Bersamaan Dengan Demokrasi, Wajib Ada Transparansi

Kebanyakan dari kita sudah paham arti kata demokrasi, yang merujuk pada kebebasan berpendapat, keterbukaan, akuntabilitas dan partisipasi lebih dari satu pihak atas sebuah proses kerja. Intinya, demokrasi dalam arti yang paling hakiki adalah mulia sifatnya. Dalam artikel ini saya tidak akan secara panjang-lebar membahas tentang teknis demokrasi, karena sudah banyak artikel yang membahasnya secara lebih kompeten. Di artikel ini saya akan membahas demokrasi dari sisi yang lain, sesuai dengan pengalaman nyata yang saya alami.

Pertama-tama harus kita bedakan antara demokrasi dengan liberalisme. Banyak sekali orang yang tidak bisa membedakan keduanya, sehingga menyamakan keduanya begitu saja. Padahal antara demokrasi dan liberalisme adalah dua hal yang berbeda.

Demokrasi berbicara tentang nilai-nilai ideal dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tentang bagaimana seharusnya negara dijalankan dengan partisipasi penuh rakyatnya, oleh penguasa yang amanah menjalankan tugasnya dengan penuh tanggungjawab dan integritas. Ini adalah tatanan nilai ideal dari demokrasi. Satu hal yang harus kita ingat dalam demokrasi adalah masih adanya hukum, aturan dan nilai-nilai yang mengikat orang-orang di dalam sistem demokrasi itu. Dalam demokrasi justru setiap orang diajak untuk lebih taat hukum dan bertanggungjawab satu sama lain, sehingga tercipta demokrasi yang sesungguhnya, yaitu kenyamanan bersama.

Sedangkan ketika kita berbicara mengenai liberalisme, konotasinya adalah kebebasan tanpa batas, tanpa aturan main yang adil bagi semua pihak, tanpa kehadiran negara untuk melindungi kepentingan warganya, dan biasanya hanya menguntungkan sejumlah kecil orang atau kelompok saja.

Oleh sebab itu banyak orang, termasuk saya, yang paham dan setuju dengan pentingnya demokrasi, tapi tidak setuju dengan liberalisme yang salah kaprah dan kebablasan.

Dengan kata lain, menjadi demokratis tidak serta-merta lantas wajib menjadi liberal. Kita bisa menjadi seseorang yang demokratis namun tetap bisa mengakomodasi kepentingan positif dari banyak pihak, tanpa harus menjadi liberal berlebihan.

Demokrasi tidak mesti liberal. Dan mereka yang liberal, banyak juga yang tidak memahami bagaimana seharusnya demokrasi bekerja.

Jadi dalam kesempatan ini, saya akan mengupas tentang betapa pentingnya kita menjadi seorang yang demokratis, dimanapun kita berada. Kita bisa saja masih mempertahankan nilai-nilai konservatif yang kita anut, tapi disaat yang sama juga demokratis.

Setidaknya ada beberapa atribut positif yang seharusnya ada pada orang yang demokratis:

1. Rendah hati. Demokrasi mensyaratkan kerendahan hati semua orang yang menjalankannya, baik kerendahan hati sebagai yang memimpin jalannya demokrasi, maupun kerendahan hati sebagai mereka yang setuju dan mengikuti proses demokrasi tersebut.

2. Kebesaran jiwa. Mereka yang demokratis, haruslah sportif dan berjiwa besar. Dalam demokrasi, siapapun bisa menang dan kalah, siapapun bisa untung dan rugi, siapapun bisa tertawa atau menangis; sesuai dengan kondisi logis & alamiah yang sedang dihadapi.

3. Adil. Dalam demokrasi, keadilan adalah nilai paling luhur yang diperjuangkan semua orang. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang memang sesuai dengan porsi masing-masing orang, bukan keadilan yang didasarkan atas perspektif satu orang saja. Keadilan membutuhkan integritas, dan siapapun yang berintegritas pasti bisa berlaku adil.

4. Menerima kritik. Sehubungan dengan poin 1, 2 dan 3; buahnya adalah poin 4 ini, yaitu keterbukaan terhadap kritik yang ditujukan kepada masing-masing orang. Dalam konteks bernegara, misalnya... rakyat boleh saja mengkritik penguasa. Tapi penguasa juga berhak menertibkan rakyat sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Penertiban rakyat sesuai konstitusi, adalah bentuk timbal-balik kritik pemerintah terhadap rakyatnya.

5. Transparansi. Sehubungan dengan aspek akuntabilitas dan integritas, buah kedua dari poin 1, 2 dan 3 adalah transparansi. Dengan transparan, secara otomatis kita sudah menjadi orang yang rendah hati, berjiwa besar, adil dan terbuka terhadap kritik.

Nah, saya ingin fokus pada poin nomor 5 saja, yaitu transparansi. Topik ini sangat menarik, karenanya saya akan membagikan pengalaman saya di dunia kerja dan di masa kecil saya.


Diawali dari Orang Lain yang Bisa Membaca Kita
Selama kita tidak bekerja di dinas rahasia, intelijen, polisi, militer atau hal-hal lain yang mengharuskan adanya keamanan atas sejumlah rahasia; sesungguhnya tidak ada alasan yang terlalu pelik bagi kita untuk tidak menjadi pribadi yang transparan. Maksudnya begini...

Pribadi yang transparan adalah seperti halnya sebuah buku yang dapat kita buka dan dapat kita baca. Antara sampul maupun isinya ada kesesuaian, dan kita dapat menyimpulkan apa yang dibicarakan buku itu secara benar-benar pasti setelah membacanya.

Menjadi pribadi yang transparan tidaklah lantas kita harus mengumbar semua rahasia pribadi kita kepada orang lain. Salah. Bukan seperti itu yang saya maksudkan.

Maksudnya adalah agar orang lain bisa mengenali kita dengan sebaik-baiknya. Orang seperti apakah kita dan bagaimanakah cara berpikir kita, biarlah orang lain mengetahuinya dengan baik. Sehingga dengan demikian akan banyak kemudahan yang kita dapatkan dalam berbagai urusan, dan kita juga bisa memudahkan orang lain dalam berbagai urusan.

Karena sesungguhnya... bisa mengetahui pemahaman, cara berpikir dan latarbelakang tindakan kita, adalah hak orang lain juga. Apalagi jika tindakan tersebut membutuhkan penjelasan yang clear, maka jelaskanlah dengan baik, karena itu hak orang lain untuk memahami apa yang kita lakukan.

Pribadi yang transparan juga selalu menghindari kata-kata dan penjelasan yang mengambang, ambigu, dan multitafsir. Istilah kerennya adalah kalimat bersayap. Pribadi yang transparan selalu berbicara apa adanya secara lugas dan mudah dipahami, namun tetap sopan dan mementingkan pemikiran maupun perasaan orang lain juga.

Sedangkan pribadi yang tidak transparan adalah kebalikan dari penjelasan-penjelasan saya di atas. Tertutup akan banyak hal, mudah berubah pikiran maupun sikap, dan bisa mengingkari banyak hal tanpa merasa bersalah.


Pengalaman pertama dalam karir korporasi saya adalah pada tahun 2001 di Jakarta. Pendek kata, saat itu saya mendapatkan bos yang enak sekali dalam cara memimpinnya. Humoris, blak-blakan, suka makan enak, dan gemar bepergian. Saya mengingatnya sebagai bos yang luar biasa dalam hidup saya.

Namun suatu ketika, dia mengalami masalah dengan rekan satu kantornya. Pernah bermasalah dengan satu orang, pernah bermasalah dengan beberapa orang. Masalahnya sebenarnya hanya satu, yaitu transparansi. Pada akhirnya saya mendapati bahwa dia menutupi banyak hal yang tidak saya ketahui, dan ternyata hal-hal yang dia tutupi tersebut membawa akibat besar & negatif terhadap pekerjaannya dan siapapun yang terkait dengannya.

Suatu ketika saya sedang diajak naik mobil berdua dengannya, dan saya iseng bertanya:

Saya: Pak, menurut hemat saya sih, keliatannya masalah ini bisa lebih lekas selesai kalo Bapak mengatakan sejumlah hal secara apa adanya. Mungkin tidak semua hal bisa Bapak akui, tapi minimal ada penjelasan yang clear atas beberapa hal yang sekarang jadi pertanyaan banyak orang.

Bos saya: Ah Pete, kamu ini polos sekali. Kamu tau gak kenapa saya bersikap kaya begini? Ya karena saya gak mau bisa dipegang dan dilihat sama orang lain. Biarin aja orang laen berpikir macam-macam akan perilaku saya, saya sih cuek. Saya bisa berubah pikiran & sikap kapanpun saya mau, terserah saya kan? Saya cuman gak mau bisa dibaca dan diprediksi oleh orang lain.

Saya: Ooo oke...

Dan suasana pun hening kembali...

Jadi, transparansi menuntut kehendak baik (goodwill) dari yang bersangkutan, tidak dapat dipaksakan. Seseorang bisa menjadi pribadi yang transparan atau tidak transparan, sama-sama disebabkan oleh sebab yang logis. Namun bedanya, pribadi yang transparan terlihat sebabnya oleh kita, sedangkan pada pribadi yang tidak transparan, kita tidak tahu sebabnya mengapa dia memilih untuk tidak transparan. Pastinya karena yang bersangkutan sedang menutupi sesuatu.

Dengan menjadi transparan, sudah pasti otomatis kita menjadi orang yang demokratis. Sesederhana itu. Karena tidak ada hal-hal umum yang ditutupi, maka tidak ada beban untuk menjadi demokratis.

Sejumlah orang banyak mendapatkan kemudahan dengan menjadi pribadi yang demokratis & transparan. Namun ada juga sejumlah orang yang berpikir bahwa dirinya bisa mendapatkan kemudahan dengan menjadi tidak demokratis & tidak transparan.

Sesungguhnya, keduanya tidak bisa kita nilai secara hitam-putih benar-salahnya. Saya di sini tidak sedang menghakimi mereka yang tidak demokratis & tidak transparan sebagai pendosa berat, karena saya pun sesekali menjadi tidak demokratis & tidak transparan akan beberapa hal yang harus saya kecualikan. Namun yang selalu saya ingat, saya selalu berkeinginan agar orang lain bisa memahami cara berpikir saya dan latarbelakang tindakan saya. Dalam kaitannya dengan hal itu, saya yakin saya sudah demokratis & transparan.

Jadi ketika kita memutuskan untuk menjadi tidak demokratis dan tidak transparan, hendaknya itu didasari oleh alasan-alasan yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan.


Masa Kecil yang Tampaknya Demokratis
Sesungguhnya saya beruntung dilahirkan di keluarga yang cukup harmonis. Memang benar bahwa sebelum Ayah saya meninggal, Ayah dan Ibu saya memutuskan untuk bercerai. Untuk bercerai pun mereka memutuskan dilakukan setelah semua anak-anaknya (saya dan dua kakak saya) telah menikah semua, sehingga tidak terjadi goncangan terhadap stabilitas keluarga. Intinya, saya mensyukuri kondisi hubungan Ayah dan Ibu saya yang pernah harmonis, setidaknya hingga saya menikah.

Apa yang saya ceritakan di sini bukanlah untuk mengingkari kasih sayang yang pernah mereka berikan kepada kami, anak-anaknya. Pun bukan "balas dendam" saya dengan menjelekkan mereka. Ini adalah murni sebagai pembelajaran bagi kita semua, terutama bagi para orangtua yang sudah punya anak.

Satu hal yang saya ingat, dulu Ayah saya sering berkata bahwa prinsipnya dalam mendidik anak-anaknya adalah demokratis. Mengapa Ayah saya berkata demikian? Karena dia simply membandingkan caranya mendidik kami dengan cara ayahnya (kakek saya) dalam mendidik dirinya (Ayah saya).

Ayah saya selalu bercerita bahwa tidak ada demokrasi dan kebebasan berbicara di masa kecilnya. Tidak sopan sedikit, sudah pasti ditempeleng dan digebuki oleh ayahnya. Mau minta apapun tidak pernah berani, karena akan berakhir dengan bentakan. Pendek kata, cara mendidik ayahnya Ayah saya sangatlah mengerikan. Itu pulalah yang membuat Ayah saya bersama satu orang adiknya, "setengah kabur" dan mengembara ke Bandung, yang akhirnya menjadi kota kelahiran saya.

Saya dan kedua kakak saya masih mengalami cara didikan Ayah saya yang keras, menurut standar kami. Kami pernah digebuki pantatnya dan dicepret betisnya oleh kemoceng ketika berbuat salah. Untunglah kami tidak pernah ditempeleng. Paling hanya dihardik dan dibentak saja.

Menurut perspektif kami sebagai anak-anaknya, hal seperti itu sudah tergolong sebagai cara mendidik yang keras; dan dalam derajat tertentu, berefek tidak baik bagi kejiwaan kami. Namun untunglah kami adalah generasi 80-90an, yang terkenal tegar akan didikan orangtua yang acapkali masih tidak modern menurut standar kita.

Namun menurut perspektif Ayah saya, cara mendidiknya tersebut sudah sangat sangat demokratis, bila dibandingkan dengan cara mendidik kakek saya terhadap Ayah saya.

Dan jika Ayah saya sudah berbicara seperti itu, kami anak-anaknya sudah malas menjawab dan berargumen. Kami hanya selalu berusaha bersyukur saja bahwa kami tidak mengalami hal-hal yang lebih mengerikan lagi.

Nah, sehubungan dengan demokrasi itulah, saya selalu menemukan dan mengalami kontradiksi dan paradoks, antara omongan Ayah saya dengan kenyataan.

Di satu sisi, Ayah saya selalu mendengung-dengungkan bahwa dirinya demokratis. Anak-anaknya boleh berbicara dan mengemukakan pendapat, yang penting sopan.

Namun bagaimanakah kenyataannya? Ternyata kami mendapati bahwa Ayah kami bukanlah seseorang yang tegar dan kuat untuk menghadapi kebenaran, realitas dan kritik; betapapun itu sudah kami usahakan sajikan dengan sesopan, sesantun, sehalus dan sediplomatis mungkin.

Jadi yang membuat kami, anak-anaknya, sedikit galau, adalah antara dogma yang selalu dibicarakan dan ditanamkan Ayah kami, ternyata berbeda jauh dengan realitas yang kami terima.

Jika tidak kuat menghadapi kebenaran, realitas dan kritik; biasanya Ayah saya bisa tidak berbicara selama beberapa hari dengan anak-anaknya, hingga kami dulu yang meminta maaf, betapapun kami tidak bersalah apapun. Dalam derajat yang paling parah, Ayah saya sesekali suka (pura-pura) kolaps, kejang dan pingsan; sebagai dramatisasi "sakit hatinya" akan kebenaran, realitas dan kritik yang ditujukan padanya.

Lebih parahnya lagi, Ibu kami yang kami cintai, seringkali "mengorbankan" kami agar kami mau meminta maaf pada Ayah kami, betapapun kami tidak bersalah apapun. Kata Ibu kami, semuanya agar kembali stabil dan harmonis. Dengan kata lain, berdasarkan logika tersebut, jika terjadi guncangan terhadap stabilitas dan harmonisnya keluarga kami, pastinya itu bukan karena Ayah kami. Ayah kami tidak pernah salah. Titik.

Tapi setiap waktu Ayah kami selalu mendengung-dengungkan bahwa caranya mendidik anak-anaknya adalah demokratis. "Menuntut" permintaan maaf dari anak-anak padahal kami tidak bersalah sedikitpun, apakah itu bentuk demokrasi?

Dari berbagai referensi kredibel yang saya baca, menuntut anak-anak meminta maaf tanpa berbuat salah, adalah cara tercepat untuk merusak jiwa & mental anak. Kelak anak-anak akan tidak memahami konsep benar-salah, dan parahnya bisa saja anak-anak akan meneruskan kegilaan semacam ini kepada anak-anaknya di masa depan. Untunglah kami bertiga cukup waras untuk tidak mengulanginya pada anak-anak kami masing-masing.

Terbayangkah bagaimana bingungnya jiwa kami terbentuk?

Di masa itu, saya tidak punya kata-kata atau istilah yang pas untuk membahasakan yang kami alami di masa kecil tersebut.

Sekarang saya membahasakan itu sebagai "demokrasi semu tanpa transparansi".


Demokrasi dan Transparansi adalah Satu Paket
Ya betul, akhirnya saya mendapati bahwa kita semua harus konsekuen dengan realitas, bahwa ketika kita menyebut diri sebagai seseorang yang demokratis, disaat yang sama kita juga harus membayar harganya untuk menjadi seseorang yang transparan (dan juga atribut lainnya dalam poin yang sebelumnya saya kemukakan).

Seseorang yang demokratis namun menolak menjadi pribadi yang transparan, adalah sama saja dengan seseorang yang ingin makan enak di sebuah restoran namun menolak untuk membayar setelah makan.

Tidak ada demokrasi sejati tanpa transparansi. Itulah hukumnya, itulah realitasnya.

Demokrasi dan transparansi adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa ditawar kebersamaannya.

Sekali lagi, transparansi yang saya bicarakan adalah transparansi akan hal-hal yang memang harus dan penting diketahui oleh orang lain yang berhubungan dengan kita; bukan hal-hal pribadi kita yang tidak perlu diketahui oleh khalayak ramai.

Salah satu tindakan fatal Ayah saya yang mencederai konsep demokrasi yang selalu ia dengungkan adalah bahwa standar demokrasinya selalu didasarkan atas masa lalu, bukan masa kini. Padahal kami sebagai anak-anaknya TIDAK MENGALAMI masa lalu Ayah kami, betapapun rajinnya Ayah kami menceritakan kepahitan masa lalunya kepada kami.

Sehingga energi dan masa kecil kami sebagai anak-anaknya, habis oleh usaha-usaha untuk memahami masa lalu Ayah kami dan memahami latarbelakang justifikasi konsep demokrasi semu yang Ayah kami anut dan selalu dia usahakan untuk tanamkan dalam benak kami sebagai anak-anaknya. Ini terus terjadi berulang, bahkan hingga saat-saat Ayah kami sebelum meninggal.

Energi, emosi dan waktu kami sebagai anak-anaknya; tidak dioptimalkan untuk menghadapi masa depan yang kompleks, melainkan habis hanya untuk (disuruh) menyelami masa lalu Ayah kami yang sama sekali tidak (dan tidak pernah bisa) kami alami dan kami pahami secara menyeluruh.

Dengan tidak bisa menerima kebenaran tanpa alasan yang logis dan masuk akal, Ayah saya sudah bersikap tidak demokratis dan tidak transparan. Karena kita semua seharusnya selalu bisa menerima kebenaran. Kebenaran adalah hal yang bersifat baku, sehingga suka atau tidak suka kita harus menerimanya. Dengan tidak menerima kebenaran, tidak lantas kebenaran tersebut bisa berubah menjadi sesuai dengan apa yang kita mau.

Jika kita tidak mau menerima kebenaran, kita harus menjelaskannya dengan penjelasan yang logis, masuk akal dan mudah dipahami oleh orang lain.

Misalnya begini. Saya tidak merokok, tidak mabuk dan tidak berjudi. Lalu anak saya menjadi perokok, pemabuk dan penjudi. Dalam kondisi seperti itu, saya berhak untuk tidak menerima kebenaran, karena saya tidak pernah melakukannya dan saya tidak mendidik anak saya untuk menjadi seperti itu. Saya bisa saja memanggil anak saya dan berkata: Nak, Papa tidak bisa menerima kenyataan bahwa kamu merokok, mabuk dan berjudi, karena Papa tidak pernah melakukannya dan Papa tidak pernah mendidik kamu untuk menjadi seperti itu. Dari mana kamu belajar melakukan itu semua? Tahukah kamu bahwa itu semua bisa merugikan kamu sendiri dan masa depan kamu?

Dengan penjelasan seperti itu, saya punya hak penuh untuk meminta penjelasan kepada anak saya dan memintanya menuruti kata-kata saya. Saya demokratis, dan dengan penjelasan yang logis dan masuk akal tersebut, saya sudah menjadi transparan. Dengan menjadi logis, masuk akal dan transparan; saya harapkan anak saya bisa lebih mudah memahami kenapa saya marah kepadanya. Bukan semata karena saya tidak bisa menerima kenyataan bahwa anak saya merokok, mabuk dan berjudi; tapi juga karena pada saat ini anak saya sudah mengingkari dan menyalahgunakan demokrasi yang sudah saya bangun atas dirinya demi hal-hal negatif yang jelas-jelas merusak kesehatan dan masa depannya.

Bangunlah demokrasi yang sehat dan masuk akal, dengan menyandarkan argumen-argumen (dan kemarahan sesaat) kita atas kebenaran-kebenaran dan masalah-masalah saat ini yang kasat mata; bukan atas dongeng-dongeng masa lalu atau kejadian-kejadian yang samasekali tidak ada relevansinya dengan masa kini.

Ketika kita semua sudah bisa mendasari argumen-argumen kita dari kejadian, masalah dan kebenaran masa kini yang kasat mata oleh semua pihak; itulah definisi transparansi. Semua orang bisa melihat dan meraba masalahnya, dan sama-sama bisa mengusahakan solusinya.

Dalam contoh Ayah saya tersebut, kami sebagai anak-anaknya jelas tidak bisa melihat dan meraba masalah Ayah kami di masa kecilnya. Sehingga ketika Ayah kami menggunakan dalih kepahitan masa kecilnya tersebut untuk membangun demokrasi menurut definisi dan standarnya, kami sebagai anak-anaknya hanya terpaksa menerimanya, karena jelas kami tidak dapat berdiskusi untuk mengusahakan solusi bersama. Karena masalah yang dihadirkan Ayah saya sebagai justifikasinya tersebut, ada di masa lalu yang tidak pernah bisa kita alami bersama.

Bahkan setelah Ayah dan Ibu saya berpisah, Ibu saya menceritakan sebuah kebenaran bahwa ketika Ayah saya pura-pura kolaps atau pingsan ketika menerima sebuah masalah atau kebenaran dari Ibu kami atau kami sebagai anak-anaknya; sebenarnya metode itu pulalah yang dulu di masa kecilnya menyelamatkan Ayah saya dari amukan ayahnya ketika murka besar. Jadi ketika kakek saya murka besar kepada Ayah saya, maka Ayah saya akan berpura-pura kolaps, kejang atau pingsan agar bisa selamat dari hajaran fisik ayahnya di hari itu.

Jadi tentu saja tidak logis dan tidak masuk akal ketika Ayah saya berangan-angan ingin menegakkan didikan yang demokratis bagi anak-anaknya, sementara disaat yang sama Ayah saya masih membawa luka batin masa kecilnya hingga ke saat ini, demi membentengi dirinya dari pahitnya pelbagai kebenaran hidup yang kadang harus dia terima sebagai seorang kepala keluarga.

Seseorang tidak akan pernah bisa menjadi demokratis sekaligus tetap membawa luka batin masa lalunya kemana-mana. Demokrasi sejati mensyaratkan putusnya hubungan kita dengan kepahitan masa lalu, untuk sepenuhnya merengkuh masa kini beserta semua realitasnya.


Kemampuan Penjelasan Sederhana Sangatlah Penting
Ketika anak-anak kita masih kecil, sangatlah penting bagi kita untuk terus mengembangkan metode-metode pendidikan anak yang transparan dan mudah dipahami oleh anak-anak kita.

Misalnya ketika kita marah kepada sang anak, itu haruslah didasari oleh sebab yang logis, masuk akal dan dapat dijelaskan. Penjelasannya haruslah sederhana dan sesuai dengan tingkatan pemahaman sang anak saat itu. Marahnya kita pun harus tegas namun tetap terkendali, terukur dan jangka pendek langsung selesai; tidak perlu dibawa berkepanjangan.

Misalnya, dalam hal makan, saya termasuk sensitif. Saya mendidik dengan tegas bahwa makan harus habis, tidak boleh bersisa. Saya jelaskan kenapa makanan harus dihabiskan, misalnya karena mencari rejeki itu susah, sebagai tanda bersyukur, dan agar badan kita tetap sehat.

Tapi di sisi lainnya, saya juga wajib menjadi orangtua yang humanis. Misalnya anak saya kekenyangan dan makannya tidak habis, saya selalu tekankan untuk membereskan sisa makanan dengan rapi, dan sebisa mungkin makanan tersebut jangan dibuang begitu saja ke tempat sampah. Bisa saja makanan itu diberikan pada anjing, ayam atau dibuang ke kloset (selama tidak membuat mampet). Mengapa kloset? Karena setidaknya makanan tersebut berguna bagi bakteri dan kehidupan mikro lainnya di tanah. Di sisi hulunya, tentunya saya menekankan untuk mengambil makanan secukupnya, agar mudah dihabiskan.

Jadi, bersamaan dengan kerasnya saya mendidik anak-anak saya untuk selalu menghabiskan makanannya, di sisi lainnya saya juga harus menyediakan solusi bagi mereka jika mereka tidak dapat menghabiskan makanan itu karena sebab yang dapat mereka pertanggungjawabkan.

Sehingga dengan demikian mereka akan selalu menghabiskan makanannya dengan kesadaran penuh akan manfaat dan kebaikannya; bukan atas dasar ketakutan. Dan kalaupun mereka tidak dapat menghabiskannya, mereka pun tidak perlu ketakutan karena adanya alasan yang masuk akal, dan ada solusi adil & berkeadaban bagi makanan sisanya.

Nyaris tidak pernah bagi saya untuk mengatakan bahwa anak-anak saya wajib menghabiskan makanannya karena Ayah saya dulu mendidik saya dengan cara seperti itu juga. Anak-anak saya tidak mengalami hidup dengan Ayah saya, sehingga tidak relevan bagi saya untuk mendasari didikan saya berdasarkan atas masa lalu saya. Masa lalu kita cukuplah ambil sisi-sisi positif saja sebagai referensi, bukan sebagai metode primer dalam menanamkan hal tertentu pada anak-anak kita.

Itulah demokrasi yang sesungguhnya... itulah tranparansi yang sesungguhnya... yang harus selalu kita tanamkan dan perjuangkan dalam keluarga kita.

Ketika sedari kecil kita sudah terbiasa menjalankan demokrasi sejati dan transparansi, maka tidak sulit untuk menjalankannya kelak ketika kita ada di tingkatan masyarakat yang lebih tinggi, misalnya di sekolah, kampus, kantor atau pemerintahan. Dan akan lebih mudah juga bagi kita semua untuk menghasilkan generasi-generasi yang benar-benar paham apa arti demokrasi sejati, kerendahan hati, kebesaran jiwa, keadilan, keterbukaan terhadap kritik dan transparansi.

Sehingga akan menjadi suatu hal yang wajar jika kita menjadi pribadi demokratis, transparan dan bisa mudah dipahami oleh orang lain. Akan lebih banyak urusan yang menjadi lebih mudah untuk dilakukan ketika kita demokratis dan transparan, ketimbang jika kita tidak.

Demokrasi mengutamakan akal sehat dan norma-norma kebaikan dalam memecahkan berbagai masalah, bahkan di tingkatan keluarga maupun personal sekalipun. Ketika kita mengedepankan akal sehat dalam penyelesaian pelbagai masalah, tidak sulit sama sekali untuk menjadi pribadi yang demokratis, rendah hati, berjiwa besar, adil, terbuka terhadap kritik dan transparan.

Dalam kaitannya dengan contoh Ayah saya tadi, cukuplah saya dan kakak-kakak saya yang mengalami paradoks dan kegalauan masa kecil seperti itu. Anak-anak kami tidak perlu mengalaminya lagi. Anak-anak kami harus bisa memahami latarbelakang pemikiran, kata-kata dan tindakan kami sebagai orangtua; berdasarkan atas realitas & masalah masa kini yang sedang mereka hadapi secara nyata dan kasat mata.

Sehingga energi dan waktu mereka bisa mereka fokuskan untuk menghebatkan diri mereka demi menyongsong masa depan yang semakin penuh dengan tantangan, BUKAN demi memahami kami sebagai orangtua, pemilik masa lalu... Karena anak-anak kita adalah pemilik masa depan.

Itulah demokrasi sejati, itulah transparansi yang sesungguhnya...

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Bersamaan Dengan Demokrasi, Wajib Ada Transparansi"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel