orang yang tidak peduli. Tapi saya peduli etika yang berhubungan dengan sumber dan metode pengolahan makanan dan minuman yang saya santap. Tentunya saya tidak pernah memaksakan nilai dan etika saya pribadi ini bagi orang lain.

Maksudnya "wajar" dan "berkeadaban", saya ceritakan lewat cerita Foie Gras, yang merupakah salah satu santapan yang diperoleh dengan cara paling keji & paling biadab di dunia kuliner. Mengenai apa itu Foie Gras dan bagaimana cara mendapatkannya, silakan Googling saja sendiri. Saya sebetulnya malas sekali membahas Foie Gras karena kekejiannya dibaliknya yang tidak terperikan. Saya hanya tidak habis pikir bagaimana orang-orang di dunia ini bersikeras untuk menyantap Foie Gras sementara banyak makanan lain diluar sana yang lebih umum, lebih berkeadaban dan lezat-lezat saja.

Saya termasuk yang beruntung karena jauh lebih doyan sayur dan buah ketimbang daging. Tapi ketika saya menikmati daging, saya pastikan itu diolah dengan cara-cara yang wajar dan berkeadaban; bukan lewat penyiksaan berkepanjangan dan tidak alamiah seperti misalnya Foie Gras tadi.

Beberapa operator penjagalan sapi yang saya kenal, pasti berdoa dulu bagi sapi-sapi yang mereka jagal. Biasanya mereka mendoakan secara Islam. Bagi saya tidak masalah doa dengan cara apapun, yang penting adalah perilaku sang manusia yang menghargai hewan yang akan dijagalnya sebagai makhluk hidup yang memiliki nyawa, bahkan jiwa. Saya sangat menghargai doa-doa tersebut, bahkan yang diperuntukkan bagi hewan konsumsi umum sekalipun.

Etika berkeadaban ini seperti agama, hanya untuk pribadi saya saja, bukan untuk saya paksakan bagi orang lain. Jika saya harus pergi makan dengan kawan-kawan yang misalnya ingin menyantap daging anjing, tentunya tidak lantas saya marah-marah atau menceramahi mereka tentang nilai dan etika yang saya anut. Saya akan tetap ikut mereka makan, dan di sana saya akan memilih makanan lain selain daging anjing.

Saya sangat menikmati daging kambing, sapi, ayam, babi, ikan dan hidangan laut. Selama saya masih bisa memilih mereka sebagai santapan, ya saya akan pilih mereka. Sehingga bagi saya tidak pernah ada urgensinya untuk mencari makanan yang - menurut standar nilai saya - aneh-aneh semisal daging anjing, kucing, burung dara, kuda, kelinci, penyu, biawak, marmut, atau hewan yang dilindungi. Buat apa? Tidak ada urgensinya bagi saya untuk menyantap mereka.

Bahkan misalnya pun sedang tidak tersedia daging favorit saya, ya saya santai saja. Makan sayuran dan buah tetap menyenangkan buat saya. Tidak perlu dipusingkan. Makanya beberapa kawan saya yang gemar jalan-jalan keliling kota atau ke luar kota, selalu senang mengajak saya dan istri saya, karena filosofi dan etika kami dalam menyantap makanan dan minuman yang sama mudahnya, tidak ribet. Saya dan istri saya tidak pernah cengeng dan rewel dengan makanan, betapapun kami menjunjung tinggi etika sumber makanan yang kami santap.


Lini Akhir: Menikmati Secara Wajar, Etis dan Seimbang

Kunci saya dalam menikmati makanan dan minuman adalah "menikmati secara wajar, etis dan seimbang".

Wajar, artinya tidak berlebihan. Misalnya, saya suka minum bir. Ya minum sewajarnya saja, tidak perlu sok-sokan gaya minum bir hingga mabuk. Saya suka sekali cemilan, ya kendalikanlah, jangan sampai berlebihan dan tidak menyehatkan. Malah jika saya sedang tidak repot, saya lebih suka membuat cemilan sendiri. Saya bisa memilih bahan, bumbu dan metode pembuatannya yang lebih sehat.

Dengan makan dan minum secara tidak berlebihan, saya yakin saya masih bisa menikmati makanan dan minuman tersebut hingga hari tua saya. Saya telah melihat betapa menderitanya orangtua saya dulu di masa tuanya yang begitu dibatasi dalam hal makanan dan minuman, karena penyakit diabetes, jantung dan lain sebagainya. Saya tidak ingin menjadi seperti itu di masa tua saya. Saya tidak bermimpi tajir melilit di masa tua, tapi diberi kesehatan prima dan sesekali masih bisa menyantap makanan favorit saya; bagi saya itu sudah lebih dari cukup.

Misalnya, saya suka sekali sate kambing, nasi goreng kambing pedas, dan tongseng pedas. Di hari tua saya kelak, saya masih ingin menikmatinya sesekali. Oleh sebab itu sedari sekarang ya saya sesekali saja makan kambingnya, tidak perlu jor-joran setiap hari saya makan daging kambing.

Saya juga penggemar pedas. Tapi semakin bertambahnya umur saya, intensitas pedas dalam makanan saya selalu saya atur dan kendalikan. Saya memikirkan kesehatan pencernaan saya. Di satu sisi pedas adalah sehat, tapi di sisi lain bisa menjadi bencana bagi pencernaan saya jika berlebihan. Saya tidak punya sakit maag dan saya tidak mau terjadi sakit maag hanya karena saya tidak bisa mengendalikan kesukaan saya akan makanan pedas. Saya ingin hingga hari tua saya, sesekali masih bisa menyantap makanan pedas tanpa masalah.

Makanya saya suka sekali dengan peribahasa: makanlah makanan favorit kita seperti obat. Jangan sampai kelak kita harus makan obat seperti makananan favorit kita. Ini adalah peribahasa yang harus selalu kita ingat jika kita ingin masa tua kita nyaman.

Etis, telah saya jelaskan panjang-lebar di artikel ini. Betapapun kita adalah manusia yang sarat dengan keterbatasan, namun selama kita mampu dan selama kondisinya memungkinkan, milikilah prinsip dan etika dalam menilai sumber makanan dan minuman yang kita santap.

Seimbang, mirip dengan prinsip kewajaran, yaitu tidak berlebih dalam menyantap atau minum sesuatu. Saya suka nasi, tapi tidak tergantung padanya. Saya tipe orang yang bisa selang-seling sumber karbohidrat, misalnya nasi, kentang, jagung, singkong; secara bergantian, tanpa merasa canggung. Jangan terlalu mencandu dan tergantung dengan nasi, yang terkenal tinggi kadar gulanya. Kentang rebus atau singkong rebus jelas jauh lebih sehat.

Dalam hal daging kambing atau babi, saya batasi konsumsinya, misalnya seminggu sekali atau dua minggu sekali saja. Bahkan saya pernah selama beberapa bulan tidak makan daging kambing atau babi sama sekali. Masalah? Tidak sama sekali buat saya, asik-asik saja. Malah lebih sehat untuk badan saya kan? Jangan selalu menuruti keinginan lidah kita. Jauh lebih banyaklah "mendengarkan" kebutuhan tubuh kita.

Sehabis makan daging yang "tidak sehat" semisal babi atau lemak kambing, sebisa mungkin selalu saya seimbangkan sesudahnya dengan makan nanas, yang terbukti ampuh untuk menggerus kolesterol dalam lemak daging tersebut, dan memperpendek waktu makanan tersebut tinggal di dalam perut kita.

Makan es campur memang enak, tapi saya tidak pernah melakukannya sehabis saya makan nasi Padang yang sarat dengan lemak. Sehabis makan makanan Padang, suka tidak suka, saya harus minum air hangat. Lidah saya sudah dipuaskan dengan kenikmatan masakan Padang, jangan eksploitasi tubuh saya lebih parah lagi dengan minum es batu sesudahnya, walaupun saya tahu itu nikmat sekali. Minumlah air hangat, agar lemak di tubuh kita tidak mengerak di pembuluh darah, dan selekas mungkin meninggalkan tubuh kita. Inilah yang saya maksudkan dengan keseimbangan, antara keinginan lidah dengan kebutuhan tubuh kita.

Pikiran dan akal sehat kita harus bisa menjadi wasit dan penyeimbang bagi keinginan lidah dan kebutuhan tubuh kita, yang seringkali tidak seimbang dan sulit dipertemukan. Tanpa akal sehat, seringkali kita hanya menuruti keinginan lidah saja, yang berakibat pada rusaknya kesehatan badan kita dan juga rusaknya alam ini; hanya demi menuruti birahi berlebih dan kerakusan kita akan makanan.

Demikian juga dengan minum. Saya penggemar kopi, namun saya sangat membatasi dan mengatur konsumsi kopi saya. Selain saya batasi hanya di jenis kopi hitam karena kebetulan saya tidak suka dengan kopi instan (yang jelas tidak sehat karena sangat kimiawi), saya juga batasi hanya satu cangkir berukuran sedang untuk sehari. Itupun tidak wajib setiap hari. Saya baik-baik saja tanpa masalah walaupun tidak meminum kopi. Namun ketika saya minum kopi, saya bisa merasakan manfaatnya secara signifikan. Otak lebih tajam dan fisik tidak mudah lelah.

Itupun gulanya saya atur. Kopi hitam hanya bermanfaat penuh bagi tubuh jika diminum tanpa gula sama sekali. Pahit? Jelas. Secara selera lidah, saya jauh lebih suka kopi hitam dengan gula. Masalahnya, saya lebih peduli dengan manfaat kopi bagi tubuh saya ketimbang keinginan lidah saya semata. Saya hanya menikmati kopi dengan gula jarang-jarang saja. Selain itu saya hanya minum kopi justru ketika saya cukup beristirahat, tidak kurang tidur. Saya minum kopi bukan untuk memaksa mata saya melek begadang, melainkan untuk produktivitas kerja. Jarang sekali saya minum kopi untuk memaksa mata saya begadang, selain jika saya misalnya harus menyetir semalaman ke luar kota.

Dengan sedikit kerumitan tersebut, saya yakin bahwa kebiasaan saya makan dan minum tidak akan merusak tubuh saya hingga di hari tua saya. Saya bukanlah orang yang berkelebihan secara ekonomi dan saya termasuk agak malas berolahraga secara teratur. Oleh sebab itu penting sekali bagi saya untuk selalu menjaga kesehatan lewat makanan dan minuman yang saya konsumsi secara wajar, etis dan seimbang.

Toh jika kita sudah terbiasa melakukannya, tidak terasa rumit lagi koq. Yuk marilah kita lebih memperhatikan makanan dan minuman kita, supaya kita bisa berbahagia dengan makanan favorit kita hingga masa tua kita; tanpa merusak kesehatan kita, tanpa merusak alam ini, dan tanpa secara berlebihan merusak kebahagiaan makhluk lainnya.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Makanlah dan Minumlah Dengan Wajar, Etis dan Seimbang"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel