Mensyukuri Makanan Selain Lewat Doa
Sunday, December 11, 2016
Add Comment
Kebanyakan orang terlalu dogmatik mematok cara mensyukuri makanan di meja makan mereka, hanya dengan cara berdoa sebelum makan saja. Jujur saja, saya bukanlah orang yang religius. Oleh sebab itu saya tidak terlalu gimana banget dengan doa, dalam hal ini khususnya adalah doa sebelum makan. Jika memang saya sedang ada mood berdoa, saya akan berdoa. Jika saya tidak mood berdoa, maka saya tidak akan berdoa, cukup mengucap syukur dalam hati saja. Saya memilih jalan yang lebih "menapak ke bumi" dalam mensyukuri makanan yang bisa saya santap hari ini.
Artikel ini bukanlah saya maksudkan untuk mengejek pentingnya doa sebelum makan. Saya justru berusaha menguatkan pengaruh doa sebelum makan, dengan perbuatan-perbuatan kita semua atas makanan itu, yang memang selaras dengan doa-doa yang kita panjatkan.
Pendek katanya, jika kita memang benar-benar bersyukur atas makanan & rejeki yang bisa kita santap, hendaklah itu tercermin dari perbuatan nyata & perilaku kita di meja makan yang selaras dengan apa yang kita doakan tersebut.
Buat saya pribadi, ada tiga perbuatan nyata yang bisa kita lakukan di meja makan, selain berdoa sebelum makan, yang merupakan wujud syukur paling nyata atas rejeki yang telah kita peroleh:
Tidak Memilih-milih Makanan Secara Ekstrim
Memilih dan memilah makanan itu sebenarnya wajar saja, karena toh saya juga melakukan itu. Tentu saja kita akan memilih makanan yang paling sesuai dengan selera kita, paling sehat (jika kita peduli dengan kesehatan), dan yang paling sesuai dengan kantong kita.
Tentu bukan hal itu yang saya maksudkan dalam bagian ini. Yang saya maksudkan adalah ketika kita sudah memilih-milih makanan secara ekstrim, itulah masalah yang sesungguhnya.
Jadi tolong bedakan ya, antara kata "memilih" dan "memilih-milih" atau "pilih-pilih". Memilih adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi, sedangkan memilih-milih atau pilih-pilih adalah tindakan yang kurang terpuji, khususnya dalam hal ini yang berkaitan dengan makanan.
Jika saya bisa memilih makanan seperti menu restoran, tentu saja sangat wajar jika saya memilih makanan yang paling sesuai dengan selera dan kantong saya. Jika demikian maka poin 1 sudah beres, tinggal lakukan poin 2 dan poin 3 dengan baik.
Yang saya permasalahkan adalah ketika kita dihadapkan pada situasi dimana kita tidak punya pilihan makanan, atau tidak banyak pilihan makanan. Misalnya, kita sedang ke luar kota dan sudah malam. Semua restoran tutup. Hanya ada satu restoran yang masih buka. Menu seadanya, rasanya pas-pasan.
Saya pernah beberapa kali menghadapi situasi itu, karena saya suka menyetir sendiri ke luar kota. Sikap saya adalah saya tetap menyantap makanan itu dengan penuh syukur. Saya tidak menggerutu dengan rasanya yang seadanya, karena saya sepenuhnya sadar bahwa yang terpenting saat itu adalah perut saya terisi dan saya tidak sakit atau masuk angin. Disaat seperti itu saya sadar sekali, saya bukan sedang mencari makanan favorit saya. Makanan yang ada di meja itu adalah makanan yang dapat mencegah saya sakit atau masuk angin. Titik. Syukuri dan habiskan saja tanpa banyak rewel.
Nah, saya pernah mengalami bepergian dengan orang yang cengeng soal makanan. Ketika banyak pilihan makanan, dia memilih-milih makanan. Begitu makanan yang dia pilih itu tidak enak menurutnya, dia tidak habiskan. Padahal begitu saya cicipi makanannya, rasanya enak-enak saja, dan akan saya habiskan jika saya ada di posisinya. Begitu tidak ada pilihan makanan, dia lebih memilih tidak makan hingga sakit.
Sungguh, saya sama sekali tidak suka berjalan bareng dengan orang-orang semacam ini. Semua makanan dipilih-pilih. Jika tidak sesuai selera dimuntahkan atau tidak dihabiskan. Lebih baik sakit daripada berusaha makan apa yang ada. Buat saya namanya ini manusia tidak tau bersyukur, tidak tau diuntung. Mungkin dia harus merasakan melarat dulu hingga tidur di jalanan dan makan dari tempat sampah, baru bisa mensyukuri makanan yang ada di hadapannya saat ini.
Anak-anak saya pun saya didik seperti itu. Jangan memperlakukan ibu mereka seperti pelayan restoran, yang bisa menyajikan masakan favorit mereka setiap waktu. Ibu mereka juga manusia, kadang merasa lelah, kadang malas memasak, dan buat saya itu wajar saja.
Saya menikahi istri, bukan pembantu. Jadi saya selalu katakan pada anak-anak saya, makanlah apa yang ada di meja makan, toh itu bukan racun dan bukan taik. Syukuri makanan itu, karena masih banyak orang diluar sana yang makan pun susah setengah mati. Jika ingin makanan favorit, menabunglah, dan belilah di luar sana.
Oleh karena itu saya paling sebel melihat lelaki yang memperbudak istrinya untuk memasak beberapa jenis masakan sehari, layaknya koki restoran. Padahal saya lihat istrinya juga suka kelelahan dan jenuh. Jika tidak dimasakkan beberapa jenis, suaminya ogah makan di rumah. Ini namanya kemanjaan akut, dan jelas bukan dilakukan oleh lelaki sejati yang dewasa. Tandanya adalah ibu dari si lelaki tersebut salah mendidiknya. Entah terlalu dimanjakan, entah peran ayah yang kurang dalam pendidikan si lelaki itu.
Ambil Makanan Secukupnya dan Habiskan Hingga Tuntas
Jaman saya suka mengambil makanan sebanyak-banyaknya di pesta, adalah ketika saya masih kecil dan remaja. Itupun karena saya yakin bisa menghabiskannya. Namun beranjak tua, kita jadi semakin mudah untuk mengambil makanan secukupnya saja, karena memang kapasitas perut kita sudah banyak berkurang.
Saya terganggu ketika misalnya di pesta, orang-orang berlomba-lomba mengambil makanan sebanyak-banyaknya dengan brutal, namun pada akhirnya tidak menghabiskannya. Saya menyebutkannya sebagai barbar dan kampungan. Mentang-mentang sudah "membayar" angpao pesta, lalu merasa berhak semena-mena dengan semua makanan di pesta itu.
Pendek kata, saya selalu merasa sangat terganggu dengan makanan yang tidak dihabiskan, khususnya dalam hal ini adalah ketika makanan tersebut dalam kondisi normal (lezat dan tidak basi), dan si penyantapnya sehat, tidak sakit.
Saya sempat punya beberapa kawan yang ketika makan, memang sudah kebiasaannya untuk tidak menuntaskan penghabisan makanan hingga bersih. Saya tanya, mengapa tidak dihabiskan padahal tinggal 1-2 sendok lagi. Katanya, memang tidak mau dihabiskan saja. Tanpa alasan lain yang masuk akal. Buat saya ini adalah kegagalan orangtua dalam menanamkan pekerti atas makanan & rejeki pada anak-anaknya.
Saya tidak menghabiskan makanan, hanya ketika saya sakit tipus berat. Itupun karena bukan saya yang mengambilkan makanan. Jika saya sendiri yang mengambil makanan ketika saya sedang sakit, sudah pasti saya akan menakar pengambilan makanan tersebut dengan cermat agar tidak terbuang, karena saya belum bisa makan banyak secara normal.
Sehingga itulah yang saya selalu tanamkan pada anak-anak saya. Haram hukumnya membuang-buang makanan secara sia-sia tanpa alasan yang masuk akal. Bila makanan tersebut basi atau tercemar, wajar saja tidak dihabiskan. Atau ketika kita sakit sesuatu, wajar saja tidak menghabiskan makanan. Tapi dalam kondisi normal dan makanannya baik-baik saja, habiskan makanan itu! Tidak ada kompromi.
Statistiknya begini. Dalam 1 kilogram beras, ada kurang-lebih sekitar 50.000an butir beras. Bisakah kita hitung berapa ton beras atau nasi yang terbuang sia-sia dari seluruh penduduk Indonesia yang membuang-buang makanan per harinya? Padahal jika makanan yang terbuang itu untuk memberi makan mereka yang berkekurangan, seluruh dunia ini tidak akan lagi mengalami kelaparan.
Dunia ini kelaparan bukan karena kekurangan bahan pangan, tetapi karena adanya manusia-manusia yang tidak punya nurani, tidak punya pekerti dan tidak menggunakan akal-budinya untuk memperlakukan makanan dengan sebaik-baiknya. Pemikiran saya sesederhana itu.
Pemikiran saya tersebut bukan asal berpikir. Ketika saya sudah memiliki pemikiran semacam itu, tanpa sengaja saya menonton saluran televisi National Geographic yang khusus membahas tentang sisa-sisa makanan dari restoran dan buangan makanan kadaluwarsa dari supermarket sebuah kota di negara maju. Setelah diakumulasi dan dihitung dengan cermat, hasilnya luar biasa... Sisa makanan per hari dari restoran dan makanan buangan dari supermarket tersebut, seandainya dikonversi menjadi makanan baru & sehat yang siap saji, bisa memberi makan satu desa yang kelaparan setiap harinya!!!
Ini baru dari satu kota. Bagimana halnya jika ini dapat dikumpulkan dari satu propinsi? Dari satu negara?
Inilah realitas yang kadang menghancurkan hati saya. Maka dari itu saya sangat serius dan tidak main-main dengan penghabisan makanan hingga tuntas, kapanpun dan dimanapun saya makan. Saya pun tekankan ini kepada anak-anak saya. Pada kasus khusus misalnya makanan basi atau tercemar, atau kita sedang tidak sehat, tidaklah masalah tidak menghabiskan makanan. Tapi jika makanan tersebut normal dan kita sedang tidak sakit, marilah berbudi-pekerti atas makanan yang telah tersedia di hadapan kita.Sedihnya, kita tidak bisa mengubah realitas dunia tersebut. Minimal kita bisa memulainya dari diri sendiri dan keluarga kita.
Bereskan Sisa Makanan dan Peralatannya
Ini adalah langkah terakhir dari pekerti terhadap makanan yang paling jarang dan paling sulit dilakukan. Saya teramat jarang menemukan seseorang atau sekelompok orang yang sedang makan, dan setelah selesai makan, lalu peralatan makanannya dibereskan dengan baik.
Dalih semua orang adalah: kan ada pelayan. Kalo ada pelayan, buat apa kita beresin sisa & perabot makan?
Ya betul, pemikiran itu logis adanya. Tapi kembali lagi ke aspek moral, etika dan budi-pekerti. Maksud saya begini...
Saya termasuk cepat jika makan. Saya tidak suka berlama-lama ketika makan. Oleh karenanya saya tidak suka makan sambil mengobrol. Jika saya harus mengobrol dengan seseorang, saya lebih suka sambil ngopi ketimbang makan berat; kecuali memang jadwal obrolannya begitu panjang hingga mengharuskan kita akhirnya makan berat.
Jika saya makan bareng keluarga atau kawan, biasanya saya yang terlebih dahulu habis makanannya, tentu jika makanan pesanan saya tidak datang terlambat. Nah, selama saya sudah selesai makan tersebut sementara orang lain masih makan, saya terkadang suka sedikit bingung, agak mati gaya, apalagi karena saya tidak merokok. Akhirnya apa? Meraih telepon genggam dan mengeceknya. Ini adalah reflek yang lumrah di jaman sekarang.
Lama-kelamaan saya berpikir, mengecek telepon genggam saya bisa saya lakukan kapanpun, jika memang tidak ada keperluan darurat. Tapi berbuat kebaikan bagi orang lain, bahkan kalaupun itu adalah seorang pelayan restoran, tidak setiap waktu bisa saya lakukan.
Maka saya putuskan untuk memperingan kerja pelayan restoran, dengan merapikan peralatan makan saya dan orang lain yang semeja dengan saya, dengan serapi dan sesistematis mungkin. Sehingga pelayan hanya tinggal mengambilnya dengan mudah, dan mengelap meja untuk tamu restoran berikutnya.
Saya beberapa kali mengobrol dengan pelayan restoran secara pribadi. Mayoritas mereka diberi upah dengan nilai yang sekedarnya, atau maksimal UMP (Upah Minimum Provinsi). Kecuali sudah senior sekali. Namun lihatlah beban kerja mereka, fisik dan mental seharian.
Saya hanya mencoba berempati saja. Perut saya sudah kenyang dan nyaris tidak ada lagi kegiatan produktif yang saya lakukan setelah makan, apa salahnya saya bereskan peralatan makan saya? Tidak membuat saya hina, tidak membuat saya lelah, dan tidak membuat saya keluar uang lebih; tapi efeknya baik. Pemikiran saya sesederhana itu saja.
Saya agak perfeksionis, oleh karenanya saya tidak asal tumpuk piring bekas makan. Saya rapikan dari piring besar ke piring kecil, dan sisa makanan yang ada saya pusatkan di piring paling atas. Pelayan hanya tinggal membuang sisa makanan itu cukup dari satu piring saja. Piring lainnya hanya tinggal ditumpuk di pencucian piring.
Saya selalu berpikir, dengan saya lakukan itu, saya sudah menghemat banyak energi dan waktu yang dibutuhkan pelayan itu untuk menggunakan peralatan makan itu kembali ke pengunjung restoran lainnya. Tentunya ini akan mengurangi kelelahan mereka juga.
Saya hanya berharap, andai cukup banyak orang yang lakukan itu, maka pelayan restoran akan bisa punya lebih banyak waktu untuk beristirahat. Dengan demikian mereka akan cenderung lebih prima untuk melayani tamunya.
Bahkan jika kita membicarakan hukum karma, dengan saya menjadi tamu yang baik bagi sebuah tempat usaha, kelak saya punya usaha sendiri, saya pun bisa berharap untuk bertemu dengan tamu-tamu yang baik dan menyenangkan.
Apakah saya selalu membereskan peralatan makan saya? Tentu tidak. Jika pelayanan restoran tersebut jelek, tidak akan saya bereskan. Jika makanannya enak dan pelayanannya baik, tanpa ragu lagi, pasti saya bereskan. Timbal-baliknya sesederhana itu. Saya juga masih manusia biasa, terkadang bisa sangat dongkol dengan pelayanan tempat makan yang tidak becus. Jika mereka melayani saya dengan baik, maka saya akan kembalikan pelayanan baik itu kepada mereka.
Saya hanya berusaha menyelaraskan kebiasaan saya di rumah dengan di luar rumah. Tentu saya senang jika anggota keluarga saya membereskan alat makannya dengan baik, sehingga saya tinggal mencucinya dengan cukup mudah. Lalu apa salahnya saya lakukan pekerti yang sama terhadap pelayan restoran?
Saya tahu persis betapa melelahkannya bekerja di dapur, bahkan untuk rumah pribadi sekalipun. Apalagi untuk restoran. Betapapun pelayannya banyak, mengerjakan urusan dapur tetaplah menguras banyak tenaga dan kekuatan moril. Maka tidak ada salahnya jika kita bisa menjadi sumber sukacita dan kemudahan bagi orang lain.
Mengintip Kepribadian Seseorang Dari Cara Makan
Ketika kita akan berurusan serius dengan seseorang, tidak ada salahnya kita ajak makan mereka. Karena apa? Karena dari cara mereka makan, saya bisa melihat sekilas (tidak detail tentunya) kepribadian dan karakter orang tersebut.
Tentu saja itu bukan indikator yang akurat secara absolut. Namun jika kita berurusan dengan seseorang yang baru kita kenal, tentunya kita perlu sedikit "mengintip" detail tentang dirinya. Nah, ajak saja makan. Dari situ sudah terlihat sekelumit tentang dirinya.
Maka sedikit waspadalah dan bersiaplah jika kita diajak makan oleh seseorang asing, terutama yang akan berurusan serius dengan kita, misalnya dalam hal pacaran, pekerjaan, atau bisnis. Selalu ada kemungkinan orang tersebut bisa melihat sekelumit karakter asli kita cukup dari apa yang kita lakukan di meja makan.
Oleh karena itu siapapun yang mengajak saya makan, saya tidak pernah gusar atau canggung. Karena saya sudah menjalankan tiga poin tersebut sebagai sebuah reflek, sebagai sebuah kebiasaan yang alamiah. Saya justru senang jika hal tersebut dilihat oleh orang lain. Bukan karena saya senang pamer, tapi karena saya berharap semakin banyak orang yang terdorong untuk melakukannya, demi kebaikan dan sukacita orang lain.
Penutup
Dunia ini semakin gila, semakin egois, dan semakin tidak peduli dengan kesusahan orang lain.
Kita selalu punya pilihan dan kesempatan untuk tidak menjadi salah satu dari yang membuat dunia ini semakin gila, semakin egois dan semakin tidak peduli dengan kesusahan orang lain.
Cobalah latih ketiga pekerti ini dari diri kita sendiri dulu, lalu tularkanlah dan tanamkanlah pada anak-anak kita. Saya yakin dunia akan menjadi tempat yang lebih baik dan menyenangkan jika semakin banyak orang dan keluarga yang melakukan hal-hal luhur semacam ini.
Artikel ini bukanlah saya maksudkan untuk mengejek pentingnya doa sebelum makan. Saya justru berusaha menguatkan pengaruh doa sebelum makan, dengan perbuatan-perbuatan kita semua atas makanan itu, yang memang selaras dengan doa-doa yang kita panjatkan.
Pendek katanya, jika kita memang benar-benar bersyukur atas makanan & rejeki yang bisa kita santap, hendaklah itu tercermin dari perbuatan nyata & perilaku kita di meja makan yang selaras dengan apa yang kita doakan tersebut.
Buat saya pribadi, ada tiga perbuatan nyata yang bisa kita lakukan di meja makan, selain berdoa sebelum makan, yang merupakan wujud syukur paling nyata atas rejeki yang telah kita peroleh:
- Tidak memilih-milih makanan secara ekstrim.
- Ambil makanan secukupnya dan habiskan hingga tuntas.
- Bereskan sisa makanan dan peralatannya.
Tidak Memilih-milih Makanan Secara Ekstrim
Memilih dan memilah makanan itu sebenarnya wajar saja, karena toh saya juga melakukan itu. Tentu saja kita akan memilih makanan yang paling sesuai dengan selera kita, paling sehat (jika kita peduli dengan kesehatan), dan yang paling sesuai dengan kantong kita.
Tentu bukan hal itu yang saya maksudkan dalam bagian ini. Yang saya maksudkan adalah ketika kita sudah memilih-milih makanan secara ekstrim, itulah masalah yang sesungguhnya.
Jadi tolong bedakan ya, antara kata "memilih" dan "memilih-milih" atau "pilih-pilih". Memilih adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi, sedangkan memilih-milih atau pilih-pilih adalah tindakan yang kurang terpuji, khususnya dalam hal ini yang berkaitan dengan makanan.
Jika saya bisa memilih makanan seperti menu restoran, tentu saja sangat wajar jika saya memilih makanan yang paling sesuai dengan selera dan kantong saya. Jika demikian maka poin 1 sudah beres, tinggal lakukan poin 2 dan poin 3 dengan baik.
Yang saya permasalahkan adalah ketika kita dihadapkan pada situasi dimana kita tidak punya pilihan makanan, atau tidak banyak pilihan makanan. Misalnya, kita sedang ke luar kota dan sudah malam. Semua restoran tutup. Hanya ada satu restoran yang masih buka. Menu seadanya, rasanya pas-pasan.
Saya pernah beberapa kali menghadapi situasi itu, karena saya suka menyetir sendiri ke luar kota. Sikap saya adalah saya tetap menyantap makanan itu dengan penuh syukur. Saya tidak menggerutu dengan rasanya yang seadanya, karena saya sepenuhnya sadar bahwa yang terpenting saat itu adalah perut saya terisi dan saya tidak sakit atau masuk angin. Disaat seperti itu saya sadar sekali, saya bukan sedang mencari makanan favorit saya. Makanan yang ada di meja itu adalah makanan yang dapat mencegah saya sakit atau masuk angin. Titik. Syukuri dan habiskan saja tanpa banyak rewel.
Nah, saya pernah mengalami bepergian dengan orang yang cengeng soal makanan. Ketika banyak pilihan makanan, dia memilih-milih makanan. Begitu makanan yang dia pilih itu tidak enak menurutnya, dia tidak habiskan. Padahal begitu saya cicipi makanannya, rasanya enak-enak saja, dan akan saya habiskan jika saya ada di posisinya. Begitu tidak ada pilihan makanan, dia lebih memilih tidak makan hingga sakit.
Sungguh, saya sama sekali tidak suka berjalan bareng dengan orang-orang semacam ini. Semua makanan dipilih-pilih. Jika tidak sesuai selera dimuntahkan atau tidak dihabiskan. Lebih baik sakit daripada berusaha makan apa yang ada. Buat saya namanya ini manusia tidak tau bersyukur, tidak tau diuntung. Mungkin dia harus merasakan melarat dulu hingga tidur di jalanan dan makan dari tempat sampah, baru bisa mensyukuri makanan yang ada di hadapannya saat ini.
Anak-anak saya pun saya didik seperti itu. Jangan memperlakukan ibu mereka seperti pelayan restoran, yang bisa menyajikan masakan favorit mereka setiap waktu. Ibu mereka juga manusia, kadang merasa lelah, kadang malas memasak, dan buat saya itu wajar saja.
Saya menikahi istri, bukan pembantu. Jadi saya selalu katakan pada anak-anak saya, makanlah apa yang ada di meja makan, toh itu bukan racun dan bukan taik. Syukuri makanan itu, karena masih banyak orang diluar sana yang makan pun susah setengah mati. Jika ingin makanan favorit, menabunglah, dan belilah di luar sana.
Oleh karena itu saya paling sebel melihat lelaki yang memperbudak istrinya untuk memasak beberapa jenis masakan sehari, layaknya koki restoran. Padahal saya lihat istrinya juga suka kelelahan dan jenuh. Jika tidak dimasakkan beberapa jenis, suaminya ogah makan di rumah. Ini namanya kemanjaan akut, dan jelas bukan dilakukan oleh lelaki sejati yang dewasa. Tandanya adalah ibu dari si lelaki tersebut salah mendidiknya. Entah terlalu dimanjakan, entah peran ayah yang kurang dalam pendidikan si lelaki itu.
Ambil Makanan Secukupnya dan Habiskan Hingga Tuntas
Jaman saya suka mengambil makanan sebanyak-banyaknya di pesta, adalah ketika saya masih kecil dan remaja. Itupun karena saya yakin bisa menghabiskannya. Namun beranjak tua, kita jadi semakin mudah untuk mengambil makanan secukupnya saja, karena memang kapasitas perut kita sudah banyak berkurang.
Saya terganggu ketika misalnya di pesta, orang-orang berlomba-lomba mengambil makanan sebanyak-banyaknya dengan brutal, namun pada akhirnya tidak menghabiskannya. Saya menyebutkannya sebagai barbar dan kampungan. Mentang-mentang sudah "membayar" angpao pesta, lalu merasa berhak semena-mena dengan semua makanan di pesta itu.
Pendek kata, saya selalu merasa sangat terganggu dengan makanan yang tidak dihabiskan, khususnya dalam hal ini adalah ketika makanan tersebut dalam kondisi normal (lezat dan tidak basi), dan si penyantapnya sehat, tidak sakit.
Saya sempat punya beberapa kawan yang ketika makan, memang sudah kebiasaannya untuk tidak menuntaskan penghabisan makanan hingga bersih. Saya tanya, mengapa tidak dihabiskan padahal tinggal 1-2 sendok lagi. Katanya, memang tidak mau dihabiskan saja. Tanpa alasan lain yang masuk akal. Buat saya ini adalah kegagalan orangtua dalam menanamkan pekerti atas makanan & rejeki pada anak-anaknya.
Saya tidak menghabiskan makanan, hanya ketika saya sakit tipus berat. Itupun karena bukan saya yang mengambilkan makanan. Jika saya sendiri yang mengambil makanan ketika saya sedang sakit, sudah pasti saya akan menakar pengambilan makanan tersebut dengan cermat agar tidak terbuang, karena saya belum bisa makan banyak secara normal.
Sehingga itulah yang saya selalu tanamkan pada anak-anak saya. Haram hukumnya membuang-buang makanan secara sia-sia tanpa alasan yang masuk akal. Bila makanan tersebut basi atau tercemar, wajar saja tidak dihabiskan. Atau ketika kita sakit sesuatu, wajar saja tidak menghabiskan makanan. Tapi dalam kondisi normal dan makanannya baik-baik saja, habiskan makanan itu! Tidak ada kompromi.
Statistiknya begini. Dalam 1 kilogram beras, ada kurang-lebih sekitar 50.000an butir beras. Bisakah kita hitung berapa ton beras atau nasi yang terbuang sia-sia dari seluruh penduduk Indonesia yang membuang-buang makanan per harinya? Padahal jika makanan yang terbuang itu untuk memberi makan mereka yang berkekurangan, seluruh dunia ini tidak akan lagi mengalami kelaparan.
Dunia ini kelaparan bukan karena kekurangan bahan pangan, tetapi karena adanya manusia-manusia yang tidak punya nurani, tidak punya pekerti dan tidak menggunakan akal-budinya untuk memperlakukan makanan dengan sebaik-baiknya. Pemikiran saya sesederhana itu.
Pemikiran saya tersebut bukan asal berpikir. Ketika saya sudah memiliki pemikiran semacam itu, tanpa sengaja saya menonton saluran televisi National Geographic yang khusus membahas tentang sisa-sisa makanan dari restoran dan buangan makanan kadaluwarsa dari supermarket sebuah kota di negara maju. Setelah diakumulasi dan dihitung dengan cermat, hasilnya luar biasa... Sisa makanan per hari dari restoran dan makanan buangan dari supermarket tersebut, seandainya dikonversi menjadi makanan baru & sehat yang siap saji, bisa memberi makan satu desa yang kelaparan setiap harinya!!!
Ini baru dari satu kota. Bagimana halnya jika ini dapat dikumpulkan dari satu propinsi? Dari satu negara?
Inilah realitas yang kadang menghancurkan hati saya. Maka dari itu saya sangat serius dan tidak main-main dengan penghabisan makanan hingga tuntas, kapanpun dan dimanapun saya makan. Saya pun tekankan ini kepada anak-anak saya. Pada kasus khusus misalnya makanan basi atau tercemar, atau kita sedang tidak sehat, tidaklah masalah tidak menghabiskan makanan. Tapi jika makanan tersebut normal dan kita sedang tidak sakit, marilah berbudi-pekerti atas makanan yang telah tersedia di hadapan kita.Sedihnya, kita tidak bisa mengubah realitas dunia tersebut. Minimal kita bisa memulainya dari diri sendiri dan keluarga kita.
Bereskan Sisa Makanan dan Peralatannya
Ini adalah langkah terakhir dari pekerti terhadap makanan yang paling jarang dan paling sulit dilakukan. Saya teramat jarang menemukan seseorang atau sekelompok orang yang sedang makan, dan setelah selesai makan, lalu peralatan makanannya dibereskan dengan baik.
Dalih semua orang adalah: kan ada pelayan. Kalo ada pelayan, buat apa kita beresin sisa & perabot makan?
Ya betul, pemikiran itu logis adanya. Tapi kembali lagi ke aspek moral, etika dan budi-pekerti. Maksud saya begini...
Saya termasuk cepat jika makan. Saya tidak suka berlama-lama ketika makan. Oleh karenanya saya tidak suka makan sambil mengobrol. Jika saya harus mengobrol dengan seseorang, saya lebih suka sambil ngopi ketimbang makan berat; kecuali memang jadwal obrolannya begitu panjang hingga mengharuskan kita akhirnya makan berat.
Jika saya makan bareng keluarga atau kawan, biasanya saya yang terlebih dahulu habis makanannya, tentu jika makanan pesanan saya tidak datang terlambat. Nah, selama saya sudah selesai makan tersebut sementara orang lain masih makan, saya terkadang suka sedikit bingung, agak mati gaya, apalagi karena saya tidak merokok. Akhirnya apa? Meraih telepon genggam dan mengeceknya. Ini adalah reflek yang lumrah di jaman sekarang.
Lama-kelamaan saya berpikir, mengecek telepon genggam saya bisa saya lakukan kapanpun, jika memang tidak ada keperluan darurat. Tapi berbuat kebaikan bagi orang lain, bahkan kalaupun itu adalah seorang pelayan restoran, tidak setiap waktu bisa saya lakukan.
Maka saya putuskan untuk memperingan kerja pelayan restoran, dengan merapikan peralatan makan saya dan orang lain yang semeja dengan saya, dengan serapi dan sesistematis mungkin. Sehingga pelayan hanya tinggal mengambilnya dengan mudah, dan mengelap meja untuk tamu restoran berikutnya.
Saya beberapa kali mengobrol dengan pelayan restoran secara pribadi. Mayoritas mereka diberi upah dengan nilai yang sekedarnya, atau maksimal UMP (Upah Minimum Provinsi). Kecuali sudah senior sekali. Namun lihatlah beban kerja mereka, fisik dan mental seharian.
Saya hanya mencoba berempati saja. Perut saya sudah kenyang dan nyaris tidak ada lagi kegiatan produktif yang saya lakukan setelah makan, apa salahnya saya bereskan peralatan makan saya? Tidak membuat saya hina, tidak membuat saya lelah, dan tidak membuat saya keluar uang lebih; tapi efeknya baik. Pemikiran saya sesederhana itu saja.
Saya agak perfeksionis, oleh karenanya saya tidak asal tumpuk piring bekas makan. Saya rapikan dari piring besar ke piring kecil, dan sisa makanan yang ada saya pusatkan di piring paling atas. Pelayan hanya tinggal membuang sisa makanan itu cukup dari satu piring saja. Piring lainnya hanya tinggal ditumpuk di pencucian piring.
Saya selalu berpikir, dengan saya lakukan itu, saya sudah menghemat banyak energi dan waktu yang dibutuhkan pelayan itu untuk menggunakan peralatan makan itu kembali ke pengunjung restoran lainnya. Tentunya ini akan mengurangi kelelahan mereka juga.
Saya hanya berharap, andai cukup banyak orang yang lakukan itu, maka pelayan restoran akan bisa punya lebih banyak waktu untuk beristirahat. Dengan demikian mereka akan cenderung lebih prima untuk melayani tamunya.
Bahkan jika kita membicarakan hukum karma, dengan saya menjadi tamu yang baik bagi sebuah tempat usaha, kelak saya punya usaha sendiri, saya pun bisa berharap untuk bertemu dengan tamu-tamu yang baik dan menyenangkan.
Apakah saya selalu membereskan peralatan makan saya? Tentu tidak. Jika pelayanan restoran tersebut jelek, tidak akan saya bereskan. Jika makanannya enak dan pelayanannya baik, tanpa ragu lagi, pasti saya bereskan. Timbal-baliknya sesederhana itu. Saya juga masih manusia biasa, terkadang bisa sangat dongkol dengan pelayanan tempat makan yang tidak becus. Jika mereka melayani saya dengan baik, maka saya akan kembalikan pelayanan baik itu kepada mereka.
Saya hanya berusaha menyelaraskan kebiasaan saya di rumah dengan di luar rumah. Tentu saya senang jika anggota keluarga saya membereskan alat makannya dengan baik, sehingga saya tinggal mencucinya dengan cukup mudah. Lalu apa salahnya saya lakukan pekerti yang sama terhadap pelayan restoran?
Saya tahu persis betapa melelahkannya bekerja di dapur, bahkan untuk rumah pribadi sekalipun. Apalagi untuk restoran. Betapapun pelayannya banyak, mengerjakan urusan dapur tetaplah menguras banyak tenaga dan kekuatan moril. Maka tidak ada salahnya jika kita bisa menjadi sumber sukacita dan kemudahan bagi orang lain.
Mengintip Kepribadian Seseorang Dari Cara Makan
Ketika kita akan berurusan serius dengan seseorang, tidak ada salahnya kita ajak makan mereka. Karena apa? Karena dari cara mereka makan, saya bisa melihat sekilas (tidak detail tentunya) kepribadian dan karakter orang tersebut.
Tentu saja itu bukan indikator yang akurat secara absolut. Namun jika kita berurusan dengan seseorang yang baru kita kenal, tentunya kita perlu sedikit "mengintip" detail tentang dirinya. Nah, ajak saja makan. Dari situ sudah terlihat sekelumit tentang dirinya.
Maka sedikit waspadalah dan bersiaplah jika kita diajak makan oleh seseorang asing, terutama yang akan berurusan serius dengan kita, misalnya dalam hal pacaran, pekerjaan, atau bisnis. Selalu ada kemungkinan orang tersebut bisa melihat sekelumit karakter asli kita cukup dari apa yang kita lakukan di meja makan.
Oleh karena itu siapapun yang mengajak saya makan, saya tidak pernah gusar atau canggung. Karena saya sudah menjalankan tiga poin tersebut sebagai sebuah reflek, sebagai sebuah kebiasaan yang alamiah. Saya justru senang jika hal tersebut dilihat oleh orang lain. Bukan karena saya senang pamer, tapi karena saya berharap semakin banyak orang yang terdorong untuk melakukannya, demi kebaikan dan sukacita orang lain.
Penutup
Dunia ini semakin gila, semakin egois, dan semakin tidak peduli dengan kesusahan orang lain.
Kita selalu punya pilihan dan kesempatan untuk tidak menjadi salah satu dari yang membuat dunia ini semakin gila, semakin egois dan semakin tidak peduli dengan kesusahan orang lain.
Cobalah latih ketiga pekerti ini dari diri kita sendiri dulu, lalu tularkanlah dan tanamkanlah pada anak-anak kita. Saya yakin dunia akan menjadi tempat yang lebih baik dan menyenangkan jika semakin banyak orang dan keluarga yang melakukan hal-hal luhur semacam ini.
0 Response to "Mensyukuri Makanan Selain Lewat Doa"
Post a Comment