Kemelekatan & Fanatisme: Sumber Penderitaan

Jika kita berbicara tentang sumber-sumber dan penyebab penderitaan, sebenarnya itu akan menjadi diskusi panjang-lebar-dalam yang tidak bertepi. Variabel dan aspeknya banyak sekali. Maka dari itu saya hanya akan fokus pada satu-dua hal saja, yaitu kemelekatan & fanatisme. Secara garis besar, keduanya menginduk pada konsep yang sama, yaitu keengganan untuk melepaskan diri dari cengkeraman atau kecintaan berlebihan akan suatu hal.

Boleh dikatakan, saya merasa beruntung & merasa terberkati. Bukan secara materi pastinya. Saya mensyukuri kemampuan saya untuk tidak melekatkan diri saya pada suatu hal pun dan atau pada siapapun. Dalam artikel kali ini khususnya dari segi makanan.

Sedari kecil, ibu saya memiliki kebiasaan memasak suatu masakan atau lauk dalam jumlah banyak, untuk disantap selama beberapa hari kedepan. Ketika itu ibu saya berjuang bersama almarhum ayah saya untuk mencari nafkah, demi penghidupan yang baik untuk anak-anaknya. Walaupun menggunakan jasa Asisten Rumah Tangga, namun dalam hal memasak makanan, ibu saya selalu menanganinya sendiri karena lidah ayah saya yang sudah cocok dengan karakter rasa masakan ibu saya.

Alhasil, strategi ibu saya adalah dengan memasak suatu lauk dalam jumlah banyak, agar di hari esok atau lusanya kita semua hanya tinggal menghangatkan saja, tidak perlu memasak lauk baru. Tinggal tambahkan nasi, beres. Hal ini berlangsung terus hingga saya menikah dan meninggalkan rumah tempat kelahiran saya.

Dipandang dari sudut pandang kesehatan, tentu saja yang dilakukan oleh ibu saya tersebut sesungguhnya kurang higienis. Sejumlah lauk tidak dianjurkan untuk dipanaskan lebih dari dua kali. Bahkan ada sejumlah lauk dari sayuran tertentu yang harus habis saat itu juga. Dibesokkan tidak dianjurkan, apalagi dipanaskan, malah bisa menjadi toksin (racun) jinak. Namun dalam artikel ini, saya tidak bermaksud membicarakan hal itu, melainkan dari sisi kemelekatan lidah saya akan makanan.

Setelah saya menikah, satu hal yang saya sendiri (dan istri saya) sangat syukuri adalah kemampuan saya untuk beradaptasi dengan semua ragam makanan dan satu jenis masakan saja, selama beberapa hari tanpa merasa bosan. Perihal beradaptasi dengan semua ragam makanan, almarhum ayah saya yang sangat menekankannya dan menanamkannya pada anak-anaknya. Tapi perihal lidah saya yang tahan menyantap lauk yang sama berhari-hari, itu adalah berkat metode memasak ibu saya; yang akhirnya menjadikan saya suami dan pria yang tidak rewel sama sekali terhadap kondisi logistik makanan di rumah dan di manapun saya berada (ciehhh...).

Apapun makanan yang terhidang di meja makan, akan saya makan tanpa banyak tanya atau mengeluh. Makanan salah masak, kue gosong atau bantat, atau apapun yang menurut orang lain rasanya tidak berkenan, saya santap saja. Misi saya hanya satu: menghabiskan makanan itu. Tidak semua orang seberuntung saya bisa makan hingga kenyang. Saya memang tidak selalu berdoa sebelum makan. Tapi rasa syukur saya terhadap makanan itu saya tuangkan dalam perbuatan nyata dengan menghabiskannya tanpa banyak bertanya dan mengeluh.

Selalu latih dan didiklah perut dan lidah kita, agar mereka sanggup beradaptasi dengan kondisi kehidupan kita di dunia yang penuh dengan kesukaran ini. Jangan sampai kehidupan kita yang dikendalikan oleh perut dan lidah kita yang inginnya hanya santapan enak-enak saja atau hanya yang sesuai dengan selera saja. Jika kita biarkan perut dan lidah kita mengendalikan hidup kita, disaat-saat naas & kemalangan hidup ini datang menghampiri kita, kita sendirilah yang akan menanggung kesukaran besar karenanya.

Jadilah pribadi yang disyukuri oleh pasangan kita, karena kita tidak rewel lidahnya. Jadilah pembawa nama baik orangtua kita, yang telah berhasil mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng terhadap apapun kondisi makanan yang menopang hidup kita sehari-hari.

Saya bisa hidup nyaman tanpa harus menyantap nasi, yang penting sama-sama sumber karbohidrat. Saya bisa saja hanya menyantap jagung, kentang, ubi atau singkong selama berhari-hari. Saya pun bersyukur tidak menjadi orang yang fanatik terhadap daging atau sayur. Saya bisa makan sayur terus tanpa merindukan daging, dan juga sebaliknya. Tapi jika diminta memilih, saya jauh lebih suka sayuran dan buah daripada daging. Saya tidak masalah makan dengan tahu, tempe dan sayuran mentah dalam waktu sangat lama terus-menerus; tanpa merasa nelongso atau menderita.

Ketidak-melekatan saya akan kebutuhan lidah & perut itulah, yang pada akhirnya sangat memudahkan kehidupan saya di manapun saya berada. Pada akhirnya, keberadaan saya pun tidak menyusahkan orang lain. Diajak makan apapun yang umum / lazim dimakan manusia, saya oke saja. Mau makan gaya aristokrat, yukkk... mau makan gaya anak gunung yang sedang bertahan hidup, tidak masalah...

Karena kadang saya suka bergalau-hati juga jika menyaksikan binatang dibantai untuk santapan kita, betapapun hewan tersebut adalah hewan yang lazim disantap manusia sehari-harinya.


Sebut saja ayam potong. Suatu hari, saya bertiga dengan istri dan anak bungsu saya sedang naik motor. Hari sudah gelap, dan hujan pun mulai turun. Kami yang saat itu terkendala untuk membawa jas hujan, suka tidak suka harus menepi dahulu dan membiarkan hujan berhenti. Akhirnya terpilihlah pekarangan sebuah toko bangunan yang sudah tutup untuk kami menepi dahulu menunggu hujan berhenti. Atap toko bangunan yang besar untuk meneduhi beberapa mobil, ternyata cukup solid untuk melindungi kami saat itu dari hujan badai yang berlangsung sekitar 30 menit tanpa henti.

Mulailah ada beberapa motor ikutan berteduh. Ternyata ada juga sebuah mobil pikap yang sedang mengangkut ayam potong, ikutan berteduh. Saya sendiri tidak paham kenapa mobil tersebut berteduh dulu. Bisa-bisa saja mereka tetap melanjutkan perjalanan menembus hujan deras, toh ayam-ayam tersebut akhirnya akan mati dipotong; kehujanan atau masuk angin pun tidak masalah...

Ketika mereka berhenti dan mematikan mesin mobil, ditengah hujan menderu dan petir yang menggelegar, ayam-ayam tersebut berbunyi. Ada yang bunyinya terdengar bergetar, mungkin ayam yang terletak di paling atas merasa kedinginan. Mungkin juga ada yang sudah tahu ujung nasib mereka malam itu. Entahlah...

Pokoknya suasana malam itu yang demikian sendu, semakin bertambah galau dengan suara memilukan ayam-ayam tersebut.

Saya tatap cukup lama ayam-ayam tersebut, dan merenungkan, betapa sedihnya nasib mereka. Kata Metallica dalam salah satu judul lagunya "To Live is to Die"; rasanya tepat untuk menggambarkan nasib ayam-ayam tersebut. Tentunya kegalauan saya juga berlaku untuk hewan potong lainnya semisal sapi, kambing, babi dan masih banyak hewan lainnya.

Tapi jika saya kembali merenung lebih dalam, toh daging mereka sungguh nikmat jika diolah. Ayam bakar, sate kambing, steak sapi, nasi campur babi, dan beragam makanan lainnya... Saya tidak memungkiri hal itu. Dihidangkan daging-daging tersebut, tidak akan saya tolak, apalagi jika gratis atau ada yang traktir, ha ha ha...

Tapi bergantung kepada daging hewan-hewan itu untuk menopang hidup saya, saya sangat bersyukur karena tidak melekat atau fanatik dengan hal itu. Saya bisa banget makan hanya dengan sayur saja selama berminggu-minggu. Tapi ketika saya disediakan makanan daging, ya saya makan juga, tidak lantas saya tolak.

Di sisi lainnya, saya juga merasa belum atau tidak siap menjadi vegetarian sejati. Bukan karena saya tidak bisa, tapi kita semua tahu bahwa restoran vegetarian sejati itu langka, jumlahnya sangat sedikit. Bahkan di banyak kota, bisa jadi tidak ada restoran vegetarian sama sekali. Tentunya itu tidak salah karena konsumen restoran vegetarian memang sedikit jumlahnya. Secara bisnis, terbilang judi bila pengusaha restoran membuka restoran khusus vegetarian saja, tanpa ditopang oleh bisnis lainnya.

Saya melihat bahwa kawan-kawan saya yang vegetarian sejati, seringkali harus membawa bekal khusus vegetarian kemana-mana. Buat saya yang banyak bekerja di lapangan, ini tentu merepotkan dan tidak praktis. Sementara tempat makan di sekeliling kita menyediakan makanan yang beragam bahan penyusunnya. Jauh lebih mudah menemukan makanan yang halal ketimbang makanan untuk vegetarian sejati. Makanya saya salut kepada para vegetarian sejati.

Pikiran saya kembali ke ayam-ayam tadi. Betapa hidup saya dan hidup kita semua juga, termasuk anak-anak kita, ditopang oleh kematian binatang-binatang tersebut.

Ada yang mati segera tanpa berlama-lama menderita, dan ada juga yang menderita atau kesakitan dahulu baru bisa mati dengan tenang; yangmana perihal tersebut kan saya tidak ketahui seluk-beluknya dari rumah jagal.

Yang saya tahu, kenikmatan daging tersebut telah tersaji ke meja makan saya tanpa perlu banyak dipertanyakan atau diperdebatkan. Tinggal santap saja...

Terkadang, terutama jika hati saya sedang galau atau ketika pikiran saya sedang berfilosofi, saya merasakan kemudahan tersebut sebagai sebuah hal yang egois, namun tidak bisa saya elakkan sebagai manusia. Sama seperti sejumlah kawan saya yang ingin melepaskan diri dari ideologi tertentu yang mereka benci, tapi hidup mereka dikelilingi rapat-rapat oleh produk-produk bermutu tinggi hasil dari pemikiran ideologi yang mereka benci tersebut.

Kadang saya bertanya-tanya, adakah tempat atau kehidupan dimana hidup kita tidak ditopang oleh penderitaan atau kematian makhluk lain? Apakah benar tempat seindah itu bernama surga? Saya tidak tahu. Begitu banyak buku yang saya baca dan tidak satupun yang menyediakan jawaban memuaskan bagi batin saya.

Di satu sisi saya bersyukur, saya tidak melekatkan diri kepada apapun dan siapapun, termasuk yang berurusan dengan lidah dan selera makan saya. Tapi di sisi lainnya, terutama suatu saat ketika saya harus pergi meninggalkan raga saya dan dunia ini, saya harap saya telah memiliki cukup amal dan kebaikan agar saya bisa pergi ke sebuah tempat dimana tidak ada lagi ruang, waktu, kesakitan dan air mata. Sebuah tempat dimana hidup kita ditopang oleh keabadian dari Zat Maha Kuasa, bukan ditopang oleh penderitaan atau kematian makhluk hidup lainnya.

You may say I'm a dreamer, but I'm not the only one... ujar John Lennon dalam salah satu lagunya yang terkenal, Imagine. Konteks penggalan lirik tersebut, cocok dengan suasana batin saya ketika memandang sedih pikap berisi ayam-ayam malang dengan kokokan nyanyi sunyi mereka ditengah hujan-badai yang menderu di malam itu...

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Kemelekatan & Fanatisme: Sumber Penderitaan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel