Pertama Kali & Sendirian ke Gn. Papandayan

Pada beberapa artikel sebelumnya (Bagian 1, Bagian 2 dan Bagian 3), telah saya ceritakan bagaimana perjalanan saya bersama keluarga saya berlangsung ke Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Memang betul bahwa perjalanan itu adalah perjalanan pertama kami sekeluarga ke gunung yang terbilang serius, bukan gunung wisata atau puncak perbukitan yang bisa ditempuh diatas aspal mulus. Namun sesungguhnya, pertama kalinya saya mendaki Gunung Papandayan adalah pada tahun 1994. Seorang diri pula.

Bagaimana saya bisa sampai mendaki sendirian? Beginilah ceritanya...

Ketika saya kelas 1 SMA, saya mengikuti organisasi Pecinta Alam di sekolah tersebut. Namun oleh karena satu dan lain hal yang telah saya ceritakan mendetail di artikel ini, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari organisasi Pecinta Alam tersebut. Salah satu pemikiran utama saya saat itu adalah pada akhirnya keanggotaan di Pecinta Alam (untuk selanjutnya akan saya singkat dengan "PA") menjadi tidak penting lagi bagi saya. Saya sudah mendapatkan ilmu penjelajahan alam bebas dari sejak mengikuti Pramuka ketika SMP, dan pendidikan awal di PA tersebut hanya bertujuan untuk semakin menyempurnakannya saja. Sehingga dengan demikian saya bisa menjelalahi apapun dan kapanpun tanpa harus terikat organisasi apapun.

Singkat kata, saya menjadi manusia bebas lagi di sekolah itu. Tapi ada dua orang kawan saya yang memang anggota PA di sekolah tersebut, selalu mengejek saya atas keputusan saya mengundurkan diri dari organisasi tersebut. Intinya, mereka berpikir bahwa saya tidak cukup jantan dan "tidak cukup lelaki" untuk masuk organisasi PA tersebut, karena keputusan saya untuk mengundurkan diri tersebut.

Sebenarnya terkadang saya iba & kasihan dengan manusia-manusia semacam ini. Selain harus menginjak martabat orang lain agar dirinya kelihatan lebih hebat, mereka juga selalu merasa insecure atau terancam setiap melihat orang lain nyaman dengan dirinya sendiri dan apapun keputusan yang mereka ambil bagi hidupnya.

Ejekan mereka secara terus-menerus tidak pernah saya tanggapi, saya balas dengan senyum saja. Sebenarnya saya juga tidak pernah menganggap mereka sebagai lelaki, ha ha ha... Lelaki sejati yang saya kenal, tidak pernah sinis dan nyinyir dengan kehidupan orang lain.

Namun pada akhirnya pertahanan emosi saya pecah juga. Pada suatu waktu mendekati liburan, saya lupa bulan apa tepatnya, mereka kembali mengejek dan menantang saya untuk berani naik gunung sendirian, tanpa teman. Saya katakan bahwa saya tidak takut naik gunung sendirian. Bahkan saya balikkan ke mereka, karena mereka selalu berdua terus kemana-mana, apakah mereka bisa naik gunung sendirian karena sudah seperti orang menikah, ha ha ha...

Saya terima tantangan mereka dan berjanji akan membawakan bukti berupa foto-foto. Jaman dulu belum ada Photoshop, jadi yang namanya karya foto sudah pasti sungguhan.

Saya berdiskusi dengan saudara saya yang anggota Wanadri, Kang Dadang Agusni alias Agus Bule, gunung manakah yang paling cocok saya daki seorang diri saja. Kang Agus Bule langsung menyebutkan Gunung Papandayan di Garut sebagai kandidat terkuat. Selain terhitung sebagai "gunung sungguhan", Gunung Papandayan juga terbilang jinak, tidak ganas, banyak dinaiki pendaki lain, dan tidak angker. Saya pun langsung menyetujui saran Kang Agus Bule.

Tapi Kang Agus menyarankan agar saya menghubungi salah seorang kawannya di PPA Jenggala (Pecinta Alam Garut), untuk menemani saya setibanya di sana. Sayang saya lupa nama kawan Kang Agus tersebut. Namun saya menuruti sarannya untuk menghubungi anggota Jenggala tersebut, dan membuat janji untuk bertemu di Gunung Papandayan langsung. Dulu jaman belum ada Smartphone apalagi WhatsApp atau BBM, maka saya menghubungi kawan Jenggala tersebut dengan telepon PSTN secara SLJJ. Yang seangkatan dengan saya pasti paham istilah ini, ha ha ha...

Saya (tengah) bersama kawan Jenggala (kiri) dan kawan pendaki lain yang tidak saya kenal namanya (kanan). Petang itu Papandayan mulai gerimis, saya harus menggunakan jas hujan selama pendakian.
Saya pun pamit kepada orangtua saya, dan langsung berangkat ke Garut dengan angkutan umum. Saya tidak membawa tenda karena selain memang belum membeli tenda pribadi, juga menurut Kang Agus Bule, kita bisa saja tidur di rumah penduduk agar lebih praktis. Karena sebenarnya juga saya tidak berniat untuk menginap di puncak gunungnya, toh hanya untuk memenuhi tantangan kedua kawan saya tersebut. Rencananya adalah naik dan turun kembali di hari itu, lalu menginap di rumah penduduk malamnya. Jadi saya berpikir praktis saja.

Sesampainya di Garut, saya bertemu dengan kawan Jenggala bertemu di titik awal pendakian. Ternyata banyak juga kawan-kawan lainnya dari kawan Jenggala tersebut yang memang gemar mendaki Papandayan. Jadi secara berkala mereka memang menaiki Papandayan sebagai ajang rekreasi. Akhirnya kami naik gunung bareng saja. Sangatlah menyenangkan.

Akhirnya saya tiba di pelataran kemah Papandayan yang terkenal di kalangan pendaki gunung, Tegal Selada. Kawan Jenggala tersebut mengatakan bahwa pelataran itu sesungguhnya belum puncak Papandayan. Untuk menuju puncaknya, butuh waktu sekitar 3 jam berjalan santai, namun tidak ada sumber air di atas, dan oleh karenanya harus membuka tenda dengan logistik berkekuatan penuh. Saya putuskan untuk kembali turun saja setelah puas berfoto-foto di pelataran perkemahan tersebut.

Saya tiba di kaki gunung ketika sore menjelang malam, sudah mulai gelap. Kami putuskan untuk menginap di salah satu warung penduduk di sekitar situ, dan tentunya kawan Jenggala saya tersebut telah mengenal para penduduk di situ dengan baik. Kami pun terlelap malam itu di rumah penduduk. Satu hal yang saya ingat, saat itu anginnya besar sekali, dan bunyi gemuruh angin pun sepanjang malam terdengar.

Esok paginya saya bersantai sejenak dan berfoto-foto bersama para pendaki lainnya, yang tidak saya kenal namanya... Maklum, dulu People Skill saya masih belum jalan, jadi saya termasuk yang malas berkenalan terlalu mendetail dengan orang asing. Tapi minimal saya bisa membawa pulang foto-foto yang bagus.

Saya (paling kanan, berflanel kotak-kotak) bersama kawan-kawan pendaki gunung lain, sebelum saya kembali ke Bandung. Kawan Jenggala saya adalah yang di sebelah saya, mengenakan celana jins robek lutut.
Setelah berkemas, saya pun berpisah dengan kawan Jenggala tersebut dan mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepadanya, atas pertolongan dan persaudaraannya.

Pendakian seorang diri ini ke Gunung Papandayan boleh dibilang tidak benar-benar sendirian. Di kalangan pendaki gunung sejati, sesungguhnya nyaris tidak ada pendaki yang mendaki gunung benar-benar sendirian saja. Sangat tidak dianjurkan untuk mendaki gunung apapun sendirian. Minimal sekali berdua. Setelah saya melakukan pendakian ini, saya disadarkan oleh kawan Jenggala tersebut akan kode etik pendaki gunung tersebut. Ini mirip dengan kode etik di dunia SCUBA Diving, atau olahraga penyelaman: Never Dive Alone. Jangan pernah menyelam sendirian.

Mendaki gunung (dan mayoritas Nature Sports atau Extreme Sports lainnya) adalah bukan untuk gagah-gagahan semata, dan oleh karenanya sangat tidak dianjurkan untuk mendaki gunung sendirian, apalagi jika gunung tersebut sangat sepi dan tidak ada pendaki lainnya yang naik. Sangat berisiko jika sampai ada apa-apa di atas sana dan tidak ada satupun orang yang membantu kita. Mendakilah demi kebersamaan yang harmonis di alam bebas, bukan untuk gagah-gagahan. Saya camkan itu benar-benar di sanubari saya.

Saya pun kembali dengan koleksi foto-foto yang bagus. Saya buat album kecil, dan saya lemparkan itu di depan muka kedua kawan nyinyir saya ketika di kelas terjadi kekosongan jam pelajaran. Saya tantang balik kedua kawan saya tersebut: "Neh kalo kalian berdua punya titit dan punya biji peler, jangan mau kalah dong sama gw. Sok daki aja gunung sendiri-sendiri, ga usah dua-duaan mulu kemana-mana kaya homo."

Mereka berdua hanya senyum-senyum kecut ketika melihat koleksi foto-foto saya tersebut. Sambil berusaha tersenyum mereka mengatakan bahwa tantangan kemarin tuh mereka katakan becanda saja, tidak serius. Justru mereka kaget saya menanggapinya dengan serius hingga mendaki Gunung Papandayan benar-benar seorang diri.

Padahal kenyataannya tidak sendirian juga sih, ketemuan juga dengan banyak pendaki lain di sana, ha ha ha...

Tapi setidaknya mentalitas saya ketika berangkat dari Bandung ke Garut, adalah mentalitas yang siap siaga untuk mendaki gunung asing secara benar-benar sendirian. Saya tidak takut sedikitpun. Karena apa? Karena bisa saja antara saya dan kawan Jenggala tersebut tidak bertemu di titik yang telah disepakati. Saya belum mengenal dia dan belum pernah melihat wajahnya; demikian pula sebaliknya. Jaman dulu belum ada Smartphone, mana bisa saling menghubungi jika janjian bertemu di satu titik? Sehingga mental saya sudah siap jika terjadi seperti itu dan saya harus mendaki Papandayan benar-benar sendirian.

Tapi deep inside saya berterimakasih kepada dua kawan nyinyir saya tersebut. Jika bukan karena mulut comberan mereka, saya tidak akan pernah mengenal Gunung Papandayan. Dan bisa jadi saya tidak akan pernah mendakinya bersama keluarga saya pada pertengahan 2015 lalu.

Akhirnya bersama dua kawan nyinyir saya tersebut, kami dan beberapa orang lainnya jadi suka mendaki beberapa gunung lain di masa depan. Itu adalah masa-masa yang menyenangkan selama sekolah saya. Bahkan ketika saya memasuki bangku kuliah, saya nyaris tidak pernah mendaki gunung lagi selain Gunung Semeru bersama istri saya (yang dulu masih pacaran).

Moral dari cerita ini adalah... kita boleh-boleh saja merasa panas dan tertantang dengan ejekan atau provokasi dari lingkungan sekitar kita, atau dari kawan-kawan kita sendiri; untuk melakukan sesuatu yang berbahaya.

Namun hati dan pikiran kita harus sepenuhnya dingin dan terkendali. Selalu ingatlah baik-baik bahwa kedua orangtua kita telah susah-susah melahirkan kita, membesarkan kita dan menyekolahkan kita; bukan untuk takluk dibawah ejekan dan hasutan para pengejek dan provokator, demi melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak berguna, bahkan membahayakan.

Selalu tanamkanlah sikap moral dan sikap mental yang benar pada anak-anak kita, bahwa kerendahan hati dan pengendalian diri yang baik, selalu membuahkan hasil yang manis dalam kehidupan ini. Dalam bidang apapun. Walaupun memang benar bahwa sesekali kita harus lebih progresif, bahkan agresif, dalam menjalani hidup ini; namun mayoritas waktu-waktu hidup kita seharusnya dihabiskan dalam kerendahan hati dan pengendalian diri yang baik.

Ajarkanlah pula pada anak-anak kita bahwa tidak pernah ada tujuan yang benar-benar baik, yang berasal dari kata-kata yang dikeluarkan oleh lidah para pencela, para pengejek dan para provokator. Hidup kita yang baik dan mulia ini, tidak sepantasnya takluk dibawah ejekan dan hasutan orang-orang yang memiliki masalah kejiwaan dan belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri.

Saya beruntung, tertantang untuk mendaki gunung; sesuatu yang walaupun terbilang berbahaya, namun masih positif bagi kehidupan saya. Setidaknya saya telah membuktikan keberanian saya dalam definisi yang tepat, dan malahan saya bertemu dengan banyak kawan dari organisasi PA lain di kota lain.

Bagaimana bila ada anak-anak yang kurang beruntung, lalu bertemu dengan para pengejek dan provokator semacam ini, untuk melakukan hal-hal yang tercela, misalnya untuk mengkonsumsi narkoba, atau untuk melakukan pelecehan terhadap orang lain terutama perempuan, atau untuk melakukan vandalisme; dan sejumlah hal keji lainnya?

Sehingga dengan demikian saya hanya ingin menyampaikan, bahwa selama ada keluarga atau rumah tangga yang tidak becus dalam membesarkan anak-anaknya, namanya perundungan atau bullying tidak akan pernah bisa lenyap dari muka bumi ini, dimanapun kita berada.

Oleh sebab itu yang paling penting kita tanamkan pada anak-anak kita adalah selain pola asuh yang terbaik dan sarat dengan kasih sayang, juga betapa pentingnya menanamkan kesadaran moral pada anak-anak kita bahwa hidup mereka sedemikian mulia dan berharganya sehingga tidak perlu takluk dibawah hasutan, ejekan atau provokasi dari anak-anak sakit jiwa tersebut.

Bahkan Tuhan saja selalu diejek dan diprovokasi oleh iblis, apalagi kita yang hanya manusia lemah ini. Kita tidak mungkin memusnahkan iblis, tapi kita bisa menjadi manusia yang meneladani pengendalian diri Tuhan dalam menghadapi ejekan dan provokasi dari iblis. Tanamkanlah itu pada anak-anak kita, pada generasi muda seluas-luasnya.

Kalaupun kita memutuskan untuk meladeni ejekan dan provokasi tersebut, salurkanlah untuk melakukan hal-hal positif yang produktif dan bermanfaat bagi orang lain. Tunjukkanlah eksistensi diri kita dengan karya-karya nyata yang hebat dan berpengaruh.

Jika perlu, ketika anak-anak kita sudah cukup umur dan mereka tidak berkeberatan; kursuskanlah mereka dengan keterampilan beladiri, jenisnya bebas dipilih yang paling cocok. Sehingga ketika terjadi perundungan, pelecehan atau ejekan-ejekan provokatif yang mulai mengarah ke penyerangan fisik, minimal mereka bisa meloloskan diri dari situ atau mungkin bisa melumpuhkan lawan-lawannya. Mengenai kursus beladiri ini akan saya bahas di artikel tersendiri kelak.

Karena keluarga yang berbahagia, akan menghasilkan anak-anak yang menjalani hidup ini dengan jendela moral dan jendela mental yang dipenuhi oleh cahaya terang kehidupan. Sebagai orangtua, janganlah kita lelah untuk terus menanamkan permata-permata kehidupan dalam benak dan sanubari mereka. Agar kelak ketika kita semua sudah meninggalkan mereka, mereka tetap bisa menjadi garam dan terang di dunia yang semakin gila dan semakin gelap ini.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pertama Kali & Sendirian ke Gn. Papandayan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel