Percayalah, Pemilihan Kata Itu (Sangat) Penting

Dalam sepanjang hidup saya, saya menemui terlalu banyak orang yang tidak memahami betapa pentingnya pemilihan kata-kata dalam struktur bahasa yang baik dan benar. Di sini saya tidak sedang berbicara mengenai standar jurnalistik atau standar kaidah bahasa yang kaku. Di sini saya sedang berbicara tentang psikologi awam dan humanisme, yang berkaitan dengan tata-bahasa sehari-hari.

Pemahaman awal kita harus didasari atas satu fakta berikut ini. Secara legal, tidak ada keharusan hukum bagi kita untuk selalu menggunakan kata-kata yang tepat & indah. Namun satu hal yang pasti dan buktinya sudah ada selama hidup manusia di dunia ini, bahwa siapapun yang mahir memilih kata dan menggunakan struktur bahasa yang rapi, akan memenangkan hati banyak orang dan akan menyelesaikan banyak masalah; dan juga bisa mencegah banyak terjadinya masalah. Jangan lupa, di garis akhirnya, kemahiran berkata-kata ini tentunya harus dilandasi oleh niat baik dan hati yang bersih.

Namun betapapun begitu besarnya keuntungan yang ditawarkan dari kemampuan bertata-bahasa tersebut, hingga detik ini masih saja banyak orang yang kesulitan memahami, mengapa tata-bahasa itu penting, dan seberapa besar pertolongan yang bisa diberikan oleh tata-bahasa yang baik, untuk penyelesaian sejumlah masalah yang sedang mereka hadapi.

Jawaban saya sederhana saja. Karena selain tata-bahasa akan menentukan siapa diri kita sebenarnya, itu juga akan sepenuhnya menentukan nuansa psikologis orang lain yang terkait dengan kata-kata yang kita ucapkan / tuliskan. Berbicara urusan psikologis, berarti berbicara urusan rasa / nuansa hati. Sudahkah kita semua paham bahwa semuanya di dunia ini pada akhirnya adalah tentang rasa atau nuansa hati?

Begitu banyak merek & jenis mobil di dunia ini, tapi pada akhirnya kita hanya memilih mobil berdasarkan selera (dan anggaran) kan? Namun jika diasumsikan uang kita tak terbatas, toh kita akan tetap memilih mobil berdasarkan selera dan karakter pribadi kita. Mobil adalah produk yang bisa bersifat sangat teknis. Tapi hampir semua orang diluar sana memilih mobil berdasarkan selera. Sekali lagi, ini semua tentang rasa.

Betapapun saya pernah dipercayakan karir bagus di dunia media & jurnalistik, namun sedari awal hingga sekarang sekalipun, saya tetap berpegang teguh pada prinsip berbahasa yang baik & benar, bukan benar & baik. Lho, bedanya apa?

Kita lihat bahwa selama ini idealnya berbahasa memanglah baik & benar. Kata "baik" didahulukan ketimbang "benar". Mengapa demikian? Karena berbicara mengenai "baik", adalah berbicara mengenai kepentingan bersama, baik kita yang berbicara maupun bagi orang lain yang mendengar atau melihat kata-kata kita. Perihal benar atau tidak benar, hal tersebut bukannya tidak penting, tapi maksudnya adalah jangan sampai karena kita berusaha benar dalam berbahasa, namun melupakan pentingnya berusaha menjunjung kebaikan bersama dalam berbahasa tersebut.

Ilustrasi sederhananya begini. Seseorang bisa saja dicintai banyak orang bukan karena kemahirannya berbahasa atau menulis, tapi karena kemampuannya memenangkan hati banyak orang lewat tutur-kata yang sederhana, membumi, mudah dipahami, penuh kerendahan hati dan otentik.

Sebaliknya, banyak sekali orang yang pandai bertata-bahasa dan melakukan Public Speaking, namun banyak orang tidak menyukainya hanya karena apa yang dia ucapkan atau cara mengatakannya yang tidak baik, tidak mengundang rasa simpati / respek, dan tidak otentik atau dibuat-buat. Keindahan & kualitas tata-bahasanya menjadi sesuatu yang hampa, tidak bermakna, bahkan penuh kepalsuan.

Saya tidak sedang mengatakan bahwa tata-bahasa yang baik itu tidak penting. Bukan. Saya hanya sedang mengatakan bahwa tujuan utama kita berkomunikasi & berbahasa adalah membangun relasi yang baik dengan orang lain. Relasi yang baik, pasti diawali dari sesuatu yang baik. Sesuatu yang baik pertama-tama dibangun dari kebaikan dalam kita berbahasa.


Benarnya tata-bahasa yang kita ucapkan atau tuliskan, menjadi berbobot dan penuh makna tatkala hal terpenting yang menyertainya terpenuhi terlebih dahulu, yaitu: baik / kebaikan. Sehingga wajar & logis saja jika kaidahnya adalah berbahasa yang "baik & benar", bukan "benar & baik".

Oke, saya akan ceritakan satu cerita pendek, sederhana, namun maknanya dalam. Saya harap kini kita semua bisa memahami betapa pentingnya berbahasa yang baik. Cerita ini merupakan kejadian nyata yang saya alami beberapa waktu lalu.

Suatu saat di masa lalu, saya pernah mengobrol bersama-sama sepasang suami-istri dengan satu orang anak perempuan berumur lima tahun, di sebuah kafe. Kebetulan keduanya adalah kawan saya semasa sekolah. Saat itu, berdasarkan cerita sebelumnya dari sang suami sebagai kawan sesama lelaki, kondisi ekonomi mereka sedang dalam keadaan tidak baik, karena dia belum kunjung mendapatkan pekerjaan.

Sang suami dulunya pekerja media yang hebat dan saya respek dengan kualitas kerjanya. Namun kenyataan hidup yang tidak dapat ditebak telah membuatnya menganggur beberapa bulan tanpa penghasilan, padahal anaknya yang sulung baru saja memasuki SMA favorit dengan biaya yang tidak kecil.

Ada satu dialog menarik yang tidak sengaja saya dengar dari sang ibu yang memeluk anaknya. Diawali dari sang anak yang cerewet dan sering berceloteh, ada satu kalimat yang dia ucapkan kepada ibunya disaat kita sedang asik mengobrol.

Sang anak: Mamahhh... saya (menyebut namanya) pengen jadi kaya Papahhh... (dengan ekspresi manja).

Sang istri: (Menatap sang anak sambil tersenyum, namun senyumnya perlahan meredup) Ah kamu, kenapa pengen jadi kaya Papah, nganggur gitu...

Sang anak: Nganggur itu artinya apa Mah?

Sang istri: (Tersadar dengan suasana yang menjadi tidak enak dan berusaha mengalihkan pembicaraan dengan sang anak ke topik lainnya).

Sekilas saya amati ekspresi sang suami, mukanya langsung mendung mendengar istrinya berkata seperti itu. Sulit saya sembunyikan, ekspresi saya pun sedikit meredup mendengar kata-kata dari sang istri tersebut pada anaknya. Saya berusaha mengalihkan suasana ke obrolan yang lebih ceria.

Disinilah saya seringkali bertanya-tanya, mengapa kaum perempuan begitu sulit memikirkan terlebih dahulu kata-kata yang akan mereka ucapkan? Sebegitu sulitnyakah berpikir, bagi kaum perempuan?

Suami sedang dalam kondisi tidak baik, sesungguhnya suasana hatinya pun pasti sedang tidak gembira, betapapun ketika mengobrol dengan saya, ekspresinya tampak ceria. Jadi sudah jelas bahwa sang suami pun benar-benar tidak menikmati menjadi pengangguran selama beberapa bulan. Apalagi jika mengingat prestasi kerja sang suami di masa lalu, kondisi tersebut pasti berat bagi mentalnya.

Tapi apakah sang suami harus mengobral kesedihan atas kondisinya tersebut ke setiap orang yang dia temui? TENTU TIDAK. Lelaki sejati yang kuat tidak mengeluh, dan dia akan fight terus untuk menyelesaikan masalah-masalah hidupnya. Saya dapati pun sang suami sudah berusaha keras sekali untuk mendapatkan pekerjaan, walaupun tentunya tidak mudah karena selain umurnya yang tidak muda lagi, keahliannya juga cukup spesifik.

Jadi ketika anaknya nyeletuk kepada sang ibu bagaimana dia ingin menjadi seperti papahnya, APA SUSAHNYA SIH bagi sang ibu untuk mengatakan hal-hal baik tentang sang ayah di depan anaknya dan juga di depan saya? TOH sang anak juga belum paham apapun tentang kondisi sulit yang sedang mereka hadapi. Betapapun mungkin suasana hati kita saat itu sedang tidak enak, namun berusaha mengatakan hal-hal baik tentang pasangan kita didepan orang lain sama sekali tidaklah merugikan kita.

Sang suami dulunya adalah penulis hebat, maka itulah yang seyogianya dikatakan kepada sang anak. Ooo Nak, pengen jadi seperti Ayah yang jago menulis dan bikin buku? Kata-kata positif seperti ini kan JAUH lebih enak didengar dan lebih etis untuk dikatakan dalam obrolan kami saat itu. Sang anak pun sudah pasti lebih bisa menerima dan mencerna apa hal positif yang ayahnya pernah kerjakan.

Selain itu heiii... sang suami saya lihat fight sekali untuk keluar dari situasi itu. Suaminya berusaha mati-matian agar mendapat pekerjaan kembali. Jadi saya sebagai lelaki, sangat merasakan betapa tidak adilnya kaum perempuan dalam menilai kaum lelaki yang sedang tidak berpenghasilan, di momen semacam itu.

Saya berusaha paham bahwa tidaklah mudah ada di situasi seperti itu, karena saya pernah mengalami hal itu, bahkan lebih parah. Namun ketika kita bertemu orang lain, KENDALIKANLAH perasaan dan lidah kita, jangan sampai kita mengatakan hal-hal yang tidak etis dan tidak elok tentang kondisi sulit yang kita alami di dalam rumahtangga kita, apalagi jika hal itu pasti menjatuhkan harga diri pasangan kita di depan orang lain.

Ya, betul, saya khusus mengatakan hal ini terutama bagi kaum perempuan, yang seringkali sulit berpikir jernih ditengah situasi sulit. Namun saya juga mengatakan pesan yang sama bagi kaum lelaki. Jangan keburu tersinggung dulu, ini adalah generalisasi umum saja. Saya paham tidak semua perempuan dan tidak semua lelaki seperti itu.

Intinya, tidak perlulah kita menggembar-gemborkan kesukaran hidup yang kita alami kepada orang lain, apalagi jika apa yang kita lakukan tersebut berpotensi melukai perasaan atau harga diri orang yang kita cintai didepan orang lain.

Inilah yang saya maksud sebagai "berbahasa yang baik & benar". Sang istri telah mengatakan hal yang benar (sesuai kenyataan), namun pada akhirnya itu menjadi hal yang tidak baik karena melukai perasaan & harga diri sang suami didepan saya.

Kata-kata ibarat pisau, dan pensil ibarat hati & pikiran kita. Pisau tersebut dapat kita gunakan untuk memotong pensil dan membuatnya menjadi tidak berguna, atau pisau tersebut bisa kita gunakan untuk memahat ujung pensil menjadi sesuatu yang tajam & berguna untuk menulis atau menggambar. Hati & pikiran kita bisa menjadi riang & produktif karena penghargaan dari atasan kita, misalnya. Tapi hati & pikiran yang sama juga bisa menjadi pesimis & negatif hanya karena celaan yang menyakitkan dari orang lain.

Di cerita tadi, saya bersyukur bahwa sang suami pemaaf, buktinya sampai hari ini mereka masih bersama. Bagaimana halnya jika sang suami tipe sensitif dan sulit melupakan kesalahan kata-kata? Bisa dipastikan mereka tidak lagi bersama. Lalu siapa yang paling dirugikan jika kondisi seperti itu terjadi? ANAK-ANAK.

Sekali lagi, ini adalah cerita nyata, dan saya benar-benar mengalaminya. Kejadian ini sangat saya sesalkan, dan saya bagikan di artikel ini agar kita semua punya kesadaran yang semakin tinggi untuk mengedepankan kaidah-kaidah berbahasa yang baik & benar. Semuanya demi kebaikan bersama.

Kebenaran hanya akan bernilai tinggi jika kebenaran itu disampaikan dengan cara yang baik & tujuan yang mulia. Sejumlah kebenaran tentunya harus disampaikan dengan cara apapun, karena nilai kebenaran itu bisa sangat mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Namun ada banyak sekali bentuk kebenaran yang berskala privat dan dapat disampaikan dengan cara-cara yang baik, santun dan penuh etika.

Jika hati kita dipenuhi kasih bagi sesama, dengan sendirinya itu akan terpancar dari kata-kata yang kita ucapkan. Kata-kata yang baik, lembut, dan penuh kasih; adalah pelita ditengah kegelapan hidup yang sedang dialami oleh orang lain. Pendek kata, tata-bahasa yang kita gunakan merupakan proyeksi yang tingkat akurasinya mendekati sempurna, untuk menggambarkan sketsa alam bawah sadar kita dan pola / cara berpikir kita.

Betul... betul... bahwa kita tidak wajib menghargai orang lain. Menghargai orang lain adalah hak prerogatif kita. Tapi jika dengan menghargai orang lain lantas kita bisa mengubah hidup orang lain, atau bisa mengubah hidup kita sendiri; ke arah yang lebih baik dan lebih hebat, atau bahkan bisa mencapai impian-impian tertinggi kita selama ini; lalu mengapa tidak kita lakukan?

Semoga setelah membaca artikel ini, tidak ada lagi kesulitan dalam hati dan pikiran kita untuk mengatakan hal-hal yang baik & benar, untuk berbahasa yang baik & benar; demi kebaikan bersama. Tidak semua realitas layak kita tebarkan kepada orang lain. Tapi semakin banyak kebaikan yang kita tebar bagi orang lain, tentunya itu semakin baik kan?

Dunia ini telah mengalami banyak luka karena lisan yang tidak dijaga & tidak dipikirkan baik-baik oleh pengucapnya.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Percayalah, Pemilihan Kata Itu (Sangat) Penting"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel