Menetapkan Batasan Ketika Membantu Orang Lain

Setiap orang pasti pernah mengalami pergantian fase hidup. Misalnya, jaman dulu remaja ababil dan pecicilan, setelah menikah jadi lebih dewasa, setelah mengalami banyak kepahitan hidup lalu menjadi bijaksana, dan seterusnya. Setiap orang mengalami fase hidup yang berbeda-beda, baik waktunya, durasinya maupun ragam perubahannya. Inilah yang membuat hidup terasa semakin hidup, karena ada rasa asam, pahit, asin, tawar hingga manis yang akan kita rasakan.

Buat saya sendiri, saya pernah berada di fase kehidupan sebagai "penyelamat semua orang". Maksudnya, saya pernah berada di tahapan kehidupan dimana saya merasa bahwa saya bisa selalu membantu memecahkan masalah orang lain. Saya rasa ini adalah konsekuensi dari jiwa saya yang altruistik, alias cenderung untuk mementingkan orang lain.

Bukan berarti saya tidak bisa memikirkan diri saya sendiri atau orang-orang terdekat saya saja. Tetapi sesekali waktu, pemikiran dan anggapan tersebut hinggap di benak saya, dan membuat saya selalu siap mendengarkan masalah orang lain dan berusaha mencari solusi untuk memecahkannya.

Akibatnya, dulu saya adalah sasaran empuk bagi para orang bermasalah yang ingin curhat. Saya pun dengan senang hati membuka diri terhadap masalah mereka, dan saya pun aktif memberikan alternatif solusi bagi masalah mereka.

Fase hidup saya inilah yang akhirnya menyadarkan saya akan beberapa hal, yaitu:

1. Mayoritas mereka yang curhat, bukanlah mencari solusi melainkan benar-benar hanya ingin meringankan beban batin mereka. Dengan beban batin yang besar, sangat logis jika mereka agak resisten dan agak enggan melaksanakan resep solusi yang saya ajukan, karena untuk menjalani resep dan solusi tersebut, membutuhkan kekuatan besar tersendiri. Sedangkan kekuatan mereka yang sedang mengalami masalah, justru sudah banyak terkuras dengan masalah yang sedang mereka hadapi.

2. Mereka yang bermasalah dan kemudian curhat, tidak selalu akan menjadikan kita sahabat mereka seumur hidup. Beberapa dari mereka akan kembali ke kehidupan normal mereka setelah berhasil memecahkan masalah, dan beberapa lagi lainnya akan menjadi sahabat kita. Sedari dulu, saya tidak masalah dengan realitas ini, karena toh pada dasarnya saya adalah orang yang soliter dan menikmati kesendirian di mana saja. Sehingga apakah orang-orang tersebut meninggalkan saya atau tetap bersama saya, sesungguhnya tidak mengubah karakter dasar saya yang soliter tersebut. Tidak ada beban sama sekali.

3. Dalam beberapa kasus yang cukup berat, misalnya ketika kita membantu orang lain untuk menghadapi masalah rumahtangga mereka, selalu terbuka kemungkinan mereka menjadi nyaman dan "terbiasa" dengan kita. Interaksi & komunikasi yang tadinya direncanakan berjalan formal, lama kelamaan bisa menjadi hubungan pribadi.

Nah, kali ini saya akan membahas poin nomor 3.

Saya pernah berada di fase kehidupan yang ingin membantu siapa saja dalam menghadapi masalah hidup mereka, termasuk mereka yang bermasalah dalam kehidupan rumahtangga mereka. Realitas ini lebih "diperparah" dengan kenyataan bahwa mayoritas kawan saya adalah perempuan. Komplit lah ya, ha ha ha...

Singkat kata, dalam perjalanan saya menjadi "konsultan gratisan" tersebut, saya pernah beberapa kali "tersandung" dalam hubungan pribadi yang tidak sehat dengan sejumlah perempuan yang kehidupan pribadinya dan rumahtangganya sedang bermasalah. Mengapa saya katakan tidak sehat? Ada tiga sebabnya, yaitu:

A. Interaksi tersebut timbul karena satu pihak sedang mengalami masalah. Pada prinsipnya, tidak ada yang salah dengan berkawan bersama orang yang sedang mengalami masalah. Namun interaksi ini akan menjadi masalah tatkala timbul masalah baru akibat kita membantu menyelesaikan masalah orang tersebut. Tentunya ini berlawanan dengan semboyan Perum Pegadaian: menyelesaikan masalah tanpa masalah.

B. Interaksi tersebut berlanjut karena satu pihak merasa lebih nyaman berada dengan kita / saya, ketimbang pergi ke masalah yang dihadapinya dan berusaha menyelesaikannya sesuai anjuran solusi yang kita paparkan padanya.

C. Interaksi tersebut bertahan karena satu pihak yang bermasalah tersebut, selalu berusaha "menambal bolong dalam jiwanya akibat masalah yang dihadapinya" dengan terus "merengek" pada kita / saya untuk terus mempertahankan hubungan yang cenderung satu arah tersebut. Si pihak yang bermasalah tersebut paham, dia tidak mungkin menemukan damai sejahtera di pihak yang sedang bermasalah dengannya. Sebagai gantinya, dia akan mencari itu dari kita / saya. Dalam kondisi normal, wajar saja. Tapi jika intensitasnya meningkat ke tingkatan yang tidak wajar, pada akhirnya satu pihak atau bahkan kedua pihak akan mengalami kerugian (dan mungkin saja kerusakan).

Setelah saya beberapa kali mengalami yang kaya beginian, saya menemukan bahwa pada akhirnya, pihak yang berusaha saya bantu tidak selalu berhasil menerapkan solusi yang saya berikan. Tapi satu hal yang pasti, saya kewalahan dengan masalah saya sendiri. Sementara fokus hidup saya arahkan untuk membantu orang lain secara cuma-cuma, masalah hidup saya tidak dapat saya selesaikan karena terbengkalai penanganannya.

Pada akhirnya, saya menghadapi masalah yang lebih berat karena saya sempat tidak fokus untuk menyelesaikan masalah-masalah saya sendiri. Lebih parahnya lagi, tidak ada yang membantu saya.

Maksud saya, tentu keluarga saya bisa membantu saya. Namun tentunya saya tidak mau terus-menerus membebani mereka dengan masalah saya.

Saya berusaha mencari bantuan dari kawan, dan kebanyakan dari mereka heran, mengapa saya tidak bisa memecahkan masalah saya sendiri, padahal saya bisa memecahkan masalah orang lain. Inilah pangkal mula perubahan fase dalam hidup saya.

Sehingga dengan demikian dapat saya katakan bahwa fase terberat dalam kehidupan saya adalah ketika Tuhan dan alam ini mengujikan nasihat yang saya nasihatkan kepada orang lain, kepada kehidupan saya sendiri, dan saya roboh karenanya.

Ilustrasi: Istimewa

Dalam perjalanannya, saya kemudian menemukan bahwa itu terjadi bukanlah karena Tuhan dan alam ini kejam terhadap saya, tapi karena Tuhan dan alam ini menginginkan saya menjadi orang yang bernas dan berisi, yaitu yang PERNAH MENGALAMI apa yang saya nasihatkan kepada orang lain. Sehingga dengan demikian saya bisa menjadi pohon yang berbuah berlimpah-limpah.

Setelah saya mengalami beberapa kesadaran tersebut, saya mengalami fase kehidupan berikutnya dimana saya berani memutuskan untuk tidak terlalu gampang iba terhadap orang yang sedang bermasalah, termasuk perempuan sekalipun. Karena apa? Karena tidak semua masalah yang dialami oleh orang-orang itu, diakibatkan oleh hal-hal di luar dirinya, melainkan seringkali dominan karena dirinya sendiri, entah itu disadari atau tidak disadari olehnya.

Saya bukanlah bermaksud untuk jahat atau cuek dengan orang yang bermasalah dan bermaksud meminta bantuan atau solusi dari saya. Tapi harus kita sadari bersama bahwa kita wajib menjaga jarak yang wajar dengan pribadi yang sedang mengalami masalah tersebut. Ini semata agar tidak terjadi yang saya paparkan pada poin 3, poin A, poin B dan poin C di atas.

Sebagai ilustrasinya begini. Saya suka sekali menyetir mobil sendiri ke luar kota. Tapi ketika saya harus menyetir agak ngotot ditengah kelelahan fisik, ada kemungkinan saya mengantuk ketika menyetir, dan tentunya ini berbahaya.

Jurus yang saya tempuh adalah selain minum kopi hitam, juga tidak mandi, betapapun saya sudah merasa tidak nyaman dengan keringat saya yang sudah menumpuk sepanjang perjalanan. Karena ketika saya mandi dan nyaman dengan kebersihan badan, lalu terkena nyamannya dingin AC di mobil, justru ngantuknya semakin menjadi, ha ha ha... Jadi ketika mengalami perjalanan jauh dengan saya dan waktu tempuhnya mepet, siap-siap saja dengan semerbak bau ketek saya, ha ha ha...

Nah, ini serupa dengan pemaparan saya ini. Dalam fase kehidupan saya yang sekarang ini, saya sudah bisa dengan tegas menetapkan batasan bagi mereka yang saya bantu keluar dari masalahnya. Dengan batasan tersebut, mereka tidak akan terlena dengan kenyamanan semu yang bisa berbahaya bagi semua pihak. Lebih berbahaya lagi jika yang saya bantu adalah kaum hawa, ha ha ha... Batasan yang saya tetapkan ini serupa dengan langkah saya untuk tidak mandi ketika sedang menyetir perjalanan jauh yang waktu tempuhnya mepet.

Saya kini sudah sering mengatakan bahwa betapapun mayoritas kawan saya adalah perempuan, tapi sedari dulu sebenarnya saya termasuk selektif dalam berteman dekat dengan perempuan. Apalagi setelah berbagai fase hidup yang telah saya jalani, kinisaya bisa tegas bersikap untuk tidak dekat-dekat dengan perempuan yang rumahtangganya sedang bermasalah. Saya akan bantu sebatas nasihat dan arahan saya, via tekstual. Bahkan secara terang-terangan saya suka mengatakan pada mereka bahwa "saya tidak akan berkawan dekat-dekat dengan perempuan yang rumahtangganya sedang bermasalah". Supaya mereka bisa memahami posisi saya dan juga posisi dia sendiri.

Saya sudah agak kenyang mengalami salah paham dari pihak suami si perempuan tersebut. Dia berpikir saya ada main apa dengan istrinya, padahal saya hanya berusaha jadi pendengar dan penyedia solusi yang baik. Tapi pada akhirnya solusi yang saya ajukan pun bisa jadi masalah tatkala saya menghadapi realitas si perempuan tersebut yang berbeda dengan apa yang selama ini diceritakannya pada saya.

Karena cukup banyak perempuan di luar sana yang hanya mau mendengar nasihat yang sesuai dengan harapannya saja. Supaya nasihat yang keluar dari pikiran saya bisa sesuai dengan harapannya, tentu saja perempuan tersebut akan mengeluarkan jurus mengarang cerita dalam memaparkan masalahnya terhadap saya. Sebagai akibatnya, nasihat yang saya keluarkan pun menjadi tidak efektif bahkan tidak bermanfaat sama sekali.

Malah kejadiannya adalah sang perempuan tersebut jadi nyaman kepada saya dan mengharapkan saya secara berlebihan, menggantikan peran suaminya. Kita tidak sapa di chat bisa marah, jadwal kegiatan pun jadi "wajib" kita beritahukan padanya. Padahal istri saya saja tidak pernah menanyakan jadwal kegiatan saya secara lebay. Ini kan gila. Kesannya mendapat durian runtuh, tapi percayalah, tidak enak rasanya koq. Saya pernah ada di kehidupan semacam itu.

Sedari dulu saya selalu mendorong para perempuan untuk bersahabat dengan siapapun dalam keadaan rumahtangganya yang baik. Sehingga persahabatan dengan siapapun akan menjadi pemanis dan penguat dalam kehidupannya, bukan substitusi atau pengganti peran suaminya.

Ketika mengalami masalah dalam rumahtangga, para perempuan sangat saya anjurkan untuk berkonsultasi dengan ahli, konsultan pernikahan atau psikolog. Lebih baik keluar sejumlah uang, tapi hasilnya efektif dan manjur.

In the end, saya hanya selalu berharap, semoga semua makhluk berbahagia. Semoga semua orang berbahagia. Semoga semua rumahtangga berbahagia.

Supaya kita semua bisa menghasilkan dan membesarkan generasi penerus bangsa yang kuat dan berbahagia dengan dirinya sendiri, sehingga kelak mereka bisa membahagiakan bangsa ini.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Menetapkan Batasan Ketika Membantu Orang Lain"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel