Betapa Pentingnya Gizi

Cukup dengan melihat perkembangan politik & kebangsaan belakangan ini, saya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang salah dengan manajemen gizi sejumlah orang di negara tercinta ini, Indonesia. Kita lihat saja. Begitu banyaknya berita hoax, manipulatif dan penuh tipu-daya; berkembang-biak dan tersebar-luas dengan mudahnya di Social Media. Belum lagi mereka yang tergabung dalam organisasi radikal dan gerakan anti-kebangsaan, anti-keberagaman dan anti-kemanusiaan. Lalu, dimanakah kesalahannya?


Keseimbangan IQ dan EQ Sebagai Penentu Kualitas


Masalah terbesar bangsa ini adalah sebenarnya hanya satu, yaitu sedikitnya orang yang memiliki keseimbangan IQ dan EQ yang baik. Kebanyakan orang di luar sana adalah yang:
  1. IQ tinggi tapi EQ rendah: Pintar namun minim budi-pekerti & minim empati.
  2. IQ rendah dan EQ rendah: Inilah sumber masalah terbesar. Mereka bisa digerakkan kapan saja dengan biaya rendah, untuk melakukan hal-hal tidak terpuji.
Lalu apakah yang dimaksud dengan IQ dan EQ tersebut?

Sebelum melangkah lebih jauh dan sebelum saya lupa... artikel ini adalah pandangan umum. Pastinya ada pengecualian bagi sejumlah kasus khusus, misalnya anak berkebutuhan khusus. Artikel ini tidak saya maksudkan untuk menyamaratakan kondisi, melainkan sebagai pandangan umum dan garis besar saja. Oke, sudah jelas? Marilah kita sambung kembali.

Seperti yang sudah kita ketahui dari sejak kita kecil, IQ adalah singkatan dari Intelligence Quotient. IQ adalah sebuah satuan numerik yang digunakan sebagai patokan / ukuran kecerdasan akademik seseorang, yang didapat melalui serangkaian tes dengan metode tertentu yang spesifik. IQ bisa berubah seiring umur & pertumbuhan orang tersebut. Walaupun demikian, kisaran angka IQ ada pada rentang tertentu, selama seumur hidup seseorang; alias tidak akan ada perbedaan ekstrim antara satu tes dengan tes lainnya.

Sedangkan EQ atau Emotional Quotient didefinisikan sebagai kecerdasan emosional. EQ sulit terukur secara matematis, karena lebih bersifat kualitatif dan sarat dengan nuansa psikologis.

Kesadaran diri, kepekaan sosial, empati, integritas, fleksibilitas, kemampuan bergaul dan berdiplomasi, dan sejumlah kemampuan non-teknis lainnya; sering dipandang sebagai wujud nyata EQ seseorang.


Sudah banyak pakar manajemen, psikologi dan komunikasi tingkat dunia sepakat, bahwa pada akhirnya yang menentukan utuhnya sukses seseorang adalah pada aspek EQ-nya, bukan semata-mata IQ-nya saja.

Di jaman teknologi yang semakin dinamis ini, dunia semakin membutuhkan orang-orang dengan tingkat IQ & EQ yang bagus dan sama imbangnya.

Individu yang sukses secara utuh, dari mulai aspek finansial, karier hingga pergaulan dan kehidupan sosialnya; sudah pasti memiliki keseimbangan yang baik antara IQ dan EQ.

Di sisi yang ekstrimnya, IQ tinggi tapi EQ rendah contohnya adalah ilmuwan fisika nuklir jenius yang menyalahgunakan kepintarannya untuk bekerjasama dengan pihak musuh yang merusak perdamaian dunia. Di sekeliling kita juga banyak contohnya. Orang-orang yang brilian secara akademik, tapi kurang pergaulan atau culun. Jadi baik mereka yang jahat & anti-kemanusiaan maupun mereka yang tidak suka bergaul karena minder; merupakan contoh nyata orang-orang dengan EQ yang rendah.

Sementara itu mereka yang tingkat EQ-nya bagus, belumlah tentu memiliki IQ yang gemilang. Namun umumnya mereka yang EQ-nya bagus, kecenderungannya adalah memiliki IQ minimal yang tidak terlalu rendah, alias cukup atau rata-rata.

Manusia yang paling patut dikasihani adalah yang IQ maupun EQ-nya rendah. Mengapa kedua aspek kecerdasan tersebut bisa sedemikian rendahnya dalam diri seseorang? Gizi ketika masa kehamilan, kelahiran dan masa "golden age" hingga 5 tahun; saya sangat yakini merupakan penyebab utamanya.

Tentu saja ada sebab-sebab lainnya, namun dalam hal ini saya hanya akan membahas yang berhubungan dengan gizi masa kehamilan, masa kelahiran dan masa pertumbuhan awal seorang manusia saja.


Otak Sebagai Penentu Utama Kecerdasan & Karakter

Sudah banyak iklan-iklan sejumlah produk kesehatan bayi yang menampilkan ilustrasi, bahwa tahapan pertumbuhan terpenting seorang manusia sudah dimulai sejak ia ada di dalam kandungan ibunya. Ya, sejak saat itu, tahapan pertumbuhan terpenting sudah dimulai.

Pertumbuhan apanya yang terpenting? OTAK.

Mengapa otak yang terpenting? Bukankah organ dan anggota tubuh lainnya juga penting diperhatikan selama pertumbuhan?

Ya tentu saja semua organ dan anggota tubuh lainnya penting untuk diperhatikan selama masa pertumbuhan sejak kehamilan. Saya mengatakan otak sebagai yang terpenting bukanlah lantas mengatakan bahwa anggota atau organ tubuh lainnya menjadi tidak penting untuk diperhatikan.

Saya membicarakan pertumbuhan otak sejak dalam kandungan seorang ibu, tidak lain dan tidak bukan adalah karena otaklah yang kelak menentukan keseimbangan IQ dan EQ anak yang akan lahir tersebut.

Kecerdasan, karakter, sifat, spiritualitas dan keluhuran lainnya; semuanya berawal dan datang dari otak. Ya, otak. Bukan dari yang lain. Awalnya dari otak dulu.

Tentu saja pendidikan hidup dari orang tua, sekolah dan lingkungan penting untuk menentukan kualitas si anak kelak. Tapi semua pendidikan hidup dari berbagai sumber tersebut tidak akan berguna tanpa didahului oleh otak yang sehat optimal dan berfungsi sebagaimana mestinya ketika merekam dan mengolah keunggulan-keunggulan tersebut.

Yang paling krusial untuk diperhatikan adalah karena pertumbuhan otak merupakan pertumbuhan yang tidak kasat mata dan sulit diukur, bahkan setelah seorang anak dilahirkan. Hingga waktunya si anak tersebut masuk sekolah, barulah akan terlihat keseimbangan IQ dan EQ-nya dari pelajaran sekolah maupun interaksinya dengan kawan-kawannya.

Sekalinya kita tidak waspada dengan aspek pertumbuhan otak, fatal sekali akibatnya, dan jangka panjang pula. Mengapa demikian?

Karena otak yang sudah terlanjur tidak bisa bekerja optimal karena kekurangan gizi selama kehamilan sang ibu hingga umur sang anak 5 tahun (golden age), sama sekali tidak bisa diperbaiki kedepannya.

Misalnya seorang anak mengalami gizi buruk dari sejak lahir hingga umur 7 tahun, mengakibatkan malnutrisi otak. Lalu ketika dia berumur 8 tahun dan seterusnya, gizinya bagus sekali. Menurut berbagai referensi kredibel yang saya baca, kondisi itu tidak lantas pasti bisa memperbaiki kerusakan akibat malnutrisi otak yang dialami oleh sang anak ketika baru lahir hingga umur 7 tahun tersebut.

Pendidikan canggih ataupun kursus-kursus mutakhir, paling maksimal hanya bisa memperbaiki atau meningkatkan aspek akademiknya saja (IQ), itupun tidak seberapa peningkatannya. Sedangkan EQ bersifat nyaris permanen, sulit diubah. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, semuanya didahului dulu oleh otak yang sehat dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Otak yang sedari kelahirannya sudah sulit atau lambat berpikir, lambat merespon dan lambat berempati; sulit diperbaiki. Salah satu penyebab utama kesulitan-kesulitan otak untuk bekerja optimal ini, datang dari tidak baiknya dan tidak seimbangnya gizi dari sejak masa kehamilan hingga kelahiran sampai umur 5 tahun-an. Itulah sebabnya mengapa masa-masa ini disebut sebagai Golden Age.

Dengan keseimbangan IQ dan EQ yang baik, ada sejumlah hal baik yang dapat terjadi pada diri seorang anak hingga ia dewasa, yaitu:
  1. Mudah mencerna materi akademis / kognitif.
  2. Mudah mencerna materi seni / audio-visual.
  3. Mudah mencerna wacana atau fenomena yang abstrak.
  4. Mudah menerima wacana, pengetahuan dan keahlian baru.
  5. Mudah menganalisa berdasarkan nalar, logika dan akal sehat.
  6. Mudah menerima motivasi & ajakan orang lain untuk maju.
  7. Mudah memahami pemikiran & perasaan orang lain.
  8. Mudah bergaul & menempatkan dirinya ditengah masyarakat.
  9. Mudah menyeimbangkan hal-hal duniawi dan spiritual.
Dan masih banyak keunggulan-keunggulan lainnya... yangmana semuanya itu berawal dari otak yang sehat dan pikiran yang sehat.

Saya ingin bercerita perihal ini bagi pembaca. Mengapa demikian?

Karena saya adalah seorang insan yang masih harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membesarkan anak-anak saya. Jadi saya tahu persis rasanya hidup susah dalam arti yang sesungguhnya. Jika sejak lahir saya sudah tajir melilit, rasa-rasanya tidak perlu ada lagi artikel ini...


Keserbaterbatasan (Semestinya) Bukanlah Alasan

Kedua anak tercinta saya lahir selalu pas disaat kondisi ekonomi keluarga saya sedang tidak baik, bahkan buruk. Anak sulung saya lahir pada tahun 2001 disaat saya benar-benar baru berusaha mencari kerja. Pada waktu itu kami masih dibantu oleh orangtua keduabelah pihak. Sedangkan anak kedua saya lahir pada tahun 2012, disaat pekerjaan saya sedang berjalan tidak baik dan akhirnya saya tidak bekerja lagi hingga sekitar April 2013. Gamblangnya, kedua anak saya lahir ketika saya tidak ada penghasilan tetap & memadai.

Namun baik saya, istri saya, keluarga besar saya maupun keluarga besar istri saya sepenuhnya sadar, bahwa tidak ada yang lebih penting daripada keseimbangan gizi sang anak yang baru lahir tersebut, tanpa memandang apapun kondisi kami saat itu.

Mulai dari ASI yang diberikan dalam jangka waktu sebagaimana mestinya, susu formula yang berkualitas dan paling cocok dengan sang anak, hingga makanan sehari-harinya yang sangat kami perhatikan keseimbangan gizinya hingga mereka setidaknya berumur 5 hingga 7 tahun.

Apakah ketika itu saya berdarah-darah? Tentu saja. Bayangkan saja. Tidak ada penghasilan, tapi memberikan anak-anak kami gizi yang sangat baik. Ya sudah pasti tekor. Tapi itu tidak sedikitpun menghalangi kami untuk tetap memberikan gizi yang terbaik bagi anak-anak kami. Saya & istri saya tidak mundur sedikitpun demi memenuhi nutrisi otak anak-anak kami. Kami masih ingat ketika kami beberapa kali kelaparan dan hanya bisa menyantap nasi liwet sederhana saja tanpa lauk. Yang penting kenyang untuk hari itu.

Tidak masalah bagi kami untuk kelaparan atau sejenak kurang gizi, tapi tidak dengan anak-anak kami yang masih kecil.

Hasilnya yang nyata sudah kami petik sekarang, sudah kami nikmati sekarang. Anak sulung saya sungguh membanggakan secara akademis beserta dengan keterampilan-keterampilan lainnya. Tidaklah perlu kami ceritakan detailnya, kesannya sombong ya, he he he...

Betapapun bukan di kelompok jenius melilit, namun hingga anak sulung saya diterima di sebuah sekolah yang terkenal dengan tingkat kesulitan bergabungnya; itu merupakan sebuah fakta tak terbantahkan dari betapa apa yang dulu kami perjuangkan telah berhasil berbuah.

Demikian juga dengan anak saya yang kedua. Betapapun saat ini masih berumur 4 tahun menjelang 5 tahun, namun dalam banyak hal dia sudah menunjukkan kinerja otak yang menakjubkan, tanpa harus kami jejali dengan materi ini-itu. Logika, nalar dan akal sehatnya bekerja dengan baik, betapapun umurnya masih terbilang kecil. Satu hal menonjol yang kami lihat darinya adalah kemampuan analisanya berdasarkan fenomena-fenomena abstrak yang terjadi.

Padahal kami tidak pernah menjejali anak-anak kami dengan kursus ini-itu, atau metode pengajaran ini-itu. Namun keduanya bisa percaya dengan diri mereka sendiri dalam banyak hal, dan mereka bisa menyelesaikan banyak masalah-masalah kehidupan yang menghampirinya. Yang perlu kami lakukan hanyalah memberikan mereka tambahan-tambahan pengetahuan yang mungkin saja tidak didapatkan di sekolahnya.

Apa yang beberapa tahun lalu kami perjuangkan mati-matian, kini telah berbuah. Hidup kami sebagai orangtua menjadi lebih mudah untuk dijalani, berkat anak-anak yang otaknya dan fisiknya sehat sempurna. Sementara kami sebagai orangtua masih harus menghadapi tantangan hidup sehari-hari yang semakin sulit, kami bersyukur bahwa tantangan & kerumitan tersebut tidak datang dari anak-anak kami.

Tentu saja semuanya berkat dari Tuhan, dan berkat istri saya yang juga cerdas. Tahukah Anda bahwa 80% kecerdasan sang anak diturunkan dari sang ibu? Ya, itulah pentingnya bagi para pria untuk mencari perempuan yang pintar dan atau cerdas. Namun sepintar dan secerdas apapun sang ibu, tentu saja tidak akan ada gunanya ketika otak sang anak terlanjur rusak karena gizi dan nutrisi yang serampangan selama kehamilan hingga setidaknya sang anak berumur 5 hingga 7 tahun.

Sederhananya, ini hanyalah masalah kapan kita mau meletakkan kemudahan. Yang awalnya sulit, kelak akan menjadi mudah. Yang awalnya mudah, kelak akan menjadi sulit. Kami memilih untuk susah di awal, dan tidak masalah walaupun kami harus sengsara, yang penting kedepannya kelak kami menjadi mudah. Ini sudah nyata terjadi.


Keluarga Adalah Awal Kebaikan Atau Keburukan

Apa bukti nyata dari kegagalan orangtua dalam menjaga gizi dan nutrisi bagi sang anak? Jelas dan nyata. Kita lihat saja bagaimana banyaknya anak-anak dan remaja yang terjerumus kedalam paham agama yang salah kaprah dan radikalisme. Beberapa kali Jakarta kebagian sial kedatangan peserta demo-demo tidak berguna yang hanya mengatasnamakan agama demi merongrong pemerintahan yang sah; merupakan sebuah bukti nyata kegagalan orangtua untuk memberikan gizi dan nutrisi yang terbaik bagi anak-anaknya di masa kecilnya.

Ada peribahasa bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bagaimana melihat kualitas sebuah keluarga? Nilai saja dari anak-anaknya. Betapapun tidak selalu 100% akurat karena ada saja kasus khusus. Namun dari waktu ke waktu, kualitas hidup anak-anak merupakan indikator akurat dari kualitas orangtuanya.

Mengapa demikian? Sudah terlalu banyak bukti penelitian yang mengatakan bahwa IQ dan EQ yang rendah adalah sebab utama tumbuh-suburnya pemikiran dan paham ekstrim & sesat. Otak yang tidak dapat berfungsi optimal untuk berpikir dan berempati, sangat mudah disusupi wacana-wacana radikal yang merugikan kemanusiaan dan spiritualitas.

Banyak sekali anak-anak dan remaja, bahkan orang dewasa di Indonesia, yang mengalami disfungsi otak semacam ini. Ada sejumlah teori konspirasi yang mengatakan bahwa Indonesia memang dibiarkan jatuh kedalam kebodohan masal seperti ini, demi mudahnya pihak-pihak asing menguasai Sumber Daya Alam Indonesia yang luar biasa amat sangat kaya ini.

Di satu sisi teori-teori semacam itu saya percayai kebenarannya, karena hal-hal semacam itu memang lumrah terjadi di dunia politik internasional.

Namun satu hal yang ingin saya katakan melalui artikel ini adalah: konspirasi sejahat apapun bisa kita cegah atau kurangi efek buruknya, dengan memperkuat keluarga sebagai institusi kebangsaan yang paling kecil dan paling mendasar. Negara yang kuat terdiri dari keluarga-keluarga yang kuat, baik secara jasmani (fisik), spiritual (jiwa) maupun intelektual (otak yang berfungsi dengan baik).

Bahkan Bunda Theresa sebagai salah satu pahlawan kemanusiaan yang masih belum ada duanya di dunia ini, mengatakan bahwa: Jika Anda ingin menjadikan dunia lebih damai, pulanglah ke rumah, dan cintailah keluarga Anda.

Perbuatan nyata cinta orangtua terhadap anak-anaknya adalah salah satunya dengan memberikan gizi terbaik bagi mereka, sejak mereka di dalam kandungan. Untuk memberikan gizi terbaik bagi anak-anak, jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh sebab itu jika kita termasuk dalam golongan yang kurang beruntung secara ekonomi, seperti saya, janganlah pernah berpikir untuk melahirkan anak banyak-banyak.

Memang betul, adalah merupakan hak azasi orangtua untuk melahirkan seberapapun anak yang mereka kehendaki. Tapi jangan lupa satu hal. Memperoleh gizi yang baik dan kehidupan yang baik, juga merupakan hak azasi setiap anak. Jangan egois dengan berpikir hanya kepada hak azasi dirinya sendiri saja sebagai orangtua. Pikirkan juga hak azasi sang anak.

Bangsa Indonesia hanya dapat menjadi bangsa yang besar dan kuat, ketika keluarga-keluarga di Indonesia sepenuhnya sadar bahwa anak-anak yang mereka lahirkan adalah aset terbesar bangsa ini.

Namanya aset, ya harus diperlakukan sebagai aset, bukan sebagai beban semata, dan bukan sebagai residu kenikmatan ranjang semata.

Terlalu banyak keluarga di Indonesia yang melihat anak-anak mereka sebagai beban dan residu kenikmatan ranjang orangtuanya. Mengapa saya bisa tahu? Itu jelas terlihat dari bagaimana para orangtua tersebut memperlakukan anak-anak mereka dengan cuek dan serampangan, seperti rumput liar.

Dalih paling umum dari tindakan mereka tersebut adalah: Tuhan akan memberikan rejeki sendiri-sendiri bagi anak-anak saya. Untuk saya ini adalah kegoblokan spiritual paling fatal bagi generasi muda bangsa ini. Kesannya orangtua bisa asal crat-crot-crat-crot menghasilkan anak, dan membiarkan Tuhan mengurus rejeki dan pertumbuhan masing-masing anak. Goblok bin tolol namanya...


Tapi Kan... Banyak Anak Seru...

Saya masih gagal paham dengan mereka yang begitu takut dengan kata-kata orang di sekitarnya, terutama keluarganya, yang selalu iseng & kepo mengatakan bahwa "kapan hamil?", "kapan lahir?", "kapan nambah anak?", dan seterusnya.

Tahu sendiri kan, di Indonesia itu budanya iseng, nyinyir, gosip dan kepo. Jelas bukan budaya bermutu. Sudah saatnya kita semua berubah.

Perbedaan dengan negara barat jelas terlihat. Para bule jika saling sapa dengan tetangga, sapaannya mengatakan "how are you" atau "how do you do", yang artinya "apa kabarmu" atau "bagaimana kabarmu". Tidak ada tendensi untuk kepo dan mengurusi urusan orang lain.

Tapi di Indonesia, pertanyaannya selalu begini: "mau ke mana?", "anak udah berapa?", "kapan kawin?", dan masih banyak pertanyaan tolol lainnya. Dari pertanyaan dan sapaannya sudah jelas, orang Indonesia itu cenderung kepo, gemar bergosip dan senang mengurusi hidup orang lain.

Sehingga mereka yang tidak tahan dengan tekanan lingkungan tidak bermutu semacam ini, merasa punya "kewajiban sosial" untuk melahirkan banyak anak agar tidak lagi diusik-usik dengan pertanyaan tolol dari tetangga dan saudaranya. Dengan demikian mereka lebih memikirkan apa kata tetangga ketimbang bagaimana kelak mereka harus membesarkan anak-anaknya yang banyak tersebut.

Karena banyak anak, sudah jelas kualitas gizi dan kualitas kehidupan setiap anak turun, karena harus terbagi ke anak-anak yang lain. Apalagi jika orangtuanya termasuk golongan tidak mampu, semakin parah lagi. Lalu apakah tetangganya yang tidak bermutu tersebut mau membiayai hidup anak-anaknya? Jelas tidak.

Nah itulah Indonesia... sudah jelas orang lain tidak membiayai hidup kita, tapi masih lebih didengarkan ketimbang anak-anaknya sendiri.

Anak-anak dalam jumlah banyak dengan tingkat kekurangan gizi yang akut, adalah sumber masalah. Kelak mereka membesar, mereka sangat mudah disusupi oleh paham radikal atau ajaran sesat. Karena hidup mereka sudah tidak berkualitas sedari awal, maka sulit juga bagi mereka untuk membangun hidup yang berkualitas kedepannya. Akhirnya mereka akan berbuat apa? Rusuh, mabok, tawuran, narkoba, teroris dan kriminal.

Sudahkah kita semua melihat benang merahnya, antara gizi, budaya, jumlah anak dan masalah-masalah sosial bangsa ini? Sayangnya saya tidak bisa mengubah keadaan ini. Saya hanya bisa mengomel di blog ini. Saya hanya bisa sepenuhnya fokus pada keluarga dan anak-anak saya. Inilah realitasnya, inilah keterbatasan saya. Saya harus ikhlas menerimanya.


Kebesaran Tuhan Hadir Lewat Kualitas Hidup Anak

Sekali lagi saya tegaskan, kebesaran Tuhan hadir melalui orangtua yang sepenuhnya peduli pada tumbuh-kembang sang anak, bahkan dari sang anak masih di dalam kandungan ibu sekalipun, hingga sang anak berumur sekitar 5-7 tahun. Di umur-umur segitulah, peran dan pengetahuan orangtua sangat sangat penting seputar nutrisi dan gizi yang seimbang, khususnya untuk pertumbuhan otak sang anak yang paling optimal.

Saya bukanlah orangtua yang hebat & sempurna. Saya masih banyak kesalahan yang saya perbuat sebagai orangtua. Oleh sebab itu saya menuliskan artikel ini. Agar kalaupun saya dan kita berbuat kesalahan, itu bukanlah kesalahan yang bersifat permanen dan menyulitkan hidup anak-anak kita kelak, apalagi ketika kita sudah tidak mendampingi mereka lagi sebagai orangtua.

Saya yang sekuler dan sesekali malas ke gereja ini, tetap berusaha menghadirkan kebesaran Tuhan lewat akal sehat dan kecerdasan anak-anak saya, yang pastinya akan mereka sadari berawal dari otak mereka yang berfungsi baik sedari mereka lahir.

Anak-anak dan generasi muda yang puas dengan dirinya, akan berbahagia. Anak-anak dan generasi muda yang berbahagia, akan menghasilkan keluarga yang kuat dan berbahagia. Keluarga yang kuat dan berbahagia, adalah pilar utama bangsa yang kuat.

Marilah kita sebagai orangtua, lebih abai dan lebih peduli pada anak-anak kita sebagai aset bangsa ini. Saya lelah karena terlalu banyak orangtua yang jago sekali melayangkan kritik ke pemerintah, tapi abai terhadap tumbuh-kembang anak-anaknya. Perlukah sekali lagi saya katakan bahwa ini merupakan kegoblokan yang fatal?

Hebatkanlah anak-anak kita. Hebatkanlah keluarga kita. Hebatkanlah otaknya. Hebatkanlah jiwanya. Hebatkanlah jasmaninya. Hebatkanlah spiritualitasnya. Niscaya dengan sendirinya bangsa ini akan menjadi bangsa yang hebat. Indonesia Hebat. Semuanya dimulai dari diri kita sendiri sebagai orangtua, dan keluarga yang kita asuh.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Betapa Pentingnya Gizi"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel