Pentingnya "Edukasi Dunia Maya" Bagi Anak

Salah satu pendidikan terpenting yang dapat kita berikan sebagai orang tua kepada anak-anak, adalah pendidikan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) sang anak, yang sering disebut juga sebagai "kepekaan membaca situasi & menganalisa nuansa sekeliling". Sehingga dengan demikian, sang anak diharapkan bisa merespon sekelilingnya dengan respon yang tepat & cerdas. Respon yang tepat & cerdas, pada akhirnya, akan sangat menentukan apakah sang anak kelak akan lebih banyak terlibat dengan hal-hal baik, atau hal-hal yang tidak baik.

Facebook, setidaknya di masa lalu, sempat menjadi sarana yang nyaman saya gunakan untuk sedikit-banyak membaca latar belakang & kepribadian orang lain, melalui lisan yang mereka tuliskan di Wall mereka sendiri, atau ketika merespon status di Wall saya atau Wall orang lain. Semua pemimpin bisnis, politik dan organisasi manapun di seluruh dunia setuju, bahwa kata-kata dan bahasa yang kita lontarkan, apapun sarananya & metodenya, merupakan proyeksi akurat akan kepribadian kita yang sesungguhnya.

Bahkan dalam kondisi saya yang kini sudah tidak aktif lagi membuat status di Facebook, saya masih mempertahankan akun saya agar tetap hidup, karena saya tetap suka mengamati kawan-kawan saya beserta situasi-situasi terkini. Kadang saya juga masih merespon pesan masuk, atau merespon status kawan saya yang memang layak saya komentari.

Saya bersyukur, mayoritas 97% kawan-kawan di Friend List Facebook saya, khususnya mereka yang aktif, memang memiliki kecerdasan emosional yang terbilang baik. Ini adalah hasil terbaik dari seleksi teman yang sesekali saya lakukan. Ketika saya menulis status yang serius, mereka paham bagaimana harus merespon. Ketika saya menulis status yang ringan atau lucu, mereka juga paham bagaimana harus merespon. Interaksi seperti ini kan nyaman & seru. Hidup ini sudah banyak masalah, tidak perlulah ditambah lagi dengan perdebatan di media sosial yang pada akhirnya juga tidak berguna toh...

Eh tapi namanya manusia, ada aja lah 3% spesies yang tulalit. Saya menulis dalam tingkatan garis besar, eh mereka meributkan detail yang tidak penting. Saya menulis ringan & lucu, eh mereka ngajak berantem soal data & fakta. Kadang saya garuk-garuk kepala melihat perilaku mereka. Kira-kira orangtua mereka mendidik mereka seperti apa ya, koq mereka bisa sebegitu tulalitnya di pergaulan? Atau jangan-jangan selama ini mereka salah pilih pergaulan? Atau jangan-jangan selama ini mereka salah pilih pasangan hidup? Atau jangan-jangan mereka memang memendam luka batin atau kepahitan masa lalu? Intinya, kita tidak pernah bisa benar-benar memahami mereka.

Kenyataannya, manusia lebih dominan irasionalitasnya ketimbang rasionalitasnya. Kita hanya bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Inilah salah satu bentuk nyata dari rendahnya EQ sejumlah orang di luar sana. Mereka memberikan respon yang tidak tepat dan tidak kontekstual, yang seringkali pada akhirnya malah merusak hubungan baik di dunia nyata.

Jika kita semua berniat baik, tulus dan bahagia ketika melihat orang lain berbahagia; itu sepenuhnya tercermin dari lisan kita. Demikian juga jika niat kita tidak baik, dengki, dan tidak senang ketika melihat orang lain berbahagia; itu juga sepenuhnya tercermin dari lisan kita. Hanya mereka yang memendam luka batin, berkecenderungan untuk melukai batin orang lain juga dengan berbagai kepahitan kata-kata dan tindakan mereka.

Saya tidak pernah setuju dengan pendapat bahwa kita bisa memisahkan kehidupan di dunia nyata dengan kehidupan di dunia maya, contohnya di Facebook atau media sosial lainnya. Dunia maya adalah dunia yang sepenuhnya terkoneksi juga dengan dunia nyata kita. Dunia maya adalah proyeksi yang cukup akurat dari cara berpikir kita di dunia nyata. Apapun yang saya katakan di dunia maya, sepenuhnya menjadi tanggungjawab saya pribadi di dunia nyata juga. Karena saya selalu percaya, apa yang saya unggah atau tampilkan di media sosial dan dunia maya pada umumnya, adalah merupakan proyeksi dari cara berpikir dan kualitas kejiwaan saya.

Saya tidak mengatakan bahwa media sosial dapat dijadikan alat ukur yang 100% akurat dapat menggambarkan kepribadian seseorang. Saya hanya mengatakan bahwa media sosial dapat menjadi salah satu referensi penting dalam kita menilai cara berpikir & kualitas jendela mental seseorang yang sedang berinteraksi dengan kita. Memang betul, ada saja penipuan yang terjadi di dunia maya. Tapi kan sebenarnya hal-hal kaya begitu juga terjadi di dunia nyata.

Ilustrasi: Istimewa
Maka misi terpenting kita sebagai orangtua adalah mendidik anak-anak kita supaya menjadi pribadi yang konsisten & konsekuan, antara dunia maya dengan dunia nyata. Supaya kelak mereka gak perlu kesandung-sandung dalam pergaulan. Dunia maya yang dipergunakan untuk kebebasan berpendapat secara positif-kritis dan berakal sehat; akan menjadi "roket" bagi pengembangan diri & akal-budi kita. Tapi dunia maya yang dijadikan sebagai ajang pamer kedengkian subjektif kesana-sini & ajang komentar nyinyir & tengil tanpa dasar, cepat-lambat akan menjadi backfire bagi kehidupan nyata kita.

Perhatikanlah tiga hal ini:

1. Hukum karma atau hukum sebab-akibat, sepenuhnya juga berlaku di dunia maya atau media sosial. Hukum sebab-akibat tidak lantas menghilang dengan kemunculan Internet dan teknologi digital.

2. Hukum positif, bahkan hingga tingkat pidana, sepenuhnya berlaku bagi interaksi kita di dunia maya dan media sosial. Teknologi digital sudah sedemikian canggihnya sehingga negara bisa melacak apapun yang terkecil yang terjadi di dunia maya.

3. Jejak digital sulit dihapus. Percayalah, sangat sulit dihapus. Kalaupun sistem digital telah menghapusnya, selalu ada kemungkinan orang lain masih menyimpan data-data yang terkait dengan apapun masalah yang sempat mengemuka di dunia maya. Berdasarkan kenyataan inilah, JUSTRU kita harus jauh lebih berhati-hati dalam berinteraksi dengan orang lain di dunia maya dan media sosial. Siapapun yang berpikir kebalikannya, terbukti salah besar. Jangan sampai kelak anak-anak kita sulit mencari pekerjaan atau rekan bisnis, hanya karena ada jejak digital dari masa lalunya yang menghantui masa kininya.

Didiklah anak-anak kita apa perbedaan berpikir deduktif & berpikir induktif; apa perbedaan berpikir besar dengan berpikir detail; perbedaan kesimpulan dengan data; perbedaan logika dengan kebenaran; perbedaan keseriusan dengan humor; memahami apa yang tersurat dan tersirat; dan kemampuan membaca konteks ruang & waktu (nuansa) dalam memahami sebuah fenomena atau teks. Ajari mereka juga untuk selalu melahap banyak referensi sebelum menyimpulkan suatu hal.

Yang juga tidak kalah pentingnya, tunjukkan pada mereka tentang referensi mana yang bermutu dan layak dipercaya, dan referensi mana yang tidak bermutu atau bahkan menyesatkan; dengan membaca dalam-dalam dan memahami teks tersebut.

Sedikit banyak, inilah pekerjaan rumah bagi pengajar Bahasa Indonesia di pendidikan dasar negara ini. Bahasa Indonesia itu bukan hanya perihal sastra, filsafat bahasa dan Ejaan Yang Disempurnakan; tetapi juga dapat menjadi sarana kita untuk membaca kecerdasan emosional & kecerdasan kognitif seseorang. Inilah yang selama ini - menurut pandangan saya - agak alpa ditanamkan oleh pendidik Bahasa Indonesia di pendidikan dasar. Jika ini sudah tertanam dengan baik sedari kecil, saya yakin tingkat "pintar tapi salah pergaulan" akan menurun drastis, dan bangsa ini akan menjadi bangsa yang lebih baik & lebih cepat maju.

Anak-anak kita bisa menjadi beruntung atau menjadi sial di kehidupan dunia maya ataupun dunia nyata, tergantung dari cara kita mendidik dan membentuk cara berpikir mereka di kehidupan nyata... Inilah salah satu hakikat dari Emotional Intelligence. Seberapa tingginya pun IQ anak-anak kita, jika itu tidak diimbangi dengan tingkat EQ yang memadai, tingginya IQ tersebut justru hanya akan menjadi batu sandungan bagi anak-anak kita di masa depannya.

Ilmu psikologi modern telah mengkonfirmasi kenyataan ini secara empirik, dan saya sendiri pun pernah mengalami bekerjasama dengan orang yang IQ-nya luar biasa tinggi namun EQ-nya miskin sekali. Pada akhirnya, ketidakseimbangan itu akan menciptakan banyak mudarat bagi kehidupan orang lain.

Kabar gembiranya, EQ dapat dibentuk, dilatih dan dikondisikan. Inilah tugas utama kita sebagai orangtua. Jangan pernah coba-coba melepas tangan kita dan menyerahkan tugas mulia tersebut kepada sekolah, apalagi pembantu.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pentingnya "Edukasi Dunia Maya" Bagi Anak"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel