Stop & Think: Pentingnya Kesenyapan & Kontemplasi
Monday, October 31, 2016
Add Comment
Berhenti (stop) atau berhenti sejenak (pause) adalah tidak sama dengan menyerah (quit, surrender). Berhenti sejenak adalah salah satu proses berdialog dengan suara hati maupun pikiran kita sebagai manusia (inner voice). Berhenti sejenak untuk merenung & berpikir adalah apa yang kemudian membedakan kita dengan binatang. Binatang tidak berbuat sesuatu ketika menghentikan aktivitasnya, selain tidur. Ketika manusia berhenti sejenak, ia bisa memilih antara dua hal: langsung beristirahat, atau merenung & berpikir. Keduanya sama-sama mendatangkan efek positif bagi jiwa & raga kita.
Pernahkah Anda mengamati betapa damainya kehidupan orang-orang di pedesaan atau kota kecil? Ketika saya berusia sekitar 10 tahun, paman saya mengajak saya mengunjungi salah satu saudara jauh di sebuah kota kecil bernama Singaparna. Nama kota ini memang sering tertukar dengan Singapura. Sedari kecil, saya sudah senang & terbiasa dengan perjalanan jauh maupun petualangan. Paman saya bercerita bahwa tempat tinggal saudara jauh tersebut adalah di sebuah desa tanpa listrik, dan dekat dengan Gunung Galunggung.
Ini adalah perjalanan pertama saya yang bersifat petualangan. Dari sejak saya dan kakak-kakak saya kecil, sebenarnya Ayah saya sudah sering mengajak road trip ke Jawa Tengah. Namun sifat perjalanan tersebut adalah lebih ke liburan reguler dan mengunjungi saudara. Berbeda dengan perjalanan ke Singaparna ini. Walaupun sama-sama mengunjungi saudara jauh, namun bagi saya perjalanan ini lebih dominan ke petualangannya.
Begitu tiba di Singaparna, baru pertama kalinya itulah saya merasakan kehidupan yang senyap, damai dan teratur. Jauh dari hiruk-pikuk kota Bandung sebagai kota kelahiran saya. Berak langsung di pondokan kecil ditengah balong ikan, namun untuk makan sehari-hari seringnya langsung mengambil ikan dari balong tersebut, ha ha ha... Tapi saya tidak merasa jorok tuh. Malam tiba, yang ada hanya bunyi jangkrik, desiran angin dan temaram lampu teplok. Kami hanya bercengkrama saja ditengah sejuknya malam itu. Bulan sabit pun menampakkan keindahannya ditengah taburan sejuta bintang di langit. Tidur pun beralaskan tikar, sungguh nikmat...
Sensasi seperti itu mungkin selain masih bisa kita dapatkan di pelosok-pelosok nun jauh di sana, terdekatnya yang saya ketahui adalah Kampung Naga di Garut. Selebihnya, kebanyakan sudah masuk listrik, sehingga suasananya sudah tidak asli lagi.
Di kesenyapan malam dan kedamaian desa itulah saya pertama kalinya bisa merasakan kebebasan berpikir dan berdialog dengan pikiran saya sendiri, dengan suara hati saya sendiri. Namun berhubung di umur 10 tahun belum banyak yang saya pikirkan, ya akhirnya saya lebih banyak menikmati suasana malam itu saja.
Kebiasaan stop and think tersebut masih saya lanjutkan sesekali hingga saat ini. Kebiasaan itu pulalah yang membuat saya sanggup menghasilkan artikel-artikel di blog ini. Saya tidak mungkin menciptakan karya-karya ini ditengah kebisingan perkotaan dan hiruk-pikuk kehidupan ditengah manusia lainnya.
Artikel-artikel ini pulalah yang merupakan wujud nyata dan kasat mata dari dialog saya dengan pikiran saya sendiri, dengan hati saya sendiri; berdasarkan realitas yang saya hadapi sehari-harinya.
Itulah sebabnya kenapa saya sangat menikmati saat-saat teduh di malam hari. Untuk saya sih kebiasaannya adalah sekitar jam 11 malam sebelum tidur, atau subuh ketika anggota keluarga saya yang lain belum bangun. Namun jika fisik saya tidak lelah, saya lebih menikmati sekitar jam 11 malam hingga jam 1 subuh sebagai golden moment yang menyenangkan bagi saya untuk banyak merenung.
Apa yang saya lakukan di saat-saat itu? Jujur saja saya bukan orang yang religius. Saya usahakan pertama kalinya saya akan berdoa dan membaca Alkitab, cukup sekitar 1-2 halaman penuh saja. Pasal dan ayatnya saya pilih acak saja, karena saya yakin apa yang saat itu saya buka, merupakan pesan dari Tuhan pada saya untuk saya resapi. Itupun sebenarnya tidak bisa selalu saya laksanakan, he he he... Namun saya selalu mengusahakannya.
Nah baru setelahnya saya mulai membaca buku yang saya sukai, misalnya tentang bisnis, manajemen atau kepemimpinan. Atau membaca situs-situs tentang pengetahuan tertentu, atau tentang hobi saya. Jika saya pas harus membuat materi pelatihan di PowerPoint, saat seperti itulah yang paling tepat untuk mengeksekusinya. Inspirasi bisa mengalir dengan lancar ketika saya melakukannya seorang diri ditengah kesenyapan.
Bisa juga saya membuat artikel-artikel semacam isi blog ini, atau menyiapkan rencana-rencana kegiatan singkat. Atau jika pikiran terlalu lelah, saya bisa saja menonton televisi kabel di saluran yang saya sukai, semisal National Geographic, History Channel, Discovery Channel, atau Animal Planet. Mana yang paling menarik saja saat itu.
Namun yang sesungguhnya terpenting adalah apa yang saya renungkan saat itu. Seringkali keputusan-keputusan besar yang saya ambil, saya olah dulu matang-matang di momen seperti itu. Misalnya ketika saya dulu memegang bagian HRD sebuah perusahaan. Ketika Owner memerintahkan untuk melakukan pemecatan karyawan, betapapun dia mendesak saya untuk melakukannya sesegera mungkin, namun biasanya saya diplomasikan agar eksekusinya bisa beberapa hari kemudian dan bertahap, sesuai prosedur.
Disaat-saat saya merenung itulah, saya bisa menemukan banyak dialog dan kalimat-kalimat yang saya pandang baik untuk saya katakan kepada mereka-mereka yang akan saya berhentikan.
Keputusan untuk memberhentikan "denyut nadi" seseorang atau membalikkan periuk nasi seseorang, tidak pernah menjadi keputusan yang mudah; betapapun kantor saya berada di sisi yang benar dan karyawan tersebut berada di sisi yang salah. Mereka tetap adalah manusia, dan seringnya sudah berkeluarga. Sesalah apapun mereka, keputusan tersebut harus saya ambil dan saya eksekusi dengan tetap memanusiakan mereka.
Tidak jarang saya harus berdiskusi dengan karyawan yang saya berhentikan, hingga 1-2 jam. Saya tidak segan meluangkan waktu setelah jam kantor agar mereka bisa lebih rileks mengobrol dengan saya untuk terakhir kalinya. Saya banyak memberikan mereka pandangan, pengalaman dan isi hati saya; agar mereka bisa kuat menghadapi kenyataan ini dan tetap melanjutkan hidupnya.
Mengapa saya melakukan itu semua demi mereka yang sudah tidak lagi berguna bagi perusahaan?
Karena saya tahu persis rasanya pernah dipecat dengan tidak dipandang samasekali sebagai manusia yang punya pikiran, perasaan dan kontribusi baik bagi perusahaan.
Darimana saya mendapatkan kekuatan untuk melakukan itu, manusia per manusia? Ya dari saat-saat teduh tersebut. Disaat-saat saya sendiri dan banyak berpikir tersebut, saya bisa lebih mudah merasakan kehadiran Tuhan dalam hati saya. Saya menjadi lebih yakin dengan langkah dan keputusan saya, dimana itu adalah tidak lepas dari karya Tuhan juga atas hidup saya. Kehadiran otoritas tertinggi dalam nurani saya tersebut, merupakan sumber kekuatan saya untuk menghadapi realitas-realitas pahit yang menimpa saya maupun juga orang lain.
Bagi orang-orang yang berkepribadian Sanguinis, biasanya tidak mudah menjalani kontemplasi (perenungan) semacam ini. Mereka lebih suka suasana yang meriah atau ramai ditengah kawan-kawan mereka, atau langsung tidur setelah kelelahan berbagi waktu dengan orang lain. Karenanya saya merasa beruntung, hanya mendapatkan porsi sangat sangat sedikit atas kepribadian Sanguinis, ha ha ha...
Dalam prinsip saya, terutama yang berhubungan dengan pekerjaan saya, saya tidak suka mengambil keputusan penting dengan gegabah. Saya bisa saja mengambil keputusan berdasarkan data-data yang banyak tersedia dan akurat. Namun bagi saya itupun tidak benar-benar cukup. Keputusan yang saya ambil dan eksekusi, haruslah saya dasarkan juga atas kesadaran penuh dan merupakan hasil dari perenungan mendalam akan semua aspeknya.
Apakah saya lambat atau lelet dalam bekerja? Tentunya pandangan tersebut relatif. Saya hanya bermaksud mengatakan bahwa berpikir dengan baik itu tidaklah mudah, dan butuh waktu.
Toh saya juga telah melihat banyaknya pemimpin unit atau bahkan pemilik perusahaan, yang saya tahu sesungguhnya menyesali keputusannya, hanya karena mereka terlalu percaya dengan data-data yang tampak rasional dan meyakinkan. Dengan berbekal itu, mereka langsung memutuskan hal-hal besar di hadapannya. Mereka tampak hebat karena bisa bekerja cepat, cerdas dan tidak membutuhkan banyak waktu untuk memutuskan hal penting. Sepintas lalu keputusannya tampak benar. Namun beberapa waktu kemudian tidak jarang fatalnya akibat keputusan tersebut baru terlihat belakangan, dan itu tidak dicakup dalam data dan riset yang sebelumnya dipercayai oleh pemimpin tersebut.
Padahal banyak pemimpin-pemimpin besar mengakui pentingnya peran nurani atau suara hati (inner voice) ketika mereka mengambil keputusan besar. Nurani tidak pernah membohongi kita. Data bisa saja salah. Kalaupun data-data itu benar, bisa saja kemudian menjadi tidak benar karena dinamika keadaan yang berkembang terus. Namun suara hati tetaplah suara hati.
Bahkan pemimpin dunia selegendaris Steve Jobs sebagai pendiri Apple pun, percaya dengan inner voice-nya. Bahkan dia selalu menganjurkan agar kita mendengarkan inner voice kita baik-baik.
Melalui artikel ini saya bukannya sedang mengajak kita semua untuk mengambil keputusan-keputusan penting tanpa landasan data dan legalitas yang sah. Tidak. Jangan salah menangkap maksud artikel ini.
Melalui artikel ini saya sedang mengajak kita semua untuk lebih hirau dan lebih peka terhadap keberadaan dan suara nurani kita, hati kecil kita. Karena apa? Karena mereka tidak pernah membohongi kita.
Oleh karena itu sebelum mengambil keputusan penting, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang lain atau orang banyak; berdoalah. Mintalah petunjuk dan bimbingan Tuhan. Percayalah, bahwa apapun yang kita putuskan adalah baik adanya, betapapun mungkin jalannya tidak mengenakkan.
Setelah data-data lengkap, nasihat dari para penasihat lengkap, masukan-masukan dari banyak pihak lengkap... berilah waktu sebentar bagi nurani kita untuk berbicara. Dengarkan suara hati kecil kita baik-baik. Banyak pihak menyebutnya sebagai insting atau intuisi. Saya setuju-setuju saja. Namun saya lebih suka menyebutnya sebagai nurani atau suara hati atau hati kecil (inner voice).
Saya memandang istilah insting atau intuisi adalah "terlalu manusia", seolah tidak ada campur-tangan otoritas yang lebih tinggi dari kehidupan kita atasnya. Dalam kepercayaan yang saya anut, Katolik; nurani, suara hati atau hati kecil adalah tempat bersemayamnya Roh Kudus yang merupakan salah satu dari Tritunggal tak terpisahkan, yaitu Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Nah, Roh Kudus bersemayam di dalam nurani kita, yang merupakan "saluran perantara" antara pikiran kita dengan Tuhan. Ringkas katanya, saya melihat Roh Kudus berfungsi sebagai "penerjemah" bahasa Tuhan Yang Maha Tinggi ke bahasa manusia.
Nurani, suara hati atau hati kecil kita hanya bisa berbisik lembut. Oleh karenanya suara nurani kita hanya bisa kita dengar dan resapi disaat kita menyendiri, merenung dan berdiam diri sejenak.
Saya tidak pernah takut dikatakan sebagai pekerja yang lelet atau lamban dalam memutuskan sesuatu, terutama jika skala keputusan tersebut besar dan bisa menjadi fatal jika salah. Tentunya keputusan-keputusan reguler yang kecil, seharusnya dapat kita putuskan berdasarkan atas pengalaman dan pemikiran kita maupun orang lain. Tidak masalah. Jangan sampai kita dinilai lamban dalam bekerja atau mengambil keputusan, hanya karena keputusan seremeh apapun harus kita renungkan dalam-dalam selama beberapa hari. Ini tentu sudah tidak masuk akal...
Untuk keputusan-keputusan besar yang menyangkut hidup kita, hidup orang lain atau arah organisasi yang kita pimpin... sama sekali tidak ada salahnya bagi kita untuk lebih peka dan lebih mendengarkan suara hati kita, nurani kita; setelah kita merasa mantap dengan berbagai data dan masukan lain yang diperlukan.
Saya tidak mengatakan bahwa keluarga kita bisa mengganggu proses perenungan itu. Namun dari pengalaman saya dan beberapa kawan lain yang juga suka merenung, kami lakukan itu ketika semua anggota keluarga sudah terlelap. Bisa saja saya memang melek terus sampai semua anggota keluarga terlelap, atau bisa saja saya tidur dahulu jika terlalu lelah, dan bangun sejenak (mendusin) ketika tengah malam. Ini adalah sesuatu yang lumrah bagi mereka yang sering dihadapkan pada pengambilan keputusan-keputusan besar.
Namun pesan saya adalah tetaplah cukup beristirahat. Jangan kebanyakan merenung hingga kurang tidur, dan kemudian jatuh sakit. Jika sudah sering sakit atau sakit-sakitan, akan banyak hambatan yang kita hadapi dalam kepemimpinan kita atas organisasi atau hajat hidup orang lain.
Tetaplah sehat, tetaplah bugar, tetaplah bersemangat, dan tetaplah mendengarkan nurani kita. Sempatkanlah waktu bagi hati kecil kita, dimana Roh Kudus bersemayam. Belajar adil bisa dimulai dari memberikan kesempatan kepada nurani kita untuk membisikkan pendapatnya, ditengah-tengah hiraunya kita dengan pendapat atau masukan dari orang lain.
Berpikir dengan baik adalah pekerjaan yang tersulit, karena pemikiran-pemikiran yang baik melibatkan data-data dari realitas dan juga suara nurani kita sebagai pemimpin. Pemimpin diri sendiri, pemimpin keluarga, atau pemimpin organisasi. Berpikir dengan baik dapat kita lakukan dengan baik hanya ditengah kesendirian, kesenyapan dan perenungan.
Pernahkah Anda mengamati betapa damainya kehidupan orang-orang di pedesaan atau kota kecil? Ketika saya berusia sekitar 10 tahun, paman saya mengajak saya mengunjungi salah satu saudara jauh di sebuah kota kecil bernama Singaparna. Nama kota ini memang sering tertukar dengan Singapura. Sedari kecil, saya sudah senang & terbiasa dengan perjalanan jauh maupun petualangan. Paman saya bercerita bahwa tempat tinggal saudara jauh tersebut adalah di sebuah desa tanpa listrik, dan dekat dengan Gunung Galunggung.
Ini adalah perjalanan pertama saya yang bersifat petualangan. Dari sejak saya dan kakak-kakak saya kecil, sebenarnya Ayah saya sudah sering mengajak road trip ke Jawa Tengah. Namun sifat perjalanan tersebut adalah lebih ke liburan reguler dan mengunjungi saudara. Berbeda dengan perjalanan ke Singaparna ini. Walaupun sama-sama mengunjungi saudara jauh, namun bagi saya perjalanan ini lebih dominan ke petualangannya.
Begitu tiba di Singaparna, baru pertama kalinya itulah saya merasakan kehidupan yang senyap, damai dan teratur. Jauh dari hiruk-pikuk kota Bandung sebagai kota kelahiran saya. Berak langsung di pondokan kecil ditengah balong ikan, namun untuk makan sehari-hari seringnya langsung mengambil ikan dari balong tersebut, ha ha ha... Tapi saya tidak merasa jorok tuh. Malam tiba, yang ada hanya bunyi jangkrik, desiran angin dan temaram lampu teplok. Kami hanya bercengkrama saja ditengah sejuknya malam itu. Bulan sabit pun menampakkan keindahannya ditengah taburan sejuta bintang di langit. Tidur pun beralaskan tikar, sungguh nikmat...
Sensasi seperti itu mungkin selain masih bisa kita dapatkan di pelosok-pelosok nun jauh di sana, terdekatnya yang saya ketahui adalah Kampung Naga di Garut. Selebihnya, kebanyakan sudah masuk listrik, sehingga suasananya sudah tidak asli lagi.
Di kesenyapan malam dan kedamaian desa itulah saya pertama kalinya bisa merasakan kebebasan berpikir dan berdialog dengan pikiran saya sendiri, dengan suara hati saya sendiri. Namun berhubung di umur 10 tahun belum banyak yang saya pikirkan, ya akhirnya saya lebih banyak menikmati suasana malam itu saja.
Kebiasaan stop and think tersebut masih saya lanjutkan sesekali hingga saat ini. Kebiasaan itu pulalah yang membuat saya sanggup menghasilkan artikel-artikel di blog ini. Saya tidak mungkin menciptakan karya-karya ini ditengah kebisingan perkotaan dan hiruk-pikuk kehidupan ditengah manusia lainnya.
Artikel-artikel ini pulalah yang merupakan wujud nyata dan kasat mata dari dialog saya dengan pikiran saya sendiri, dengan hati saya sendiri; berdasarkan realitas yang saya hadapi sehari-harinya.
Itulah sebabnya kenapa saya sangat menikmati saat-saat teduh di malam hari. Untuk saya sih kebiasaannya adalah sekitar jam 11 malam sebelum tidur, atau subuh ketika anggota keluarga saya yang lain belum bangun. Namun jika fisik saya tidak lelah, saya lebih menikmati sekitar jam 11 malam hingga jam 1 subuh sebagai golden moment yang menyenangkan bagi saya untuk banyak merenung.
Apa yang saya lakukan di saat-saat itu? Jujur saja saya bukan orang yang religius. Saya usahakan pertama kalinya saya akan berdoa dan membaca Alkitab, cukup sekitar 1-2 halaman penuh saja. Pasal dan ayatnya saya pilih acak saja, karena saya yakin apa yang saat itu saya buka, merupakan pesan dari Tuhan pada saya untuk saya resapi. Itupun sebenarnya tidak bisa selalu saya laksanakan, he he he... Namun saya selalu mengusahakannya.
Nah baru setelahnya saya mulai membaca buku yang saya sukai, misalnya tentang bisnis, manajemen atau kepemimpinan. Atau membaca situs-situs tentang pengetahuan tertentu, atau tentang hobi saya. Jika saya pas harus membuat materi pelatihan di PowerPoint, saat seperti itulah yang paling tepat untuk mengeksekusinya. Inspirasi bisa mengalir dengan lancar ketika saya melakukannya seorang diri ditengah kesenyapan.
Bisa juga saya membuat artikel-artikel semacam isi blog ini, atau menyiapkan rencana-rencana kegiatan singkat. Atau jika pikiran terlalu lelah, saya bisa saja menonton televisi kabel di saluran yang saya sukai, semisal National Geographic, History Channel, Discovery Channel, atau Animal Planet. Mana yang paling menarik saja saat itu.
Namun yang sesungguhnya terpenting adalah apa yang saya renungkan saat itu. Seringkali keputusan-keputusan besar yang saya ambil, saya olah dulu matang-matang di momen seperti itu. Misalnya ketika saya dulu memegang bagian HRD sebuah perusahaan. Ketika Owner memerintahkan untuk melakukan pemecatan karyawan, betapapun dia mendesak saya untuk melakukannya sesegera mungkin, namun biasanya saya diplomasikan agar eksekusinya bisa beberapa hari kemudian dan bertahap, sesuai prosedur.
Disaat-saat saya merenung itulah, saya bisa menemukan banyak dialog dan kalimat-kalimat yang saya pandang baik untuk saya katakan kepada mereka-mereka yang akan saya berhentikan.
Keputusan untuk memberhentikan "denyut nadi" seseorang atau membalikkan periuk nasi seseorang, tidak pernah menjadi keputusan yang mudah; betapapun kantor saya berada di sisi yang benar dan karyawan tersebut berada di sisi yang salah. Mereka tetap adalah manusia, dan seringnya sudah berkeluarga. Sesalah apapun mereka, keputusan tersebut harus saya ambil dan saya eksekusi dengan tetap memanusiakan mereka.
Tidak jarang saya harus berdiskusi dengan karyawan yang saya berhentikan, hingga 1-2 jam. Saya tidak segan meluangkan waktu setelah jam kantor agar mereka bisa lebih rileks mengobrol dengan saya untuk terakhir kalinya. Saya banyak memberikan mereka pandangan, pengalaman dan isi hati saya; agar mereka bisa kuat menghadapi kenyataan ini dan tetap melanjutkan hidupnya.
Mengapa saya melakukan itu semua demi mereka yang sudah tidak lagi berguna bagi perusahaan?
Karena saya tahu persis rasanya pernah dipecat dengan tidak dipandang samasekali sebagai manusia yang punya pikiran, perasaan dan kontribusi baik bagi perusahaan.
Darimana saya mendapatkan kekuatan untuk melakukan itu, manusia per manusia? Ya dari saat-saat teduh tersebut. Disaat-saat saya sendiri dan banyak berpikir tersebut, saya bisa lebih mudah merasakan kehadiran Tuhan dalam hati saya. Saya menjadi lebih yakin dengan langkah dan keputusan saya, dimana itu adalah tidak lepas dari karya Tuhan juga atas hidup saya. Kehadiran otoritas tertinggi dalam nurani saya tersebut, merupakan sumber kekuatan saya untuk menghadapi realitas-realitas pahit yang menimpa saya maupun juga orang lain.
Bagi orang-orang yang berkepribadian Sanguinis, biasanya tidak mudah menjalani kontemplasi (perenungan) semacam ini. Mereka lebih suka suasana yang meriah atau ramai ditengah kawan-kawan mereka, atau langsung tidur setelah kelelahan berbagi waktu dengan orang lain. Karenanya saya merasa beruntung, hanya mendapatkan porsi sangat sangat sedikit atas kepribadian Sanguinis, ha ha ha...
Dalam prinsip saya, terutama yang berhubungan dengan pekerjaan saya, saya tidak suka mengambil keputusan penting dengan gegabah. Saya bisa saja mengambil keputusan berdasarkan data-data yang banyak tersedia dan akurat. Namun bagi saya itupun tidak benar-benar cukup. Keputusan yang saya ambil dan eksekusi, haruslah saya dasarkan juga atas kesadaran penuh dan merupakan hasil dari perenungan mendalam akan semua aspeknya.
Apakah saya lambat atau lelet dalam bekerja? Tentunya pandangan tersebut relatif. Saya hanya bermaksud mengatakan bahwa berpikir dengan baik itu tidaklah mudah, dan butuh waktu.
Toh saya juga telah melihat banyaknya pemimpin unit atau bahkan pemilik perusahaan, yang saya tahu sesungguhnya menyesali keputusannya, hanya karena mereka terlalu percaya dengan data-data yang tampak rasional dan meyakinkan. Dengan berbekal itu, mereka langsung memutuskan hal-hal besar di hadapannya. Mereka tampak hebat karena bisa bekerja cepat, cerdas dan tidak membutuhkan banyak waktu untuk memutuskan hal penting. Sepintas lalu keputusannya tampak benar. Namun beberapa waktu kemudian tidak jarang fatalnya akibat keputusan tersebut baru terlihat belakangan, dan itu tidak dicakup dalam data dan riset yang sebelumnya dipercayai oleh pemimpin tersebut.
Padahal banyak pemimpin-pemimpin besar mengakui pentingnya peran nurani atau suara hati (inner voice) ketika mereka mengambil keputusan besar. Nurani tidak pernah membohongi kita. Data bisa saja salah. Kalaupun data-data itu benar, bisa saja kemudian menjadi tidak benar karena dinamika keadaan yang berkembang terus. Namun suara hati tetaplah suara hati.
Bahkan pemimpin dunia selegendaris Steve Jobs sebagai pendiri Apple pun, percaya dengan inner voice-nya. Bahkan dia selalu menganjurkan agar kita mendengarkan inner voice kita baik-baik.
Foto Ilustrasi: Istimewa |
Melalui artikel ini saya sedang mengajak kita semua untuk lebih hirau dan lebih peka terhadap keberadaan dan suara nurani kita, hati kecil kita. Karena apa? Karena mereka tidak pernah membohongi kita.
Oleh karena itu sebelum mengambil keputusan penting, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang lain atau orang banyak; berdoalah. Mintalah petunjuk dan bimbingan Tuhan. Percayalah, bahwa apapun yang kita putuskan adalah baik adanya, betapapun mungkin jalannya tidak mengenakkan.
Setelah data-data lengkap, nasihat dari para penasihat lengkap, masukan-masukan dari banyak pihak lengkap... berilah waktu sebentar bagi nurani kita untuk berbicara. Dengarkan suara hati kecil kita baik-baik. Banyak pihak menyebutnya sebagai insting atau intuisi. Saya setuju-setuju saja. Namun saya lebih suka menyebutnya sebagai nurani atau suara hati atau hati kecil (inner voice).
Saya memandang istilah insting atau intuisi adalah "terlalu manusia", seolah tidak ada campur-tangan otoritas yang lebih tinggi dari kehidupan kita atasnya. Dalam kepercayaan yang saya anut, Katolik; nurani, suara hati atau hati kecil adalah tempat bersemayamnya Roh Kudus yang merupakan salah satu dari Tritunggal tak terpisahkan, yaitu Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Nah, Roh Kudus bersemayam di dalam nurani kita, yang merupakan "saluran perantara" antara pikiran kita dengan Tuhan. Ringkas katanya, saya melihat Roh Kudus berfungsi sebagai "penerjemah" bahasa Tuhan Yang Maha Tinggi ke bahasa manusia.
Nurani, suara hati atau hati kecil kita hanya bisa berbisik lembut. Oleh karenanya suara nurani kita hanya bisa kita dengar dan resapi disaat kita menyendiri, merenung dan berdiam diri sejenak.
Saya tidak pernah takut dikatakan sebagai pekerja yang lelet atau lamban dalam memutuskan sesuatu, terutama jika skala keputusan tersebut besar dan bisa menjadi fatal jika salah. Tentunya keputusan-keputusan reguler yang kecil, seharusnya dapat kita putuskan berdasarkan atas pengalaman dan pemikiran kita maupun orang lain. Tidak masalah. Jangan sampai kita dinilai lamban dalam bekerja atau mengambil keputusan, hanya karena keputusan seremeh apapun harus kita renungkan dalam-dalam selama beberapa hari. Ini tentu sudah tidak masuk akal...
Untuk keputusan-keputusan besar yang menyangkut hidup kita, hidup orang lain atau arah organisasi yang kita pimpin... sama sekali tidak ada salahnya bagi kita untuk lebih peka dan lebih mendengarkan suara hati kita, nurani kita; setelah kita merasa mantap dengan berbagai data dan masukan lain yang diperlukan.
Saya tidak mengatakan bahwa keluarga kita bisa mengganggu proses perenungan itu. Namun dari pengalaman saya dan beberapa kawan lain yang juga suka merenung, kami lakukan itu ketika semua anggota keluarga sudah terlelap. Bisa saja saya memang melek terus sampai semua anggota keluarga terlelap, atau bisa saja saya tidur dahulu jika terlalu lelah, dan bangun sejenak (mendusin) ketika tengah malam. Ini adalah sesuatu yang lumrah bagi mereka yang sering dihadapkan pada pengambilan keputusan-keputusan besar.
Namun pesan saya adalah tetaplah cukup beristirahat. Jangan kebanyakan merenung hingga kurang tidur, dan kemudian jatuh sakit. Jika sudah sering sakit atau sakit-sakitan, akan banyak hambatan yang kita hadapi dalam kepemimpinan kita atas organisasi atau hajat hidup orang lain.
Tetaplah sehat, tetaplah bugar, tetaplah bersemangat, dan tetaplah mendengarkan nurani kita. Sempatkanlah waktu bagi hati kecil kita, dimana Roh Kudus bersemayam. Belajar adil bisa dimulai dari memberikan kesempatan kepada nurani kita untuk membisikkan pendapatnya, ditengah-tengah hiraunya kita dengan pendapat atau masukan dari orang lain.
Berpikir dengan baik adalah pekerjaan yang tersulit, karena pemikiran-pemikiran yang baik melibatkan data-data dari realitas dan juga suara nurani kita sebagai pemimpin. Pemimpin diri sendiri, pemimpin keluarga, atau pemimpin organisasi. Berpikir dengan baik dapat kita lakukan dengan baik hanya ditengah kesendirian, kesenyapan dan perenungan.
0 Response to "Stop & Think: Pentingnya Kesenyapan & Kontemplasi"
Post a Comment