Apakah Penghargaan Merupakan Tujuan Utama Pernikahan?
Tuesday, October 4, 2016
Add Comment
Membicarakan pernikahan, berarti membicarakan sesuatu yang teramat kompleks, subjektif dan kondisional. Tentu saja kita tidak dapat menghakimi sebentuk pernikahan yang dijalani oleh orang lain. Bahkan kita sendiri pun sesungguhnya tidak dapat terlalu menghakimi pernikahan kita sendiri, jika memang kita telah menikah. Dalam artikel kali ini saya berusaha mengangkat sebuah pertanyaan mendasar, yaitu tentang penghargaan dan saling menghargai dalam pernikahan. Apakah memang benar ini merupakan tujuan utama kita semua ketika melangsungkan pernikahan?
Dalam norma sosial di manapun itu, antar-manusia tentu lumrahnya saling menghargai. Baik kepada yang kita kenal sebelumnya ataupun yang tidak kita kenal, saling menghargai merupakan fondasi yang penting agar kita dapat diterima dalam pergaulan seluas-luasnya. Setelah itu kita bisa mengharapkan sejumlah jalan terang bagi rejeki kita dari hubungan baik dengan orang-orang tersebut.
Realitas yang Sad But True
Ada satu kenyataan yang sebenarnya menyedihkan, namun itu benar adanya, dalam hubungan antar-manusia; apapun bentuk hubungannya, yaitu: semakin sering kita bertemu dengan seseorang, maka semakin rendahlah penghargaan kita terhadap orang tersebut; dan demikian juga sebaliknya dari orang tersebut kepada kita.
Kedengerannya sadis ya. Masih gak percaya? Pernah mendengar semboyan "rumput tetangga lebih hijau"? Ya, semboyan tersebut mengemuka tidak lain dan tidak bukan adalah karena manusia yang cenderung untuk menghargai - bahkan mendewakan - orang lain atau hubungan antar-orang lain diluar dirinya, hanya karena mereka tidak mengetahui apa tantangan, kekurangan dan borok-borok yang menghiasi keseharian manusia lain atau hubungan antar-manusia lain diluar dirinya tersebut.
Fakta ini bertambah pahit tatkala rumput tetangga yang lebih hijau tersebut memang pandai memoles dirinya dengan pencitraan tingkat tinggi, seolah-olah mereka memang benar-benar lebih hijau dari rumput tetangga yang lain.
Kekacauan yang lebih besar pun terjadi tatkala fakta tersebut yang kemudian ditambah dengan kepiawaian pemolesan, bertemu dengan persepsi orang-orang yang kurang berwawasan dan kurang berjiwa besar. Kurangnya wawasan dan kurangnya jiwa besar dalam melihat dan mempersepsikan indahnya rumput tetangga, adalah sumber masalah terbesar dalam hubungan antar-manusia. Ini sudah terjadi, dan akan terjadi terus.
Mengapa ini bisa terjadi? Ada dua sebab, yaitu:
Mereka yang telah beberapa kali menjalin hubungan dengan manusia lain dan mengalami kegagalan, tentunya memiliki referensi lebih banyak akan kekurangan atau keburukan perilaku manusia lain. Sehingga ketika mereka bertemu dengan pacar baru yang memang lebih baik dari pacar sebelumnya, penghargaan itu akan datang dengan sendirinya, tanpa harus dikondisikan apapun.
Inilah juga yang saya maksudkan dengan kebesaran jiwa, yaitu kesediaan yang muncul secara alamiah dari dalam diri seseorang untuk menghargai orang lain, demi tujuan-tujuan luhur yang lebih besar kedepannya.
Berikutnya, mengapa ini bisa terjadi? Hal kedua adalah karena manusia merupakan makhluk visual dan inderawi. Manusia mempersepsikan segalanya yang terjadi diluar diri mereka, berdasarkan panca-indera yang kemampuannya terbatas. Dalam hal ini yang terutama adalah indera visual atau pendengaran, yang biasanya merupakan gerbang pertama pembentukan persepsi atas apa yang terjadi diluar diri manusia tersebut.
Tidak semua manusia memiliki indera keenam (sixth sense), atau bahasa gaulnya cenayang, paranormal. Sehingga dengan segala keterbatasan panca-inderanya tersebut, dan juga dengan keterbatasan wawasan, pengalaman dan kebesaran jiwa mereka; mereka mempersepsikan apa yang terjadi diluar dirinya sebagai "rumput yang lebih hijau".
Inilah akar masalah yang sesungguhnya dalam hubungan antar-manusia, apapun bentuknya. Apakah hubungan pacaran, pernikahan, bisnis, rekan kerja atau atasan-bawahan; semuanya menginduk pada karakter yang sama.
Dalam konteks ini, saya bermaksud untuk membicarakan pernikahan. Supaya pembahasan kita lebih terfokus. Namun jangan kuatir, apa yang kita bicarakan di sini dalam konteks pernikahan, sesungguhnya juga sejalan & sebangun dengan apa yang terjadi di bentuk-bentuk hubungan lainnya.
Pernikahan: Apakah Benar Karena Harus Menghargai?
Pertanyaan saya tersebut memang kedengeran kasar dan gak enak di telinga ya... tapi percayalah, saya gak pernah bermaksud buat mendiskreditkan pernikahan dalam bentuk apapun. Pertanyaan ini sesungguhnya merupakan hasil refleksi dan pengamatan saya akan pernikahan-pernikahan yang telah dijalani oleh kawan-kawan saya dan kebetulan saya tahu sedikit mengenai perjalanan pernikahan mereka.
Satu kenyataan mendasar yang (se)harus(nya) kita anut, pahami, serapi dan jalankan adalah: di dalam aspek & bidang kehidupan apapun, seyogianya janganlah menjadikan penghargaan dari orang lain sebagai fokus dan tujuan utama kita. Itu adalah prinsip paling mendasar dalam hubungan apapun.
Karena sejatinya, bersamaan dengan munculnya penghargaan, melekat pula dua karakter alamiah yang inheren dan tak terpisahkan di dalam penghargaan tersebut:
1. Penghargaan dari orang lain atas diri kita adalah sebuah akibat, sebuah upah, sebuah efek samping; BUKAN fokus dan tujuan utama dari apapun yang kita kerjakan. Fokus dan tujuan utama kita adalah menjadi yang terbaik dan mengerjakan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya usaha dan kemampuan kita. Jika memang hasilnya berkenan bagi orang lain, penghargaan itu akan datang dengan sendirinya. Jika kurang berkenan, jadikanlah kritik bahkan hinaan dari orang lain sebagai pecut untuk berusaha lebih baik lagi kedepannya.
Ketika kita melepaskan penghargaan dari orang lain sebagai tujuan utama kita, kita akan menjadi pribadi yang lebih fokus pada hal-hal terbaik dalam diri kita. Kita tahu betul semua kelebihan dan kekurangan dalam diri kita, dan kita fokus dengan apa yang bisa kita kerjakan atau perbuat atas dasar kelebihan dan kekurangan kita tersebut. Sehingga ketika orang lain tidak menghargai apa yang telah kita perbuat pun, kita akan lebih bisa menerimanya dengan lapang dada sebagai sebuah realitas yang memang tidak dapat diubah.
Jangan lupa... Tuhan Yang Maha Kuasa saja tidak bisa membuat semua orang di dunia ini menyukai-Nya dan mempercayai-Nya. Apalagi kita sebagai manusia yang sarat dengan keterbatasan.
Ketika kita fokus pada keharusan orang lain untuk menghargai kita, maka kita akan kehilangan perspektif yang objektif, sehat dan netral atas diri kita sendiri. Ini tentu akan sangat menyiksa diri kita sendiri. Fokus kita hanyalah tentang bagaimana mendapatkan penghargaan dari orang lain dan menyenangkan orang lain. Ketika kita gagal lakukan itu, kita menjadi depresi dan membisikkan banyak hal negatif kedalam alam bawah sadar kita. Itu akan fatal sekali bagi perkembangan & kesehatan jiwa kita.
Logika yang sama terjadi di dunia pernikahan. Memang benar bahwa di dalam interaksi antar-manusia dalam bentuk apapun, kita seharusnya saling menghargai. Itu adalah norma sosial yang umum. Namun ketika kita berencana untuk menikah, jangan sekali-kali mengharapkan pasangan kita untuk menghargai kita terlebih dahulu, tanpa kita telah berbuat apapun terlebih dahulu baginya dan bagi rumah tangga.
Bahkan misalnya pun sebelum menikah kita adalah orang yang memiliki "sesuatu" misalnya harta berlimpah, perusahaan besar atau pangkat yang tinggi; jangan pernah jadikan itu sebagai "kewajiban di muka" bagi pasangan kita untuk terlebih dahulu menghargai kita, sebelum kita melakukan apapun atau menghasilkan apapun yang baru bagi hubungan itu dan pernikahan itu secara keseluruhan.
Apakah masa lalu kita buruk atau cemerlang, gunakanlah itu untuk bahan fondasi pernikahan kita. Bukan untuk terus-menerus dibawa-bawa dengan harapan pasangan kita akan menghargai kita semata karena masa lalu kita.
Bahkan misalnya pun masa lalu kita kelam atau buruk, itu sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai legitimasi bagi kita untuk menuntut pasangan kita agar selalu menghargai kita, tanpa kita terlebih dahulu berusaha untuk berbuat sesuatu yang positif bagi hubungan maupun pernikahan tersebut secara keseluruhan.
Pernikahan adalah proses hidup yang benar-benar baru. Jalanilah hari demi hari pernikahan itu sebagai sebuah lembaran baru. Berbuatlah sesuatu yang positif bagi pernikahan tersebut dan jangan pernah... jangan pernah... mengharapkan penghargaan dari pasangan kita. Pasangan kita menghargai, itu bonus. Tidak menghargai, ya sudah; jangan paksakan dia atau marah-marah kepadanya.
Karena apa? Orang-orang yang memang pada dasarnya senang menghargai orang lain dan memiliki sikap positif akan dirinya dan orang lain, akan menghargai siapapun juga secara otomatis; tanpa peduli sebesar apa yang orang lain kontribusikan terhadap dirinya.
Tapi jika memang pada dasarnya orang-orang tersebut tidak suka menghargai orang lain, lebih suka menghina atau menjatuhkan orang lain, lebih suka mengkerdilkan perbuatan baik orang lain; lalu bagaimana caranya kita bisa mengubahnya menjadi orang yang lebih positif dan lebih bisa menghargai kita?
Saya mendasari argumen ini berdasarkan karakter fundamental dari orang tersebut. Menikahi orang dengan karakter dan sikap positif, maka perjalanan hidup kita akan lebih ringan. Menikahi orang dengan karakter dan sikap negatif, hidup kita akan lebih berat; sehebat apapun yang telah kita lakukan dan kontribusikan bagi rumahtangga kita.
Sehingga dengan demikian, fokus pada apa yang terbaik yang bisa kita kontribusikan dan menjadikan penghargaan dari pasangan atau orang lain sebagai bonus semata; merupakan sebuah sikap yang tepat dan bisa meringankan banyak beban dalam jiwa kita. Perjalanan hidup kita sudah sedemikian rumit dan berat. Pernikahan itu sendiri menyimpan kompleksitas tersendiri. Sederhanakanlah kerumitan-kerumitan tersebut dengan membuang sejumlah persepsi yang tidak diperlukan lagi ada dan bertumbuh dalam pikiran dan jiwa kita.
2. Penghargaan datang dari persepsi panca-indera orang lain, dari persepsi berdasarkan wawasan orang lain, dan juga persepsi berdasarkan pengalaman orang lain. Kesemuanya akan berbeda-beda, dan ini sangatlah lumrah. Realitas ini harus kita terima dengan segenap kesadaran dan kebesaran jiwa.
Misalnya begini. Saya suka dengan dunia Racing Sport, terutama balap motor atau MotoGP. Tentunya saya tahu siapa-siapa saja pemain hebat di dunia MotoGP, sehingga saya bisa menghargai masing-masing pembalap berdasarkan proses yang telah mereka jalani dan pencapaian yang telah mereka raih; betapapun tidak semua dari mereka adalah juara dunia. Saya menyukai dunia MotoGP dan oleh karenanya saya tahu seluk-beluknya. Penghargaan itu akan otomatis datang dari orang-orang yang memang paham seluk-beluk yang kita jalani dan kita hasilkan.
Tetapi saya tidak suka sepakbola sama sekali. Saya tidak kenal dengan para pemainnya, para klub, atau para pelatihnya. Bagaimana saya punya referensi untuk menghargai atau tidak menghargai siapa-siapa yang ada di dunia sepakbola? Logis ya...
Nah, mayoritas orang di luar sana sering melakukan judgement atau penghakiman hanya berdasarkan sedikit hal yang mereka ketahui dari luar saja. Singkatnya, penilaian bukan didasarkan atas keseimbangan informasi positif dan informasi negatif, tetapi hanya berdasarkan sedikit informasi di kulit atau permukaan saja. Ini tentunya fatal dan tidak baik.
Logika yang sama pun terjadi di dunia pernikahan. Seperti yang telah saya uraikan sebelumnya, pasangan kita pun manusia biasa, bukan Tuhan yang Maha Tahu. Apapun yang dia persepsikan atas diri kita, selain bergantung dari persepsi panca-indera yang terbatas, juga bergantung dari wawasan & pengalaman yang dia miliki.
Ini sangatlah manusiawi dan lumrah adanya. Tidak ada yang dapat kita lakukan untuk mengubahnya secara alamiah. Bisa saja kita bergabung dengan organisasi-organisasi kerohanian yang khusus memenej kehidupan pernikahan anggota-anggotanya. Tapi sekali lagi, pernikahan adalah sesuatu yang personal, subjektif dan kondisional. Apa yang berhasil bagi orang lain, belum tentu berhasil bagi kita. Nasihat pernikahan yang berhasil di pasangan satu, bisa jadi merupakan petaka tersembunyi bagi pasangan lainnya, jika dilaksanakan tanpa penyesuaian-penyesuaian terlebih dahulu di tingkatan personal.
Karena keterbatasan panca-indera dan keterbatasan wawasan itulah, maka percuma saja jika kita berusaha keras agar dihargai oleh pasangan kita, jika pasangan kita tidak terlebih dahulu merasakan atau melihat kontribusi kita bagi hubungan itu dan pernikahan itu secara keseluruhan. Betapapun besarnya karya atau kontribusi kita bagi pernikahan tersebut, tapi jika memang kapasitas panca-indera dan kapasitas wawasan pasangan kita tidak memungkinkan dirinya bisa melihat jauh kedalam detail apa-apa saja yang telah kita perjuangkan bagi hubungan dan pernikahan ini; lalu siapa yang dapat mengubahnya? Sulit kan...
Kembali lagi ke fundamental karakter diri kita masing-masing. Orang-orang yang memang pada dasarnya bisa berpikir positif dan peka dengan apa yang ada pada diri orang lain, secara otomatis dengan sendirinya akan menghargai orang lain, betapapun bisa saja mereka sesungguhnya tidak atau belum merasakan kontribusi kita atas dirinya. Tetapi jika memang pada dasarnya orang-orang itu lebih suka berpikir negatif dan abai terhadap apa yang orang lain lakukan dan kontribusikan atas dirinya, maka apapun yang kita lakukan akan tidak berharga di matanya dan selalu "rumput tetangga lebih hijau".
Kesimpulannya adalah bahwa sebelum benar-benar menikah, kita harus benar-benar mengenali pasangan kita terlebih dahulu, khususnya bagaimana fundamental karakternya. Itu bisa kita kenali sejak awal pada kebanyakan kasus. Setiap perubahan karakter pasangan kita setelah pernikahan, mayoritas kasusnya sebenarnya sudah dapat dikenali dari sejak sebelum pernikahan. Hanya sedikit kasus dimana pasangan kita itu benar-benar berubah 180 derajat antara sebelum menikah dengan setelah menikah.
Saya sadar bahwa seperti apa yang saya katakan tadi, pernikahan adalah sesuatu yang personal, relatif, subjektif dan kondisional. Saya di sini sama sekali tidak bermaksud menghakimi siapapun. Ini adalah ringkasan dari apa yang selama ini saya dapati dari banyak cerita pernikahan yang saya ikuti di dunia nyata dari sejumlah kawan saya, ataupun orang lain yang tidak kenal namun membagikan pengalamannya.
Perspektif Gender: Lelaki atau Perempuan yang Bersikap Lebih Negatif?
Nah, inilah pertanyaan yang seru. Ahhh sudah terlalu banyak karya-karya grafis yang bereda di dunia maya, yang secara eksplisit menyuratkan bahwa "kaum perempuan selalu benar, terutama setelah menikah", ha ha ha... Marilah kita lihat dari sejumlah karya grafis di bawah ini, yang saya dapat dari dunia maya. (Catatan: karya grafis diambil dari Google dan sejumlah website / blog. Hak cipta seluruh karya grafis melekat pada pembuat karyanya).
Karya-karya grafis lucu ini diperkuat dengan sejumlah pameo, misalnya:
Ah cukup deh tiga pameo itu aja ya, ha ha ha... Saya tidak ingin terlihat seksis dan mendiskreditkan kaum perempuan. Bukanlah itu tujuan saya menulis artikel panjang-lebar ini. Lebih tepatnya, artikel ini adalah untuk kaum lelaki, agar lebih piawai menyikapi kebenaran abadi ini dengan pemahaman dan sikap yang tepat.
Dan sebelum melanjutkan, saya tegaskan bahwa saya juga banyak melihat kaum lelaki yang merasa selalu benar dan tidak pernah salah, dan perempuan selalu salah. Namun jujur saja, statistiknya lebih banyak perempuan yang bersikap seperti itu, ketimbang kaum lelaki.
Secara alamiah, mayoritas perempuan memang sulit mengalah dan merasa selalu benar, tidak pernah salah. Para lelaki tidak perlu berkecil hati, karena bahkan antara sesama perempuan pun, mereka tidak pernah merasa bersalah dan pasti selalu benar. Logikanya sederhana saja. Jika antar sesama perempuan saja sudah saling merasa selalu benar, apalagi halnya dalam hubungan perempuan dengan lelaki. Yang paling menyedihkan, kaum perempuan sendiri seringkali tidak mengerti mengapa mereka bisa menjadi seperti itu. Pada akhirnya hanya bisa menyalahkan "emang dari sononya begitu, ya loe terima aja", dan pada akhirnya lelaki lagi ya salah, ha ha ha ha ha...
Ini adalah realitas, dan saya tidak pernah bermaksud mendiskreditkan kaum perempuan dengan artikel ini. Justru ini adalah saat yang tepat bagi kaum perempuan untuk lebih banyak melihat diri mereka sendiri sebagai makhluk yang mulia dan bermartabat, bukan makhluk yang bisanya hanya merasa benar sendiri dan tidak pernah bersalah di hadapan manusia lainnya, tidak peduli itu sesama perempuan atau lelaki. Kemuliaan dan martabat dibangun diatas karakter, kerendahan hati dan kasih; bukan sikap congkak dimana dirinya tidak pernah salah dan selalu benar.
Jadi ya para lelaki diharapkan menyadari realitas ini sedari awal mereka berpacaran dengan kaum perempuan. Di jaman dulu sebelum ada Internet dan Social Media, wajar saja jika banyak kaum lelaki yang kaget dengan realitas ini setelah mereka menjalani pernikahan. Namun dengan kecanggihan Internet dan Social Media di jaman sekarang, alangkah bodohnya mereka yang masih tidak menyadari realitas ini. Karya-karya grafis lucu diatas sudah sebegitu menyuratkan realitas ini lewat cara yang jenaka. Tinggal kita nikmati saja...
Mengapa realitas ini harus disadari sedari awal oleh kaum lelaki? Selain agar para lelaki tidak kaget merasakan pacarnya berubah 180 derajat menjadi monster setelah menikah, juga agar para kaum lelaki sesegera mungkin membuang jauh-jauh ekspektasi mereka untuk tetap dihargai oleh pasangannya dalam pernikahan yang mereka jalani.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa kita tidak perlu saling menghargai. Maksud saya adalah janganlah sampai mereka yang memutuskan untuk menikah, dari awal sudah berekspektasi akan dihargai secara otomatis oleh pasangannya.
Karena bahkan ketika kita seorang Superman pun, fokus utama kita seharusnya adalah menjadi yang terbaik dari diri kita, bukan "fakir penghargaan orang lain". Apalagi jika kita tergolong sebagai manusia biasa yang masih sarat dengan kesalahan dan janji-janji yang belum terpenuhi. Sudah otomatis memalukan adanya jika kita mengharapkan penghargaan dari pasangan kita sebagai fokus dan tujuan utama pernikahan yang dijalani.
Jika kita bisa mendapatkan teman hidup yang perilaku dan sikapnya positif dan mudah menghargai orang lain, termasuk pasangannya yang sarat dengan kekurangan; genggamlah ia erat-erat dan jangan sampai lepas ke tangan orang lain. Karena spesies seperti itu langka adanya, ha ha ha...
Mutiara kehidupan paling berharga adalah ketika kita menemukan perempuan yang penuh kasih dan kerendahan hati. Semoga semakin banyak kaum perempuan yang tertarik untuk menjadi mutiara kehidupan tersebut. Dan semoga siapapun yang memiliki anak perempuan, bisa membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih dan kerendahan hati, demi menjadikan anak-anaknya mutiara kehidupan bagi orang lain.
Membangun Konsep Kedirian yang Tepat
Lelaki-lelaki hebat adalah mereka yang bisa tetap fokus dengan berbagai kelebihan dalam dirinya dan menggunakannya untuk pencapaian tujuan yang lebih besar; tanpa pernah peduli apakah upaya dan hasil mereka tersebut dihargai atau tidak dihargai oleh pasangannya atau oleh orang lain. Inilah konsep kedirian yang tepat, yang sedari tadi saya bicarakan panjang-lebar. Dan sesungguhnya pun ini berlaku bagi kaum perempuan, yang memang tertarik dengan sikap dan perilaku seperti itu. Bukan hanya lelaki saja.
Saya benar-benar hanya ingin mengajak kaum lelaki (atau kaum perempuan juga) agar lebih fokus pada kelebihan-kelebihan dirinya, dan menggunakan itu semua secara terfokus demi pencapaian tujuan hidup yang lebih luhur; tanpa perlu merasa terganggu dengan rendahnya penghargaan pasangannya terhadap dirinya.
Jika semua upaya itu belum membuahkan hasil dan pasangan kita tidak menghargai, ya wajar saja toh. Namanya hasilnya belum ada, dan pasangan kita pun kan tidak tahu proses perjuangan kita, karena keterbatasan panca-indera dan keterbatasan informasi dalam benaknya.
Tapi jika kita sudah mulai menuai keberhasilan dari perjuangan tersebut dan pasangan kita tetap tidak menghargainya, lalu kenapa kita tetap pusing dengan hal itu? Toh tujuan utama kita adalah pencapaian tujuan yang lebih besar, bukan semata penghargaan dari pasangan kita. Milikilah ketegasan dan prinsip sebagai pribadi yang berbahagia dengan dirinya sendiri. Sukses dan pencapaian adalah hak dan konsekuensi dari apa yang selama ini diperjuangkan. Apakah pasangan kita mau menjadi bagian dari sukses dan kegembiraan itu atau tidak, tolong jangan paksakan pilihannya.
Logika ini berlaku bagi semua gender secara universal ya... saya di sini tidak semata hanya membicarakan hubungan perempuan atas lelaki, tetapi juga hubungan lelaki atas perempuan. Jika yang pembaca alami adalah kebalikannya, ya tinggal dibalik saja letak perempuan-lelakinya. Logikanya sama.
Ingatlah selalu perihal fundamental karakter yang di awal artikel ini telah saya jelaskan panjang-lebar.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika pasangan kita terus-menerus tidak menghargai kita, betapapun suksesnya kita dalam membina rumahtangga di semua aspeknya? Ya sederhana saja, tanyakan baik-baik, apa dan bagaimana maunya dia selanjutnya. Sesederhana itu. Selebihnya urusan masing-masing ya, tidak perlu dibahas di artikel ini...
Apakah Pernikahan Memang Sedemikian Menakutkannya?
Seindah apapun pesta pernikahan kita... sehebat apapun calon pasangan kita... pernikahan tetaplah merupakan proses hidup yang baru dan menuntut semuanya yang serba baru dari dalam diri kita dan juga pasangan kita.
Dan oleh karenanya, saya tidak ragu mengatakan bahwa memang benar... pernikahan adalah sesuatu yang menakutkan. Tapi bukan berarti tidak kita coba untuk menjalaninya, apapun alasan dan motivasi kita dalam melangsungkan pernikahan tersebut. Apakah karena cinta mati, apakah karena birahi, apakah karena desakan orangtua atau tenggat waktu umur; prinsipnya sama. Pernikahan adalah menakutkan, namun bukan berarti tidak layak untuk dicoba untuk dijalani.
Untuk mengurangi betapa menakutkannya pernikahan itu, hanya satu hal yang harus kita tanggalkan sejak keputusan hari pernikahan ditetapkan, dan ini berlaku baik bagi perempuan maupun bagi lelaki, yaitu:
Tanggalkanlah seluruh ego, kebiasaan dan keinginan untuk dihargai oleh pasangan kita. Buang jauh-jauh ilusi jiwa tersebut, bersihkan hingga tuntas dari dalam pikiran dan jiwa kita.
Gantilah dan isilah pikiran dan jiwa kita dengan satu tujuan saja: fokus dengan upaya-upaya terbaik demi pencapaian tujuan bersama. Jangan pernah terganggu dengan apapun yang diberikan pasangan kepada kita, baik penghargaan maupun hinaan. Karena sejatinya pernikahan adalah upaya dan kerja keras, bukan leyeh-leyeh.
Belajarlah untuk selalu nyaman dengan diri kita sendiri, tanpa peduli apapun penilaian orang lain di luar sana, bahkan termasuk penilaian pasangan kita. Bukan berarti kita menjadi orang yang abai-kritik atau anti-kritik, namun tidak semua perkataan atau nasihat orang lain wajib kita telan mentah-mentah.
Ingat logika sederhananya. Tidak ada satupun orang lain yang wajib menghargai kita. Maka kita pun tidak wajib mendengarkan dan menelan mentah-mentah semua yang orang lain katakan atas diri kita, betapapun positifnya; apalagi jika negatif. Kita punya otoritas penuh atas diri kita, nasihat mana saja yang layak kita serapi ke alam bawah sadar, dan nasihat mana saja yang cukup kita terima secara diplomatis saja.
Karena ketika kita menolak realitas itu, yang menderita adalah kita sendiri. Lelaki hebat seharusnya bertemu dengan perempuan hebat, dan perempuan hebat biasanya kritis terhadap kita. Demikian juga sebaliknya. Itu sudah logika umum, dimana-mana seperti itu adanya yang terjadi. Jika kita hanya terfokus pada kekritisan pasangan kita, fokus pada tujuan utama kita akan terganggu dan kelak apa yang pasangan kita kritiskan atas diri kita menjadi benar-benar terjadi, yaitu kegagalan total.
Beberapa pernikahan dikaruniai keberuntungan karena bertemunya dua insan yang memang secara fundamental bisa saling menghargai dan saling mendukung satu sama lain; apapun yang terjadi, apapun hasilnya. Tapi seperti biasa dalam dunia statistik, kejadian seperti ini langka adanya. Kebanyakan perempuan yang jiwanya sedemikian penuh kasih dan kerendahan hati, biasanya sudah menjadi biarawati, ha ha ha...
Nah, artikel ini saya persembahkan bagi mereka yang tidak termasuk kedalam statistik indah tersebut.
Kesimpulan dan Penutup
Beberapa intisari dari artikel panjang ini adalah:
1. Berbahagialah dengan diri kita sendiri terlebih dahulu, barulah kita bisa membahagiakan orang lain di sekitar kita, termasuk pasangan kita.
2. Jika kita sudah berbahagia dengan diri sendiri namun tidak kunjung bisa membahagiakan pasangan kita, ya tidak perlu pusing dan galau juga. Karena siapapun itu, termasuk pasangan kita, tidak wajib menghargai kita; sehebat apapun diri kita. Karena bahkan Tuhan pun tidak bisa membuat semua orang di dunia ini menghargai kebesaran-Nya. Apalagi kita manusia biasa ini.
3. Bagaimana cara tercepat untuk berbahagia dengan diri sendiri? Satu saja: buanglah jauh-jauh keinginan untuk dihargai oleh orang lain; termasuk keinginan untuk dihargai oleh pasangan kita. Kebaikan & keluhuran apapun seyogianya kita jalankan karena motivasi akan tanggungjawab, bukan nafsu akan penghargaan.
4. Fokuslah dengan apa yang terbaik dalam diri kita. Fokuslah dengan apa yang bisa kita perbuat dengan kelebihan kita tersebut. Dengan fokus yang tepat, pelaksanaan poin 3 menjadi lebih gampang untuk dilakukan.
5. Selama seorang lelaki memiliki pengendalian diri yang prima dan paham sekali kekuatan sebuah diam; tidak perlu takut dengan pernikahan, dan tidak perlu takut dengan realitas perempuan yang tidak pernah merasa salah dan selalu benar. Hingga ada peribahasa dalam Bahasa Inggris seperti ini: If You're Wrong and You Shut Up, You Are Wise. If You're Right and You Shut Up, You Are Married.
6. Serapilah ini... Pernikahan adalah sebuah kesepakatan, bukan melulu urusan perasaan belaka. Pasangan kita memang sejak awal sudah ikut dengan gerbong kehidupan kita. Tapi jika setelah sukses ternyata pasangan kita memilih untuk pindah ke gerbong lain, lalu hal sebesar dan sehebat apa yang bisa menghentikannya atau membuatnya tetap berada di gerbong kehidupan kita? Tidak ada.
7. Sehingga kita pun harus berbesar hati jika pasangan kita memilih untuk tidak lagi segerbong dengan kita, jika realitasnya adalah gerbong kehidupan yang kita jalankan belum sampai pada sukses yang signifikan bagi standar pasangan kita. Ini sangat lumrah dan manusiawi. Sebab-sebabnya telah saya jelaskan panjang-lebar di seluruh bagian artikel ini.
8. Pernikahan memang menakutkan, namun bukan berarti tidak layak untuk dicoba. Cobalah, bukan coba-coba. Jika setelah mencoba ternyata gagal, tidak perlu berkecil hati berkepanjangan. Kegagalan dalam pernikahan bukanlah akhir dari segalanya. Jangan pernah berkumpul dengan orang-orang negatif yang mempermasalahkan kegagalan pernikahan seseorang secara terus-menerus; bahkan walaupun jika itu keluarga kita sendiri.
9. Lebih banyak mencoba, lebih banyak berbuat, dan lebih banyak bertahan dalam kesukaran dan pengabaian. Hanya itulah yang menjadikan kita semua manusia hebat. Bukan penghargaan. Karena di jaman serba edan ini, penghargaan pun bisa dibeli, bisa dikondisikan dan bisa diproduksi. Hanya satu hal yang tidak bisa dibeli, tidak bisa dikondisikan dan tidak bisa diproduksi: karakter kita. Ini berlaku di semua aspek kehidupan, termasuk pernikahan sekalipun.
Dalam norma sosial di manapun itu, antar-manusia tentu lumrahnya saling menghargai. Baik kepada yang kita kenal sebelumnya ataupun yang tidak kita kenal, saling menghargai merupakan fondasi yang penting agar kita dapat diterima dalam pergaulan seluas-luasnya. Setelah itu kita bisa mengharapkan sejumlah jalan terang bagi rejeki kita dari hubungan baik dengan orang-orang tersebut.
Realitas yang Sad But True
Ada satu kenyataan yang sebenarnya menyedihkan, namun itu benar adanya, dalam hubungan antar-manusia; apapun bentuk hubungannya, yaitu: semakin sering kita bertemu dengan seseorang, maka semakin rendahlah penghargaan kita terhadap orang tersebut; dan demikian juga sebaliknya dari orang tersebut kepada kita.
Gambar Ilustrasi: Istimewa |
Fakta ini bertambah pahit tatkala rumput tetangga yang lebih hijau tersebut memang pandai memoles dirinya dengan pencitraan tingkat tinggi, seolah-olah mereka memang benar-benar lebih hijau dari rumput tetangga yang lain.
Kekacauan yang lebih besar pun terjadi tatkala fakta tersebut yang kemudian ditambah dengan kepiawaian pemolesan, bertemu dengan persepsi orang-orang yang kurang berwawasan dan kurang berjiwa besar. Kurangnya wawasan dan kurangnya jiwa besar dalam melihat dan mempersepsikan indahnya rumput tetangga, adalah sumber masalah terbesar dalam hubungan antar-manusia. Ini sudah terjadi, dan akan terjadi terus.
Mengapa ini bisa terjadi? Ada dua sebab, yaitu:
- Perbedaan keluasan wawasan & tingkat kebesaran jiwa
- Manusia adalah makhluk inderawi / makhluk visual
Mereka yang telah beberapa kali menjalin hubungan dengan manusia lain dan mengalami kegagalan, tentunya memiliki referensi lebih banyak akan kekurangan atau keburukan perilaku manusia lain. Sehingga ketika mereka bertemu dengan pacar baru yang memang lebih baik dari pacar sebelumnya, penghargaan itu akan datang dengan sendirinya, tanpa harus dikondisikan apapun.
Inilah juga yang saya maksudkan dengan kebesaran jiwa, yaitu kesediaan yang muncul secara alamiah dari dalam diri seseorang untuk menghargai orang lain, demi tujuan-tujuan luhur yang lebih besar kedepannya.
Berikutnya, mengapa ini bisa terjadi? Hal kedua adalah karena manusia merupakan makhluk visual dan inderawi. Manusia mempersepsikan segalanya yang terjadi diluar diri mereka, berdasarkan panca-indera yang kemampuannya terbatas. Dalam hal ini yang terutama adalah indera visual atau pendengaran, yang biasanya merupakan gerbang pertama pembentukan persepsi atas apa yang terjadi diluar diri manusia tersebut.
Tidak semua manusia memiliki indera keenam (sixth sense), atau bahasa gaulnya cenayang, paranormal. Sehingga dengan segala keterbatasan panca-inderanya tersebut, dan juga dengan keterbatasan wawasan, pengalaman dan kebesaran jiwa mereka; mereka mempersepsikan apa yang terjadi diluar dirinya sebagai "rumput yang lebih hijau".
Inilah akar masalah yang sesungguhnya dalam hubungan antar-manusia, apapun bentuknya. Apakah hubungan pacaran, pernikahan, bisnis, rekan kerja atau atasan-bawahan; semuanya menginduk pada karakter yang sama.
Dalam konteks ini, saya bermaksud untuk membicarakan pernikahan. Supaya pembahasan kita lebih terfokus. Namun jangan kuatir, apa yang kita bicarakan di sini dalam konteks pernikahan, sesungguhnya juga sejalan & sebangun dengan apa yang terjadi di bentuk-bentuk hubungan lainnya.
Pernikahan: Apakah Benar Karena Harus Menghargai?
Pertanyaan saya tersebut memang kedengeran kasar dan gak enak di telinga ya... tapi percayalah, saya gak pernah bermaksud buat mendiskreditkan pernikahan dalam bentuk apapun. Pertanyaan ini sesungguhnya merupakan hasil refleksi dan pengamatan saya akan pernikahan-pernikahan yang telah dijalani oleh kawan-kawan saya dan kebetulan saya tahu sedikit mengenai perjalanan pernikahan mereka.
Satu kenyataan mendasar yang (se)harus(nya) kita anut, pahami, serapi dan jalankan adalah: di dalam aspek & bidang kehidupan apapun, seyogianya janganlah menjadikan penghargaan dari orang lain sebagai fokus dan tujuan utama kita. Itu adalah prinsip paling mendasar dalam hubungan apapun.
Karena sejatinya, bersamaan dengan munculnya penghargaan, melekat pula dua karakter alamiah yang inheren dan tak terpisahkan di dalam penghargaan tersebut:
1. Penghargaan dari orang lain atas diri kita adalah sebuah akibat, sebuah upah, sebuah efek samping; BUKAN fokus dan tujuan utama dari apapun yang kita kerjakan. Fokus dan tujuan utama kita adalah menjadi yang terbaik dan mengerjakan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya usaha dan kemampuan kita. Jika memang hasilnya berkenan bagi orang lain, penghargaan itu akan datang dengan sendirinya. Jika kurang berkenan, jadikanlah kritik bahkan hinaan dari orang lain sebagai pecut untuk berusaha lebih baik lagi kedepannya.
Ketika kita melepaskan penghargaan dari orang lain sebagai tujuan utama kita, kita akan menjadi pribadi yang lebih fokus pada hal-hal terbaik dalam diri kita. Kita tahu betul semua kelebihan dan kekurangan dalam diri kita, dan kita fokus dengan apa yang bisa kita kerjakan atau perbuat atas dasar kelebihan dan kekurangan kita tersebut. Sehingga ketika orang lain tidak menghargai apa yang telah kita perbuat pun, kita akan lebih bisa menerimanya dengan lapang dada sebagai sebuah realitas yang memang tidak dapat diubah.
Jangan lupa... Tuhan Yang Maha Kuasa saja tidak bisa membuat semua orang di dunia ini menyukai-Nya dan mempercayai-Nya. Apalagi kita sebagai manusia yang sarat dengan keterbatasan.
Ketika kita fokus pada keharusan orang lain untuk menghargai kita, maka kita akan kehilangan perspektif yang objektif, sehat dan netral atas diri kita sendiri. Ini tentu akan sangat menyiksa diri kita sendiri. Fokus kita hanyalah tentang bagaimana mendapatkan penghargaan dari orang lain dan menyenangkan orang lain. Ketika kita gagal lakukan itu, kita menjadi depresi dan membisikkan banyak hal negatif kedalam alam bawah sadar kita. Itu akan fatal sekali bagi perkembangan & kesehatan jiwa kita.
Logika yang sama terjadi di dunia pernikahan. Memang benar bahwa di dalam interaksi antar-manusia dalam bentuk apapun, kita seharusnya saling menghargai. Itu adalah norma sosial yang umum. Namun ketika kita berencana untuk menikah, jangan sekali-kali mengharapkan pasangan kita untuk menghargai kita terlebih dahulu, tanpa kita telah berbuat apapun terlebih dahulu baginya dan bagi rumah tangga.
Bahkan misalnya pun sebelum menikah kita adalah orang yang memiliki "sesuatu" misalnya harta berlimpah, perusahaan besar atau pangkat yang tinggi; jangan pernah jadikan itu sebagai "kewajiban di muka" bagi pasangan kita untuk terlebih dahulu menghargai kita, sebelum kita melakukan apapun atau menghasilkan apapun yang baru bagi hubungan itu dan pernikahan itu secara keseluruhan.
Apakah masa lalu kita buruk atau cemerlang, gunakanlah itu untuk bahan fondasi pernikahan kita. Bukan untuk terus-menerus dibawa-bawa dengan harapan pasangan kita akan menghargai kita semata karena masa lalu kita.
Bahkan misalnya pun masa lalu kita kelam atau buruk, itu sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai legitimasi bagi kita untuk menuntut pasangan kita agar selalu menghargai kita, tanpa kita terlebih dahulu berusaha untuk berbuat sesuatu yang positif bagi hubungan maupun pernikahan tersebut secara keseluruhan.
Pernikahan adalah proses hidup yang benar-benar baru. Jalanilah hari demi hari pernikahan itu sebagai sebuah lembaran baru. Berbuatlah sesuatu yang positif bagi pernikahan tersebut dan jangan pernah... jangan pernah... mengharapkan penghargaan dari pasangan kita. Pasangan kita menghargai, itu bonus. Tidak menghargai, ya sudah; jangan paksakan dia atau marah-marah kepadanya.
Karena apa? Orang-orang yang memang pada dasarnya senang menghargai orang lain dan memiliki sikap positif akan dirinya dan orang lain, akan menghargai siapapun juga secara otomatis; tanpa peduli sebesar apa yang orang lain kontribusikan terhadap dirinya.
Tapi jika memang pada dasarnya orang-orang tersebut tidak suka menghargai orang lain, lebih suka menghina atau menjatuhkan orang lain, lebih suka mengkerdilkan perbuatan baik orang lain; lalu bagaimana caranya kita bisa mengubahnya menjadi orang yang lebih positif dan lebih bisa menghargai kita?
Saya mendasari argumen ini berdasarkan karakter fundamental dari orang tersebut. Menikahi orang dengan karakter dan sikap positif, maka perjalanan hidup kita akan lebih ringan. Menikahi orang dengan karakter dan sikap negatif, hidup kita akan lebih berat; sehebat apapun yang telah kita lakukan dan kontribusikan bagi rumahtangga kita.
Sehingga dengan demikian, fokus pada apa yang terbaik yang bisa kita kontribusikan dan menjadikan penghargaan dari pasangan atau orang lain sebagai bonus semata; merupakan sebuah sikap yang tepat dan bisa meringankan banyak beban dalam jiwa kita. Perjalanan hidup kita sudah sedemikian rumit dan berat. Pernikahan itu sendiri menyimpan kompleksitas tersendiri. Sederhanakanlah kerumitan-kerumitan tersebut dengan membuang sejumlah persepsi yang tidak diperlukan lagi ada dan bertumbuh dalam pikiran dan jiwa kita.
2. Penghargaan datang dari persepsi panca-indera orang lain, dari persepsi berdasarkan wawasan orang lain, dan juga persepsi berdasarkan pengalaman orang lain. Kesemuanya akan berbeda-beda, dan ini sangatlah lumrah. Realitas ini harus kita terima dengan segenap kesadaran dan kebesaran jiwa.
Misalnya begini. Saya suka dengan dunia Racing Sport, terutama balap motor atau MotoGP. Tentunya saya tahu siapa-siapa saja pemain hebat di dunia MotoGP, sehingga saya bisa menghargai masing-masing pembalap berdasarkan proses yang telah mereka jalani dan pencapaian yang telah mereka raih; betapapun tidak semua dari mereka adalah juara dunia. Saya menyukai dunia MotoGP dan oleh karenanya saya tahu seluk-beluknya. Penghargaan itu akan otomatis datang dari orang-orang yang memang paham seluk-beluk yang kita jalani dan kita hasilkan.
Tetapi saya tidak suka sepakbola sama sekali. Saya tidak kenal dengan para pemainnya, para klub, atau para pelatihnya. Bagaimana saya punya referensi untuk menghargai atau tidak menghargai siapa-siapa yang ada di dunia sepakbola? Logis ya...
Nah, mayoritas orang di luar sana sering melakukan judgement atau penghakiman hanya berdasarkan sedikit hal yang mereka ketahui dari luar saja. Singkatnya, penilaian bukan didasarkan atas keseimbangan informasi positif dan informasi negatif, tetapi hanya berdasarkan sedikit informasi di kulit atau permukaan saja. Ini tentunya fatal dan tidak baik.
Logika yang sama pun terjadi di dunia pernikahan. Seperti yang telah saya uraikan sebelumnya, pasangan kita pun manusia biasa, bukan Tuhan yang Maha Tahu. Apapun yang dia persepsikan atas diri kita, selain bergantung dari persepsi panca-indera yang terbatas, juga bergantung dari wawasan & pengalaman yang dia miliki.
Ini sangatlah manusiawi dan lumrah adanya. Tidak ada yang dapat kita lakukan untuk mengubahnya secara alamiah. Bisa saja kita bergabung dengan organisasi-organisasi kerohanian yang khusus memenej kehidupan pernikahan anggota-anggotanya. Tapi sekali lagi, pernikahan adalah sesuatu yang personal, subjektif dan kondisional. Apa yang berhasil bagi orang lain, belum tentu berhasil bagi kita. Nasihat pernikahan yang berhasil di pasangan satu, bisa jadi merupakan petaka tersembunyi bagi pasangan lainnya, jika dilaksanakan tanpa penyesuaian-penyesuaian terlebih dahulu di tingkatan personal.
Karena keterbatasan panca-indera dan keterbatasan wawasan itulah, maka percuma saja jika kita berusaha keras agar dihargai oleh pasangan kita, jika pasangan kita tidak terlebih dahulu merasakan atau melihat kontribusi kita bagi hubungan itu dan pernikahan itu secara keseluruhan. Betapapun besarnya karya atau kontribusi kita bagi pernikahan tersebut, tapi jika memang kapasitas panca-indera dan kapasitas wawasan pasangan kita tidak memungkinkan dirinya bisa melihat jauh kedalam detail apa-apa saja yang telah kita perjuangkan bagi hubungan dan pernikahan ini; lalu siapa yang dapat mengubahnya? Sulit kan...
Kembali lagi ke fundamental karakter diri kita masing-masing. Orang-orang yang memang pada dasarnya bisa berpikir positif dan peka dengan apa yang ada pada diri orang lain, secara otomatis dengan sendirinya akan menghargai orang lain, betapapun bisa saja mereka sesungguhnya tidak atau belum merasakan kontribusi kita atas dirinya. Tetapi jika memang pada dasarnya orang-orang itu lebih suka berpikir negatif dan abai terhadap apa yang orang lain lakukan dan kontribusikan atas dirinya, maka apapun yang kita lakukan akan tidak berharga di matanya dan selalu "rumput tetangga lebih hijau".
Kesimpulannya adalah bahwa sebelum benar-benar menikah, kita harus benar-benar mengenali pasangan kita terlebih dahulu, khususnya bagaimana fundamental karakternya. Itu bisa kita kenali sejak awal pada kebanyakan kasus. Setiap perubahan karakter pasangan kita setelah pernikahan, mayoritas kasusnya sebenarnya sudah dapat dikenali dari sejak sebelum pernikahan. Hanya sedikit kasus dimana pasangan kita itu benar-benar berubah 180 derajat antara sebelum menikah dengan setelah menikah.
Saya sadar bahwa seperti apa yang saya katakan tadi, pernikahan adalah sesuatu yang personal, relatif, subjektif dan kondisional. Saya di sini sama sekali tidak bermaksud menghakimi siapapun. Ini adalah ringkasan dari apa yang selama ini saya dapati dari banyak cerita pernikahan yang saya ikuti di dunia nyata dari sejumlah kawan saya, ataupun orang lain yang tidak kenal namun membagikan pengalamannya.
Perspektif Gender: Lelaki atau Perempuan yang Bersikap Lebih Negatif?
Nah, inilah pertanyaan yang seru. Ahhh sudah terlalu banyak karya-karya grafis yang bereda di dunia maya, yang secara eksplisit menyuratkan bahwa "kaum perempuan selalu benar, terutama setelah menikah", ha ha ha... Marilah kita lihat dari sejumlah karya grafis di bawah ini, yang saya dapat dari dunia maya. (Catatan: karya grafis diambil dari Google dan sejumlah website / blog. Hak cipta seluruh karya grafis melekat pada pembuat karyanya).
Karya-karya grafis lucu ini diperkuat dengan sejumlah pameo, misalnya:
- Girls overthink, boys never think.
- Jika lelaki ingin mengubah dunia, lakukanlah sebelum menikah. Karena setelah menikah, lelaki terhebat pun tidak dapat mengubah saluran televisi di rumahnya.
- Perempuan di jalan raya pun tidak pernah salah. Jika ia memasang lampu tanda belok ke kiri, itu tandanya dia mau ke kanan, sehingga kita harus menyalipnya dari kiri.
Ah cukup deh tiga pameo itu aja ya, ha ha ha... Saya tidak ingin terlihat seksis dan mendiskreditkan kaum perempuan. Bukanlah itu tujuan saya menulis artikel panjang-lebar ini. Lebih tepatnya, artikel ini adalah untuk kaum lelaki, agar lebih piawai menyikapi kebenaran abadi ini dengan pemahaman dan sikap yang tepat.
Dan sebelum melanjutkan, saya tegaskan bahwa saya juga banyak melihat kaum lelaki yang merasa selalu benar dan tidak pernah salah, dan perempuan selalu salah. Namun jujur saja, statistiknya lebih banyak perempuan yang bersikap seperti itu, ketimbang kaum lelaki.
Secara alamiah, mayoritas perempuan memang sulit mengalah dan merasa selalu benar, tidak pernah salah. Para lelaki tidak perlu berkecil hati, karena bahkan antara sesama perempuan pun, mereka tidak pernah merasa bersalah dan pasti selalu benar. Logikanya sederhana saja. Jika antar sesama perempuan saja sudah saling merasa selalu benar, apalagi halnya dalam hubungan perempuan dengan lelaki. Yang paling menyedihkan, kaum perempuan sendiri seringkali tidak mengerti mengapa mereka bisa menjadi seperti itu. Pada akhirnya hanya bisa menyalahkan "emang dari sononya begitu, ya loe terima aja", dan pada akhirnya lelaki lagi ya salah, ha ha ha ha ha...
Ini adalah realitas, dan saya tidak pernah bermaksud mendiskreditkan kaum perempuan dengan artikel ini. Justru ini adalah saat yang tepat bagi kaum perempuan untuk lebih banyak melihat diri mereka sendiri sebagai makhluk yang mulia dan bermartabat, bukan makhluk yang bisanya hanya merasa benar sendiri dan tidak pernah bersalah di hadapan manusia lainnya, tidak peduli itu sesama perempuan atau lelaki. Kemuliaan dan martabat dibangun diatas karakter, kerendahan hati dan kasih; bukan sikap congkak dimana dirinya tidak pernah salah dan selalu benar.
Jadi ya para lelaki diharapkan menyadari realitas ini sedari awal mereka berpacaran dengan kaum perempuan. Di jaman dulu sebelum ada Internet dan Social Media, wajar saja jika banyak kaum lelaki yang kaget dengan realitas ini setelah mereka menjalani pernikahan. Namun dengan kecanggihan Internet dan Social Media di jaman sekarang, alangkah bodohnya mereka yang masih tidak menyadari realitas ini. Karya-karya grafis lucu diatas sudah sebegitu menyuratkan realitas ini lewat cara yang jenaka. Tinggal kita nikmati saja...
Mengapa realitas ini harus disadari sedari awal oleh kaum lelaki? Selain agar para lelaki tidak kaget merasakan pacarnya berubah 180 derajat menjadi monster setelah menikah, juga agar para kaum lelaki sesegera mungkin membuang jauh-jauh ekspektasi mereka untuk tetap dihargai oleh pasangannya dalam pernikahan yang mereka jalani.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa kita tidak perlu saling menghargai. Maksud saya adalah janganlah sampai mereka yang memutuskan untuk menikah, dari awal sudah berekspektasi akan dihargai secara otomatis oleh pasangannya.
Karena bahkan ketika kita seorang Superman pun, fokus utama kita seharusnya adalah menjadi yang terbaik dari diri kita, bukan "fakir penghargaan orang lain". Apalagi jika kita tergolong sebagai manusia biasa yang masih sarat dengan kesalahan dan janji-janji yang belum terpenuhi. Sudah otomatis memalukan adanya jika kita mengharapkan penghargaan dari pasangan kita sebagai fokus dan tujuan utama pernikahan yang dijalani.
Jika kita bisa mendapatkan teman hidup yang perilaku dan sikapnya positif dan mudah menghargai orang lain, termasuk pasangannya yang sarat dengan kekurangan; genggamlah ia erat-erat dan jangan sampai lepas ke tangan orang lain. Karena spesies seperti itu langka adanya, ha ha ha...
Mutiara kehidupan paling berharga adalah ketika kita menemukan perempuan yang penuh kasih dan kerendahan hati. Semoga semakin banyak kaum perempuan yang tertarik untuk menjadi mutiara kehidupan tersebut. Dan semoga siapapun yang memiliki anak perempuan, bisa membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih dan kerendahan hati, demi menjadikan anak-anaknya mutiara kehidupan bagi orang lain.
Membangun Konsep Kedirian yang Tepat
Lelaki-lelaki hebat adalah mereka yang bisa tetap fokus dengan berbagai kelebihan dalam dirinya dan menggunakannya untuk pencapaian tujuan yang lebih besar; tanpa pernah peduli apakah upaya dan hasil mereka tersebut dihargai atau tidak dihargai oleh pasangannya atau oleh orang lain. Inilah konsep kedirian yang tepat, yang sedari tadi saya bicarakan panjang-lebar. Dan sesungguhnya pun ini berlaku bagi kaum perempuan, yang memang tertarik dengan sikap dan perilaku seperti itu. Bukan hanya lelaki saja.
Saya benar-benar hanya ingin mengajak kaum lelaki (atau kaum perempuan juga) agar lebih fokus pada kelebihan-kelebihan dirinya, dan menggunakan itu semua secara terfokus demi pencapaian tujuan hidup yang lebih luhur; tanpa perlu merasa terganggu dengan rendahnya penghargaan pasangannya terhadap dirinya.
Jika semua upaya itu belum membuahkan hasil dan pasangan kita tidak menghargai, ya wajar saja toh. Namanya hasilnya belum ada, dan pasangan kita pun kan tidak tahu proses perjuangan kita, karena keterbatasan panca-indera dan keterbatasan informasi dalam benaknya.
Tapi jika kita sudah mulai menuai keberhasilan dari perjuangan tersebut dan pasangan kita tetap tidak menghargainya, lalu kenapa kita tetap pusing dengan hal itu? Toh tujuan utama kita adalah pencapaian tujuan yang lebih besar, bukan semata penghargaan dari pasangan kita. Milikilah ketegasan dan prinsip sebagai pribadi yang berbahagia dengan dirinya sendiri. Sukses dan pencapaian adalah hak dan konsekuensi dari apa yang selama ini diperjuangkan. Apakah pasangan kita mau menjadi bagian dari sukses dan kegembiraan itu atau tidak, tolong jangan paksakan pilihannya.
Logika ini berlaku bagi semua gender secara universal ya... saya di sini tidak semata hanya membicarakan hubungan perempuan atas lelaki, tetapi juga hubungan lelaki atas perempuan. Jika yang pembaca alami adalah kebalikannya, ya tinggal dibalik saja letak perempuan-lelakinya. Logikanya sama.
Ingatlah selalu perihal fundamental karakter yang di awal artikel ini telah saya jelaskan panjang-lebar.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika pasangan kita terus-menerus tidak menghargai kita, betapapun suksesnya kita dalam membina rumahtangga di semua aspeknya? Ya sederhana saja, tanyakan baik-baik, apa dan bagaimana maunya dia selanjutnya. Sesederhana itu. Selebihnya urusan masing-masing ya, tidak perlu dibahas di artikel ini...
Apakah Pernikahan Memang Sedemikian Menakutkannya?
Seindah apapun pesta pernikahan kita... sehebat apapun calon pasangan kita... pernikahan tetaplah merupakan proses hidup yang baru dan menuntut semuanya yang serba baru dari dalam diri kita dan juga pasangan kita.
Dan oleh karenanya, saya tidak ragu mengatakan bahwa memang benar... pernikahan adalah sesuatu yang menakutkan. Tapi bukan berarti tidak kita coba untuk menjalaninya, apapun alasan dan motivasi kita dalam melangsungkan pernikahan tersebut. Apakah karena cinta mati, apakah karena birahi, apakah karena desakan orangtua atau tenggat waktu umur; prinsipnya sama. Pernikahan adalah menakutkan, namun bukan berarti tidak layak untuk dicoba untuk dijalani.
Untuk mengurangi betapa menakutkannya pernikahan itu, hanya satu hal yang harus kita tanggalkan sejak keputusan hari pernikahan ditetapkan, dan ini berlaku baik bagi perempuan maupun bagi lelaki, yaitu:
Tanggalkanlah seluruh ego, kebiasaan dan keinginan untuk dihargai oleh pasangan kita. Buang jauh-jauh ilusi jiwa tersebut, bersihkan hingga tuntas dari dalam pikiran dan jiwa kita.
Gantilah dan isilah pikiran dan jiwa kita dengan satu tujuan saja: fokus dengan upaya-upaya terbaik demi pencapaian tujuan bersama. Jangan pernah terganggu dengan apapun yang diberikan pasangan kepada kita, baik penghargaan maupun hinaan. Karena sejatinya pernikahan adalah upaya dan kerja keras, bukan leyeh-leyeh.
Belajarlah untuk selalu nyaman dengan diri kita sendiri, tanpa peduli apapun penilaian orang lain di luar sana, bahkan termasuk penilaian pasangan kita. Bukan berarti kita menjadi orang yang abai-kritik atau anti-kritik, namun tidak semua perkataan atau nasihat orang lain wajib kita telan mentah-mentah.
Ingat logika sederhananya. Tidak ada satupun orang lain yang wajib menghargai kita. Maka kita pun tidak wajib mendengarkan dan menelan mentah-mentah semua yang orang lain katakan atas diri kita, betapapun positifnya; apalagi jika negatif. Kita punya otoritas penuh atas diri kita, nasihat mana saja yang layak kita serapi ke alam bawah sadar, dan nasihat mana saja yang cukup kita terima secara diplomatis saja.
Karena ketika kita menolak realitas itu, yang menderita adalah kita sendiri. Lelaki hebat seharusnya bertemu dengan perempuan hebat, dan perempuan hebat biasanya kritis terhadap kita. Demikian juga sebaliknya. Itu sudah logika umum, dimana-mana seperti itu adanya yang terjadi. Jika kita hanya terfokus pada kekritisan pasangan kita, fokus pada tujuan utama kita akan terganggu dan kelak apa yang pasangan kita kritiskan atas diri kita menjadi benar-benar terjadi, yaitu kegagalan total.
Beberapa pernikahan dikaruniai keberuntungan karena bertemunya dua insan yang memang secara fundamental bisa saling menghargai dan saling mendukung satu sama lain; apapun yang terjadi, apapun hasilnya. Tapi seperti biasa dalam dunia statistik, kejadian seperti ini langka adanya. Kebanyakan perempuan yang jiwanya sedemikian penuh kasih dan kerendahan hati, biasanya sudah menjadi biarawati, ha ha ha...
Nah, artikel ini saya persembahkan bagi mereka yang tidak termasuk kedalam statistik indah tersebut.
Kesimpulan dan Penutup
Beberapa intisari dari artikel panjang ini adalah:
1. Berbahagialah dengan diri kita sendiri terlebih dahulu, barulah kita bisa membahagiakan orang lain di sekitar kita, termasuk pasangan kita.
2. Jika kita sudah berbahagia dengan diri sendiri namun tidak kunjung bisa membahagiakan pasangan kita, ya tidak perlu pusing dan galau juga. Karena siapapun itu, termasuk pasangan kita, tidak wajib menghargai kita; sehebat apapun diri kita. Karena bahkan Tuhan pun tidak bisa membuat semua orang di dunia ini menghargai kebesaran-Nya. Apalagi kita manusia biasa ini.
3. Bagaimana cara tercepat untuk berbahagia dengan diri sendiri? Satu saja: buanglah jauh-jauh keinginan untuk dihargai oleh orang lain; termasuk keinginan untuk dihargai oleh pasangan kita. Kebaikan & keluhuran apapun seyogianya kita jalankan karena motivasi akan tanggungjawab, bukan nafsu akan penghargaan.
4. Fokuslah dengan apa yang terbaik dalam diri kita. Fokuslah dengan apa yang bisa kita perbuat dengan kelebihan kita tersebut. Dengan fokus yang tepat, pelaksanaan poin 3 menjadi lebih gampang untuk dilakukan.
5. Selama seorang lelaki memiliki pengendalian diri yang prima dan paham sekali kekuatan sebuah diam; tidak perlu takut dengan pernikahan, dan tidak perlu takut dengan realitas perempuan yang tidak pernah merasa salah dan selalu benar. Hingga ada peribahasa dalam Bahasa Inggris seperti ini: If You're Wrong and You Shut Up, You Are Wise. If You're Right and You Shut Up, You Are Married.
6. Serapilah ini... Pernikahan adalah sebuah kesepakatan, bukan melulu urusan perasaan belaka. Pasangan kita memang sejak awal sudah ikut dengan gerbong kehidupan kita. Tapi jika setelah sukses ternyata pasangan kita memilih untuk pindah ke gerbong lain, lalu hal sebesar dan sehebat apa yang bisa menghentikannya atau membuatnya tetap berada di gerbong kehidupan kita? Tidak ada.
7. Sehingga kita pun harus berbesar hati jika pasangan kita memilih untuk tidak lagi segerbong dengan kita, jika realitasnya adalah gerbong kehidupan yang kita jalankan belum sampai pada sukses yang signifikan bagi standar pasangan kita. Ini sangat lumrah dan manusiawi. Sebab-sebabnya telah saya jelaskan panjang-lebar di seluruh bagian artikel ini.
8. Pernikahan memang menakutkan, namun bukan berarti tidak layak untuk dicoba. Cobalah, bukan coba-coba. Jika setelah mencoba ternyata gagal, tidak perlu berkecil hati berkepanjangan. Kegagalan dalam pernikahan bukanlah akhir dari segalanya. Jangan pernah berkumpul dengan orang-orang negatif yang mempermasalahkan kegagalan pernikahan seseorang secara terus-menerus; bahkan walaupun jika itu keluarga kita sendiri.
9. Lebih banyak mencoba, lebih banyak berbuat, dan lebih banyak bertahan dalam kesukaran dan pengabaian. Hanya itulah yang menjadikan kita semua manusia hebat. Bukan penghargaan. Karena di jaman serba edan ini, penghargaan pun bisa dibeli, bisa dikondisikan dan bisa diproduksi. Hanya satu hal yang tidak bisa dibeli, tidak bisa dikondisikan dan tidak bisa diproduksi: karakter kita. Ini berlaku di semua aspek kehidupan, termasuk pernikahan sekalipun.
0 Response to "Apakah Penghargaan Merupakan Tujuan Utama Pernikahan?"
Post a Comment