Kita yang Malas, Anak yang Celaka

Setelah sekian lama saya hibernasi dari Facebook, pada suatu hari saya tidak dapat menahan diri untuk menuliskan sebuah update status, yang isinya adalah keseluruhan artikel ini. Mengapa bisa begitu? Karena saya sedang dongkol atas suatu hal. Kegelisahan & keprihatinan saya muncul karena satu hal ini, dan ini menyangkut anak-anak kita, generasi penerus bangsa ini.

Saya senang sekali berbagi pengetahuan. Bagi yang sudah mengenal saya, pasti paham karakter saya tersebut. Saya suka sekali membaca, dan jika saya menilai bacaan tersebut layak dibagikan, maka akan saya bagikan. Bacaan saya tersebut bisa bersumber dari apapun, baik dari grup-grup messenger populer, media sosial, buku yang saya baca,  seminar yang saya hadiri, dan masalah-masalah yang sehari-harinya saya hadapi.

Suatu saat, saya membaca artikel karya orang lain yang membahas 8 hal apa saja yang harus kita ketahui sebagai orangtua, dalam menyikapi tumbuh-kembang anak di era digital ini, dan bagaimana mengajarkannya ke anak-anak kita. Sedemikian bagusnya artikel ini hingga saya share ke lebih dari 5 WhatsApp Group secara bersamaan di handset saya.

Artikel tersebut berbahasa Inggris, tapi isinya ringkas, tidak bertele-tele, dan mudah dipahami; dengan sejumlah grafis pendukung yang menarik.

Ada satu WA Group yang saya share artikel tersebut, dan sudah 7 orang di dalam grup tersebut meminta saya untuk menerjemahkan & merangkum artikel tersebut. Alasannya klasik: tidak paham bahasanya dan isinya terlalu panjang. Padahal semua anggota grup tersebut adalah orang-orang berpendidikan. Jujur saja saya teramat sedih dengan kenyataan ini. Mengapa demikian?

Ini adalah sesuatu yang baik bagi anak-anak kita. Saya rela lakukan apapun demi anak-anak saya bisa menjadi seseorang yang dapat bertahan hidup & berbahagia menyongsong masa depannya.

Dengan kata lain, jika hambatan saya adalah Bahasa Uzbek, misalnya... dan ada seseorang yang share artikel bagus sekali tentang anak-anak, dan bahasanya adalah Bahasa Uzbek; maka saya akan sekuat tenaga menggunakan jari-jari saya untuk mencari terjemahannya sendiri. Kita sudah sedemikian beruntung hidup di era Internet & Google, sebuah era dimana kita dapat menjadi seseorang yang berpengetahuan cukup dengan modal kuota data dan handset hape murah saja, plus colokan listrik.

Sedangkan dalam hal ini kita sedang membicarakan tentang artikel berbahasa Inggris, bahasa yang umum digunakan di lebih dari 50% negara di dunia ini.

Ini adalah demi anak-anak saya, dan jelas saya akan lakukan apapun demi kemajuan mereka; apalagi jika "hanya" berusaha memahami & menerjemahkan sebuah artikel ringkas yang isinya jelas-jelas bagus; berbahasa Inggris pula, bahasa yang masih terbilang umum dan mudah diterjemahkan.

Meminta orang lain (apalagi kepada orang yang melakukan share artikel tersebut) untuk menerjemahkan dan merangkum artikel ringkas itu, bagi saya adalah sebuah indikasi memprihatinkan bahwa sejumlah orangtua (khususnya yang terkelompok ke dalam golongan umur Gen X gelombang akhir / Xennial) memang masih belum siap untuk melakukan apapun demi menjadikan anak-anaknya layak menyongsong masa depan di era digital ini.

Jika orangtuanya sedemikian malasnya menggunakan kemajuan teknologi di hadapan jari-jari tangannya, lalu bagaimana kita yakin dapat mendampingi anak-anak kita untuk berenang di samudera digital dengan aman hingga ke tujuan hidupnya kelak? Logikanya sesederhana itu.

Foto Ilustrasi: Istimewa

Akademik saya biasa banget. Semasa sekolah, beberapa kali saya hampir tidak naik kelas. Kuliah bisa lulus pun sudah bagusss banget. Saya tidak punya sertifikasi TOEFL atau apapun itu. Saya tidak mahir di percakapan Bahasa Inggris. Kosakata Bahasa Inggris saya terbatas. Saya tidak cas cis cus berbahasa Inggris. Bahkan kadang saya agak menarik diri jika harus terlibat dalam obrolan serius berbahasa Inggris, ya kuatir ketahuan cuman bisa yes no oh yes oh no aja, ha ha ha...

Tapi keterbatasan saya berbahasa Inggris itu samasekali tidak pernah menghalangi saya untuk berusaha melek teknologi dan mengeksploitasi teknologi demi semakin meningkatkan kualitas kemanusiaan saya sebagai seorang pekerja, seorang suami, seorang ayah dan seorang anak bangsa. Apalagi jika untuk itu saya HANYA perlu lebih giat menggerakkan jari-jari saya di handset saja.

Meleklah dengan teknologi. Eksploitasilah teknologi demi keuntungan & daya saing kita. Jangan malah kita yang dibutakan dengan teknologi. Jangan malah kita yang dieksploitasi oleh teknologi. Baca artikel panjang malah mewek, baca artikel berbahasa Inggris malah mewek, tapi di saat yang sama mengharapkan anak-anak kita sepintar Albert Einstein. Itu namanya samasekali tidak berakal sehat.

Jika ada seseorang yang share artikel bagus & bermanfaat, jangan maunya disuapin makan hingga berak pun harus dicebokin. Carilah artinya, baca referensi lain, bandingkan dengan artikel senada lainnya, dan lakukanlah studi-studi lainnya yang diperlukan demi semakin memahami isi artikel tersebut. Sesibuk apapun saya di pekerjaan, itu tidak pernah menjadikan saya malas membaca & melahap pengetahuan dari sumber apapun yang bisa saya dapatkan. Sudah begitu pun, masih banyak sekali hal yang belum saya ketahui & belum sempat saya pelajari. Apalagi jika saya tidak lakukan hal-hal itu dengan penuh tekad... pasti tergilas jaman deh...

Semuanya dapat kita lakukan dari handset kita dan paket data Internet yang ada. Tidak butuh iPhone X seharga 20 juta rupiah lebih untuk lakukan itu. Serius deh... Ini cuman masalah mau atau tidak mau saja.

Demi siapa? Demi anak-anak kita, demi generasi penerus bangsa ini. Jika kita sebagai orangtua sedemikian buta, sedemikian malas dan sedemikian abai dengan pengetahuan digital, lalu apa yang bisa anak-anak kita harapkan dari kita sebagai orangtuanya?

Saya tidak pernah malu terlihat bodoh dengan banyak bertanya seputar hal-hal yang tidak atau belum saya pahami. Tapi saya paling malu memperlihatkan kemalasan saya dalam mencari pengetahuan, apalagi jika pengetahuan itu sudah disodori oleh seseorang pada kita, dan kita hanya tinggal membaca & memahaminya saja, tanpa perlu mencari-cari lagi.

Bangsa yang besar digerakkan oleh generasi yang melek pengetahuan dan tekun memanfaatkan teknologi demi semakin menyempurnakan pengetahuan tersebut. Bukan oleh generasi yang malas akut dan nyaman dalam memelihara kebodohannya.

Tidak perlu malu terlihat bodoh karena banyak bertanya. Bodoh itu sementara, dan dapat dengan cepat diperbaiki dengan kemauan bertanya & ketekunan yang kuat untuk mencari pengetahuan & referensi.

Malulah karena malas. Malas adalah karakter yang permanen & tercela. Ah masa sih? Coba saja lihat 7 Dosa Mematikan (7 Deadly Sins), salah satunya adalah kemalasan. Butuh keajaiban, wangsit dan pertobatan ekstrim demi mengubah kemalasan seseorang.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Kita yang Malas, Anak yang Celaka"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel