Tiga Tipe Kejenuhan dan Cara Mengatasinya

Membicarakan manusia adalah sesuatu yang tidak ada habisnya. Bahasa yang dulu digunakan oleh Friendster dan kemudian diadopsi juga oleh Facebook adalah: It's Complicated. Yaaa, manusia memang kompleks. Salah satu kompleksitas yang akan kita bicarakan di artikel ini adalah mengenai kebosanan / kejenuhan (boredom). Topik ini bukanlah orisinil ide dari saya, tetapi dari mendengarkan radio di suatu pagi, dengan pembicara seorang motivator. Karena topiknya sangat menarik sekaligus menggelitik, maka akan saya tuangkan dalam bentuk teks di artikel ini.

Sayangnya, saya lupa nama motivator tersebut. Namun saya menyukai caranya berbicara dan membawakan materi ini. Selain gaya bicaranya yang lugas, intonasi dan pengucapan kalimatnya wajar, tanpa terkesan dibuat-buat atau ja im (jaga image). Itulah juga yang semakin mendorong saya untuk berbagi materi ini di artikel ini. Baiklah, mari kita mulai.

Salah satu kompleksitas dan paradoks dalam diri manusia yang dari sejak dulu ada hingga sekarang adalah perihal kebosanan atau kejenuhan. Paradoksnya adalah bahwa manusia selalu tertarik dan selalu menginginkan hal-hal baru dalam hidupnya, tapi di sisi lainnya, manusia juga selalu tertarik dan selalu mencari kemapanan atau stabilitas dalam hidupnya.

Kita semua tahu, bahwa kemapanan, keamanan dan stabilitas merupakan lawan kata dari hal-hal baru. Disinilah paradoks manusia. Manusia mengalami evolusi hingga ke jaman modern ini, setelah mengalami sejumlah krisis dan depresi global, mengakibatkan semakin tingginya keinginan manusia akan hal-hal yang stabil, aman dan dapat diprediksi dalam kehidupannya. Dengan demikian manusia yakin bisa mendapatkan dan mempertahankan kehidupan yang baik, apakah secara finansial, maupun dalam aspek-aspek lainnya.

Dalam pencarian stabilitas itulah, manusia sangat berpotensi untuk mengalami kebosanan atau kejenuhan (boredom). Kejenuhan ini timbul selain karena sesuatu yang berulang atau sama terus dalam jangka waktu panjang, juga karena adanya paradoks yang diakui oleh manusia itu sendiri bahwa walaupun hal yang selalu baru itu menarik, namun manusia juga sadar bahwa tidak akan pernah ada kehidupan yang baik & stabil jika kita selalu disuguhi semua hal yang selalu baru.

Misalnya, kita sebal dengan anak buah kita yang tidak kompeten dalam bekerja. Dorongan alamiah kita sebagai bos adalah secepatnya memecat anak buah tersebut dan menggantinya dengan yang lebih kompeten. Tapi apakah kenyataannya semudah itu? Tidak sama sekali.

Kalaupun memang hal itu bisa terjadi dengan mudahnya, misalnya anak buah A berbuat salah, langsung ganti dengan anak buah B hingga kelak dia berbuat salah lagi, dan begitu seterusnya... bagaimanakah dengan stabilitas organisasi dan sistem kerjanya? Sudah jelas tidak akan sinkron. Pergantian staf dalam sebuah perusahaan yang terlalu sering (tingkat turnover yang tinggi) adalah sebuah indikasi bahwa ada sesuatu yang salah besar dalam sistem manajemen perusahaan itu.

Demikian juga dengan pernikahan. Misalnya saya sebagai lelaki neh, tidak munafik lah jika dulu saya terkadang suka berfantasi berganti-ganti pacaran dengan perempuan berbeda setiap harinya, layaknya raja-raja besar di jaman dulu yang punya ribuan selir, ha ha ha... Tapi apakah hal tersebut bisa dilakukan? Tidak sama sekali. Betapapun ganteng dan banyak duitnya saya, saya tidak bisa semudah itu melakukannya. Karena linimasa kehidupan kita akan kacau dan rusak dengan terlalu variatifnya pergantian itu. Apalagi ternyata saya tidak ganteng dan tidak tajir kan, ha ha ha...

Dengan kata lain, betapapun kita menginginkan hal baru setiap harinya, dunia dan lingkungan ini memaksa kita untuk berpijak pada stabilitas, konsistensi dan kontinuitas. Inovasi, revisi dan variasi jelas perlu. Namun inovasi, revisi dan variasi tersebut juga dilakukan atas dasar kebutuhan kita semua sebagai manusia untuk berpijak di tanah bernama stabilitas, konsistensi dan kontinuitas (mempertahankan status quo).

Lelaki yang menolak berkomitmen secara bertanggungjawab pada satu perempuan demi kesenangan berganti-ganti pacar atau pasangan, bisa dipastikan akan berakhir dengan kesepian akut di masa tua, penyakit akibat seks bebas, atau banyaknya hubungan baik yang menjadi rusak. Jadi betapapun seorang lelaki mampu menjadi womanizer hebat berkat pesonanya atau banyaknya duit di kantongnya, pada akhirnya kelak dia akan berakhir tragis. Variasi ekstrim yang dipertahankan dalam jangka panjang, akan membuat manusia berakhir tragis. Inilah realitasnya.

Maka dari itu sudah banyak orang hebat di dunia ini mengatakan bahwa untuk mencapai sebuah keagungan (greatness), terlebih dahulu kita harus membangun keteraturan & disiplin. Setelah keteraturan & disiplin tersebut terbangun, barulah kita berbicara hal lain semacam inovasi, revisi dan variasi. Apa karakter utama dari keteraturan & disiplin tersebut? Sudah jelas: stabilitas, konsistensi dan kontinuitas.

Nah, disinilah masalah kebosanan & kejenuhan sering menjadi mimpi buruk bagi siapapun juga. Menciptakan stabilitas, konsistensi dan kontinuitas membutuhkan bukan hanya kesabaran yang luar biasa, tapi juga kemampuan untuk memotivasi diri sendiri keluar dari rasa jenuh yang membekap erat. Karena terlalu banyak orang yang sesungguhnya bisa sukses di luar sana, memutuskan menghentikan langkahnya terlalu awal hanya karena kejenuhan & kebosanan akut yang dideritanya.

Banyak kegagalan terjadi bukan karena kurangnya keahlian atau pengalaman, bukan karena kurangnya modal atau kecanggihan organisasi dan sistem manajemennya. Banyak kegagalan terjadi simply karena perwira-perwira utama atau bahkan jenderal-jenderal pasukan dalam sebuah organisasi, dilanda kebosanan & kejenuhan akut dalam proses pencapaian tujuan bersama organisasi. Fatalnya, keputusan untuk meneruskan atau menghentikan langkah menuju sukses, seringkali diambil ditengah kondisi fisik, mental dan spiritual yang dibekap oleh kejenuhan akut tersebut.

Karena itulah akan baik sekali jika kita mengenal beberapa jenis kejenuhan dalam diri manusia, yaitu:
  • Kejenuhan Teknis
  • Kejenuhan Mental
  • Kejenuhan Spiritual

A. Kejenuhan Teknis
Definisi kejenuhan teknis adalah kejenuhan akibat kita yang terus melakukan sesuatu berulang-ulang dalam jangka waktu lama. Misalnya, setiap hari ke kantor naik kereta, atau harus selalu lewat jalan tol. Jenuh sarapan bubur setiap paginya karena tidak ada jajanan lain, atau jenuh mendengarkan lagu yang sama terus-menerus. Ini adalah bentuk kejenuhan yang paling umum & paling mendasar.

Cara mengatasinya mudah saja, tidak perlu kreativitas setinggi langit. Cukup dengan mengubah rutinitas tersebut selama tujuannya tetap sama, maka kejenuhan bisa teratasi.

Bosan dengan rute perjalanan yang sama? Ambil jalan lain. Bosan naik kereta? Sesekali ganti dengan naik bis. Bosan makanan yang sama setiap harinya? Ya tinggal ganti makanan, atau manfaatkan layanan pesan-antar. Bosan mendengar lagu yang sama? Ya tinggal ganti saja lagunya. Sesederhana itu. Hanya masalah mau atau tidak mau mengganti rutinitasnya saja. Toh tujuan akhirnya tetap sama.


B. Kejenuhan Mental
Kejenuhan mental adalah sebuah kondisi dimana ketika tingkat tantangan yang kita hadapi ada dibawah tingkat kapabilitas kita untuk mengatasinya. Bahasa sederhananya adalah ketika kemampuan kita sudah jauh lebih tinggi dari tantangan yang kita hadapi atau yang akan kita hadapi. Segalanya menjadi terlalu mudah dan terlalu bisa diprediksi. Kita menjadi kehilangan gairah & kreativitas untuk menjalani sebuah linimasa kehidupan atau tantangan baru, hanya karena kita sudah bisa memprediksi hasil akhirnya seperti apa.

Sekedar catatan. Jika kapabilitas kita ada diatas tantangan, akan menimbulkan kebosanan & kejenuhan. Jika kapabilitas kita ada dibawah tantangan, akan menimbulkan kecemasan. Idealnya adalah antara tingkat kapabilitas & tingkat tantangannya kurang-lebih setara.

Solusi kejenuhan mental adalah dengan terus memberikan diri kita tantangan baru. Misalnya, mengambil kursus keahlian baru. Mungkin bisa mencoba kursus memasak? Atau kursus menembak / menggunakan senjata api secara resmi? Atau kursus bahasa lain selain Bahasa Inggris? Atau bergabung di klub pecinta alam? Bisa apapun, tergantung kita sendiri.


Di dunia pekerjaan, misalnya kita sudah jenuh secara mental dengan penugasan kita, diskusikanlah hal tersebut dengan atasan. Mintalah penugasan baru, atau tantangan di departemen lain.

Misalnya kejenuhan mental terjadi dalam rumahtangga kita, diskusikanlah itu dengan pasangan kita. Mungkin saja kita kekurangan "me time" atau waktu bebas bagi diri sendiri? Mungkin saja kita bisa mengambil cuti panjang dari kantor dan pergi "menghilang" hanya berdua saja ke tempat yang jauh dan tidak dikunjungi banyak orang? Bisa apapun, tergantung kesepakatan dengan pasangan kita.

Bagi yang secara finansial beruntung, mungkin bisa dicoba bersekolah lagi ke jenjang yang lebih tinggi, misalnya S2 tau S3. Saya yakin hasilnya pun tidak akan sia-sia, bisa berguna di dunia kerja. Atau mungkin kelak kita bisa beralih profesi menjadi dosen atau peneliti? Siapa tahu kan...


C. Kejenuhan Spiritual
Bentuk kejenuhan yang paling abstrak dan paling sulit ditangani dalam hidup manusia adalah kejenuhan spiritual. Kejenuhan spiritual terjadi ketika kita merasa tidak memiliki panggilan hidup apapun akan hal apapun, sehingga apa yang kita lakukan menjadi tidak bermakna, tanpa purpose apapun; alias hanya menjalani hidup belaka tanpa konten atau isi apapun.

Antara panggilan hidup dengan apa yang kita lakukan sehari-harinya, bisa berbeda. Contohnya: sehari-hari bekerja sebagai teknisi, namun suatu ketika dia menemukan bahwa panggilan hidupnya yang sesungguhnya adalah dengan menjadi pedagang.

Antara panggilan hidup dengan keahlian kita, bisa berbeda. Contohnya: seseorang bisa saja begitu mahir menjadi pengacara, namun sesungguhnya panggilan hidupnya adalah dengan menjadi juru masak, yang selama ini menjadi hobinya di waktu luang saja. Dan antara keahliannya menjadi pengacara dengan keahlian memasak, dapat dia lakukan dengan sama baiknya.

Antara panggilan hidup dengan apa yang kita dapatkan secara cuma-cuma, bisa berbeda. Contohnya: seorang anak bisa saja diwariskan perusahaan besar oleh orangtuanya, dan hanya tinggal menjalankan saja dengan duduk manis. Namun bisa saja dia tinggalkan itu semua karena itu bukan panggilan hidupnya. Belakangan dia menemukan bahwa panggilan hidupnya adalah dengan menjadi biarawan.


D. Kejenuhan Eksternal / Sistemik
Dari apa yang saya dengarkan lewat radio tersebut, sang motivator sebenarnya hanya mengungkapkan adanya 3 macam kejenuhan diatas. Namun dalam pemikiran saya dan juga atas hasil kajian lapangan saya selama ini, ada satu bentuk kejenuhan lagi yang saya sebut sebagai kejenuhan eksternal atau kejenuhan sistemik.

Definisi kejenuhan sistemik / eksternal adalah ketika kita merasa jenuh dengan lingkungan dimana mayoritas waktu kita dihabiskan. Misalnya, lingkungan kerja kantor yang penuh dengan politik kantor yang kotor, lingkungan rumah yang kumuh dan penuh dengan pelaku kriminal, atau lingkungan sekolah yang sok kaya / borjuis.

Dengan kata lain, kejenuhan sistemik berbeda dengan tiga bentuk kejenuhan yang sebelumnya saya bahas. Tiga bentuk kejenuhan sebelumnya terutama diakibatkan oleh apa yang terjadi dalam diri kita sendiri. Namun kejenuhan eksternal / sistemik disebabkan oleh lingkungan diluar diri kita yang tidak sesuai dengan karakter, prinsip dan filosofi hidup kita.

Untuk membebaskan diri kita dari kejenuhan sistemik, seringkali tidaklah mudah. Misalnya kita sudah muak dengan situasi kantor tempat kita bekerja, toh kita tidak bisa secara mendadak memutuskan berhenti kerja untuk pindah kantor kan? Butuh proses beberapa bulan hingga akhirnya kita bisa keluar dari lingkungan itu.

Apalagi misalnya jika lingkungan rumah kita terasa menyesakkan dada, tentunya tidak mudah sama sekali untuk langsung pindah dari situ ke tempat tinggal lain. Rumah berstatus kontrak saja susah, apalagi jika statusnya sudah milik sendiri. Lebih mudah jika kita punya banyak uang, bisa memilih lingkungan di sekitar kehidupan kita. Tapi mayoritas orang tidaklah seberuntung itu.

Contohnya saya, termasuk yang beruntung. Bukan beruntung secara finansial sebenarnya, namun justru itu yang membuat saya selama 15an tahun menikah, harus pindah-pindah rumah kontrakan terus. Justru dari berpindah-pindah itu, saya jadi memiliki referensi perbandingan lingkungan perumahan yang lengkap dan menyeluruh. Sehingga ketika tiba waktunya bagi kami mendapatkan rejeki untuk membeli rumah, kami bisa benar-benar memilih & menentukan lingkungan dan spesifikasi rumah seperti apa yang kita inginkan untuk diami.

Jadi ketika kami memutuskan untuk berpindah ke rumah yang permanen, kami nothing to lose dengan rumah sebelumnya, karena toh statusnya hanya kontrakan. Beberapa kawan saya yang terpaksa berpindah rumah karena lingkungannya sudah tidak nyaman, mengalami kerepotan ketika akan menjual rumahnya, apalagi jika uang mereka tidak banyak untuk langsung membeli rumah baru karena harus menunggu rumah lama laku terlebih dahulu. Ini jelas lebih merepotkan.

Demikian juga dengan sekolah. Misalnya anak kita mengalami perundungan di sekolahnya (bullying). Tentu tidak mudah untuk mengatasinya, dan tidak semudah itu juga untuk langsung pindah ke sekolah lain.

Intinya, kejenuhan sistemik / eksternal adalah bentuk kejenuhan yang mayoritas penyebabnya ada diluar kendali atau kekuasaan kita. Oleh karenanya kejenuhan ini tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja secara langsung. Namun sebagai sebuah bentuk kejenuhan yang tidak baik bagi kesehatan pikiran maupun jiwa kita, kejenuhan sistemik tetap harus kita perjuangkan untuk kita hilangkan.

Misalnya, dari contoh di atas. Supaya kita mudah berpindah kantor, kita harus menjadi pekerja yang handal dengan keterampilan dan prestasi yang tinggi. Atau jika kita ingin ada di lingkungan rumah yang baik, kita harus bekerja mengumpulkan uang agar cukup membayar rumah (baik kontrak maupun beli) di lingkungan yang layak dan nyaman. Atau jika kita ingin berada di lingkungan sekolah yang peraturannya ketat sehingga kejadian perundungan bisa dikenakan sanksi tegas, kita harus berjuang untuk bisa masuk ke sekolah yang berkualitas.

Kejenuhan sistemik / eksternal membutuhkan tekad kuat dan upaya hebat untuk bisa menghilangkannya. Namun saya yakinkan bahwa semua usaha itu setara dengan hasilnya. Sekalinya kita bisa berada di lingkungan yang nyaman bagi kehidupan sehari-hari kita, kita bisa lebih mudah untuk memenej kejenuhan teknis, kejenuhan mental maupun kejenuhan spiritual yang kelak timbul.


Kaitan Hobi Dengan Panggilan Hidup
Ada sejumlah pribadi yang beruntung telah menemukan panggilan hidupnya sejak awal, misalnya karena kebetulan melakukan hobi yang memang sesuai dengan panggilan hidupnya. Misalnya: hobi fotografi, dan kelak berprofesi sebagai fotografer. Atau hobi otomotif, dan kelak bisa membuka bengkel sendiri. Masih banyak contoh lainnya.

Dengan selarasnya antara panggilan hidup dengan apa yang kita lakukan sehari-harinya, hidup menjadi penuh makna, diri kita menjadi penuh gairah untuk menjalani hari demi hari, dan kita pun menjadi pribadi yang kreatif untuk menepis berbagai kebosanan dalam bentuk apapun ketika mengejar sukses dalam apa yang kita kerjakan tersebut.

Ketika kita tidak mengalami kejenuhan spiritual, umumnya kita akan mudah terhindar dari kejenuhan mental maupun kejenuhan teknis. Kalaupun kita mengalaminya, kita punya banyak kreativitas untuk menghindari kejenuhan-kejenuhan tersebut.

Namun ada juga mereka yang bisa menemukan panggilan hidupnya tanpa menjalani hobi terkait. Contohnya yang paling terkenal adalah Bunda Theresa. Sejak awal panggilan hidupnya memang menjadi biarawati. Namun panggilan hidupnya yang paling sejati adalah lewat pelayanan bagi orang miskin, tanpa mengenal batas apapun dalam dirinya. Dedikasi seumur hidup yang luar biasa tersebut pada akhirnya dihadiahi gelar Santa dari Vatikan. Ini adalah salah satu bentuk pencapaian tertinggi dari melaksanakan panggilan jiwa dalam diri seorang manusia.


Panggilan Hidup Saya yang Sesungguhnya
Bagaimana dengan saya sendiri? Banyak orang yang mengenal saya sebagai pribadi yang panggilan hidupnya ada di dunia fotografi, betapapun saya pada akhirnya tidak menjadi fotografer profesional. Banyak orang melihat bahwa saya sudah begitu menyatu dengan dunia fotografi.

Namun tidak banyak orang mengetahui, bahwa panggilan hidup saya sebenarnya adalah di bidang People Development. Ada gairah besar dan antusiasme yang berbeda antara ketika saya memegang kamera, dengan ketika saya berada di depan sebuah sesi pelatihan atau workshop untuk membagikan pengetahuan saya kepada para pemirsa di hadapan saya.

Ketika saya memegang kamera, tentu saja hati & pikiran senang. Namun ya sampai di situ saja. Pada akhirnya saya hanya mengoleksi foto keluarga saja. Kalaupun saya menghasilkan sejumlah karya terbaik, saya jarang memikirkan karya itu dilombakan atau dijual, cukup saya nikmati secara pribadi saja. Dan jangan salah, saya lakukan itu sejak 1992. Lamanya kurun waktu saya dalam menjalani fotografi, bukanlah patokan baku dalam menyebut fotografi sebagai panggilan hidup saya; betapapun saya mahir melakukannya.

Tapi ketika saya melakukan hal-hal yang berhubungan dengan People Development dan Knowledge Management, ada sesuatu yang saya rasakan berbeda, mengalir dalam darah saya, mengetuk jiwa saya, dan memacu semangat saya untuk terus terjaga hingga subuh ketika sedang menyusun materi pelatihan di PowerPoint. Saya selalu terbayang ekspresi pemirsa yang senang dengan apa yang saya bagikan, dan saya selalu terbayang banyak pemirsa yang bertanya-jawab dengan saya. Hingga saya simulasikan kemungkinan pertanyaan-pertanyaan dari pemirsa, dan saya siapkan kemungkinan-kemungkinan jawabannya juga.

Apakah pembaca melihat bedanya antara melakukan hal yang merupakan panggilan hidup, dengan yang sekedar hobi atau keahlian? Bedanya jelas. Menjalani panggilan hidup, kita akan memacu diri kita hingga 3x, 5x atau bahkan 10x kemampuan diri kita yang aslinya, tanpa rasa terpaksa, dengan segala keikhlasan. Beyond ourself. Sementara jika itu sekedar hobi, kita akan menjalaninya karena menyukainya saja, atau lebih karena aspek refreshing. Apalagi jika hanya berdasarkan keahlian saja, kita seringkali berhitung atas semua upaya tersebut.

Dengan menjalani apa yang kita lakukan selaras dengan panggilan hidup, kita bisa terus melakukan upaya-upaya terbaik yang melampaui keterbatasan diri dan (terkadang) akal sehat kita, demi mencapai apa yang paling luhur kita cita-citakan; dengan mengabaikan semua rasa pedih & jenuh dalam prosesnya.

Inilah yang pada akhirnya menciptakan GREATNESS / KEAGUNGAN dalam kehidupan umat manusia, yaitu panggilan hidup. Tidak ada yang bisa mengalahkan seseorang dengan panggilan hidup kuat, yang dia tuangkan menjadi filosofi hidup sekaligus juga langkah kerja di dunia nyata. Steve Jobs, Bill Gates, Michael Dell, Mother Theresa, Valentino Rossi, Michael Schumacher; dan begitu banyak nama agung lainnya di berbagai bidang kehidupan, telah membuktikannya.

Ada pameo mengatakan bahwa siapapun bisa menjadi orang hebat. Namun tidak semua orang bisa menjadi bintang. Dan hanya orang-orang terpilih sajalah yang bisa menjadi legenda. Nah, apakah definisi "terpilih" itu? Tidak lain adalah terpilih oleh keputusan hidupnya sendiri untuk menjalani panggilan hidupnya sendiri, menjalani suara hati kecilnya sendiri.

Kita ingin menjadi pribadi yang tanpa jenuh menjalani rutinitas? Hilangkanlah kejenuhan teknis.

Kita ingin menjadi orang hebat? Hilangkanlah kejenuhan mental dan hindarilah lingkungan kehidupan atau pekerjaan yang bisa menimbulkan kejenuhan eksternal / sistemik.

Kita ingin menjadi pribadi yang agung, berdampak besar bagi kehidupan orang lain, dan berbahagia dengan hidup kita sendiri? Hilangkanlah kejenuhan spiritual, temukanlah panggilan hidup, dan tuangkanlah semua itu kedalam filosofi hidup di dalam sanubari kita dan juga langkah-langkah mewujudkannya di dunia nyata.

Semua keputusannya ada di tangan kita sendiri.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Tiga Tipe Kejenuhan dan Cara Mengatasinya"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel