Simplify Our Life: FALL (A = Accept Yourself)
Sunday, May 7, 2017
Add Comment
Artikel ini merupakan artikel kedua yang membahas tentang apa yang saya ringkas dengan kata FALL. Untuk pembahasan mengenai huruf F dari kata FALL tersebut, silakan bacalah terlebih dahulu di artikel ini agar pembaca bisa lebih memahami alur berpikir saya di artikel kedua ini, yang membahas huruf "A" dari kata FALL.
Sebelum melangkah lebih jauh, saya ketengahkan lagi apa kepanjangan dari FALL:
Sebegitu pentingnya identifikasi kelebihan dan kekurangan diri kita sendiri ini, hingga pertanyaan tentang "Apa kelebihan Anda" dan "Apa kekurangan Anda" sudah menjadi "menu wajib" dalam soal-soal psikotes jika kita melamar kerja ke perusahaan-perusahaan dengan sistem manajemen yang modern. Jika perusahaan-perusahaan saja ingin agar kita mengenal diri kita sendiri, lah masa iya kita tidak berusaha mengenali diri kita sendiri terlebih dahulu?
Sudah banyak orang yang saya jumpai, jauh lebih bisa mengenal orang lain dan menyebutkan kekurangan-kelebihan orang lain dengan jitu; sementara hal itu tidak dapat dia lakukan sendiri terhadap dirinya.
Itulah sebabnya banyak orang, bahkan termasuk saya sekalipun, membutuhkan mata, pikiran dan hati orang lain untuk membantu kita menyebutkan kelebihan maupun kekurangan kita. Ini wajar saja dan manusiawi adanya. Ibaratnya tukang pangkas rambut, tidak akan bisa memangkas rambutnya sendiri. Maka dia butuh tukang pangkas rambut lain untuk memangkas rambutnya. Demikian juga dengan pengenalan karakter diri kita sendiri.
Ini kisah nyata dari pengalaman pribadi saya. Selepas SMA, saya penasaran tentang bagaimana kawan-kawan saya yang lain memandang saya. Saya ingin tahu apa pandangan mereka terhadap diri saya. Maka saya membuat sebuah rencana.
Di jaman sekitar tahun 1997an ketika saya lulus SMA, belum ada gadget canggih dan peralatan elektronik seperti jaman sekarang. Maka kertas & buku menjadi medium yang sangat umum sebagai sarana komunikasi. Dulu jaman saya SD, ada yang namanya buku kenangan, dimana semua kawan-kawan yang kita kenal mengisi biodata dirinya dan kesan-pesan mereka untuk kita. Buku kenangan itu biasanya kita edarkan ke semua orang. Nah, saya ingin melakukan hal yang sama seperti buku kenangan.
Bedanya, buku kenangan diedarkan dari satu orang ke satu orang lainnya. Buat saya ini makan waktu terlalu lama, mengingat satu angkatan SMA saya yang terdiri dari 400an orang siswa. Saya ingin mengambil sampel dari 200an orang saja. Tentunya tidak mungkin dengan mengedarkan buku kenangan. Bisa-bisa buku kenangan tersebut belum selesai beredar hingga saya lulus SMA. Selain itu di dalam buku kenangan tidak ada privasi. Setiap orang yang memegangnya, bisa melihat tulisan-tulisan sebelumnya dari orang lain yang telah terlebih dahulu menulis. Bagi beberapa orang, hal ini bisa saja terasa tidak nyaman.
Akhirnya saya memutuskan cara yang lebih kreatif. Dulu masih musim yang namanya Loose Leaf, semacam organizer kertas yang dapat kita golong-golongkan berdasarkan subjek tulisan yang akan kita bubuhkan di kertasnya. Jaman dulu Loose Leaf sangat populer, karena praktis. Jadi misalnya ada 7 mata pelajaran, kita tidak perlu membawa 7 buku catatan terpisah. Cukup satu Loose Leaf dengan 7 pembagian kategori yang telah kita susun, biasanya berdasarkan warna kertas pemisahnya.
Nah, kertas Loose Leaf ini dapat kita lepas sesuka hati, tanpa merobeknya. Pinggiran bagian kiri kertas Loose Leaf memang sudah bolong-bolong, memudahkan kita membongkar-pasang dan menggolongkannya sesuai keperluan. Kertas Loose Leaf inilah yang akhirnya saya bagikan ke sekitar 200an orang yang menjadi target saya. Tidak semuanya teman dekat. Ada pula yang hanya kenal selewat, tetap saya bagikan.
Repot? Sudah pasti. Per satu orang yang saya bagikan, saya harus mengatakan sejumlah kata pengantar agar mereka paham dengan apa yang harus mereka tuliskan tentang diri saya. Satu hal yang saya tekankan adalah bahwa di kertas itu mereka wajib jujur. Apapun kejelekan tentang diri saya, tuliskanlah. Saya mau berubah selepas SMA, menjadi orang yang lebih baik lagi. Bahkan ada beberapa orang guru yang saya bagikan. Penilaian dari guru pun tidak kalah pentingnya bagi saya.
Butuh sekitar 2 minggu bagi saya untuk kembali mengumpulkan sekitar 200an kertas tersebut. And you know what? Tidak ada rasa senang yang lebih besar selain ketika saya membaca semua komentar-komentar tertulis dari mereka itu. Ada yang menghina, ada yang menasihati, ada yang jenaka, ada yang penuh kenangan, ada yang romantis, dan masih banyak lagi.
Saya menganggap 200an lembar kertas Loose Leaf itu sebagai harta yang berharga bagi masa depan saya selepas SMA. Dengan membacanya secara seksama, saya bisa langsung menyimpulkan apa kelebihan dan kekurangan dalam diri saya dari sudut pandang orang lain.
Kesimpulannya, ada tiga karakter dasar dalam diri saya yang selama ini orang lain lihat, yaitu: saya paling rajin bawa kamera ke sekolah, saya pemarah & temperamental, dan saya abuy (istilah gaul di Bandung untuk playboy / lelaki yang gemar bergaul dengan perempuan). Dalam hal membawa kamera dan pergaulan dengan perempuan, itu sih tidak bisa saya ubah, karena memang sudah nature-nya saya kaya begitu.
Saya sangat terfokus dengan karakter saya yang pemarah & temperamental. Harus saya akui, itulah titik lemah terbesar saya di masa lalu. Siapapun yang pernah melihat saya marah, pasti akan merasa ngeri. Saya pernah menghajar beberapa orang kawan seangkatan saya dengan tinju saya, hanya karena kesalahan mereka ketika berurusan sesuatu dengan saya. Apalagi saya dulu sempat ikut kursus Tae Kwon Do dan juga pecinta alam, rasanya dulu mudah sekali melayangkan tinju untuk melampiaskan amarah saya.
Masalah kepribadian terbesar saya di masa lalu adalah Anger Management.
Setelah saya diingatkan lewat kertas-kertas Loose Leaf tersebut, saya menyesalinya. Saya sungguh bersyukur telah melakukan langkah itu kepada kawan-kawan SMA saya, sehingga saya punya banyak waktu selagi masih muda untuk segera mengoreksi diri saya sebelum memasuki bangku kuliah. Dan memang setelah saya banyak pikirkan kembali, banyak diantara kemarahan saya tersebut sebenarnya tidak perlu sampe sebegitunya. Tapi ya namanya darah muda, susah ya, he he he...
Bagi saya, bangku kuliah harus saya antisipasi karena selain kultur perkuliahan yang lebih bebas & liberal, juga karena pergaulan era mahasiswa yang jauh lebih heterogen. Di TK, SD, SMP dan SMA yang saya jalani; lingkungannya homogen, yaitu banyak mayoritas keturunan Tionghoa dan beragama Katolik atau Protestan. Di perkuliahan, jelas jauh lebih heterogen. Mahasiswa dari berbagai suku, agama dan latarbelakang budaya bercampur, sehingga saya tidak bisa lagi mempertahankan sifat-sifat negatif saya jika ingin memasuki pergaulan yang baru.
Singkat kata, saya berhasil berubah menjadi pribadi yang jauh lebih berbahagia di dunia kampus. Saya bisa katakan bahwa saya jauh jauh jauh lebih menikmati pergaulan di kampus ketimbang di sekolah saya dulu. Tentunya ini tidak lepas dari perubahan sifat secara bertahap yang saya lakukan.
Sebagai buahnya, saya pun mendapatkan pacar yang kemudian menjadi istri saya hingga sekarang, dari dunia kampus. Pun istri saya masih sempat merasakan tingginya temperamen saya pada waktu awal-awal menikah. Namun dengan kesabaran dan ketegasannya, dia berhasil mengubah saya menjadi pribadi yang lebih sabar dan lebih bisa menghargai keberadaan orang lain.
Inilah sekilas cerita saya, yang hingga saat ini masih terus berproses untuk Accept Myself, untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan saya. Untuk itu saya harus tanpa jemu menerima kritik dengan lapang dada, lalu kemudian saya sesuaikan dengan kebutuhan koreksi atas diri saya, dan terus melakukan peningkatan kualitas Emotional Intelligence secara berkelanjutan.
Dengan mengetahui dan sekaligus juga menerima kelebihan maupun kekurangan diri kita, maka kita dapat mengoptimalkan kelebihan dalam diri kita bagi kemajuan karir, kehidupan keluarga dan kehidupan bermasyarakat yang kita jalani. Demikian juga dengan kekurangan dalam diri kita, bisa kita antisipasi solusi-solusinya, agar tidak menjadi kerikil tajam dalam perjalanan hidup kita.
Untuk artikel berikutnya yang membahas tentang L1: Love Yourself, silakan tuju ke sini.
Sebelum melangkah lebih jauh, saya ketengahkan lagi apa kepanjangan dari FALL:
- Forgive yourself. Ampuni diri kita sendiri terlebih dahulu (telah dibicarakan).
- Accept yourself. Terimalah kelebihan & kekurangan diri kita (sedang dibicarakan di artikel ini).
- Love yourself. Kasihilah diri kita terlebih dahulu.
- Learn about yourself. Selalu galilah hal baru dari dalam diri kita.
Sebegitu pentingnya identifikasi kelebihan dan kekurangan diri kita sendiri ini, hingga pertanyaan tentang "Apa kelebihan Anda" dan "Apa kekurangan Anda" sudah menjadi "menu wajib" dalam soal-soal psikotes jika kita melamar kerja ke perusahaan-perusahaan dengan sistem manajemen yang modern. Jika perusahaan-perusahaan saja ingin agar kita mengenal diri kita sendiri, lah masa iya kita tidak berusaha mengenali diri kita sendiri terlebih dahulu?
Sudah banyak orang yang saya jumpai, jauh lebih bisa mengenal orang lain dan menyebutkan kekurangan-kelebihan orang lain dengan jitu; sementara hal itu tidak dapat dia lakukan sendiri terhadap dirinya.
Itulah sebabnya banyak orang, bahkan termasuk saya sekalipun, membutuhkan mata, pikiran dan hati orang lain untuk membantu kita menyebutkan kelebihan maupun kekurangan kita. Ini wajar saja dan manusiawi adanya. Ibaratnya tukang pangkas rambut, tidak akan bisa memangkas rambutnya sendiri. Maka dia butuh tukang pangkas rambut lain untuk memangkas rambutnya. Demikian juga dengan pengenalan karakter diri kita sendiri.
Ini kisah nyata dari pengalaman pribadi saya. Selepas SMA, saya penasaran tentang bagaimana kawan-kawan saya yang lain memandang saya. Saya ingin tahu apa pandangan mereka terhadap diri saya. Maka saya membuat sebuah rencana.
Di jaman sekitar tahun 1997an ketika saya lulus SMA, belum ada gadget canggih dan peralatan elektronik seperti jaman sekarang. Maka kertas & buku menjadi medium yang sangat umum sebagai sarana komunikasi. Dulu jaman saya SD, ada yang namanya buku kenangan, dimana semua kawan-kawan yang kita kenal mengisi biodata dirinya dan kesan-pesan mereka untuk kita. Buku kenangan itu biasanya kita edarkan ke semua orang. Nah, saya ingin melakukan hal yang sama seperti buku kenangan.
Bedanya, buku kenangan diedarkan dari satu orang ke satu orang lainnya. Buat saya ini makan waktu terlalu lama, mengingat satu angkatan SMA saya yang terdiri dari 400an orang siswa. Saya ingin mengambil sampel dari 200an orang saja. Tentunya tidak mungkin dengan mengedarkan buku kenangan. Bisa-bisa buku kenangan tersebut belum selesai beredar hingga saya lulus SMA. Selain itu di dalam buku kenangan tidak ada privasi. Setiap orang yang memegangnya, bisa melihat tulisan-tulisan sebelumnya dari orang lain yang telah terlebih dahulu menulis. Bagi beberapa orang, hal ini bisa saja terasa tidak nyaman.
Akhirnya saya memutuskan cara yang lebih kreatif. Dulu masih musim yang namanya Loose Leaf, semacam organizer kertas yang dapat kita golong-golongkan berdasarkan subjek tulisan yang akan kita bubuhkan di kertasnya. Jaman dulu Loose Leaf sangat populer, karena praktis. Jadi misalnya ada 7 mata pelajaran, kita tidak perlu membawa 7 buku catatan terpisah. Cukup satu Loose Leaf dengan 7 pembagian kategori yang telah kita susun, biasanya berdasarkan warna kertas pemisahnya.
Ilustrasi Loose Leaf. Sumber foto: Istimewa |
Repot? Sudah pasti. Per satu orang yang saya bagikan, saya harus mengatakan sejumlah kata pengantar agar mereka paham dengan apa yang harus mereka tuliskan tentang diri saya. Satu hal yang saya tekankan adalah bahwa di kertas itu mereka wajib jujur. Apapun kejelekan tentang diri saya, tuliskanlah. Saya mau berubah selepas SMA, menjadi orang yang lebih baik lagi. Bahkan ada beberapa orang guru yang saya bagikan. Penilaian dari guru pun tidak kalah pentingnya bagi saya.
Butuh sekitar 2 minggu bagi saya untuk kembali mengumpulkan sekitar 200an kertas tersebut. And you know what? Tidak ada rasa senang yang lebih besar selain ketika saya membaca semua komentar-komentar tertulis dari mereka itu. Ada yang menghina, ada yang menasihati, ada yang jenaka, ada yang penuh kenangan, ada yang romantis, dan masih banyak lagi.
Saya menganggap 200an lembar kertas Loose Leaf itu sebagai harta yang berharga bagi masa depan saya selepas SMA. Dengan membacanya secara seksama, saya bisa langsung menyimpulkan apa kelebihan dan kekurangan dalam diri saya dari sudut pandang orang lain.
Kesimpulannya, ada tiga karakter dasar dalam diri saya yang selama ini orang lain lihat, yaitu: saya paling rajin bawa kamera ke sekolah, saya pemarah & temperamental, dan saya abuy (istilah gaul di Bandung untuk playboy / lelaki yang gemar bergaul dengan perempuan). Dalam hal membawa kamera dan pergaulan dengan perempuan, itu sih tidak bisa saya ubah, karena memang sudah nature-nya saya kaya begitu.
Saya sangat terfokus dengan karakter saya yang pemarah & temperamental. Harus saya akui, itulah titik lemah terbesar saya di masa lalu. Siapapun yang pernah melihat saya marah, pasti akan merasa ngeri. Saya pernah menghajar beberapa orang kawan seangkatan saya dengan tinju saya, hanya karena kesalahan mereka ketika berurusan sesuatu dengan saya. Apalagi saya dulu sempat ikut kursus Tae Kwon Do dan juga pecinta alam, rasanya dulu mudah sekali melayangkan tinju untuk melampiaskan amarah saya.
Masalah kepribadian terbesar saya di masa lalu adalah Anger Management.
Setelah saya diingatkan lewat kertas-kertas Loose Leaf tersebut, saya menyesalinya. Saya sungguh bersyukur telah melakukan langkah itu kepada kawan-kawan SMA saya, sehingga saya punya banyak waktu selagi masih muda untuk segera mengoreksi diri saya sebelum memasuki bangku kuliah. Dan memang setelah saya banyak pikirkan kembali, banyak diantara kemarahan saya tersebut sebenarnya tidak perlu sampe sebegitunya. Tapi ya namanya darah muda, susah ya, he he he...
Bagi saya, bangku kuliah harus saya antisipasi karena selain kultur perkuliahan yang lebih bebas & liberal, juga karena pergaulan era mahasiswa yang jauh lebih heterogen. Di TK, SD, SMP dan SMA yang saya jalani; lingkungannya homogen, yaitu banyak mayoritas keturunan Tionghoa dan beragama Katolik atau Protestan. Di perkuliahan, jelas jauh lebih heterogen. Mahasiswa dari berbagai suku, agama dan latarbelakang budaya bercampur, sehingga saya tidak bisa lagi mempertahankan sifat-sifat negatif saya jika ingin memasuki pergaulan yang baru.
Singkat kata, saya berhasil berubah menjadi pribadi yang jauh lebih berbahagia di dunia kampus. Saya bisa katakan bahwa saya jauh jauh jauh lebih menikmati pergaulan di kampus ketimbang di sekolah saya dulu. Tentunya ini tidak lepas dari perubahan sifat secara bertahap yang saya lakukan.
Sebagai buahnya, saya pun mendapatkan pacar yang kemudian menjadi istri saya hingga sekarang, dari dunia kampus. Pun istri saya masih sempat merasakan tingginya temperamen saya pada waktu awal-awal menikah. Namun dengan kesabaran dan ketegasannya, dia berhasil mengubah saya menjadi pribadi yang lebih sabar dan lebih bisa menghargai keberadaan orang lain.
Inilah sekilas cerita saya, yang hingga saat ini masih terus berproses untuk Accept Myself, untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan saya. Untuk itu saya harus tanpa jemu menerima kritik dengan lapang dada, lalu kemudian saya sesuaikan dengan kebutuhan koreksi atas diri saya, dan terus melakukan peningkatan kualitas Emotional Intelligence secara berkelanjutan.
Dengan mengetahui dan sekaligus juga menerima kelebihan maupun kekurangan diri kita, maka kita dapat mengoptimalkan kelebihan dalam diri kita bagi kemajuan karir, kehidupan keluarga dan kehidupan bermasyarakat yang kita jalani. Demikian juga dengan kekurangan dalam diri kita, bisa kita antisipasi solusi-solusinya, agar tidak menjadi kerikil tajam dalam perjalanan hidup kita.
Untuk artikel berikutnya yang membahas tentang L1: Love Yourself, silakan tuju ke sini.
0 Response to "Simplify Our Life: FALL (A = Accept Yourself)"
Post a Comment