Membangun Jembatan Mental yang Kuat & Indah
Thursday, October 19, 2017
Add Comment
Perbedaan cara berpikir dan berperilaku antara perempuan dan lelaki, memang tidak pernah ada habisnya dikupas. Kali ini saya akan mengupas sesuatu yang mungkin merupakan gejala sehari-hari dalam interaksi antara perempuan dan lelaki. Saya hanya berpikir bahwa masih ada gap yang membutuhkan jembatan mental, ketika perbedaan cara berpikir dan berperilaku ini mengemuka dan kemudian meruncing.
Sedari awal saya merasa perlu mengingatkan, bahwa apa yang saya tulis di artikel ini adalah berdasarkan berbagai referensi ilmiah yang telah lama saya pelajari, dan juga dari berbagai kejadian dunia nyata yang saya alami sendiri. Namun ini semua adalah GENERALISASI. Oleh sebab itu tidak perlu merasa tersinggung dengan apa yang saya tulis di sini, seandainya pembaca tidak merasa seperti apa yang saya tulis di sini. Terakhir, artikel ini bukanlah artikel yang bias gender dan bermaksud menyudutkan satu gender tertentu dan mengagungkan gender yang lain. Ini semua adalah tentang kecenderungan dan mayoritas statistik. Di dunia nyata, saya berjumpa dengan perempuan yang tidak seperti apa yang saya bicarakan di sini, dan saya pun berjumpa dengan lelaki yang tidak seperti apa yang saya bicarakan di sini.
Jadi... tolong tenangkan pikiran dan jiwa kita semua ya, sebelum membaca artikel ini, khususnya kepada para perempuan.
Hidup saya banyak diwarnai oleh para perempuan, dan saya pun dikelilingi para perempuan luar biasa di keluarga saya. Saya adalah anak lelaki satu-satunya di keluarga masa kecil saya, dan sekarang saya pun masih menjadi lelaki satu-satunya di keluarga pernikahan saya, karena dua anak saya perempuan semua. Saya menulis artikel ini adalah justru agar kita semua, khususnya perempuan, memiliki ruang di dalam hati untuk menerima semua ini sebagai pembelajaran dan peningkatan kualitas kepribadian secara berkelanjutan.
Baiklah... lanjuttt...
Tentang Jendela Mental
Sebelum kita melangkah, saya ingin menjelaskan dulu apa itu jembatan mental. Tentu saja ini istilah merupakan celetukan dari saya. Saya mendapatkan istilah "jembatan mental" sebenarnya awalnya dari kata "paradigma", yang artinya adalah "jendela mental seseorang dalam memandang sebuah fenomena atau wacana". Nah, jika kita melihat bahwa "paradigma" atau "jendela mental" lebih dekat ke pikiran dan mental kita, maka "jembatan mental" adalah lebih dekat ke perbuatan dan perilaku kita.
Dalam bahasa sehari-hari, "jembatan mental" bisa juga diartikan sebagai "kebesaran jiwa". Jiwa yang kerdil biasanya gemar mempermasalahkan hal-hal remeh yang tidak penting dan bisa merusak hubungan baik. Sedangkan jiwa besar akan lebih mengutamakan hubungan jangka panjang antar satu orang dengan orang lainnya, dan memutuskan untuk tidak mempermasalahkan detail-detail dari hubungan itu yang tidak berkontribusi bagi hubungan baik tersebut.
Jika kita berjiwa kerdil, kecenderungannya adalah kita lebih mudah "membakar jembatan" hubungan baik kita dengan seseorang atau sekelompok orang, misalnya hanya karena hal-hal kecil yang bersifat emosional jangka pendek. Sedangkan jika kita berjiwa besar, betapapun misalnya kita mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan ketika membangun relasi dengan seseorang, kita memilih & memutuskan untuk tidak buru-buru membakar & menghancurkan jembatan hubungan baik kita dengan orang tersebut, dan memilih untuk tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal kurang mengenakkan yang terjadi dalam hubungan tersebut, tentunya sejauh masih dapat ditoleransi.
Inilah yang saya maksudkan sebagai jembatan mental. Intinya, ketika ada masalah yang terjadi dalam komunikasi dan perilaku sebuah hubungan dua orang atau lebih, seberapa kuatkah jembatan mental kita untuk tetap berhubungan baik dengan mereka? Seberapa kita berjiwa besar untuk menerima kekurangan pihak lain yang terkadang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut? Inilah masalahnya.
Khususnya dalam artikel ini, saya akan sedikit mengupas tentang interaksi antara perempuan dan lelaki.
Emosional vs Rasional: Tidak Seperti yang Terlihat
Kita semua sudah paham bahwa dari berbagai literatur ilmiah kelas dunia, perempuan adalah makhluk yang kecenderungan emosionalnya kuat. Mayoritas keputusan, perilaku dan cara berpikir perempuan; kuat dipengaruhi oleh emosi dan perasaannya. Oleh sebab itu, kecenderungan jendela mental perempuan terfokus pada current event atau peristiwa-peristiwa aktual di saat ini, dan oleh karenanya maka kecenderungan sifat dan cara berpikir perempuan lebih terarah kepada hal-hal mikro dan jangka pendek.
Sedangkan di sisi lainnya, juga dari berbagai literatur ilmiah kelas dunia, lelaki merupakan makhluk yang umumnya lebih logis dan rasional. Mayoritas keputusan, perilaku dan cara berpikir lelaki; kuat dipengaruhi oleh berbagai referensi masa lalu dan pandangannya akan masa depan, dan oleh karenanya maka kecenderungan sifat dan cara berpikir lelaki lebih terarah kepada hal-hal makro dan jangka panjang.
Dari uraian diatas, kesimpulannya mudah. Terutama ketika suasana hati perempuan sedang tidak baik, perempuan lebih mudah "membakar jembatan" hubungan baik dengan pihak lain. Seringkali tanpa dasar dan alasan yang jelas pula. Satu-satunya penjelasannya adalah ya karena referensi cara berpikir dan berperilaku perempuan yang kuat terfokus pada kurun waktu saat ini saja.
Saat ini perempuan merasakan hal tidak enak, maka saat ini pulalah dia mengeluarkan reaksi emosional, dan saat ini pulalah dia bisa "membakar jembatan" hubungan baik dengan orang tersebut. Ini lumrah terjadi dan sudah sering saya jumpai di berbagai kesempatan.
Namun ketika sang perempuan mendapati bahwa dia mengalami kerugian besar dari rusaknya hubungan baik tersebut, dia tetaplah tidak mudah samasekali untuk meminta maaf dan juga tidak mudah samasekali untuk menunjukkan kepeduliannya pada perbaikan hubungan baik tersebut.
Ini tercermin dari berbagai celetukan pria yang intinya adalah: perempuan mana pernah merasa salah? Lelaki selalu salah, dan lelaki harus selalu minta maaf dulu. Titik.
Bahkan ada anekdot berkata bahwa satu-satunya peristiwa dimana perempuan meminta maaf, adalah ketika hari raya Lebaran, ha ha ha... sedikit-banyak saya setuju dan bisa memaklumi anekdot ini.
Apakah semua perempuan seperti ini? Mayoritas. Mengapa mereka seperti itu? Ya itu sudah didesain dari sononya seperti itu, ha ha ha... artikel ini tidak ditulis demi mengusulkan tips dan trik untuk memperbaiki alamiahnya perempuan tersebut. Artikel ini lebih ke arah "menunjukkan bahwa lelaki tidak selalu harus bersalah" ketika ada masalah dalam hubungan apapun dengan perempuan; apakah sebagai kawan, pacar, pasangan hidup atau rekan kerja.
Nah, berbeda dengan umumnya lelaki. Ketika ada masalah terjadi dengan perempuan (atau dengan manusia lainnya, apapun jenis kelaminnya), lelaki cenderung lebih bisa mengendalikan emosi dan perilakunya, karena orientasinya pada hal-hal yang bersifat makro dan jangka panjang, dalam kurun waktu masa lalu (sebagai referensi) dan juga masa depan, sebagai upaya untuk "mempertahankan jembatan" hubungan baik dengan seseorang; betapapun mungkin di saat itu mereka sedang mengalami hal yang tidak mengenakkan.
Misalnya, seorang suami telah bekerja keras dan baru pulang dari kantornya. Malamnya dia masih berdedikasi untuk membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci piring, menyeterika, dan merapikan hal-hal lainnya yang belum sempat dibereskan istrinya karena kelelahan.
Namun di saat itu pula, perasaan sang istri sedang tidak senang. Bisa jadi sedang PMS, bisa jadi karena berbagai masalah lainnya...
Dalam membantu pekerjaan rumah tersebut, sang suami berbuat kesalahan kecil, misalnya menuang sabun cuci terlalu banyak. Sang istri tahu dan memarahinya habis-habisan, karena dianggap boros, tidak menghargai penghematan yang telah dilakukan sang istri selama ini, ceroboh, begok, goblok, dan lain sebagainya dahhh... ha ha ha...
Kedengerannya tidak asing kan buat para lelaki, terutama yang sudah berumahtangga? Jangan kuatir, kita tidak sendirian...
Sang suami yang sudah lelah, stres dan dianggap goblok tersebut, berusaha menghibur dirinya dengan membuat minuman coklat panas. Ealah... masih disemprot sang istri pula karena coklat bubuk yang digunakan sang suami untuk minuman coklat panas, adalah bubuk coklat yang dibeli untuk membuat kue. Lengkaplah sudah...
Apakah pembaca sudah menangkap arah artikel ini? Ya, saya sedang membicarakan tentang betapa mudahnya perempuan "membakar jembatan hubungan baik" hanya karena hal-hal kecil dan emosional yang mereka rasakan bergejolak pada hari itu. Tanpa memandang kebaikan sang lelaki. Tanpa memandang perbuatan baik sang lelaki yang bersedia membantu sang perempuan ditengah kelelahan fisik dan mentalnya.
Ketika sang istri menumpahkan amarahnya kepada sang suami pada contoh diatas, seringkali kita melihat bahwa semulia apapun akhlak suaminya dan sebaik apapun perilaku suaminya, betapapun lelahnya dia sudah bekerja seharian di kantor (dan dimarahi bosnya pula); seolah-olah semua itu samasekali tidak ada artinya dibandingkan dengan sabun cuci yang salah takar oleh sang suami. Seolah-olah semua itu samasekali tidak ada artinya dibandingkan dengan tiga sendok teh bubuk coklat untuk menghibur sang suami.
Semua kebaikan jiwa & perilaku sang suami, tidak lebih berharga daripada sabun cuci dan bubuk coklat.
Lalu mengapa masih banyak rumahtangga yang bertahan? Tidak lain adalah karena sang suami yang memiliki ekstra kasih, ekstra kesabaran, ekstra kebesaran jiwa, dan jembatan mental yang super-kokoh; demi menopang keutuhan rumahtangga tersebut.
Jika lelaki benar-benar menggunakan logikanya dan rasionalitasnya secara saklek & konsekuen, saya haqul yakin, sudah tidak ada satupun rumahtangga yang bisa bertahan utuh di muka bumi ini.
Saya bisa katakan bahwa sesungguhnya... lelaki adalah makhluk yang lebih memiliki kasih dibandingkan dengan perempuan. Dibalik semua logika, rasionalitasnya dan cuek perilakunya; lelaki telah lebih dahulu mempraktikkan kasih dan jembatan mental yang kokoh dalam menghadapi cara berpikir dan perilaku perempuan yang (seringkali) seperti itu.
Jika sang perempuan berbuat salah, seringkali lelaki lebih memiliki jembatan mental yang kokoh dan telaga hati yang luas dan dalam; untuk memaafkan dan mengampuni sang perempuan, tanpa syarat apapun. Sang lelaki mungkin paham apa saja kebaikan sang perempuan, apa saja hal baik yang telah diperbuat sang perempuan, dan apa saja kebaikan hidup yang (mungkin) bisa didapat sang lelaki jika dia berusaha mempertahankan hubungan tersebut bersama sang perempuan.
Kasih Adalah "Me", Bukan "Di"
Berlawanan dengan anggapan umum, saya mendefinisikan kasih sebagai berikut:
Ayat 1: Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.
Ayat 2: Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.
Ayat 3: Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.
Ayat 4: Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
Ayat 5: Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Ayat 6: Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
Ayat 7: Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
... dan seterusnya...
Ayat 13: Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar diantaranya ialah kasih.
Saya paham bahwa tidak semua pembaca artikel ini beragama Kristen atau Katolik. Kenyataannya pun di sini saya tidak sedang menyebarkan agama saya. Namun pembahasan mengenai kasih, tidak bisa lepas dari ayat-ayat tersebut diatas, dan sesungguhnya bahasanya pun universal, bisa menjangkau semua manusia.
Silakan pembaca baca, serap dan renungkan ayat-ayat tersebut di atas baik-baik. Betapa kasih adalah sebuah kata kerja, sebuah upaya, sebuah kesadaran penuh, dan sebuah kebesaran jiwa untuk mempertahankan sesuatu yang agung, mulia dan besar.
Lelaki, Perempuan dan Kepemimpinan
Mayoritas lelaki berpikir makro, berpikir besar, dan berpikir jangka panjang. Baik ini disadari atau tidak, sebenarnya lelaki sudah mempraktikkan sebagian ajaran kasih. Dan oleh karenanya lelaki merupakan pemilik sejati dari jembatan-jembatan mental terkuat di dunia, yang membuat banyak institusi bertahan lama dibawah kepemimpinannya.
Maka tidak mengherankan jika mayoritas pemimpin organisasi besar, adalah lelaki. Bukan karena sistem yang bias gender, dan bukan karena lelaki yang tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menjadi pemimpin. Tapi karena berbagai karakter dan keterbatasan inheren perempuan yang "memang sudah dari sononya", yang membuat mereka sendiri menjadi "kurang layak" untuk menjadi pemimpin dari organisasi besar.
Lelaki pun terbukti dapat melakukan hal-hal yang ekstrim hebat, karena kemampuan fokusnya dan kemampuannya meminggirkan hal-hal mikro yang tidak penting dan tidak berkontribusi bagi pencapaian impiannya.
Perempuan-perempuan hebat yang terbukti dapat memimpin organisasi besar atau memiliki keahlian & pencapaian yang ekstrim hebat, untuk berdiri sejajar dengan lelaki, adalah perempuan yang sudah sepenuhnya berhasil mengatasi berbagai kendala alamiahnya dan kerapuhan jembatan mentalnya. Sesederhana itu.
Saya paham sekali, samasekali tidak mudah bagi perempuan untuk melakukan itu dan mencapai kualitas jembatan mental yang setara dengan lelaki. Namun bukankah ini tetap lebih mudah daripada upaya lelaki untuk selalu berusaha memahami perempuan?
Percayalah, bahwa:
Kesimpulan dan Saran
Mayoritas tatanan sosial di dunia ini telah menempatkan lelaki dalam posisi yang berat, ketika sudah berhubungan dengan rumahtangga dan keluarga. Seolah-olah semua kebejatan dan kebrengsekan adalah dominasi lelaki dan selalu bersumber dari lelaki. Maka ketika terjadi ketegangan dalam rumahtangga, posisi lelaki selalu disalahkan terlebih dahulu, baik oleh perempuan pada umumnya, dan juga oleh nilai-nilai yang dianut oleh tatanan masyarakat pada umumnya.
Padahal jika kita menilik dan menyerapi semua ayat-ayat Alkitab yang telah saya kemukakan diatas, kita semua sudah sepatutnya sadar bahwa di hadapan Tuhan, baik lelaki maupun perempuan, punya kewajiban YANG SAMA BESARNYA untuk mewujudkan damai sejahtera & sukacita di keluarga, negara dan dunia ini.
Bagaimana caranya? Ya bacalah dan serapilah baik-baik ayat-ayat Korintus yang telah saya kemukakan. Di situ sudah jelas tertulis bagaimana caranya.
Jadi, buat para perempuan di luar sana, cobalah konsekuen dengan pilihan hidup kita. Jika perempuan sedemikian bencinya dengan lelaki, tidak usahlah menikah apalagi mempunyai anak. Kenapa demikian? Karena karakter perempuan yang seperti itu, bukanlah merupakan role model yang baik dalam rumahtangga, bagi anak-anaknya.
Jika rumahtangga tersebut memiliki anak lelaki, perilaku perempuan yang seperti itu akan memberinya gambaran yang salah bahwa lelaki pasti selalu salah jika berurusan dengan perempuan dan rumahtangga. Tercipta impresi bahwa lelaki akan menghadapi tiga kerepotan besar dalam berumahtangga, yaitu kerepotan mencari uang lebih besar, kerepotan menghadapi perilaku perempuan (yang kebetulan adalah istrinya), dan kerepotan menghadapi perilaku anak-anaknya. Jepang adalah negara contoh terbaik dari apa yang saya kemukakan ini. Lelaki semakin malas berkomitmen rumahtangga, karena "malas" menghadapi semua keruwetan tersebut.
Jika rumahtangga tersebut memiliki anak perempuan, perilaku perempuan yang seperti itu akan memberinya gambaran yang salah bahwa keangkuhan hati perempuan adalah lumrah dan lelaki wajib memakluminya. Ini adalah kesesatan dan justru membahayakan kehidupan si anak perempuan itu sendiri kedepannya. Kelak ia berumahtangga dan menjadi semena-mena dengan lelaki dan anak-anaknya, kelak terjadi apa-apa dengan rumahtangganya, lalu siapa yang akan bertanggungjawab?
Semuanya berawal dari pohon keluarga dan didikan masa kecil.
Marilah kita membangun jembatan mental kita sekuat-kuatnya, seindah-indahnya; demi terwujudnya damai sejahtera dan sukacita di dalam keluarga kita, lingkungan kita, dan negara kita. Tidak peduli apakah kita perempuan atau lelaki.
Memang tidak ada yang mudah, ini semua adalah PR kita bersama. Namun proses tidak akan pernah mengkhianati hasil.
Bagaimana kelak anak-anak kita berbahagia mempersepsikan dirinya dan hidupnya, sangat bergantung dari kualitas hubungan & komunikasi yang dibangun oleh ayah dan ibunya, oleh lelaki dan perempuan dalam hidupnya.
Jika para perempuan yang membaca artikel ini kebetulan mengalami hal yang sebaliknya, silakan ganti semua kata "lelaki" dalam artikel ini, menjadi "perempuan". Sebeumnya telah saya jelaskan perihal "pasal sanggahan" artikel ini sedari awal. Ini semua bukan masalah gender, tapi kecenderungan umum dan mayoritas statistik.
Semoga pemikiran-pemikiran saya di artikel ini, bisa menyuguhkan sesuatu yang berarti bagi perjalanan hidup kita semua kedepannya.
Sedari awal saya merasa perlu mengingatkan, bahwa apa yang saya tulis di artikel ini adalah berdasarkan berbagai referensi ilmiah yang telah lama saya pelajari, dan juga dari berbagai kejadian dunia nyata yang saya alami sendiri. Namun ini semua adalah GENERALISASI. Oleh sebab itu tidak perlu merasa tersinggung dengan apa yang saya tulis di sini, seandainya pembaca tidak merasa seperti apa yang saya tulis di sini. Terakhir, artikel ini bukanlah artikel yang bias gender dan bermaksud menyudutkan satu gender tertentu dan mengagungkan gender yang lain. Ini semua adalah tentang kecenderungan dan mayoritas statistik. Di dunia nyata, saya berjumpa dengan perempuan yang tidak seperti apa yang saya bicarakan di sini, dan saya pun berjumpa dengan lelaki yang tidak seperti apa yang saya bicarakan di sini.
Jadi... tolong tenangkan pikiran dan jiwa kita semua ya, sebelum membaca artikel ini, khususnya kepada para perempuan.
Hidup saya banyak diwarnai oleh para perempuan, dan saya pun dikelilingi para perempuan luar biasa di keluarga saya. Saya adalah anak lelaki satu-satunya di keluarga masa kecil saya, dan sekarang saya pun masih menjadi lelaki satu-satunya di keluarga pernikahan saya, karena dua anak saya perempuan semua. Saya menulis artikel ini adalah justru agar kita semua, khususnya perempuan, memiliki ruang di dalam hati untuk menerima semua ini sebagai pembelajaran dan peningkatan kualitas kepribadian secara berkelanjutan.
Baiklah... lanjuttt...
Tentang Jendela Mental
Sebelum kita melangkah, saya ingin menjelaskan dulu apa itu jembatan mental. Tentu saja ini istilah merupakan celetukan dari saya. Saya mendapatkan istilah "jembatan mental" sebenarnya awalnya dari kata "paradigma", yang artinya adalah "jendela mental seseorang dalam memandang sebuah fenomena atau wacana". Nah, jika kita melihat bahwa "paradigma" atau "jendela mental" lebih dekat ke pikiran dan mental kita, maka "jembatan mental" adalah lebih dekat ke perbuatan dan perilaku kita.
Dalam bahasa sehari-hari, "jembatan mental" bisa juga diartikan sebagai "kebesaran jiwa". Jiwa yang kerdil biasanya gemar mempermasalahkan hal-hal remeh yang tidak penting dan bisa merusak hubungan baik. Sedangkan jiwa besar akan lebih mengutamakan hubungan jangka panjang antar satu orang dengan orang lainnya, dan memutuskan untuk tidak mempermasalahkan detail-detail dari hubungan itu yang tidak berkontribusi bagi hubungan baik tersebut.
Jika kita berjiwa kerdil, kecenderungannya adalah kita lebih mudah "membakar jembatan" hubungan baik kita dengan seseorang atau sekelompok orang, misalnya hanya karena hal-hal kecil yang bersifat emosional jangka pendek. Sedangkan jika kita berjiwa besar, betapapun misalnya kita mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan ketika membangun relasi dengan seseorang, kita memilih & memutuskan untuk tidak buru-buru membakar & menghancurkan jembatan hubungan baik kita dengan orang tersebut, dan memilih untuk tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal kurang mengenakkan yang terjadi dalam hubungan tersebut, tentunya sejauh masih dapat ditoleransi.
Inilah yang saya maksudkan sebagai jembatan mental. Intinya, ketika ada masalah yang terjadi dalam komunikasi dan perilaku sebuah hubungan dua orang atau lebih, seberapa kuatkah jembatan mental kita untuk tetap berhubungan baik dengan mereka? Seberapa kita berjiwa besar untuk menerima kekurangan pihak lain yang terkadang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut? Inilah masalahnya.
Khususnya dalam artikel ini, saya akan sedikit mengupas tentang interaksi antara perempuan dan lelaki.
Emosional vs Rasional: Tidak Seperti yang Terlihat
Kita semua sudah paham bahwa dari berbagai literatur ilmiah kelas dunia, perempuan adalah makhluk yang kecenderungan emosionalnya kuat. Mayoritas keputusan, perilaku dan cara berpikir perempuan; kuat dipengaruhi oleh emosi dan perasaannya. Oleh sebab itu, kecenderungan jendela mental perempuan terfokus pada current event atau peristiwa-peristiwa aktual di saat ini, dan oleh karenanya maka kecenderungan sifat dan cara berpikir perempuan lebih terarah kepada hal-hal mikro dan jangka pendek.
Sedangkan di sisi lainnya, juga dari berbagai literatur ilmiah kelas dunia, lelaki merupakan makhluk yang umumnya lebih logis dan rasional. Mayoritas keputusan, perilaku dan cara berpikir lelaki; kuat dipengaruhi oleh berbagai referensi masa lalu dan pandangannya akan masa depan, dan oleh karenanya maka kecenderungan sifat dan cara berpikir lelaki lebih terarah kepada hal-hal makro dan jangka panjang.
Dari uraian diatas, kesimpulannya mudah. Terutama ketika suasana hati perempuan sedang tidak baik, perempuan lebih mudah "membakar jembatan" hubungan baik dengan pihak lain. Seringkali tanpa dasar dan alasan yang jelas pula. Satu-satunya penjelasannya adalah ya karena referensi cara berpikir dan berperilaku perempuan yang kuat terfokus pada kurun waktu saat ini saja.
Saat ini perempuan merasakan hal tidak enak, maka saat ini pulalah dia mengeluarkan reaksi emosional, dan saat ini pulalah dia bisa "membakar jembatan" hubungan baik dengan orang tersebut. Ini lumrah terjadi dan sudah sering saya jumpai di berbagai kesempatan.
Namun ketika sang perempuan mendapati bahwa dia mengalami kerugian besar dari rusaknya hubungan baik tersebut, dia tetaplah tidak mudah samasekali untuk meminta maaf dan juga tidak mudah samasekali untuk menunjukkan kepeduliannya pada perbaikan hubungan baik tersebut.
Ini tercermin dari berbagai celetukan pria yang intinya adalah: perempuan mana pernah merasa salah? Lelaki selalu salah, dan lelaki harus selalu minta maaf dulu. Titik.
Bahkan ada anekdot berkata bahwa satu-satunya peristiwa dimana perempuan meminta maaf, adalah ketika hari raya Lebaran, ha ha ha... sedikit-banyak saya setuju dan bisa memaklumi anekdot ini.
Apakah semua perempuan seperti ini? Mayoritas. Mengapa mereka seperti itu? Ya itu sudah didesain dari sononya seperti itu, ha ha ha... artikel ini tidak ditulis demi mengusulkan tips dan trik untuk memperbaiki alamiahnya perempuan tersebut. Artikel ini lebih ke arah "menunjukkan bahwa lelaki tidak selalu harus bersalah" ketika ada masalah dalam hubungan apapun dengan perempuan; apakah sebagai kawan, pacar, pasangan hidup atau rekan kerja.
Nah, berbeda dengan umumnya lelaki. Ketika ada masalah terjadi dengan perempuan (atau dengan manusia lainnya, apapun jenis kelaminnya), lelaki cenderung lebih bisa mengendalikan emosi dan perilakunya, karena orientasinya pada hal-hal yang bersifat makro dan jangka panjang, dalam kurun waktu masa lalu (sebagai referensi) dan juga masa depan, sebagai upaya untuk "mempertahankan jembatan" hubungan baik dengan seseorang; betapapun mungkin di saat itu mereka sedang mengalami hal yang tidak mengenakkan.
Misalnya, seorang suami telah bekerja keras dan baru pulang dari kantornya. Malamnya dia masih berdedikasi untuk membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci piring, menyeterika, dan merapikan hal-hal lainnya yang belum sempat dibereskan istrinya karena kelelahan.
Namun di saat itu pula, perasaan sang istri sedang tidak senang. Bisa jadi sedang PMS, bisa jadi karena berbagai masalah lainnya...
Dalam membantu pekerjaan rumah tersebut, sang suami berbuat kesalahan kecil, misalnya menuang sabun cuci terlalu banyak. Sang istri tahu dan memarahinya habis-habisan, karena dianggap boros, tidak menghargai penghematan yang telah dilakukan sang istri selama ini, ceroboh, begok, goblok, dan lain sebagainya dahhh... ha ha ha...
Kedengerannya tidak asing kan buat para lelaki, terutama yang sudah berumahtangga? Jangan kuatir, kita tidak sendirian...
Sang suami yang sudah lelah, stres dan dianggap goblok tersebut, berusaha menghibur dirinya dengan membuat minuman coklat panas. Ealah... masih disemprot sang istri pula karena coklat bubuk yang digunakan sang suami untuk minuman coklat panas, adalah bubuk coklat yang dibeli untuk membuat kue. Lengkaplah sudah...
Apakah pembaca sudah menangkap arah artikel ini? Ya, saya sedang membicarakan tentang betapa mudahnya perempuan "membakar jembatan hubungan baik" hanya karena hal-hal kecil dan emosional yang mereka rasakan bergejolak pada hari itu. Tanpa memandang kebaikan sang lelaki. Tanpa memandang perbuatan baik sang lelaki yang bersedia membantu sang perempuan ditengah kelelahan fisik dan mentalnya.
Ketika sang istri menumpahkan amarahnya kepada sang suami pada contoh diatas, seringkali kita melihat bahwa semulia apapun akhlak suaminya dan sebaik apapun perilaku suaminya, betapapun lelahnya dia sudah bekerja seharian di kantor (dan dimarahi bosnya pula); seolah-olah semua itu samasekali tidak ada artinya dibandingkan dengan sabun cuci yang salah takar oleh sang suami. Seolah-olah semua itu samasekali tidak ada artinya dibandingkan dengan tiga sendok teh bubuk coklat untuk menghibur sang suami.
Semua kebaikan jiwa & perilaku sang suami, tidak lebih berharga daripada sabun cuci dan bubuk coklat.
Lalu mengapa masih banyak rumahtangga yang bertahan? Tidak lain adalah karena sang suami yang memiliki ekstra kasih, ekstra kesabaran, ekstra kebesaran jiwa, dan jembatan mental yang super-kokoh; demi menopang keutuhan rumahtangga tersebut.
Jika lelaki benar-benar menggunakan logikanya dan rasionalitasnya secara saklek & konsekuen, saya haqul yakin, sudah tidak ada satupun rumahtangga yang bisa bertahan utuh di muka bumi ini.
Ilustrasi: Istimewa |
Jika sang perempuan berbuat salah, seringkali lelaki lebih memiliki jembatan mental yang kokoh dan telaga hati yang luas dan dalam; untuk memaafkan dan mengampuni sang perempuan, tanpa syarat apapun. Sang lelaki mungkin paham apa saja kebaikan sang perempuan, apa saja hal baik yang telah diperbuat sang perempuan, dan apa saja kebaikan hidup yang (mungkin) bisa didapat sang lelaki jika dia berusaha mempertahankan hubungan tersebut bersama sang perempuan.
Kasih Adalah "Me", Bukan "Di"
Berlawanan dengan anggapan umum, saya mendefinisikan kasih sebagai berikut:
- Kasih bukanlah sesuatu yang bersifat emosional.
- Kasih adalah rasional dan merupakan kata kerja.
- Kasih adalah pilihan & keputusan.
- Kasih adalah daya-upaya yang didasari oleh pertimbangan baik & akal sehat.
- Kasih adalah penggenap semua akhlak & perilaku baik yang sebelumnya telah ada di dalam diri kita.
Ayat 1: Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.
Ayat 2: Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.
Ayat 3: Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.
Ayat 4: Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
Ayat 5: Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Ayat 6: Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
Ayat 7: Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
... dan seterusnya...
Ayat 13: Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar diantaranya ialah kasih.
Saya paham bahwa tidak semua pembaca artikel ini beragama Kristen atau Katolik. Kenyataannya pun di sini saya tidak sedang menyebarkan agama saya. Namun pembahasan mengenai kasih, tidak bisa lepas dari ayat-ayat tersebut diatas, dan sesungguhnya bahasanya pun universal, bisa menjangkau semua manusia.
Silakan pembaca baca, serap dan renungkan ayat-ayat tersebut di atas baik-baik. Betapa kasih adalah sebuah kata kerja, sebuah upaya, sebuah kesadaran penuh, dan sebuah kebesaran jiwa untuk mempertahankan sesuatu yang agung, mulia dan besar.
Lelaki, Perempuan dan Kepemimpinan
Mayoritas lelaki berpikir makro, berpikir besar, dan berpikir jangka panjang. Baik ini disadari atau tidak, sebenarnya lelaki sudah mempraktikkan sebagian ajaran kasih. Dan oleh karenanya lelaki merupakan pemilik sejati dari jembatan-jembatan mental terkuat di dunia, yang membuat banyak institusi bertahan lama dibawah kepemimpinannya.
Maka tidak mengherankan jika mayoritas pemimpin organisasi besar, adalah lelaki. Bukan karena sistem yang bias gender, dan bukan karena lelaki yang tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menjadi pemimpin. Tapi karena berbagai karakter dan keterbatasan inheren perempuan yang "memang sudah dari sononya", yang membuat mereka sendiri menjadi "kurang layak" untuk menjadi pemimpin dari organisasi besar.
Lelaki pun terbukti dapat melakukan hal-hal yang ekstrim hebat, karena kemampuan fokusnya dan kemampuannya meminggirkan hal-hal mikro yang tidak penting dan tidak berkontribusi bagi pencapaian impiannya.
Perempuan-perempuan hebat yang terbukti dapat memimpin organisasi besar atau memiliki keahlian & pencapaian yang ekstrim hebat, untuk berdiri sejajar dengan lelaki, adalah perempuan yang sudah sepenuhnya berhasil mengatasi berbagai kendala alamiahnya dan kerapuhan jembatan mentalnya. Sesederhana itu.
Saya paham sekali, samasekali tidak mudah bagi perempuan untuk melakukan itu dan mencapai kualitas jembatan mental yang setara dengan lelaki. Namun bukankah ini tetap lebih mudah daripada upaya lelaki untuk selalu berusaha memahami perempuan?
Percayalah, bahwa:
- Perempuan sendiri sulit memahami dirinya.
- Antar-perempuan seringkali juga sulit saling memahami.
- Lelaki memahami perempuan? Wow... ha ha ha...
Kesimpulan dan Saran
Mayoritas tatanan sosial di dunia ini telah menempatkan lelaki dalam posisi yang berat, ketika sudah berhubungan dengan rumahtangga dan keluarga. Seolah-olah semua kebejatan dan kebrengsekan adalah dominasi lelaki dan selalu bersumber dari lelaki. Maka ketika terjadi ketegangan dalam rumahtangga, posisi lelaki selalu disalahkan terlebih dahulu, baik oleh perempuan pada umumnya, dan juga oleh nilai-nilai yang dianut oleh tatanan masyarakat pada umumnya.
Padahal jika kita menilik dan menyerapi semua ayat-ayat Alkitab yang telah saya kemukakan diatas, kita semua sudah sepatutnya sadar bahwa di hadapan Tuhan, baik lelaki maupun perempuan, punya kewajiban YANG SAMA BESARNYA untuk mewujudkan damai sejahtera & sukacita di keluarga, negara dan dunia ini.
Bagaimana caranya? Ya bacalah dan serapilah baik-baik ayat-ayat Korintus yang telah saya kemukakan. Di situ sudah jelas tertulis bagaimana caranya.
Jadi, buat para perempuan di luar sana, cobalah konsekuen dengan pilihan hidup kita. Jika perempuan sedemikian bencinya dengan lelaki, tidak usahlah menikah apalagi mempunyai anak. Kenapa demikian? Karena karakter perempuan yang seperti itu, bukanlah merupakan role model yang baik dalam rumahtangga, bagi anak-anaknya.
Jika rumahtangga tersebut memiliki anak lelaki, perilaku perempuan yang seperti itu akan memberinya gambaran yang salah bahwa lelaki pasti selalu salah jika berurusan dengan perempuan dan rumahtangga. Tercipta impresi bahwa lelaki akan menghadapi tiga kerepotan besar dalam berumahtangga, yaitu kerepotan mencari uang lebih besar, kerepotan menghadapi perilaku perempuan (yang kebetulan adalah istrinya), dan kerepotan menghadapi perilaku anak-anaknya. Jepang adalah negara contoh terbaik dari apa yang saya kemukakan ini. Lelaki semakin malas berkomitmen rumahtangga, karena "malas" menghadapi semua keruwetan tersebut.
Jika rumahtangga tersebut memiliki anak perempuan, perilaku perempuan yang seperti itu akan memberinya gambaran yang salah bahwa keangkuhan hati perempuan adalah lumrah dan lelaki wajib memakluminya. Ini adalah kesesatan dan justru membahayakan kehidupan si anak perempuan itu sendiri kedepannya. Kelak ia berumahtangga dan menjadi semena-mena dengan lelaki dan anak-anaknya, kelak terjadi apa-apa dengan rumahtangganya, lalu siapa yang akan bertanggungjawab?
Semuanya berawal dari pohon keluarga dan didikan masa kecil.
Marilah kita membangun jembatan mental kita sekuat-kuatnya, seindah-indahnya; demi terwujudnya damai sejahtera dan sukacita di dalam keluarga kita, lingkungan kita, dan negara kita. Tidak peduli apakah kita perempuan atau lelaki.
Memang tidak ada yang mudah, ini semua adalah PR kita bersama. Namun proses tidak akan pernah mengkhianati hasil.
Bagaimana kelak anak-anak kita berbahagia mempersepsikan dirinya dan hidupnya, sangat bergantung dari kualitas hubungan & komunikasi yang dibangun oleh ayah dan ibunya, oleh lelaki dan perempuan dalam hidupnya.
Jika para perempuan yang membaca artikel ini kebetulan mengalami hal yang sebaliknya, silakan ganti semua kata "lelaki" dalam artikel ini, menjadi "perempuan". Sebeumnya telah saya jelaskan perihal "pasal sanggahan" artikel ini sedari awal. Ini semua bukan masalah gender, tapi kecenderungan umum dan mayoritas statistik.
Semoga pemikiran-pemikiran saya di artikel ini, bisa menyuguhkan sesuatu yang berarti bagi perjalanan hidup kita semua kedepannya.
0 Response to "Membangun Jembatan Mental yang Kuat & Indah"
Post a Comment