Hubungan Berbentuk Apapun Memiliki Masa Berlaku

Banyak orang (idealis) berpikir bahwa persahabatan harus berlangsung seumur hidup dan harus dipertahankan dengan berbagai cara. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan keinginan ini. Idealisme ini tentu saja indah seandainya terjadi di dunia yang ideal tanpa cacat. Sayangnya, dunia ini tidak ideal. Ketika cara-cara mempertahankan hubungan itu terasa tidak adil & tidak seimbang, mungkin itu pertanda tiba saatnya mengecek masa berlaku hubungan kita dengan orang tersebut.

Salah satu sumber kebahagiaan adalah sahabat. Sayangnya, banyak sumber stres & masalah juga berasal dari sahabat. Bukan berarti sahabat tersebut jahat sehingga menimbulkan masalah dalam hidup kita. Namun terkadang kehadiran seorang teman dalam hidup kita malahan membuat kita lebih banyak mengeluarkan energi untuk memuaskan obsesi kita akan konsep “persahabatan abadi seumur hidup apapun yang terjadi”. Lebih menakutkannya lagi, stres akibat persahabatan yang tidak seimbang tersebut seringkali tidak dipandang sebagai stres, melainkan sebagai "kewajiban seorang sahabat".

Melalui artikel ini saya tidak bermaksud untuk menilai apakah hal itu benar atau salah. Hubungan antar-manusia sangatlah kompleks dan melibatkan banyak hal. Seperti halnya cinta, persahabatan & pertemanan pun tidak dapat kita reduksi hanya kedalam sebuah kondisi benar atau salah belaka.

Melalui artikel ini saya hanya ingin membangun pemikiran bahwa hal terpenting dalam hubungan kita dengan manusia lainnya, entah apakah itu percintaan, persahabatan atau pertemanan; seharusnya justru menyederhanakan hidup kita dan masalah-masalah yang kita hadapi. Bukan malahan memperumitnya.

Jadi sekali lagi... Saya berpandangan bahwa dalam kita berhubungan dengan siapapun, seharusnya hidup kita dan masalah kita bisa lebih sederhana kita hadapi. Karena hidup ini sudah sedemikian rumit dengan berbagai masalah. Rasanya tidak elok jika misalnya kita berhubungan dengan siapapun itu dalam hidup kita, lantas masalah kita bertambah, lantas kerumitan hidup kita bertambah.

Prinsip saya sederhana saja. Sebuah hubungan membuat hidup kita lebih simpel, lebih menyenangkan untuk dijalani, dan membuat kita bersemangat untuk terus mengembangkan diri kita... teruskan... pertahankan... jaga baik-baik. Namun jika tidak demikian, tidak perlu membuang waktu & energi saya untuk mempertahankannya. Tentu tidak lantas saya musuhi atau putus hubungan dengan yang bersangkutan. Saya hanya memutuskan untuk tidak lagi terlalu memfokuskan waktu & energi terbaik dalam diri saya untuk mempertahankan mati-matian hubungan tersebut.

Jika saya menemukan sahabat sekualitas itu, sudah barang tentu saya akan juga menawarkan kualitas hubungan yang sama bagi dirinya. Sedapat mungkin saya akan membuat hidupnya lebih simpel, lebih menyenangkan untuk dijalani, dan membuatnya lebih bersemangat untuk terus mengembangkan dirinya; tentunya dengan segala kelebihan dan keterbatasan saya. Jika karena keterbatasan saya lantas saya tidak bisa mengantarkan harapan-harapan dia menjadi kenyataan dan lantas dia mau beranjak pergi, ya tidak masalah juga toh... Santai saja...

Apakah sahabat-sahabat semacam itu adalah yang selalu harus menyapa kita lewat telepon atau teks setiap hari dan setiap jam? TIDAK sama sekali. Bahkan terkadang hubungan sekualitas itu tidak menuntut komunikasi yang intens hingga terasa jenuh dan membosankan. Saya mengalami hubungan dengan beberapa kawan akrab, terkadang sebulan lebih tidak berkomunikasi sama sekali. Tapi sekalinya saling sapa, hidup terasa lebih hidup. Sekalinya bertemu, hidup terasa lebih hidup. Dan setelahnya bisa saja pola tersebut berulang. Santai aja, nikmati saja polanya.

Justru saya melihat mereka yang definisi persahabatannya adalah berdasarkan komunikasi jenuh yang terlalu intens, adalah justru persahabatan yang dibangun diatas perasaan insecure (selalu merasa was-was dan tidak aman). Saya pernah mendapatkan sejumlah kawan dengan perilaku seperti itu, ya akhirnya saya cukup kenal dan saling sapa saja. Karena apa? Karena hubungannya sudah bergeser ke usaha untuk mengikat satu sama lain, padahal kita bukanlah siapa-siapa satu sama lainnya. Aneh kan?

Sama seperti halnya hubungan suami-istri atau pacaran yang setiap menit harus berkirim teks, bertanya ini-itu hal remeh-temeh yang tidak penting. Komunikasi yang hanya sekualitas itu justru mencerminkan rendahnya kualitas hubungan itu sendiri. Sesederhana itu.

Karena apa? Karena saya sudah terlalu banyak melihat kejadian nyata, mereka yang tadinya berkomunikasi dengan manis dan intens, pada akhirnya berpisah juga, bahkan bermusuhan. Komunikasi yang tampak manis, indah dan intens samasekali bukanlah jaminan bahwa sebuah hubungan akan bertahan lama. Kita harus menerima itu sebagai sebuah realitas.

Karena komunikasi yang berkualitas adalah yang di dalamnya terkandung emosi sehat bersifat mutualisme, bukan komunikasi yang isinya hanya merupakan pemuasan-pemuasan semu seremonial belaka.

Sehingga dalam hubungan kita dengan siapapun, kita harus terus melakukan perenungan atas hubungan tersebut. Bahkan dalam beberapa kesempatan, kita dapat menguji ketahanan hubungan tersebut. Sering bertanyalah pada diri kita sendiri, untuk apa kita berhubungan dengan seseorang? Apakah karena rasa nyaman semata? Apakah karena rasa aman (yang semu)? Apakah karena gengsi? Apakah karena kuatir dilihat sebagai orang kesepian yang patut dikasihani?


Karena kenyataan-kenyataan itulah, sebenarnya saya tidak terlalu "anti" atau memandang negatif apa yang dikatakan orang-orang sebagai "azas manfaat" dalam berkawan atau bersahabat. Justru saya heran dengan mereka yang begitu paranoid dengan kata "manfaat". Lah ya kita semua berhubungan dengan orang lain (selain keluarga kita tentunya), bukankah dibangun diatas azas manfaat? Karena jika bukan karena azas manfaat, pastilah kita semua hanya akan "cukup tahu" saja.

Peningkatan kualitas dan intensitas hubungan kita dengan seseorang, sudah pasti dibangun diatas azas manfaat, tentunya yang bersifat mutualisme. Tidak ada yang salah dengan menjadi bermanfaat bagi orang lain, dan tidak ada yang salah dengan dimanfaatkan oleh orang lain. Demikian juga tidak ada salahnya dengan memanfaatkan manfaat yang ada dalam diri orang lain. Sekali lagi, tentunya selama itu bersifat mutualisme atau saling-menguntungkan.

Pengertian "manfaat" di sini janganlah diartikan secara sempit belaka, seolah-olah yang namanya "manfaat" itu hanyalah yang menyangkut materi, fisik atau kasat mata saja. Misalnya: kita berteman dengan si A hanya karena dia tajir dan sering mentraktir kita. Yang namanya manfaat itu adalah jauh lebih luas dan multi-dimensi. Bahkan misalnya pun kita berteman dengan seseorang hanya karena kita simply menyukainya tanpa alasan tertentu yang spesifik; sesungguhnya itu sudah merupakan manfaat juga. Manfaat bagi hati kita, bagi perasaan kita.

Atau ketika kita betah berlama-lama bersama seseorang karena sifatnya yang ceria, jenaka dan senang menghibur kita. Tentunya tidak ada salahnya jika sesekali kita yang mentraktir dia makan atau minum kopi, karena keceriaan yang telah banyak dia bagikan dalam hidup kita. Inilah azas manfaat, inilah mutualisme. Justru karena azas manfaat inilah, peradaban kita bertahan dan terus maju.

Bahkan kalangan berkebutuhan khusus sekalipun, terus memacu dirinya untuk bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Beberapa orang berkebutuhan khusus yang telah mencapai prestasi besar dan menjadi inspirasi bagi orang berkebutuhan khusus maupun orang normal, juga melakukannya atas dasar ingin bermanfaat bagi orang lain. Inspirasi dan motivasi adalah manfaat juga bagi orang lain.

Justru ketika kita bisa memberi manfaat bagi hidup orang lain atau kawan-kawan kita, disitulah kita patut berbangga. Berbanggalah, karena hidup kita bermanfaat bagi orang lain. Sehingga dengan demikian sangatlah wajar, logis dan manusiawi jika orang lain atau kawan-kawan kita mengambil manfaat tersebut dari kita. Entah manfaat itu berupa kemampuan kita memecahkan masalah mereka, atau keteduhan jiwa kita bagi mereka, dan masih banyak lagi manfaat lainnya. Sekali lagi, jangan terpatok dengan manfaat material atau manfaat lahiriah saja.

Di dunia korporasi, azas memanfaatkan itu jelas ada, dan itu sah-sah saja. Kita dipekerjakan dan digaji tidak lain dan tidak bukan adalah karena kita memiliki manfaat dan bisa memberikan manfaat tersebut bagi perusahaan. Kita bertahan di perusahaan itu karena kita bisa mengambil manfaat dari perusahaan tersebut, misalnya kepastian gaji bulanan, tunjangan, dan lain sebagainya. Semakin banyak & berkualitas manfaat yang kita miliki, maka kedudukan, fungsi dan gaji kita akan meningkat. Bukankah ini suatu hal yang logis dan wajar-wajar saja?

Tentu saja ada pengecualian. Mereka yang benar-benar tidak bisa memberi manfaat atau berkarya bagi orang lain karena keterbatasan inheren dalam dirinya; tentu tetap harus kita kasihi dan pedulikan. Bahkan negara seharusnya hadir bagi mereka yang karena keterbatasannya atau karena kebutuhan khususnya, tidak bisa berkarya bagi masyarakat. Akan selalu ada pengecualian bagi mereka yang membutuhkan kasih dan kepedulian yang lebih besar dari kita semua ini, dan itulah yang menjadikan kita manusia seutuhnya.

Berdasarkan atas pemikiran & realitas seperti itu, saya menjadi orang yang lebih realistis & rileks dalam menjalani hubungan apapun dengan orang lain, siapapun itu. Tidak ada kemelekatan berlebihan untuk mempertahankan sebuah hubungan, apapun bentuknya. Buat saya sama sekali tidak masalah jika seseorang yang sedang berbeban berat tiba-tiba menjadi dekat dengan saya, kemudian saya berikan ketenangan batin padanya beserta solusi bagi hidupnya, dan setelahnya dia lenyap tak berbekas. Buat saya, itu sama sekali tidak masalah. Justru saya agak bangga karena disaat-saat gelap kehidupan seseorang, saya ada di ingatannya dan saya bisa menerangi pikiran dan jalan hidupnya.

Padahal orang-orang lain memandang hal seperti itu sebagai "azas manfaat belaka" atau "dateng cuman kalo lagi butuh atau kalo lagi susah". Buat saya pribadi, saya tidak memandangnya sedangkal itu.

Saya juga pernah mengalami, ketika sedang mengalami kesukaran hidup, tiba-tiba saya kenal dengan seseorang. Dia menolong saya dengan usaha yang terbilang sangat besar, hingga saya kembali kuat untuk berdiri dan menjalani hidup lagi. Namun tanpa sebab apapun, dia "menghilang" dari hidup saya. Tanpa sebab, tanpa alasan, dan tanpa meminta balasan balik atas pertolongannya tersebut. Tentu saja sebagai manusia, respon pertama saya adalah sedih. Tapi setelah saya renungkan, saya harus merelakan siapapun itu yang memutuskan pergi dari hidup saya, tanpa perlu mempertanyakan apapun alasannya.

Lalu bagaimana cara saya membalas kebaikannya? Tenang saja, ada Tuhan. Kita doakan terus dirinya, agar dia bisa menolong lebih banyak orang lagi di masa depan. Kita pun bisa membalas kebaikan seseorang dengan prinsip Pay It Forward. Pembalasan budi baik yang kita lakukan, tidak selalu harus tertuju pada pemberi budi baik awalnya. Bisa saja kita balaskan kebaikan itu pada orang lain yang juga membutuhkan pertolongan.

Lingkaran-lingkaran pembalasan budi dan pembalasan kebaikan itu akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih indah, lebih aman dan lebih nyaman untuk ditinggali.

Kita tidak wajib menjadi kawan akrab seseorang dahulu untuk menolong hidupnya, dalam bentuk apapun. Karena kehidupan ini adalah sebuah perjalanan panjang, dan kita adalah musafir-musafirnya. Ketika ada seseorang yang tidak kita kenal sama sekali ternyata membutuhkan pertolongan kita ditengah perjalanan, masak iya tidak kita tolong? Bukankah itu berarti orang tersebut membutuhkan manfaat pertolongan dari kita? Sudah jelas iya. Tapi apakah kita perlu mempermasalahkannya? Buat saya tidak masalah, dan juga tidak perlu dipermasalahkan. Menolong orang ya tolong saja, tanpa embel-embel apapun.

Dalam hal berhubungan atau menolong orang asing, tentunya kita harus waspada & berhati-hati. Di jaman sekarang ini, semakin banyak bencana menimpa orang-orang baik yang ditipu oleh orang-orang tidak baik yang berpura-pura meminta pertolongan mereka. Namun di sini saya tidak hendak membahas itu, melainkan secara gambaran besarnya saja, yaitu kesediaan menolong siapapun itu, apakah orang yang baru kita kenal ataupun yang telah kita kenal baik sebelumnya.

Beberapa prinsip hidup saya dalam berhubungan dengan orang lain:

1. Buat saya, tidak pernah ada yang namanya "kebetulan". Kita mengenal seseorang, pasti Tuhan dan alam ini punya maksud dan tujuannya. Maksud dan tujuan tersebut tidak harus terjadi saat ini, melainkan bisa juga terjadi di masa depan. Setiap orang yang melintasi hidup kita, datang dengan maksud dan tujuan tertentu yang telah digariskan oleh Tuhan, alam dan kehidupan ini.

2. Setiap orang yang melintas tersebut tidak wajib menjadi sahabat kita. Bisa saja dia hanya cukup tahu, cukup kenal, berkawan, bersahabat, bersaudara atau bahkan berkeluarga. Terkadang bermusuhan pun tidak terhindarkan. Siapa yang bisa menolak takdir? Kita jelas bukan Tuhan. Jangan pernah menaruh atau menargetkan apapun yang berlebihan akan hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita.

3. Perubahan kualitas hubungan dalam bentuk apapun, tidak perlu diambil hati. Jangan terlalu "baper" (bawa perasaan) dalam hubungan kita dengan semua orang, apapun itu bentuk hubungannya. Karena kita tidak pernah bisa menebak isi pikiran dan isi hati orang lain terhadap kita. Seperti ada pepatah "pahit jangan lekas dimuntahkan, manis jangan lekas ditelan".

4. Manusia adalah makhluk yang sarat dengan kekurangan dan keterbatasan. Banyak sekali kekurangan dan keterbatasan yang memang "sudah ada dari sononya" atau yang ada diluar kekuasaan kita sebagai manusia. Janji-janji manusia mengecewakan? Ya jelas saja mengecewakan, karena kita bukan Tuhan. Pikirkan saja, bukankah kita juga sesekali pernah merasakan Tuhan tidak menepati janji-Nya terhadap kita? Jika kita terhadap Tuhan saja suka merasa seperti itu, apalagi kita terhadap manusia. Wajar saja, logis saja, biasa saja, tidak perlu diletupkan secara berlebihan & emosional.

5. Marilah kita lebih tenang berpikir, bahwa hubungan antar-manusia dalam bentuk apapun, pasti ada "masa berlaku"nya. Tidak peduli apakah itu keluarga sedarah kita, atau yang "cukup tahu" saja. Ketika "masa berlaku" dalam hubungan itu sudah habis, tidak selalu tidak lantas tidak serta-merta kita wajib memusuhi yang bersangkutan. Tidaklah selalu harus berakhir dengan permusuhan. Kita bisa saja masih berhubungan baik dengannya, masih berkomunikasi dengannya. Kita cukup melakukan pengurangan fokus kita terhadapnya; entah itu fokus tenaga, waktu, emosi / perasaan atau mungkin materi.

6. Sehingga dengan demikian, tidak ada alasan yang terlalu besar bagi kita untuk mati-matian mempertahankan sebuah hubungan dengan tingkat stres hingga langit ketujuh. Bahkan hubungan keluarga pun bisa rusak, apalagi hubungan pertemanan belaka. Sikapi perubahan-perubahan tersebut dengan tenang & bijaksana. Perubahan hubungan tersebut tidak perlu saling-merusak atau saling-menghancurkan satu sama lain. Dewasalah.

7. Karena itu, kita seharusnya menjadi orang yang sangat menikmati hari ini atau saat ini dalam sebuah hubungan. Nikmati hubungan kita saat ini dengan orang-orang di sekeliling kita. Manfaatkan dengan bijak hal-hal positif yang bisa digali dan diekstrak satu sama lain. Jangan terlalu terobsesi dengan masa depan sebuah hubungan. Apa yang mati-matian kita pertahankan hari ini, belum tentu juga akan bertahan hingga esok hari, termasuk dalam hubungan antar-manusia; seperti apapun format atau bentuknya.

8. Kehidupan ini seperti dunia politik. Siapapun yang hari ini bersahabat dengan kita, bisa saja keesokan harinya sudah menjadi musuh kita. Siapapun yang bermusuhan dengan kita saat ini, suatu saat bisa kembali berdamai dengan kita. Jangan pernah mengeraskan hati & pikiran kita untuk menciptakan sesuatu yang terlalu permanen, hingga tampak ingin mendahului nasib atau takdir. Yang kelak menjadi musuh, terimalah dengan lapang dada, maafkan dan ampuni dia, serta doakan dia selalu. Yang kelak berdamai dengan kita, terimalah dengan penuh kasih dan antusiasme, dan tidak perlu mengungkit yang sudah lalu.

9. Ketika kita menghadapi masalah kehidupan yang berat, seringkali sahabat terdekat bukan yang menjadi penyedia solusi. Justru kawan-kawan yang tadinya nyaris tidak pernah kita sapa, terkadang menyediakan jawaban dan solusi yang lebih bijak dan tepat sasaran. Percayalah, saya sudah berkali-kali membuktikan bahwa yang menolong saya disaat-saat tersulit dalam hidup saya, justru kawan saya yang tidak pernah saling sapa sebelumnya.

Kesimpulan: Artikel ini dengan jelas menyatakan bahwa sebenarnya banyak sekali masalah-masalah dalam hubungan antar-manusia, bisa dicegah atau diminimalisir cukup dengan satu cara, yaitu: berkenalan dan terus membina hubungan baik dengan orang-orang baru yang tidak kita kenal sebelumnya.

Ketika kita handal dalam memulai hubungan baru dengan orang-orang baru, kita tidak akan terlalu kecewa dengan kawan-kawan lama yang tidak lagi memprioritaskan kita dalam hidup mereka. Santai saja, woles saja.... Karena kita pun akan (dan sudah) melakukan hal yang sama seandainya kita berada di posisi mereka.

Saya sangat setuju bahwa kawan lama itu seperti anggur. Semakin lama, semakin enak diteguk. Namun pengalaman semua orang mengatakan, jumlah kawan lama itu selalu sedikit. Yang perlu kita pertahankan dengan sebaik-baiknya, memang jumlahnya sedikit saja. Tidak perlu terobsesi dengan jumlah banyak. Lebih membahagiakan bersahabat dengan 1-2 orang saja yang membahagiakan hati, ketimbang bersahabat dengan 8-9 orang yang membuat kita selalu stres, tertekan dan tidak bisa menjadi diri kita sendiri.

Selalu bukalah mata, hati dan pikiran kita akan kemungkinan bentuk hubungan apapun dengan orang-orang baru yang belum pernah kita kenal sebelumnya. Kawan lama memang seperti anggur, namun kawan-kawan baru seperti air putih. Penting sekali untuk kita minum setiap hari dalam jumlah cukup, demi kesehatan.

Akhir kata, tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua ada waktunya, semua ada masa berlakunya. Pertahankan apa yang perlu dipertahankan, tanpa kemelekatan berlebihan yang tidak perlu. Menjadi mahir dalam membina hubungan-hubungan baru dengan orang-orang yang tidak kita kenal sebelumnya, dipastikan dapat menyelesaikan nyaris semua masalah dalam hubungan antar-manusia yang sehari-harinya kita semua jalani.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Hubungan Berbentuk Apapun Memiliki Masa Berlaku"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel