Idealisasi Konsep Integritas (Bag. 7: Hasil - Best Practice)

Setiap dari kita harus menghasilkan sesuatu. Baik kasat mata maupun tidak kasat mata, baik langsung maupun tidak langsung, baik lama maupun cepat, dan baik individual maupun dalam kelompok. Intinya adalah bagaimana kita memberikan dampak positif bagi apapun yang ada di sekeliling kita. Hingga ada adagium bahwa "hasil adalah politik terbaik & terkuat", yang merupakan indikasi bahwa orang-orang dengan pengaruh terkuat, adalah mereka yang membawa hasil terbaik dari apa yang mereka yakini, pikirkan dan kerjakan.

Seberapa baiknya dan berkualitasnya apa yang kita hasilkan, itulah yang akan menempatkan kita di kelas-kelas tertentu dalam tatanan masyarakat. Memang benar bahwa saya selalu yakin, semua orang ingin menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Tapi suka tidak suka harus kita akui, bahwa aspek hasil adalah dampak dari interaksi antara karakter, kompetensi, kerendahan hati, akuntabilitas dan proses yang telah kita miliki maupun jalani sebelumnya.


Sebelum kita melangkah lebih jauh lagi dan sekaligus menyegarkan ingatan kita, marilah kita lihat dulu bagan idealisasi konsep integritas yang telah saya susun.



B. KOMPETENSI - B2. HASIL

Tidak akan pernah ada seorang manusia yang sanggup menghasilkan sesuatu yang luhur, baik, dan unggul; tanpa melalui tahapan-tahapan kehidupan tersebut. Kalaupun seseorang ada yang bisa langsung mencapai keluhuran & keunggulan dalam hal apa yang dihasilkannya, sudah pasti ada pihak-pihak diluar dirinya yang sebelumnya telah melalui tahapan-tahapan kehidupan yang sulit tersebut. Misalnya: seorang anak yang mendapatkan warisan perusahaan mobil dengan kualitas yang sudah diakui dunia. Dalam hal ini sudah pasti ayahnya yang telah melalui tahapan kehidupan tersebut, sehingga mobil yang dihasilkannya bisa mendunia. Ketika perusahaan tersebut diwariskan pada dirinya, dia sudah tidak perlu lagi melalui tahapan-tahapan sulit, melainkan tinggal meneruskan saja hal-hal yang sudah berjalan baik dan kemudian melakukan peningkatan-peningkatan di sektor yang belum baik.


Memang benar, pada kenyataannya, tidak semua individu manusia di dunia ini sanggup menghasilkan sesuatu. Dalam hal ini saya sedang membicarakan mereka yang ditakdirkan lahir atau terkurung dengan sejumlah keterbatasan atau kebutuhan khusus. Kepada mereka tentu saja kita harus menunjukkan kasih, atensi lebih dan perlakuan yang sama baiknya & sama bermartabatnya dengan orang-orang pada umumnya. Di kesempatan ini saya tidak bermaksud untuk membicarakan mereka. Yang saya bicarakan di sini adalah kita-kita yang memang sanggup menghasilkan sesuatu yang baik bagi lingkungan kita, apapun itu bentuknya.

Sekali lagi, dari apa yang kita hasilkan tersebut, itulah yang menyatakan kepada semua orang tentang siapa dan seperti bagaimana diri kita yang sebenarnya. Memang benar bahwa ada orang-orang yang mau melihat proses yang telah kita jalani, dan ada saja yang tidak mau tahu, maunya langsung tahu beres saja. Tapi intinya sama, orang-orang akan terlebih dahulu melihat apa yang kita hasilkan.

Orang-orang yang mau tahu prosesnya, jika melihat ada yang bisa terus ditingkatkan di hasilnya, akan membenahi prosesnya. Sementara yang tidak mau tahu prosesnya hanya akan menuntut hasil yang terbaik bagi dirinya. Nah, dalam hidup ini, kita akan terus menghadapi dua tipe orang ini. Oleh sebab itulah penting rasanya saya bagikan apa yang menjadi kepedulian saya selama ini, lewat pemaparan 4 unsur pendukung yang menopang hasil terbaik dari apa yang kita lakukan & perjuangkan terus-menerus.


B2.1 BEST PRACTICE
Best Practice adalah sebuah wacana yang kini sudah mendunia dan digadang-gadang sebagai sebuah visi luhur atas semua yang diperjuangkan oleh mayoritas korporasi di seluruh dunia.


Namun seperti halnya SOP yang ternyata bisa juga menjadi pembicaraan di tingkatan personal, sesungguhnya sikap Best Practice juga bisa menjadi semacam panduan utama kita dalam melakukan segala sesuatu, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain atau organisasi.

Jujur saja saya sulit menerjemahkan kata "Best Practice" kedalam Bahasa Indonesia yang sama ringkasnya dan tetap enak didengar, oleh karenanya saya biarkan saja dua kata itu apa adanya dalam Bahasa Inggris.

Jika Best Practice berusaha kita definisikan, maka artinya adalah "praktik kerja terbaik yang diyakini & dijalankan sebagai yang nantinya menghasilkan hasil terbaik dalam kurun proses, kurun waktu dan kurun ruang tertentu". Banyak orang mendefinisikan Best Practice secara berbeda, namun begitulah definisi dari saya.

Misalnya dari dunia otomotif, yang paling mudah kita lihat saja sehari-harinya. Sebelum era tahun 2000, jarang sekali mobil di Indonesia yang dilengkapi dengan sistem pendingin (AC) dan sistem sabuk pengaman. Pada kurun waktu tersebut yang terpenting bagi pembeli mobil adalah mobil yang bandel, tidak rewel dan tidak sering mogok di perjalanan. Pada kurun waktu itu, itulah definisi Best Practice di dunia otomotif Indonesia; dan oleh karenanya Jepang pun merasa tidak masalah untuk menciptakan mobil-mobil dengan fitur sebatas definisi Best Practice tersebut, di masa itu.

Namun sekarang, jika mobil-mobil bertahan dengan definisi Best Practice yang tidak mengikuti jaman, bisa dipastikan tidak akan ada yang mau membelinya. Apakah kita mau membeli mobil yang tidak dilengkapi AC (selain mobil niaga)? Apakah kita berani membeli mobil yang tidak dilengkapi perangkat keselamatan semisal sabuk pengaman? Seiring perubahan ruang, waktu dan proses-proses sosial; tuntutan masyarakat akan definisi Best Practice di semua bidang kehidupan tentu saja berubah mengikuti; tak terkecuali di dunia otomotif.

Di jaman sekarang, sudah lazim bahwa semua merek mobil terkemuka dapat menciptakan mesin mobil yang selain bertenaga besar, bandel, dan juga irit bahan bakar.

Di jaman sekarang, bentuk mobil semakin cantik hingga konsumen bingung memilihnya, namun sekaligus juga semakin aman & nyaman untuk dikendarai. Mobil-mobil jaman sekarang harus cantik, nyaman dan sekaligus aman.

Di jaman dulu, sedan terkenal sebagai jenis mobil yang paling nyaman dikendarai. Namun di jaman sekarang pasar sedan semakin mengecil karena mobil-mobil jenis lainnya semisal SUV sudah sama nyamannya dengan sedan. Hebatnya, SUV dilengkapi dengan ban berukuran lebih besar dari sedan sehingga pengemudi lebih percaya diri membawa SUV ke jalanan yang rusak sekalipun. Sementara sedan semakin terbatas karena selain daya tampung penumpang yang tidak banyak, juga karena hanya nyaman dikendarai di perkotaan dengan jalanan yang mulus.

Bukannya mustahil, definisi Best Practice di dunia otomotif beberapa tahun kedepan sudah berbeda jauh dengan yang sekarang kita anut. Bisa jadi... mungkin saja... di masa depan, yang disebut Best Practice di dunia otomotif adalah ketika para produsen mobil dapat menghasilkan mobil dengan bahan bakar terbarui (Renewable Energy) semisal tenaga surya atau hidrogen, dan dengan fitur Autonomous (dapat berjalan sendiri dengan kendali kecerdasan artifisial dan peta digital). Jadi sangat terbuka kemungkinan di masa depan, kecelakaan lalu-lintas dapat ditekan ke angka yang sangat kecil karena pengemudian mobil dapat dilakukan secara terkomputerisasi. Potensi kecelakaan dapat diprediksi oleh komputer, dan komputer pun secara otomatis mengubah atau merekayasa jalannya mobil tersebut agar terhindar dari kecelakaan.

Dari apa yang kita dapati di dunia otomotif pun sudah dapat kita simpulkan bahwa pengertian Best Practice berubah setiap waktu... meningkat terus seiring dengan peningkatan kualitas inovasi riset dan teknologi (kurun proses), perubahan kurun waktu dan perubahan kurun ruang.

Nah, mengapa Best Practice tersebut dimungkinkan terjadi, betapapun jaman sudah berubah dengan cepat? Mengapa Jepang, Eropa, Amerika dan sekarang Korea; dapat terus menghasilkan mobil-mobil yang semakin kompetitif satu sama lain?

Jawabannya sederhana: karena orang-orang Jepang, Korea, Amerika dan Eropa sudah menjadikan azas Best Practice bukan saja sebagai visi luhur perusahaan yang mereka jalankan, melainkan juga sudah merasuk ke sanubari pribadi mereka masing-masing. Best Practice sudah menjadi kultur yang mendarah-daging dalam kehidupan bermasyarakat mereka. Dalam kehidupan pribadi sehari-harinya mereka, bangsa Jepang, Eropa, Amerika dan Korea memang terkenal dengan etika kerja yang luar biasa. Selain idealis dan perfeksionis, mereka juga punya etos kerja yang sanggup memperjuangkan idealisme dan perfeksionisme tersebut kedalam wujud nyata barang-barang yang mereka hasilkan dan jual ke seluruh dunia.

Jadi betapapun terikat dengan kurun proses, kurun waktu dan kurun ruang; Best Practice dapat kita perjuangkan terus-menerus dan dapat kita tingkatkan terus-menerus. Itu kemudian disebut sebagai Continuous Improvement (pengembangan & peningkatan berkelanjutan), yang sebelumnya telah saya bahas cukup mendetail.

Jika kita belum bisa menjadi sebesar bangsa-bangsa maju & adidaya, cukuplah kita tanamkan budaya Best Practice dalam diri masing-masing, dan dalam diri anak-anak yang ada dibawah tanggungjawab kita sebagai orangtua. Letakkanlah fondasi etika kerja terbaik dan visi keluhuran hidup sedini mungkin pada generasi muda bangsa Indonesia, sehingga kelak mereka menjadi pemimpin dan pengambil keputusan, mereka telah paham filosofi dibalik keputusan tersebut, yaitu demi kejayaan dan kebesaran bangsa ini (Greater Good). Apapun yang mereka ciptakan atau perbuat kelak, sejatinya selalu membawa nama besar bangsa dan keluarganya juga.

Di tingkatan yang lebih mikro, personal dan domestik, contohnya sederhana saja. Anak-anak saya terus saya tanamkan agar tidak alergi untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang lazimnya di rumah tangga lain dikerjakan oleh Asisten Rumah Tangga / pembantu. Dalam hal ini adalah ketika saya mengajari anak sulung saya untuk menyetrika pakaian. Kita semua tahu bahwa menyetrika pakaian adalah pekerjaan yang paling membosankan, paling melelahkan dan paling menguras waktu. Ketika kita bisa menyelesaikan setumpuk setrikaan dengan baik, maka dipastikan kita bisa menyelesaikan pekerjaan rumah tangga lain dengan lebih baik dan lebih cepat.

Pertama-tama saya ajari cara memegang setrika, cara menggosoknya ke pakaian. Jika itu sudah benar, selanjutnya saya ajari menggosok berbagai bentuk pakaian yang tingkat kesulitannya tinggi. Saya ajari berbagai bahan juga dan penanganannya masing-masing. Lalu saya ajari juga metode melipat pakaian yang paling cocok dengan kondisi lemari kita, dan ada lagi sejumlah metode yang saya ajarkan kepadanya.

Setelah anak saya terbiasa dengan hal-hal teknis tersebut dan tampak mengalir nyaman ketika menyetrika, barulah selangkah demi selangkah saya ajarkan bagaimana mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk menyetrika per satu pakaiannya, hingga ke tahap pelipatan.

Sehingga anak saya bisa paham kapan harus menjadi perfeksionis, dan kapan harus mempercepat proses penggosokannya dengan tetap rapi hingga ke tahap pelipatan pakaian. Ketika dia sudah terbiasa dengan semua ini, tentu cukup mudah untuk mengajarinya pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang lainnya. Hasilnya langsung terasa. Ketika anak sulung saya memasuki asrama, dia adalah anak yang dapat memenej waktunya dengan baik ditengah kesibukan akademik & non-akademik yang luar biasa padat. Cucian pakaian dan setrikaan selalu beres tepat waktu betapapun pencucian pakaian dilakukan secara manual dengan tangan; sementara cukup banyak kawan-kawannya yang lain kedodoran untuk mengatur waktu akibat kedodorannya mereka juga dalam mengerjakan hal-hal domestik tersebut.

Itulah yang saya maksudkan sebagai Best Practice di tingkatan yang lebih mikro, personal dan domestik. Ketika anak-anak kita sudah terbiasa dengan Best Practice di tingkatan personal, cukup mudah untuk memacu mereka agar memiliki visi Best Practice yang sama di pekerjaan mereka kelak. Ketik ada ratusan, ribuan dan jutaan orang yang menjalankan filosofi & kultur tersebut, saya jamin negara akan maju dengan sendirinya; seperti halnya Jepang, Korea, Eropa, Amerika dan sejumlah negara maju lainnya.

Hal-hal besar yang luhur dan agung dilandasi dari hal-hal kecil yang dilakukan dengan fokus, dedikasi, persistensi dan konsistensi.

Best Practice bukan semata dilandasi dari slogan-slogan dan metode-metode, melainkan juga dilandasi dari semangat tak berkesudahan dari dalam sanubari seseorang untuk menjadi yang terbaik, melakukan proses yang terbaik, dan menghasilkan hasil yang terbaik; kapanpun dan dimanapun mereka berada dan berkarya.

Sudah siapkah kita semua untuk melaksanakan semua hal yang kita kerjakan, demi menuju nilai-nilai luhur Best Practice? Demi kemajuan diri kita sendiri... kemajuan keluarga kita... dan kemajuan bangsa ini secara keseluruhan...

Karena bangsa yang maju, besar dan kuat ditopang oleh keluarga yang berbahagia melaksanakan nilai-nilai luhur Best Practice, dan generasi muda yang bersedia menjadi garda terdepan pelaksanaan nilai-nilai Best Practice di semua bidang kehidupan.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Idealisasi Konsep Integritas (Bag. 7: Hasil - Best Practice)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel