Idealisasi Konsep Integritas (Bag. 4: Pengetahuan)

Pada artikel Bag. 3 yang secara khusus membahas mengenai Integritas - Kompetensi - Proses - Keahlian, sudah jelas bagi kita semua bahwa di era yang semakin maju & kompleks ini, sekedar menjadi orang baik atau bahkan orang jujur saja tidak cukup. Kita harus memiliki kompetensi / skillset, agar bisa bertahan hidup, eksis, dan pada akhirnya bisa memberikan pengaruh yang signifikan bagi kemajuan peradaban pada umumnya.

Repetisi Teks Bag. 3: Sebagai manusia yang masih harus mengusahakan sesuatu agar bertahan hidup, manusia harus memiliki kompetensi akan suatu hal. Bahkan misalnya suku paling primitif sekalipun, orang-orang di dalam kelompoknya pasti memiliki kompetensi masing-masing yang dapat digunakan untuk saling menopang peradaban suku primitif tersebut.


Misalnya suku Indian. Para lelaki di suku Indian punya spesialisasi masing-masing, bahkan sampai ada julukan untuk keahlian khusus tersebut. Misalnya, julukan Pathfinder sebagai spesialis pencari jejak binatang buruan. Demikian juga di suku primitif lainnya. Ada yang spesialis berburu dengan panah, ada yang mahir berburu di sungai atau lautan; dan masih banyak contoh lainnya.


B. KOMPETENSI
Realitas ini tidak berubah ketika kita membicarakan masyarakat modern dengan segudang kemajuan teknologi yang menopang peradabannya. Justru dengan semakin kompleksnya peradaban dan teknologi yang terlibat, maka semakin banyak spesialisasi atau ragam kompetensi yang dibutuhkan untuk dapat menopang dan memajukan peradaban tersebut.

Karena itulah dalam artikel ini kita membicarakan perihal KOMPETENSI. Karena agar hidup kita signifikan bagi orang lain, kita harus memiliki kompetensi tertentu. Dengan kompetensi tersebut, kita bisa berkarya mencari nafkah dan memperoleh sejumlah imbalan untuk bertahan hidup dan memajukan peradaban yang kita tinggali.

Sebelum kita lebih jauh membicarakan perihal kompetensi, marilah kita lihat lagi bagan idealisasi konsep integritas secara menyeluruh terlebih dahulu.

 

Kompetensi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Kemampuan yang dimaksud bisa saja kemampuan teknis, atau kemampuan non-teknis. Secara garis besar, kemampuan tersebut haruslah dapat membuat yang bersangkutan menyelesaikan apa yang sedang dia kerjakan.

Agar seseorang dapat disebut berkompeten, yang bersangkutan harus memahami bahwa kompetensi dapat dipandang dari sudut pandang B1. PROSES dan juga sudut pandang B2. HASIL. Seperti halnya antara kerendahan hati dan akuntabilitas yang tak terpisahkan satu sama lainnya dalam menopang karakter seseorang (pembahasan di artikel bag. 1 dan bag. 2), demikian juga dengan PROSES dan HASIL yang tak terpisahkan satu sama lainnya, dalam menopang kompetensi seseorang.

Agar memudahkan kita semua, berikut ini adalah bagan yang telah saya sederhanakan lagi dari apa yang akan kita bicarakan selanjutnya.



B1. PROSES
Kehidupan ini, beserta perjalanan yang dilakukan semua orang yang hidup, adalah sebuah proses. Semua yang ada di sekitar kita merupakan hasil dari sebuah proses. Jika jaman dahulu kala masih ada dinosaurus dan ratusan jenis hewan raksasa lainnya sementara kini mereka tidak ada dan berganti dengan hewan-hewan yang lebih kecil, itu tandanya ada proses alam yang terlibat.

Hal-hal sekecil apapun dalam hidup ini, perlu berproses. Demikian juga dengan hal-hal besar, yang seringkali prosesnya lebih panjang, lebih rumit dan lebih lama.

Yang pada akhirnya membedakan antara satu proses dengan proses lainnya adalah kualitas proses tersebut, beserta dengan semua waktu & tingkat kerumitan yang harus dijalani dalam proses tersebut.

Dalam ruang lingkup pembicaraan mengenai dunia profesional, baik itu sebagai karyawan, sebagai profesional / wirausaha, sebagai pemilik bisnis ataupun sebagai investor; proses-proses yang harus dilalui seseorang melibatkan empat komponen utama, yaitu:

B1.1 KEAHLIAN / PASSION (RENJANA)
B1.2 PENGETAHUAN
B1.3 PENGALAMAN
B1.4 SOP / STANDARD OPERATIONAL PROCHEDURE

Selesai Repetisi Teks Bag. 3
B1.1 KEAHLIAN / PASSION (RENJANA) - Telah dibahas di teks Bag. 3


B1.2 PENGETAHUAN
Membahas tentang pengetahuan, tentu cakupan pembicaraannya luas sekali. Namun ada satu pertanyaan yang seringkali banyak orang ajukan pada saya, yaitu: pengetahuan macam apa yang sebaiknya kita pelajari dalam hidup kita, agar kita bisa menjalani hidup yang lebih berkualitas?


Saya menjawabnya dengan tiga pertanyaan sederhana:
  1. Buku apa yang Anda baca?
  2. Dengan siapa Anda bergaul?
  3. Apa yang Anda lakukan di waktu senggang?
Mengapa saya bertanya perihal tiga pertanyaan tersebut? Karena jawaban dari tiga pertanyaan tersebut bisa menggambarkan dengan jelas seputar pengetahuan macam apa yang kita cari dalam hidup kita. Atau malah ekstrimnya, jangan-jangan kita tidak pernah tertarik untuk menambah pengetahuan apapun? Saya tidak tahu lagi harus menjawab apa bagi orang-orang seperti itu...

Prinsip saya adalah kita semua harus terus mengusahakan yang terbaik, untuk memperoleh pengetahuan terbaik sebanyak-banyaknya, dari kejadian apapun, dari siapapun, kapanpun. Semuanya demi hidup kita semua yang lebih berkualitas, lebih bermartabat, dan lebih membahagiakan satu sama lainnya. Kualitas, martabat dan kebahagiaan bukanlah semata-mata soal materi saja. Ketika hidup kita udah berkualitas, bermartabat dan memberikan pengaruh positif bagi orang lain, umumnya kesejahteraan materi akan menyusul sesudahnya, tentunya setelah diusahakan dengan sebaik-baiknya.

Setiap orang di dunia ini sama-sama diberikan 24 jam per harinya. Apa saja yang kita lakukan dengan waktu 24 jam tersebut, sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidup macam apa yang akan kita hadapi kelak.

Pertanyaan "Buku apa yang Anda baca?" bisa selaras juga dengan siaran televisi apa yang selama ini kita tonton, atau seminar macam apa yang paling suka kita hadiri dan dengarkan. Intinya adalah sumber pengetahuan macam apa yang kita pilih untuk kita masukkan kedalam benak kita. Proses ini ibaratnya undangan dengan sajian makanan parasmanan, dimana kita bisa memilih sendiri makanan apa dan seberapa banyak yang akan kita santap. Demikian juga sumber pengetahuan dari buku, televisi, seminar dan sumber lainnya. Mereka tersaji di hadapan kita. Tiinggal kita yang memutuskan, memilih dan memilahnya.

Jangan pernah salahkan misalnya sinetron kualitas comberan yang setiap jam ditayangkan di televisi. Kehadiran mereka adalah konsekuensi dari masih banyaknya orang yang memilih untuk memasukkan air comberan kedalam benak mereka. Kita sebagai kalangan yang paham hal-hal terbaik bagi benak & jiwa kita, sudah seharusnya bisa memilih sesuatu yang berbeda, misalnya: memutuskan untuk berlangganan saluran kabel / televisi berbayar.

Saya pernah hidup susah, dan hingga saat ini pun hidup saya masih berjuang setiap harinya. Tapi saya tekadkan untuk berlangganan televisi berbayar, tentunya paket yang paling murah saja. Perjuangan saya & istri saya itu pun tidak sia-sia. Kami bisa memilih tontonan yang sarat pengetahuan, dan anak-anak kami pun tumbuh dengan pengetahuan yang berbobot yang dihadirkan oleh banyak saluran; plus "kursus" Bahasa Inggris lewat tontonan pula. Benak dan jiwa kami sekeluarga pun selalu on the right track. Karena apa? Sederhana saja. Kami memilih "makanan yang sehat & bermutu" bagi pikiran dan jiwa kami. Kami putuskan untuk tidak menyalahkan atau mengomeli televisi swasta di Indonesia yang 90% kontennya sampah. Kami putuskan untuk memilih aksi kami sendiri demi memperoleh apa yang terbaik bagi pikiran, jiwa dan masa depan kami dan anak-anak kami.

Perihal kebiasaan membaca, fakta yang paling menyedihkan adalah bahwa masih banyak orang, terutama orang Indonesia, yang tidak suka membaca. Entah itu membaca buku, membaca koran (terutama ketika era koran berjaya), membaca situs-situs Internet yang bermutu; kesemuanya tidak suka mereka lakukan. Ketika saya bertanya kenapa mereka tidak suka membaca, jawaban mereka sederhana saja: malas membaca.

Ingat, saya tandaskan, saya tidak sedang membicarakan "tidak bisa membaca" alias buta huruf ya... Di sini saya sedang membicarakan mereka yang bisa membaca, punya uang dan punya waktu untuk melakukannya, tapi memilih untuk tidak melakukannya karena malas, sibuk, lelah dan sejumlah alasan lainnya.

Pembaca yang budiman... tidak ada penyakit yang lebih berbahaya selain daripada kemalasan untuk mencari, mengembangkan dan mempraktekkan pengetahuan-pengetahuan baru. Kesemua itu diawali dari kemauan kuat untuk membaca teks-teks yang selama ini kita anggap panjang dan membosankan. Sangatlah menggelikan apabila kita terus merengek pada orang lain dan lingkungan agar selalu memberikan teks & pengetahuan yang enak dibaca saja. Sama halnya dengan ketika kita meminta makanan yang enak-enak saja bagi lidah kita. Akhirnya, kita bisa mati muda hanya karena maunya makan yang enak-enak saja bagi lidah kita.

Saya sudah terlalu sering menjumpai orang-orang yang malas membaca teks panjang, padahal isi teks panjang tersebut sangat positif dan bermanfaat. Orang-orang semacam ini misalnya ketika di grup WhatsApp, adalah yang paling sering meminta rangkuman atau kesimpulan dari teks panjang yang diberikan anggota grup lain.

Mereka berkilah bahwa mereka sibuk, sehingga tidak sempat mencerna teks panjang tersebut. Sebenarnya ini cuma masalah kemauan saja. Jika memang sudah tidak mau mencari pengetahuan, membaca teks pendek ditengah waktu senggang pun akan terasa memberatkan. Tapi jika seseorang tersebut selalu haus akan pengetahuan baru, teks sepanjang apapun akan mereka baca, betapapun sibuk dan lelahnya mereka.

Saya pun sering mendapatkan pertanyaan, bagaimana menyiasati kelelahan fisik kita setelah bekerja seharian penuh, sementara kita masih ingin membaca buku atau referensi lain? Nah, saya melihat kemauan dan tekad untuk membaca saja, sebenarnya sudah senang. Masalah kesibukan, saya tahu persis rasanya. Saya pernah bekerja yang mengharuskan saya pulang-pergi menghabiskan sekitar 5 jam di perjalanan dengan kereta listrik, lembur tanpa dibayar, perubahan sif mendadak, dan kendala jam kerja lainnya. Pulang larut malam sampai rumah pun pernah saya alami sebagai sebuah hal yang biasa. Fisik lelah, manusiawi saja jika kita merasa sangat lelah.

Biasanya saya menyarankan agar meluangkan waktu sekitar 5, 10 atau 15 menit setelah pulang kerja, makan dan mandi; atau sebelum tidur, untuk membaca buku apapun yang positif. Jika kita sudah terlalu lelah untuk menatap layar telepon genggam, tablet atau laptop kita, baca saja buku. Jika dalam 10 menit saja kita bisa membaca dan menyerapi 1-2 halaman buku tersebut dan kita lakukan setiap hari secara teratur & disiplin, sangat mungkin dalam waktu sebulan kita sudah bisa menghabiskan satu buku dengan pemahaman yang baik. Untuk membantu pemahaman, kita bisa menggarisbawahi atau melakukan highlight dengan Stabillo, atas bagian-bagian teks yang kita pikir bagus.

Jadi, semuanya berawal dari kemauan dan tekad dulu. Jika kita selalu haus pengetahuan dan wawasan, kita selalu punya jalan keluar untuk menyiasati sejumlah keterbatasan yang kita alami dalam pencarian pengetahuan dan wawasan tersebut.

Karena apapun yang kita putuskan, pilih dan pilah untuk kita masukkan kedalam pikiran dan jiwa kita; sangatlah menentukan kualitas cara berpikir dan sikap kita di masa depan. Kendali itu ada di tangan kita masing-masing. Bukan di tangan produser sinetron, bukan di tangan produser situs-situs fitnah, dan bukan di tangan siapapun juga. Di tangan kita sendiri. Titik.

Pertanyaan "Dengan siapa kita bergaul atau menghabiskan waktu?" sebenarnya merupakan sebuah refleksi logis atas apa yang sudah terlalu banyak ditulis oleh buku-buku terbaik manapun di dunia ini, bahkan Kitab Suci sekalipun. Minimal sekali di Kitab Suci saya, Alkitab, di 1 Korintus 15:33 dikatakan bahwa "Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik." Saya yakin di Kitab Suci agama lain, ada ayat yang menyatakan kurang-lebih seperti itu, tentang betapa pentingnya kita memilih & memilah kawan-kawan kita.

Ketika saya SMA, saya pernah dekat dengan beberapa kawan perempuan, dan setelahnya tumbuh perasaan satu sama lain. Tentunya masing-masing dari kita berharap perasaan itu bisa diteruskan kedalam bentuk hubungan yang lebih pasti. Nah, sebelum saya mengikatkan diri pada sebuah hubungan "resmi" berupa jadian atau pacaran, biasanya saya melakukan pengamatan dulu pada kawan perempuan saya tersebut. Subjek utama yang saya amati adalah kawan sepermainannya, dan bagaimana perilakunya ketika dia sedang ada bersama dengan kawan-kawannya tersebut. Apakah ada perbedaan jauh pada pola berpikir dan perilakunya, ketika dia sedang bersama kawan sekumpulannya dan ketika dia sedang sendiri.

Kenapa saya lakukan itu? Karena realitasnya adalah ketika saya menjadi kekasihnya, suka tidak suka, interaksi dirinya dengan kawan-kawannya tersebut sangat mungkin berpengaruh juga kepada interaksi dirinya dengan saya sebagai pacarnya. Di mata saya, hubungan percintaan tidak seharusnya menjadi sesuatu yang terlalu terpisah dengan konsep persahabatan. Saya harus cocok dan mengenal kawan-kawannya, dan demikian juga sebaliknya. Enaknya yang mau jadi pacar saya, saya adalah tipe lelaki soliter / penyendiri, dan tidak suka terlalu mengikatkan diri pada "geng" atau kumpulan sepermainan tertentu; bahkan hingga sekarang. Jadi tugas saya hanyalah mencermati kawan-kawan calon pacar saya tersebut. Jika saya nilai kawan-kawannya tidak berbobot, misalnya gemar bergosip, hedonis, dan melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya; saya tidak segan-segan untuk menyatakan "kita sebagai teman saja yaaa..." pada kawan perempuan saya tersebut.

Saya melihat kualitas seseorang, salah satunya dari kawan-kawannya. Dengan siapa dan bagaimana seseorang tersebut menghabiskan waktu bersama kawan-kawannya, sudah jelas menyatakan bagaimana kualitas hidup dan cara berpikirnya. Mau lebih gampang? Pilih saja orang yang soliter dan senang menyendiri kemana-mana. Biasanya mereka bisa lebih mudah diajak berkawan atau untuk teman hidup, ha ha ha... Dan itulah yang terjadi pada istri saya sekarang. Mengajak seseorang yang soliter untuk menikah, bisa lebih menyederhanakan banyak keruwetan dalam hidup ini.

Walaupun demikian saya tekankan lagi, bahwa orang yang soliter bukanlah orang yang sombong, anti-sosial atau tidak mau bergaul ya... mereka hanya kurang nyaman saja jika harus terus-menerus terikat dengan kelompok pergaulan tertentu.

Prinsip pergaulan itu sederhana saja. Ada tiga hal terpenting dalam pergaulan yang sebaiknya kita ingat bersama:
    1. Bergaul dengan sebanyak-banyaknya / semua orang, tapi fokuskanlah dan habiskanlah waktu-waktu berharga kita bersama orang-orang berkualitas yang kita yakini bisa membawa perubahan positif atas cara berpikir, mentalitas dan hidup kita secara keseluruhan.

    Memilih dan memilah pertemanan, bukanlah sebuah kesimpulan bahwa kita menjadi pribadi yang terlalu pilih-pilih kawan dan tidak fleksibel / luwes dalam pergaulan. Dalam perjalanan hidup ini kita pasti akan menemui orang-orang yang membuat sebal hati kita, yang membuat kita marah, atau bisa membuat kita stres berkepanjangan. Jika memang kondisinya memungkinkan, tetaplah berusaha sopan, santun dan ramah terhadap mereka, betapapun kita semua tahu itu hanya formalitas belaka. Tapi jangan fokuskan kehidupan kita kepada mereka.

    Jadi, pesan saya di sini adalah se-menyebalkan apapun seseorang tersebut, tetaplah berusaha diplomatis dan santun kepada mereka. Kita bisa tegas tanpa menjadi kasar atau tidak sopan kepada mereka. Namun selanjutnya tidak perlu terlalu berurusan dengan mereka jika tidak perlu-perlu amat.

    Fokuskanlah waktu, energi dan dedikasi kita bersama orang-orang yang membuat kita lebih berbahagia dan lebih puas terhadap diri sendiri, sekaligus lebih termotivasi untuk menjadi diri kita yang lebih baik lagi di masa depan. Peliharalah hubungan baik kita dengan orang-orang sekualitas ini, karena mereka bisa membawa kita ke tempat-tempat kehidupan yang tadinya kita impikan.
      2. Seperti halnya saya yang bisa menilai kualitas hidup seseorang dari kawan pergaulannya, demikian pula orang lain melihat kualitas hidup kita dari pergaulan kita yang tampak kasat mata di hadapan mereka; dan tidak ada yang salah dengan hal itu. Manusia adalah makhluk visual. Persepsi paling kuat dalam diri seseorang, dibentuk terutama oleh pengalaman visual terlebih dahulu.

      Jadi sejujur apapun kita, jika misalnya sehari-harinya kita terlihat oleh orang lain selalu bergaul dengan para koruptor, maka impresi orang lain pun akan menjurus ke situ, yaitu mempersepsikan kita sebagai koruptor; padahal kenyataannya bukan. Nah, apakah kita punya waktu untuk menjelaskan pada satu-persatu orang di luar sana bahwa kita bukan koruptor dan tidak sama dengan kawan pergaulan kita? Jelas tidak!

      Oleh karena itu lebih sederhana jika kita bisa memilih dan memilah kawan pergaulan kita, bukan semata agar citra kita baik di hadapan orang lain, tetapi juga agar hidup kita secara keseluruhan berjalan ke arah yang juga baik.

      Ingat pepatah ini: Tetaplah menjadi baik, apapun yang terjadi. Jika kita cukup sabar, mungkin kita akan menemukan orang baik, atau ditemukan oleh orang baik. Untuk bertahan di dalam prinsip ini, kita harus benar-benar memperhatikan pergaulan kita. Orang-orang baik di luar sana hanya akan tertarik dengan orang-orang baik juga, yang bergaul dengan orang-orang baik. Rasanya kita tidak perlu menggugat logika ini lebih jauh lagi.

      Demikian juga dengan perjodohan dan percintaan. Lelaki baik hanya akan tertarik kepada perempuan baik. Lelaki cerdas mencari perempuan cerdas. Lelaki sopan mencari perempuan sopan. Dan demikian pula sebaliknya dari perempuan kepada lelaki.

      3. Kurangilah bergaul dengan orang-orang yang masih menganut konsep pertemanan yang kekanak-kanakan. Kriteria kekanak-kanakan itu sebenarnya banyak. Tapi indikasi awal dari hubungan pertemanan yang kekanak-kanakan, baik antar-individu maupun dalam kelompok, adalah ketika kita diwajibkan menjadi sama dengan mereka. Perbedaan pendapat diharamkan, dan apapun yang berbeda akan "diberikan sanksi". Biasanya ini sudah menjurus ke bentuk pertemanan "geng" atau "gengster", dimana tidak ada lagi independensi nurani di dalamnya. Yang ada adalah "sabda ketua kelompok", dan itu harus dituruti oleh semua anggota.

      Jika kita bukan anggota polisi atau militer atau badan negara lainnya, rasa-rasanya tidak logis jika kita merasa berkewajiban untuk mengikatkan diri pada pertemanan semacam itu.

      Perkawanan yang dewasa adalah yang tetap menghargai privasi, independensi, kemerdekaan berpikir & berpendapat; diantara anggota kelompoknya. Bisa tetap akrab walaupun jarang berkomunikasi. Tidak perlu setiap hari menanyakan jadwal kegiatan seperti pacar yang lagi kasmaran kan? Bisa saja kita mengobrol seminggu sekali atau dua minggu sekali, tapi tetap ada keterikatan persahabatan yang akrab dengan orang atau kelompok itu. Nah itulah persahabatan kelompok yang sehat.

      Pertanyaan terakhir tentang "Apa yang Anda lakukan di waktu senggang?" merupakan sebuah introspeksi bahwa orang-orang yang sudah terlebih dahulu sukses, memang telah banyak menghabiskan waktu senggangnya untuk melakukan hal-hal yang produktif bagi pengembangan dirinya secara keseluruhan.

      Lantas muncul pertanyaan: apakah kita tidak boleh beristirahat sejenak dari kepenatan ketika kerja? Tentu saja boleh. Justru saya haruskan kita semua untuk beristirahat dengan benar setelah lelah beraktivitas. Jadi dalam istirahat pun kita harus serius. Karena apa? Agar istirahat yang kita lakukan optimal, dan untuk selanjutnya kita punya kekuatan & kebugaran baru untuk melahap semua hal yang kita perlukan bagi pengembangan diri kita.

      Maka dari itulah perlu sekali bagi kita semua untuk menghabiskan waktu berharga kita hanya bersama kawan-kawan yang memberikan pengaruh positif bagi hidup kita. Jika kita memang serius dengan waktu istirahat bagi raga kita, sudah sewajarnya jika kita lebih memprioritaskan pertemanan dengan kawan yang menghargai prinsip hidup dan privasi kita. Bukankah akan repot ketika kawan-kawan kita terus mengajak kita untuk bersenang-senang secara hedonik, dugem, dan melakukan kegiatan yang negatif?

      Ketika istirahat yang kita lakukan optimal, maka proses penyegaran dan pembugaran kembali jiwa-raga kita pun akan berhasil. Oleh karenanya apapun upaya pengembangan diri yang kita lakukan akan lebih optimal terlaksana.

      Nah, ketika jiwa-raga kita sudah siap untuk menerima hal-hal baru dan baik demi pengembangan diri kita, maka kemajuan diri kita pun akan berlangsung. Di waktu-waktu senggang itulah yang pada akhirnya membedakan orang-orang sukses dengan orang rata-rata. Karena tentu tidak nyaman (sementara) untuk tetap mempelajari & melakukan hal-hal yang serius di waktu senggang kita, sementara orang lain ada yang menggunakan waktu senggangnya untuk bersenang-senang, atau pergi berwisata, nongkrong di kafe, dan lain sebagainya.

      Jadi bukannya mustahil bahwa demi masa depan kita semua yang lebih baik, kita bahkan harus terlebih dahulu menunda kesenangan yang selama ini kita lakukan. Misalnya, tadinya kita senang menonton sepakbola hingga subuh. Tapi demi optimalnya jiwa-raga untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar esok harinya ditambah dengan kursus-kursus yang kita ambil di waktu malam, maka kesenangan menonton sepakbola tersebut harus ditunda sementara, agar kita bisa tidur dengan jam yang optimal.

      Sekali lagi saya katakan, bahwa tidak ada yang salah dengan bersenang-senang di waktu senggang kita. Tapi semuanya ini masalah pilihan saja. Orang-orang sukses bisa menunda kenyamanan mereka dan mengutamakan pengembangan diri mereka di waktu-waktu senggang mereka, misalnya selama beberapa tahun. Tapi ketika mereka telah berhasil lakukan itu dan hidup mereka membaik, biasanya mereka akan punya kebebasan uang dan kebebasan waktu yang lebih baik di masa depan. Itulah kenyamanan yang sesungguhnya.

      Logikanya sederhana saja. Kita tunda kenyamanan kita di waktu senggang kita hari-hari ini, demi kenyamanan hidup yang lebih besar lagi di masa depan. Sementara orang yang rata-rata tidak mau keluar dari zona kenyamanan waktu senggangnya, sehingga seterusnya seumur hidup mereka, mereka tidak akan memiliki kelebihan apapun atas waktu dan penghasilannya. Karena mereka memang tidak pernah benar-benar memperjuangkannya di waktu-waktu senggang mereka.

      Ini selaras dengan prinsip investasi. Kita hanya akan memetik apa yang selama ini kita investasikan. Kita berinvestasi uang, kita akan memetik uang lebih. Kita berinvestasi waktu, kita akan memetik waktu luang yang lebih banyak. Kita berinvestasi keahlian & pengalaman baru, kita akan memetik uang lebih dan waktu luang yang lebih banyak. Sesederhana itu.

      Mengenai apa saja yang bisa kita lakukan di waktu senggang kita agar kita bisa terbebas dari lingkaran setan "kesibukan yang mematikan" dalam pekerjaan kita, akan saya ceritakan secara lebih mendetail di artikel bagian berikutnya tentang Pengalaman / Experience.
        Sekian pembicaraan kita mengenai pengetahuan, yang menopang proses menuju kompetensi, dimana pada akhirnya kompetensi itu sendiri menjadi salah satu penentu vital tingkat integritas kita semua.

        Berlangganan update artikel terbaru via email:

        0 Response to "Idealisasi Konsep Integritas (Bag. 4: Pengetahuan)"

        Iklan Atas Artikel

        Iklan Tengah Artikel 1

        Iklan Tengah Artikel 2

        Iklan Bawah Artikel