Idealisasi Konsep Integritas (Bag. 3: Keahlian)

Pada dua artikel sebelumnya di Bag. 1 dan Bag. 2, telah cukup mendetail kita bahas bersama mengenai salah satu dari dua wacana utama yang menopang konsep induk INTEGRITAS, yaitu A. KARAKTER dan sekarang kita akan membahas tentang B. KOMPETENSI. Seperti yang telah kita bahas bersama sebelumnya, karakter dan kompetensi adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan satu sama lain.

Karena apa? Karena sebagai manusia yang masih harus mengusahakan sesuatu agar bertahan hidup, manusia harus memiliki kompetensi akan suatu hal. Bahkan misalnya suku paling primitif sekalipun, orang-orang di dalam kelompoknya pasti memiliki kompetensi masing-masing yang dapat digunakan untuk saling menopang peradaban suku primitif tersebut.


Misalnya suku Indian. Para lelaki di suku Indian punya spesialisasi masing-masing, bahkan sampai ada julukan untuk keahlian khusus tersebut. Misalnya, julukan Pathfinder sebagai spesialis pencari jejak binatang buruan. Demikian juga di suku primitif lainnya. Ada yang spesialis berburu dengan panah, ada yang mahir berburu di sungai atau lautan; dan masih banyak contoh lainnya.


B. KOMPETENSI
Realitas ini tidak berubah ketika kita membicarakan masyarakat modern dengan segudang kemajuan teknologi yang menopang peradabannya. Justru dengan semakin kompleksnya peradaban dan teknologi yang terlibat, maka semakin banyak spesialisasi atau ragam kompetensi yang dibutuhkan untuk dapat menopang dan memajukan peradaban tersebut.

Karena itulah dalam artikel ini kita membicarakan perihal KOMPETENSI. Karena agar hidup kita signifikan bagi orang lain, kita harus memiliki kompetensi tertentu. Dengan kompetensi tersebut, kita bisa berkarya mencari nafkah dan memperoleh sejumlah imbalan untuk bertahan hidup dan memajukan peradaban yang kita tinggali.

Sebelum kita lebih jauh membicarakan perihal kompetensi, marilah kita lihat lagi bagan idealisasi konsep integritas secara menyeluruh terlebih dahulu.

 
Kompetensi (kotak oranye di sayap kanan) diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Kemampuan yang dimaksud bisa saja kemampuan teknis, atau kemampuan non-teknis. Secara garis besar, kemampuan tersebut haruslah dapat membuat yang bersangkutan menyelesaikan apa yang sedang dia kerjakan.

Agar seseorang dapat disebut berkompeten, yang bersangkutan harus memahami bahwa kompetensi dapat dipandang dari sudut pandang B1. PROSES dan juga sudut pandang B2. HASIL (dua kotak kuning di bawah kotak oranye). Seperti halnya antara kerendahan hati dan akuntabilitas yang tak terpisahkan satu sama lainnya dalam menopang karakter seseorang (pembahasan di artikel bag. 1 dan bag. 2), demikian juga dengan PROSES dan HASIL yang tak terpisahkan satu sama lainnya, dalam menopang kompetensi seseorang.

Agar memudahkan kita semua, berikut ini adalah bagan yang telah saya sederhanakan lagi dari apa yang akan kita bicarakan selanjutnya.



B1. PROSES
Kehidupan ini, beserta perjalanan yang dilakukan semua orang yang hidup, adalah sebuah proses. Semua yang ada di sekitar kita merupakan hasil dari sebuah proses. Jika jaman dahulu kala masih ada dinosaurus dan ratusan jenis hewan raksasa lainnya sementara kini mereka tidak ada dan berganti dengan hewan-hewan yang lebih kecil, itu tandanya ada proses alam yang terlibat.

Hal-hal sekecil apapun dalam hidup ini, perlu berproses. Demikian juga dengan hal-hal besar, yang seringkali prosesnya lebih panjang, lebih rumit dan lebih lama.

Yang pada akhirnya membedakan antara satu proses dengan proses lainnya adalah kualitas proses tersebut, beserta dengan semua waktu & tingkat kerumitan yang harus dijalani dalam proses tersebut.

Dalam ruang lingkup pembicaraan mengenai dunia profesional, baik itu sebagai karyawan, sebagai profesional / wirausaha, sebagai pemilik bisnis ataupun sebagai investor; proses-proses yang harus dilalui seseorang melibatkan empat komponen utama, yaitu:

B1.1 KEAHLIAN / PASSION (RENJANA)
B1.2 PENGETAHUAN
B1.3 PENGALAMAN
B1.4 SOP / STANDARD OPERATIONAL PROCHEDURE

B1.1 KEAHLIAN / PASSION (RENJANA)
Keahlian seseorang dapat diketahui dari apa yang paling ia minati sejak kecil atau sejak muda. Keahlian sangat berhubungan dengan passion / renjana seseorang. Definisi renjana itu sendiri adalah suatu hal yang ketika dilakukan oleh seseorang, dapat membuat seseorang tersebut berbahagia, puas, lengkap dan terpenuhi rasa penasarannya.


Ada yang sudah mengetahui renjananya dari sejak kecil, ada juga yang mendapati renjana-renjana baru ketika dia beranjak dewasa atau sudah memasuki dunia profesional.

Oleh sebab itulah di sekolah kita ataupun sekolah anak-anak kita, terdapat penjurusan keahlian atau minat. Sayangnya sistem pendidikan di Indonesia saat ini belum bisa mengakomodasi renjana anak didik secara spesifik, baru secara makro saja kedalam dua pembagian, yaitu IPA atau IPS. Bagi yang ingin penjurusan lebih spesifik, harus masuk SMK (Kejuruan), yang menitikberatkan pendidikan keahlian khusus ketimbang pendidikan akademik.

Hal ini menyuratkan bahwa renjana / keahlian adalah berbeda dengan status akademik seseorang. Sudah terlalu banyak cerita yang kita semua dengar, dimana seseorang memiliki ijazah akademik jurusan tertentu, namun pada akhirnya mencari nafkah secara profesional berdasarkan renjananya. Misalnya, sarjana lulusan elektro dari sebuah universitas teknik terkemuka, pada akhirnya menjalankan bisnis fotografi. Karena dia dari sejak kecil memang sudah menyukai fotografi. Jadi yang pada akhirnya menghidupi dia dalam renjananya tersebut adalah fotografi, bukan keahlian elektronya.

Dalam setiap kesempatan seminar atau workshop (lokakarya) yang berhubungan dengan dunia edukasi, saya tidak jemu-jemunya menyampaikan, tidak peduli kepada generasi muda maupun orang tua, bahwa sangat penting sekali untuk mengenali renjana dalam diri kita sendiri terlebih dahulu. Karena apa? Karena mereka yang tidak punya atau tidak mengenal renjananya sejak awal, berpeluang menjadi orang yang mudah stres dan mudah depresi ketika menghadapi persaingan kerja, persaingan bisnis atau kegagalan dalam hidup.

Banyak orang pun sudah memberikan kesaksian mereka bahwa disaat-saat tersulit hidup mereka dimana mereka tidak bisa lagi mengandalkan ijazah atau pengetahuan akademik mereka, pada akhirnya yang menyelamatkan hidup mereka adalah renjana atau hobi mereka. Disaat pekerjaan konvensional tidak bisa diharapkan lagi sebagai penghidupan, keahlian yang kita peroleh dari hobi atau renjana bisa menjadi alternatif mata pencarian yang tidak kalah hebatnya dengan latar belakang akademik kita.

Kalaupun misalnya kita mengalami kesulitan untuk mengenali renjana-renjana dalam diri kita - dan saya sering menjumpai orang semacam ini - tidak ada jalan lain untuk menambah keahlian selain dengan melakukannya lewat lembaga pembelajaran formal atau kursus. Misalnya, kursus memasak, kursus membuat kue, kursus bahasa asing, dan masih banyak pilihan kursus-kursus lainnya yang dipastikan bisa menambah ragam keahlian kita.

Bukannya mustahil, ditengah perjalanan menggiati kursus-kursus tersebut, kita bisa menemukan renjana dalam diri kita yang selama ini belum atau sulit kita temukan. Misalnya, ketika kita kursus Bahasa Jerman, ternyata kita mendapati bahwa kita bisa mempelajarinya dengan cepat dan nyaman. Tingkat kemahiran kita pun bertambah dalam waktu singkat. Nah itu tandanya kita memiliki minat besar atau renjana terhadap Bahasa Jerman. Demikian juga dengan kursus-kursus keahlian lainnya.

Ada seorang kawan saya (orang Indonesia) yang sedari awal hidupnya sudah tergila-gila dengan negara Perancis. Oleh karenanya, dia sangat terdorong untuk mempelajari apapun yang berhubungan dengan Perancis, termasuk bahasanya. Setelah beberapa tahun belajar dengan intensif dan penguasaan Bahasa Perancis-nya mengagumkan (kita semua tahu Bahasa Perancis itu termasuk yang sulit dikuasai), dia bisa mendapatkan pekerjaan yang membuatnya berbahagia di lembaga kebudayaan Perancis. Dia pun sering mendapatkan kesempatan pergi ke Perancis secara cuma-cuma untuk melaksanakan beberapa penugasan.

Bagaimana dia bisa mencapai itu semua? Semuanya berawal dari renjananya yang telah dia kenali sejak awal. Hebatnya, kedua orangtuanya mendukungnya penuh dan memberinya kebebasan. Hasilnya adalah anak-anak yang bisa terbang di langit setinggi elang dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup dalam jiwa mereka.

Intinya sederhana saja. Jangan jangan jangan pernah sekalipun terlalu mempercayakan masa depan, kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup kita, hanya dengan ijazah akademik kita semata. Sehebat apapun kita secara akademik, selalu tidak ada salahnya jika kita memiliki keahlian formal, hobi atau renjana lain yang kita benar-benar sukai, disamping kehidupan akademik kita. Di tingkatan sekolah kelas 7 hingga 12, aktifnya anak-anak di kegiatan organisasi sekolah juga terbukti bisa meningkatkan kecepatan pengenalan renjana anak tersebut, dan juga secara signifikan meningkatkan kualitas kecerdasan emosionalnya (EQ).

Bagi saya pribadi, jauh lebih berharga apabila kita membelanjakan uang kita untuk menjalani kursus-kursus yang bisa menambah keahlian baru bagi kita, daripada dibelikan benda-benda mewah. Saya bahkan punya cita-cita jika suatu saat sudah bebas uang dan bebas waktu, saya ingin mengambil sekolah pilot pesawat atau helikopter. Misalnya saya jadi milyarder, saya tidak pernah tertarik untuk membeli mobil-mobil semacam Ferrari, Lambo dan kawan-kawan sejenisnya. Tapi akan lebih seru jika misalnya saya bisa ikutan misi pesawat luar angkasa khusus kalangan awam (non-astronot), ikut serta dalam ekspedisi ke belahan bumi yang belum pernah disentuh manusia, atau pengalaman-pengalaman lain yang bisa membuat hidup ini semakin hidup...

Oleh sebab itu penting sekali bagi orang tua setiap anak, untuk mengenali minat dan bakat anak-anaknya sedari dini. Jangan pernah bungkam minat & bakat anak-anak kita dengan dalih akademik apapun, apalagi dengan dalih "orangtua adalah yang paling tahu apa yang terbaik baik anak". Orangtua dengan perilaku dan kualitas seperti ini, hanya akan menghasilkan anak-anak yang mentalnya rapuh, mudah frustasi dan mudah terjerumus kedalam hal-hal negatif sebagai pelarian dari masalah hidup mereka.

BANGSA YANG BESAR & MAJU BERAWAL DARI KELUARGA-KELUARGA YANG KUAT DAN BERBAHAGIA. PERAN TERBESAR ORANGTUA ADALAH MENCIPTAKAN & MENCETAK GENERASI MUDA YANG CINTA KELUARGA, BERBAHAGIA, DAN TERPENUHI SEMUA RENJANANYA.

Anak-anak yang renjana, hobi dan minatnya tersalurkan dengan baik, sudah dipastikan tidak akan punya waktu atau minat untuk menghabiskan waktu ditengah pergaulan yang salah, dan jauh lebih kecil kemungkinannya terjerumus kedalam hal-hal negatif semisal narkoba.

Baik di dunia kepegawaian, dunia profesional, dunia wirausaha, dunia bisnis maupun ketika kita sudah menjadi investor; sama sekali tidak ada salahnya ketika kita memiliki minat, bakat, renjana atau keahlian tertentu yang kita kuasai dengan sepenuh hati dan kebahagiaan hidup.

Saya pernah bertugas sebagai HRD, dan salah satu materi pertanyaan wawancara saya kepada calon pelamar di kantor tempat saya bekerja adalah seputar minat dan keahlian khusus yang dimiliki atau digeluti sang pelamar selama ini. Saya seringkali bertanya hal-hal seperti ini:

  • Apa hobi utama Anda?
  • Apa yang paling suka Anda lakukan di waktu senggang?
  • Apakah Anda suka membaca?
  • Buku apa yang paling Anda suka?
  • Musik jenis apa yang paling Anda suka?
  • Punya hobi dan kegemaran itu dari sejak kapan?
  • Pernahkah berhasil mengkomersilkan (monetize) hobi Anda?
  • Ijazah akademik Anda, apakah pilihan sendiri atau orangtua?

Dan sejumlah pertanyaan lainnya yang seringkali dianggap kurang penting bagi HRD lain. Bagi saya pertanyaan-pertanyaan seputar poin-poin tersebut penting, untuk membangun profil yang cukup akurat mengenai apa yang disukai atau tidak disukai seseorang. Dari situ kita bisa "membaca" profil seseorang tersebut secara menyeluruh, dan membangun gambaran awal bagaimana yang bersangkutan bisa menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan kepadanya.

Saya bahkan sesekali suka melewatkan pertanyaan-pertanyaan mengenai prestasi atau pencapaian calon karyawan tersebut di masa lalunya. Karena apa? Selain karena pertanyaan itu bisa ditanyakan oleh Unit Head masing-masing, juga karena saya mendapati bahwa prestasi atau pencapaian seseorang adalah sesuatu yang sulit kita ukur atau verifikasi kebenarannya. Prestasi atau pencapaian seseorang pun bersifat sangat kondisional. Bisa saja yang bersangkutan bisa berprestasi di masa lalu karena atmosfer kerja di kantornya yang terdahulu memang sangat mendukung produktivitas karyawan. Di tempat kerja yang lain, belum tentu yang bersangkutan bisa berperforma sama.

Tetapi pertanyaan-pertanyaan tentang pribadi orang tersebut terutama yang secara filosofis, adalah sesuatu yang dapat saya lihat sendiri. Kualitas kehidupan seseorang kurang-lebih dapat saya lihat, cukup dari pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan pribadinya. Selain itu profil jendela mental seseorang yang dapat saya lihat dari jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut, bersifat lebih universal dan tidak terlalu terikat ruang dan waktu; sehingga akurasinya bisa lebih dipercaya.

Sekali lagi pesan saya adalah: kenalilah diri kita sendiri, kenalilah renjana (passion) / minat / bakat kita sedari dini. Jika sudah menemukan dan mengenalinya, maksimalkanlah, kembangkanlah. Jika perlu, buatlah minat dan bakat tersebut bisa menghasilkan uang bagi kita secara mandiri. Karena tidak ada yang lebih membahagiakan kita selain penghasilan yang datang dari menjalankan apa yang kita cintai sehari-harinya.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Idealisasi Konsep Integritas (Bag. 3: Keahlian)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel