Banyak Keputusan Penting Selalu Berpulang Pada Rasa

Perasaan atau rasa, dapat saya katakan sebagai penentu keputusan akhir dalam banyak hal pada kehidupan nyaris semua manusia. Selogis dan serasional apapun seorang manusia, dalam memutuskan perkara-perkara apapun, baik kecil maupun besar, pasti melibatkan perasaan juga. Ini merupakan sebuah realitas bahwa jika dilibatkan dalam kadar yang tepat, perasaan bukanlah sesuatu hal yang melulu harus dianggap negatif.

Sebagai contoh, di sini saya mengutip hasil riset sebuah lembaga riset konsumen yang pada waktu itu sedang menelisik preferensi konsumen Indonesia dalam memutuskan pembelian mobil. Sudah saya duga sebelumnya, mayoritas mutlak konsumen mobil melakukan pembelian mobil karena didasarkan atas hal-hal yang bersifat intuitif dan melibatkan perasaan, seperti misalnya bentuk & desain mobil, warna mobil, kesaksian kawannya dan orang lain selama menggunakan merek mobil tersebut (rasa aman), hingga rasa suka terhadap merek tersebut (tanpa alasan yang terlalu spesifik). Sementara mereka yang membeli mobil berdasarkan hal-hal teknis, misalnya fitur, mesin, performa, dan lain sebagainya; justru berjumlah minoritas.

Masih tidak percaya juga? Cobalah sesekali mengobrol dengan para pebisnis, terutama pebisnis di tingkat menengah hingga kakap. Memang benar bahwa dalam memutuskan hal-hal yang berbau bisnis, mereka banyak menggunakan data ilmiah maupun data lapangan. Namun misalnya dalam memutuskan partner bisnisnya, mayoritas keputusan mereka diambil berdasarkan intuisi, perasaan atau kecocokan chemistry. Bahkan beberapa pebisnis yang sempat saya temui menceritakan bahwa untuk memutuskan jenis bisnis apa yang akan mereka tekuni pun, mereka banyak melibatkan intuisi atau simply perasaan saja, feeling saja.

Ini tentunya bukanlah merupakan sebuah konklusi bahwa dalam memutuskan banyak hal, lantas kita harus melulu menggunakan intuisi atau perasaan. Namun harus kita ingat bersama bahwa dari jaman dahulu pun, sudah banyak cerita dimana ketika misalnya seorang perwira utama yang ahli perang memilih perwira bawahan kepercayaannya, faktor intuisi berperan besar dalam menunjang keputusan perwira utama tersebut. Mengapa demikian? Karena betapa hebatnya pun keahlian & pengalaman bertempur seorang deputi perwira, jika ia tidak loyal dan suka berkhianat kepada perwira atasannya, maka semua keahlian dan pengalaman tempur tersebut menjadi tidak ada artinya lagi sama sekali.

Kita semua paham pastinya bahwa integritas, kredibilitas, loyalitas, dedikasi, sikap baik, karakter, kebiasaan baik dan sejumlah keluhuran moral kualitatif lainnya; merupakan hal-hal yang sangat sulit atau tidak dapat diukur dengan metode apapun dan tidak ada sertifikasinya. Jika demikian, maka intuisi akan berperan penting.

Gambar Ilustrasi: Istimewa
Intuisi dalam arti yang positif tidak berdiri sendiri tanpa masukan apapun dari "data" pendukung eksternal. Sementara itu jika perasaan dalam arti negatif tanpa didukung oleh data atau "data", maka itu lebih tepat disebut sebagai sikap emosional atau impulsif. Mengapa kata "data" saya beri tanda petik? Karena "data" yang saya maksudkan dalam konteks ini adalah "data" yang bersifat kualitatif (bukan numerik atau matematis); bukan data kuantitatif yang serba terukur dan dapat dihitung.

Apa saja yang termasuk dalam data kualitatif ini, sehingga pada akhirnya menghasilkan intuisi seseorang ketika menilai sebuah fenomena atau seseorang lainnya?

1. Pengalaman & statistik. Seseorang yang lebih sering bertemu dengan berbagai ragam kepribadian manusia lainnya, akan lebih tajam intuisinya dalam menilai sifat & karakter seseorang yang baru dia jumpai. Demikian juga ketika seseorang sudah sering mengalami kejatuhan atau kegagalan dalam hidup, intuisinya dalam menilai seseorang lainnya akan lebih tajam.

2. Komunikasi verbal. Kecocokan itu sederhana saja, yaitu diawali dari komunikasi verbal, baik secara lisan maupun secara tulisan. Jika ada berbagai perasaan tidak enak, tulalit, atau tidak cocok ketika berkomunikasi, ya sulit dikatakan cocok. Karena kelas kehidupan kita ditentukan dari kualitas komunikasi yang dapat kita lakukan bersama dengan orang lain. Jika kita pada dasarnya memang menyukai komunikasi yang baik, efektif dan berkualitas; maka dengan sendirinya pergaulan & kehidupan kita akan mempertemukan kita dengan orang-orang yang juga memiliki kesamaan kecintaan terhadap komunikasi yang baik, efektif dan berkualitas tinggi.

3. Komunikasi non-verbal, contohnya adalah bahasa tubuh, pembacaan ekspresi muka & mikro-ekspresi, pembacaan situasi, nuansa dan atmosfer; pembacaan karakter muka, dan sejumlah isyarat tak kasat mata lainnya yang dapat dideteksi oleh mereka yang sensitif & peka terhadap detail. Banyak orang mengatakan bahwa komunikasi non-verbal semacam ini tidak akurat dan tidak ada dasar akademiknya. Kenyataannya, akurasi keilmuan komunikasi non-verbal ini sudah sangat lama diakui oleh kalangan psikolog, pakar manajemen resiko, praktisi komunikasi, praktisi HR & rekrutmen, ahli bahasa tubuh, hingga badan-badan rahasia dunia & penegakan hukum sekelas FBI, CIA, NSA dan masih banyak lagi. Justru komunikasi non-verbal inilah yang lebih jujur mengungkapkan siapa sesungguhnya lawan bicara kita tersebut; tentunya bagi mereka yang memiliki intuisi tajam, perasaan yang peka dan pengetahuan / pengalaman yang memadai untuk mendeteksi dan menginterpretasikannya.

Ketiga aspek ini adalah penyumbang terbesar bagaimana perasaan & intuisi kita "berbicara" terhadap lawan bicara kita dan orang lain pada umumnya.

Jadi semakin banyak jam terbang seseorang di satu-dua bidang dan semakin tinggi kepekaan perasaan atau intuisi seseorang, cukup dengan mengandalkan ketiga hal tersebut dalam waktu relatif tidak terlalu lama ketika berinteraksi dengan seseorang atau sekelompok orang; maka dia dapat langsung memutuskan apakah akan menjalin ikatan (apapun itu) secara jangka panjang dengan orang atau entitas tersebut, atau tidak sama sekali.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bersama bahwa tentang rasa, perasaan dan intuisi yang sedang saya bicarakan di sini, bukanlah yang merujuk pada sesuatu yang sifatnya emosional atau "tiba-tiba muncul berdasarkan mood" (impulsif); melainkan suatu karunia dari Tuhan dan alam ini kepada kita, yang sepenuhnya memaksimalkan semua instrumen indera dan kemanusiaan kita, demi memudahkan manusia tersebut dalam pencapaian tujuannya.

Dalam tingkatan yang lebih luhur lagi, perasaan atau intuisi dapat kita maksimalkan penggunaannya demi menghindarkan kita dari hal-hal yang jahat atau berniat mencelakakan kita, dan juga memudahkan proses saling-bertemu antara kita dengan orang-orang baik lainnya.

Selama kita bisa mengoptimalkan, menyeimbangkan, menyinergikan dan menyelaraskan perasaan atau intuisi kita dengan rasionalitas kita; itu akan menjadi kombinasi terbaik bagi ketahanan diri kita dalam perjalanan kita menuju sukses sejati dan kualitas kehidupan yang kita idamkan selama ini.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Banyak Keputusan Penting Selalu Berpulang Pada Rasa"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel