Papandayan: Kebersamaan Terbaik (Bag. 3 - Selesai)

Mengapa saya memilih Gunung Papandayan, telah saya jelaskan alasannya di artikel Bagian 1. Tapi sebenarnya ada satu penyebab lagi yang belum saya jelaskan, kenapa Gunung Papandayan ini selalu menarik bagi saya, yaitu: karena kita bisa bertemu dengan banyak pendaki lain.

Walaupun buat saya tidak masalah untuk mendaki gunung sendirian sekalipun, tapi bertemu dengan pendaki lain yang sama-sama menuju ke tujuan yang sama, tentunya akan lebih menyenangkan batin kita. Bahkan dalam banyak kesempatan, sesama pendaki bisa saling membantu jika ada pendaki lainnya yang mengalami kesulitan. Apalagi saya membawa keluarga, faktor ini saya perhitungkan sekali.

Di tulisan bagian terakhir ini saya hanya ingin menceritakan satu-dua orang saja, namanya Kang Asep. Dia adalah seorang pendaki baik hati yang secara tidak sengaja kami temukan dalam perjalanan bersama menuju kamp perkemahan Gunung Papandayan. Karena Kang Asep-lah, maka pendakian kami ini menjadi sempurna terlaksana.

Sudah banyak sekali artikel-artikel yang membahas keindahan Gunung Papandayan, dan oleh karenanya saya tidak akan kembali membahasnya. Selain itu membahas keindahan, terutama dengan foto-foto yang cantik, di Indonesia ini kadang menjadi backfire atau bumerang: lokasi yang dipromosikan menjadi ramai dikunjungi wisatawan awam dengan sikap mental yang jelek, dan pada akhirnya alamnya menjadi rusak atau banyak sampah. Sudah sejak lama saya bertekad untuk tidak terlalu ember / gacor dalam menceritakan keindahan sebuah tempat yang kami kunjungi, untungnya istri saya pun sepakat. Karena kita tahu lah ya kualitas mayoritas penduduk Indonesia, yang jagonya cuma bisa merusak keindahan alam saja.

Oke, balik lagi ke Kang Asep. Ketika kami mendaki di waktu-waktu awal, sebenarnya kami agak kewalahan karena memang keberangkatan kami dari Bogor pun sudah terbilang telat. Rencana berangkat dari Bogor jam 5 pagi, kami targetkan sebelum jam makan siang sudah sampai pos pendakian Gunung Papandayan, untuk kemudian sebelum gelap sudah bisa mendirikan tenda.

Karena banyaknya dan mendadaknya persiapan keberangkatan yang harus kami lakukan malam sebelumnya, tak ayal membuat kami pun terlambat berangkatnya, yaitu sekitar jam 10 pagi baru berangkat dari Bogor. Saya yang semalamnya kurang istirahat pun memaksakan diri dengan kopi hitam khas Bogor, Liong Bulan, untuk menyetir lewat tol berkecepatan penuh, demi mengejar target sampai di pos pendakian Gunung Papandayan agar tidak terlalu sore.

Singkat kata, akhirnya kami sampai ke pos pendakian, sekitar jam 14an sore. Setelah persiapan logistik, makan siang dulu dan melakukan beberapa hal lain, finalnya kami memulai pendakian sekitar jam 15an kurang. Pada awal-awal pendakian sebenarnya saya dan istri saya sudah mendapati bahwa kami sudah tidak muda lagi, ha ha ha... Pendakian awal berjalan lambat, apalagi saya terbilang sangat kurang beristirahat malam sebelumnya, ditambah kelelahan setelah menyetir cukup jauh dari Bogor ke Garut.

Masalah bertambah ketika anak bungsu kami yang ketika itu baru berumur 3 tahun lebih, merasa bosan berjalan lama-lama selama pendakian. Alhasil saya harus menggendongnya dengan tangan, bersama ransel gunung besar yang ada di punggung saya, untuk berjalan mendaki tanah terjal.

Para pendaki lain menyemangati kami, dan kami pun tersenyum-senyum saja. Ketika kami beristirahat pada satu batu besar, ada sekawanan pendaki yang kelihatannya sudah sering mendaki Gunung Papandayan, melewati kami dan tersenyum ramah. Melihat kami kepayahan terutama saya yang harus menggendong si cilik, salah satu dari kawanan pendaki tersebut memanggil nama seseorang yang masih ada di lintasan bawah. Nama yang mereka panggil: Kang Asep. Intinya mereka meminta Kang Asep membantu kami untuk mendaki hingga ke dataran perkemahan. Kang Asep dengan ramahnya menghampiri kami, dan dengan segera ia melihat bahwa yang harus terutama diperhatikan olehnya adalah si cilik.

Setelah kami bujuk si cilik agar mau digendong oleh orang asing, akhirnya si cilik mengiyakan proposal kami. Kang Asep pun dengan fasih dan gesitnya sambil menggendong si cilik, berjalan cepat menuju bagian atas gunung. Padahal di punggung Kang Asep ada juga ransel gunung berukuran besar. Sebagai seorang pendaki gunung sejati, kami tidak melihat adanya keberatan atau kesulitan Kang Asep untuk mengemban pertolongan bagi kami tersebut. Kang Asep mendaki gunung berdua bersama satu orang kawannya (lupa namanya).

Satu hal yang tak akan terlupakan seumur hidup kami, ini adalah pendakian paling indah sepanjang "karier" saya sebagai pendaki gunung. Selain karena pendakian ini pertama kalinya dilakukan bersama keluarga saya, juga karena kami berjalan di bawah taburan bintang di langit cerah tanpa awan sama sekali, dan terangnya sinar bulan purnama, sehingga kami tidak perlu menyalakan senter terus-menerus. Karena kami berjalan cukup santai, maka pendakian tersebut berlangsung hingga malam hari. Singkat kata, langit Papandayan di malam itu sungguh sempurna tanpa cacat.

Malam sekitar jam 20an, kami sampai di dataran perkemahan tempat ratusan pendaki lain sudah mendirikan tendanya. Dengan bantuan Kang Asep, kami bisa mendirikan tenda kubah dalam waktu singkat di titik yang cukup nyaman. Si cilik tentu saja yang paling pertama harus beristirahat, karena sepanjang perjalanan tadi cukup rewel karena kelelahan, walaupun sudah terus digendong oleh Kang Asep. Si cilik pun langsung pulas.


Sementara kami masih berasik-ria membuat api unggun dan membakar sejumlah makanan, kami mendapati bahwa suasana dataran perkemahan di Gunung Papandayan ini sudah jauh lebih hidup ketimbang dulu tahun 1994 pertama kalinya saya mendaki gunung ini. Sudah banyak warung makan di sekitar sini. Memang bukan warung makan yang menyediakan makanan berat lengkap, tapi minimal sekali mie instan dan beberapa jenis gorengan plus belasan jenis minuman, lengkap ada di sini. Sehingga sebenarnya kalaupun ada sejumlah logistik yang lupa kita bawa, kita masih bisa memperolehnya di warung-warung sekitar sini.

Dan lagi-lagi saya merasa sudah banyak menua... walaupun menggunakan jaket tebal, saya tetap merasa amat kedinginan. Kami pun mulai tidur. Tengah malam sekitar jam 03an saya dan anak sulung saya terbangun karena menggigil kedinginan, walaupun sudah menggunakan kantung tidur tebal. Akhirnya saya ajak si sulung keluar tenda untuk memotret taburan bintang di langit dengan teknik Long Exposure. Kamera yang saat itu kami bawa, sayangnya, kurang gahar untuk melakukan astrofotografi. Kami hanya berusaha sebisanya saja. Walaupun hasil astrofotografinya sedikit mengecewakan, namun itu tidak mengurangi keasikan kami berdua untuk melakukan stargazing (sambil gemeretak menggigil).

Setelah puas kami pun kembali tidur. Sempat lewat dua orang penjaga malam yang mengingatkan kami dan semua pendaki untuk merapikan bawaan ke dalam tenda, karena suka ada celeng (babi hutan) yang lewat dan mencari makanan di sekitar tenda-tenda. Kalo pas bawa bedil sih enak ya kelewatan babi hutan, tinggal tembak terus dipanggang, ha ha ha... tapi karena tidak bersenjata, ketemu sama babi hutan yang kelaparan saja bisa jadi mimpi buruk bagi para pendaki.

Pagi pun tiba menjelang, dan keindahan matahari terbit di sana sungguh memuaskan mata kami semua. Selain bercengekerama dengan sejumlah pendaki lain, kami juga mengobrol cukup intens dengan Kang Asep. Ternyata dia adalah guru di sebuah Sekolah Dasar di Garut. Maka dari itu tidak mengherankan jika Kang Asep tampak sangat terbiasa dengan anak-anak kecil, dan si cilik pun nyaman bersama Kang Asep. Padahal biasanya si cilik cukup sulit untuk berdekatan apalagi digendong oleh orang asing. Di dataran perkemahan saat pagi hari pun akhirnya kami bisa melihat dengan jelas, cukup banyak keluarga pendaki lain yang juga membawa anak kecil.

Kami sendiri bukan tipe orangtua yang bisa langsung dengan mudahnya percaya kepada orang lain untuk bersentuhan dengan anak-anak kami. Maka dari itu hingga saat ini kami tidak menggunakan jasa pembantu atau pengasuh anak. Namun dengan Kang Asep, intuisi kami langsung percaya padanya. Dari beberapa cerita Kang Asep, ada sejumlah pendakian yang juga melibatkan keluarga yang membawa anak kecil, dan Kang Asep dapat menanganinya dengan baik.

Selain itu Kang Asep memang secara teratur, seminggu sekali atau dua minggu sekali di akhir pekan, mendaki Gunung Papandayan. Ya sekedar mendaki saja sebagai hobi, selama tahunan. Maka dari itu dia begitu fasih dengan seluruh medan di situ. Pengetahuannya itu banyak membantu perjalanan kami sehingga lebih nyaman dan percaya diri di atas sana. Maklum, terakhir saya mendaki Gunung Papandayan adalah tahun 1994, jelas saya sudah banyak lupa dengan trek-trek di situ. Antara mendaki gunung seorang diri disaat darah muda deras mengalir, dengan mendaki gunung bersama keluarga disaat darah tua deras mengalir, jelas merupakan dua hal berbeda, ha ha ha... Sekarang saya lebih safety-minded tentunya.

Setelah puas dengan keindahan Hutan Mati dan sekitarnya yang legendaris, Kang Asep pun kembali membantu kami untuk menuruni gunung lewat jalan pintas yang lebih terjal, dengan tetap berdedikasi menggendong si cilik. Tidak ada kesulitan berarti hingga kami sampai di bawah, dan di sebuah pondokan makan pun kami berpisah dengan Kang Asep bersama kawannya setelah kami memberikan sejumlah kadeudeuh (Basa Sunda) atau "uang lelah". Sebenarnya Kang Asep tidak mematok tarif, namun kami memberikan nominal tersebut berdasarkan kepantasan saja. Betapa dia sudah teramat membantu kami.

Kami hanya membayangkan jika tanpa Kang Asep, saya yang harus menggendong sendiri si cilik sampai tempat perkemahan, bisa-bisa saya pingsan sampai di atas, ha ha ha...

Kang Asep mengatakan bahwa jika komunikasi sebelum pendakian sudah terjalin, tentunya persiapan akan lebih matang, dan Kang Asep bisa saja membawa kawannya yang lain untuk menjadi pembawa logistik atau penunjuk jalan di Gunung Papandayan. Apalagi cukup banyak peralatan pendakian gunung berukuran besar dan berat yang bisa disewa on the spot sebelum pendakian (di tempat parkir), misalnya dari mulai tenda kubah, kantung tidur, kompor dan masih banyak lagi. Kemudahan ini tentunya sangat berarti bagi saya yang membawa keluarga.

Saya tidak ragu untuk merekomendasikan tenaga, keahlian dan pengalaman Kang Asep bagi para pembaca yang ingin mendaki Gunung Papandayan dengan aman & nyaman. Silakan hubungi Kang Asep di nomor telepon genggamnya di +62 856 5960 9314. Terakhir saya tahu, Kang Asep masih aktif WhatsApp-nya di nomor tersebut. Satu pesan saya, bersopan-santun dan berbudi-baiklah dengan Kang Asep, karena pribadinya yang tulus dan sangat helpful. Walaupun Kang Asep bukan tipe orang yang komersil, jangan kita pelit kepadanya. Hargailah jasanya sesuai dengan kepantasan.

Singkat kata, setelah melalui berbagai perjalanan bersama keluarga besar saya, saya merasa bahwa petualangan kami ke Gunung Papandayan ini adalah yang paling berkesan, paling memorable. Alasannya telah saya jelaskan di artikel-artikel sebelumnya.

Para pembaca bisa saja merancang perjalanan atau petualangan bersama keluarga Anda ke mana saja, soal detailnya tidak saya permasalahkan. Big Picture dari pembicaraan panjang-lebar saya soal Gunung Papandayan ini adalah hanya satu: waktu berkualitas tinggi bersama keluarga inti. Sesibuk apapun kita sebagai orangtua, jangan sampai lupa bahwa anak-anak kita terus bertumbuh. Kita tidak pernah tahu kapan lagi kita bisa bepergian bersama mereka dengan kesan mendalam.

Manfaatkanlah waktu luang yang tersedia, sesuaikan dengan kondisi anggaran kita. Kita tidak pernah tahu isi hati & pikiran anak-anak kita. Bisa jadi perjalanan yang paling berkesan di sanubarinya adalah justru perjalanan yang paling dekat, paling remeh; namun dia menilai perjalanan tersebut sebagai yang paling memorable. Jadi, yang terpenting adalah kebersamaannya.

Satu pesan terakhir saya, tinggalkanlah semua urusan kantor atau bisnis kita di belakang, ketika kita berlibur serius bersama keluarga. Terkadang saya lebih suka pendakian ke gunung, justru karena saya tidak akan mendapatkan sinyal telepon genggam di atas sana. Jadi saya akan terkondisikan untuk melupakan sejenak semua urusan perkotaan, dan fokus pada keceriaan pasangan dan anak-anak kita.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Papandayan: Kebersamaan Terbaik (Bag. 3 - Selesai)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel