Idealisasi Konsep Integritas (Bag. 2: Akuntabilitas)

Di artikel bagian sebelumnya, telah saya jelaskan secara terperinci mengenai konsep induk INTEGRITAS yang disokong oleh KARAKTER - KERENDAHAN HATI beserta seluruh komponen penyusunnya. Berikut ini adalah penjelasan mendetail mengenai KARAKTER - AKUNTABILITAS.

A2. AKUNTABILITAS
Akuntabilitas didefinisikan sebagai: apakah manusia tersebut bisa dipercaya atau tidak? Sesingkat dan sesederhana itu.

Maksudnya bisa dipercaya di sini adalah lebih dari sekedar tidak berbohong atau tidak menipu. Lebih jauh lagi, apakah seseorang bisa dipercayakan rahasia-rahasia besar atau pekerjaan-pekerjaan besar untuk diselesaikan hingga tuntas, juga merupakan apa yang disuratkan oleh akuntabilitas.


Kerendahan hati semata tanpa akuntabilitas, tidak akan mengantarkan manusia kemana-mana. Misalnya: seseorang yang tampak di luarnya baik hati, rendah hati dan tidak banyak bicara; tapi ternyata dia banyak melakukan korupsi, tidak bisa konsekuen dengan janjinya, dan sering tidak tuntas dalam melaksanakan pekerjaan. Dalam contoh ini, manusia tersebut memiliki akuntabilitas yang rendah.

Akuntabilitas semata tanpa kerendahan hati, akan menimbulkan kesombongan atau "kecongkakan rohani", yang cenderung menghakimi. Contohnya: pemuka agama yang tampak tertib dengan tata-cara ibadah agamanya, tapi sering menjelekkan mereka yang di matanya tidak sereligius dirinya. Sebab ia merasa sudah punya akuntabilitas di hadapan Tuhan, dan orang lain yang tidak menjalankan seperti yang ia jalankan, baginya tidak punya akuntabilitas di hadapan Tuhan.

Jadi, antara kerendahan hati dan akuntabilitas, harus membentuk sinergi yang tak terpisahkan untuk bisa menopang karakter terbaik dalam diri seorang manusia. Dengan karakter terbaik tersebut, sang manusia tersebut bisa melangkah kemanapun hidupnya mengarahkan, tanpa kuatir dengan kegagalan.

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita kembali melihat bagan idealisasi konsep INTEGRITAS yang sebelumnya telah dibahas di artikel bagian 1.



Berdasarkan bagan tersebut, dapat kita lihat adanya tiga komponen yang menyokong akuntabilitas dalam diri seseorang? Mereka adalah:
A2.1 TRANSPARANSI
A2.2 OTENTISITAS
A2.3 KOMITMEN

Berikut ini adalah bagan yang lebih detailnya dari AKUNTABILITAS.


Marilah kita bahas lebih mendetail satu-persatu...

A2.1 TRANSPARANSI
Apakah Anda seorang agen? Oh ya maksud saya bukan agen gas melon atau agen judi bola ya, ha ha ha... Maksud saya adalah agen rahasia, yang harus terus menjaga rahasia negara agar bisa tetap hidup.

Jika kita bukan seorang agen rahasia, maka sebenarnya tidak ada urgensi untuk selalu tampak tertutup dan misterius di hadapan orang lain. Prinsip saya sederhana saja. Jika dengan bersikap transparan lantas hidup kita bisa berjalan lebih sederhana dan mudah, lalu mengapa kita mempertahankan sikap yang tidak transparan? Padahal kita jelas bukan ada di posisi pekerjaan yang mengharuskan menjaga sejumlah rahasia.

Banyak orang melihat transparansi sebagai kejujuran. Tentu saja itu benar. Namun definisi transparansi yang lebih luas adalah bukan semata tentang kejujuran, tapi bagaimana orang lain bisa cukup benderang melihat kedalam alam pikiran dan batin kita, lewat sikap yang bersahabat, fleksibel / luwes dan bersikap apa adanya. Sehingga orang lain bisa mudah memposisikan dirinya dengan kita, dan demikian juga sebaliknya. Pendek kata, sikap transparan akan banyak memudahkan kita dalam berhubungan dengan manusia lain, khususnya yang telah kita kenal sebelumnya.

Saya sadar bahwa tentunya kita tidak dianjurkan untuk terlalu transparan pada orang asing, karena bisa berbahaya. Seiring dengan semakin kenalnya kita dengan orang asing tersebut dan bisa merasa sama-sama nyaman, transparansi bisa dilakukan secara bertahap. Lain halnya misalnya kita dipercayakan sebuah pekerjaan yang menuntut kerahasiaan tingkat tinggi. Ya janganlah kita menjadi terlalu transparan kepada orang lain, bahkan mungkin yang telah kita kenal sekalipun. Sekali lagi, saya serahkan pada Anda semua bagaimana mengatur sikap transparan yang kontekstual. 

Contoh tranparansi adalah tidak memendam masalah dengan seseorang. Jika kita merasa ada masalah dengan seseorang, apalagi yang kenal atau dekat, sebaiknya langsung dibicarakan baik-baik. Inilah transparansi. Tentunya karena ini menyangkut masalah tertentu, apalagi yang sifatnya personal, transparansi tersebut harus dikomunikasikan secara hati-hati, bertahap dan kontekstual.

Dapat saya katakan bahwa tranparansi adalah sarana terbaik untuk memperlihatkan ketulusan dan kesejatian pikiran dan hati kita. Jika pikiran dan hati kita bersih, tanpa adanya keinginan untuk menyusahkan atau mencelakakan orang lain, maka tidak ada alasan lebih jauh lagi untuk tidak bersikap transparan.

Sikap transparan juga sebisa mungkin selalu menjelaskan latar belakang tindakan yang kita ambil, dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami orang lain. Misalnya: anak kita pulang terlalu larut malam. Esok harinya kita beri sanksi dengan cara yang edukatif, yaitu menyikat WC, menyapu dan mengepel rumah. Nah, transparansi adalah ketika kita menjelaskan kenapa dia kita hukum. Dengan penjelasan yang transparan, hukuman tersebut akan disikapi sang anak sebagai hal yang edukatif, bukan pembalasan dendam orangtua kepada anaknya karena nasihat atau larangannya tidak dituruti sang anak.

Dalam prinsip tranparansi, berlaku juga prinsip manajemen waktu. Maksudnya, transparansi tidak selalu wajib kita lakukan saat itu juga di tempat itu. Misalnya, jika kita akan memberitahukan hal-hal yang tidak mengenakkan pada seseorang, kita bisa memilih lokasi yang nyaman (misalnya: kafe yang rileks), dan di waktu yang rileks juga. Dengan demikian penyampaiannya akan lebih efektif.

Demikian juga ketika seorang pemimpin regu bermaksud menegur, memberikan sangsi atau memecat anak buahnya. Semuanya harus dilakukan secara transparan, tentang sebab dan langkah-langkahnya. Namun selain transparan, tentu sebaiknya ada manajemen waktunya, kapan transparansi itu dijalankan. Yang pasti jangan di depan anggota regu lainnya, dan penjelasan pun harus diberikan dengan sebaik & seobjektif mungkin, senetral mungkin, sehingga si anggota regu itu melihatnya sebagai bagian dari profesionalisme yang harus dijunjung tinggi.

Jika dilihat dari segi budaya, ada orang yang cara bicaranya halus, dan ada yang ceplas-ceplos, straight to the point. Mereka yang straight to the point, biasanya bisa bersikap lebih transparan. Bagi mereka, orang lain harus paham sikap yang mereka ambil, dan mereka pun tidak terlalu kuatir dengan anggapan orang lain mengenai dirinya.

Sepengalaman saya, transparansi juga nyaris tidak berhubungan dengan karakter seseorang yang introvert atau ekstrovert. Semuanya kembali lagi ke niat baik. Apakah seseorang itu introvert atau ekstrovert, semua orang bisa menjalankan azas transparansi dengan baik.

Saya selalu yakin, dengan niat yang baik dan pikiran yang bersih, ditambah dengan manajemen waktu & tempat yang baik; tidak ada kendala yang terlalu besar untuk mengaplikasikan transparansi di manapun kita berada. Sudah terlalu banyak bukti nyata di kehidupan kita sehari-hari, seseorang yang menjunjung tinggi transparansi di waktu dan tempat yang tepat, dengan teknis pelaksanaan yang juga tepat; banyak terhindar dari masalah dan bisa banyak menyelesaikan perkara-perkara besar.

A2.2 OTENTISITAS
Otentisitas adalah kata benda, yang asal katanya berasal dari kata sifat "otentik". Definisi otentik adalah segala sesuatunya yang asli, sejati, tanpa kepalsuan dan tanpa kepura-puraan. Bahasa religiusnya, tidak munafik. Bahasa Inggris-nya sering disebut sebagai genuine. Untuk orangnya disebut sebagai genuine people, alias orang yang lurus tanpa kepura-puraan.

Seseorang yang otentik biasanya tidak menyukai kemunafikan, kepura-puraan dan juga tidak menyukai segala sesuatunya yang terlihat terlalu sempurna, terlalu banyak polesan. Karena tidak menyukai semua itu, orang-orang yang otentik biasanya sensitif dan bisa langsung mendeteksi orang-orang yang tidak otentik, untuk kemudian menjaga jarak dengan mereka.

Kemunafikan itu sendiri sering diartikan sebagai tidak sejalannya antara perkataan dengan perbuatan. Hatinya penuh kedengkian, tapi dia berhasil membungkus itu dengan tingkah-laku dan kata-kata yang santun. Tentu saja kesopanan dan kesantunan itu penting. Namun kesantunan dan kesopanan itu akan sempurna jika diawali dengan pikiran dan hati yang bersih dan tulus, tanpa kedengkian, tanpa iri hati, dan tanpa kebencian. Ketika pikiran dan hati kita sudah selaras dengan kesopanan dan kesantunan yang kita tampilkan bagi orang lain, disaat itulah kita dapat disebut sebagai pribadi yang otentik.

Seseorang yang otentik selalu menyelaraskan kata-kata dengan perbuatannya. Dan jika dalam perjalanannya mereka menemui kendala untuk terciptanya keselarasan antara kata-kata dan perbuatannya, mereka tidak segan meminta maaf, mengakui kesalahannya, dan kembali pada usaha-usaha terbaik untuk menyelaraskan kata-kata dengan perbuatannya di masa depan.

Bahkan dalam beberapa kejadian, orang yang otentik bersedia untuk meminta maaf betapapun bukan dirinya yang bersalah, demi mempertahankan hubungan baik jangka panjang dengan seseorang yang mereka kasihi. Bagi orang yang otentik, masalah harga diri yang jatuh setelah minta maaf, tidak pernah menjadi pertimbangan penting. Mereka lebih mementingkan kedamaian jiwa mereka setelah menyelesaikan masalah.

Di dunia kerja, orang-orang yang otentik tidak perlu melakukan penjilatan kepada atasan untuk membangun karirnya. Mereka akan berusaha maksimal dengan seluruh kemampuan dirinya. Dan jika karir mereka terhambat oleh orang-orang yang lebih mahir menjilat atasannya, perlahan mereka akan mencari pilihan lain yang lebih baik untuk berkarya. Seseorang yang otentik tidak akan ikut-ikutan menjadi penjilat atasan, hanya karena melihat orang lain yang karirnya lebih sukses dengan jalan menjilat.

Orang yang otentik juga pada umumnya merupakan komunikator dan penjaga hubungan antar-manusia yang baik. Pernahkah Anda menjumpai kawan yang secara teratur berhubungan dengan kita, sekalipun tidak dalam rangka apa-apa? Jika misalnya kita tanya ada apa kepadanya, biasanya jawabannya adalah "ah gak ada apa-apa koq, just say hello aja sama kamu"... Nah, inilah orang yang otentik. Bukan yang hanya menyapa intensif pada kita, jika ada maunya saja.

Jadi dengan kemahirannya menjaga hubungan tersebut, orang-orang yang otentik juga biasanya bisa menjadi tenaga pemasaran yang baik. Misalnya seorang penjual mobil. Karena hubungan baiknya dengan banyak pelanggannya yang sering ia sapa layaknya kawan, biasanya dia tidak mengalami kesulitan berarti ketika akan memasarkan produk-produk terbaru yang ia tangani. Kalaupun orang tidak mau membeli produknya, biasanya murni karena memang tidak mau dengan produknya, bukan karena tidak suka dengan orang yang menjualnya. Dari situ saja, itu sudah merupakan poin penting sebuah kemenangan dalam hubungan baik dengan siapapun.

Jadi ketika kita bisa menemui orang-orang yang otentik dalam hidup kita, yangmana jumlahnya pasti sedikit, jagalah persahabatan kita dengan mereka baik-baik. Di jaman yang semakin sulit ini, semakin sulit juga menemukan orang-orang yang masih otentik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain.

A2.3 KOMITMEN
Berbicara tentang komitmen, tentu bukan hal yang asing lagi bagi kita. Ketika seseorang membicarakan komitmen, pastilah arah pembicaraannya tertuju pada ketepatan janji, akurasi, kontrol kualitas yang sempurna, dan masih banyak kebaikan lainnya yang terkait dengan komitmen.

Tidak pernah diragukan lagi, kemampuan untuk mengemban dan menjaga komitmen, merupakan bagian paling penting dari integritas seseorang.

Namun satu jenis komitmen yang justru sangat penting, namun yang sering terlewatkan oleh banyak orang, adalah komitmen untuk tetap bangun satu kali lebih banyak daripada jatuhnya kita.

Jika kita jatuh 50 kali, berkomitmenlah untuk bangun lagi 51 kali. Jika kita jatuh 99 kali, berkomitmenlah untuk bangun lagi 100 kali.

Bangun lagi bukanlah selalu harus ketika kita jatuh dalam kegagalan yang kasat mata seperti misalnya bangkrut, dipecat perusahaan atau ditipu oleh rekan bisnis. Tapi bisa juga terjadi atas hal-hal yang selama ini kita anggap remeh. Misalnya: ketika kita gagal memenuhi janji kepada seseorang, dan seseorang tersebut marah kepada kita. Meminta maaf tentunya merupakan langkah pertama yang harus kita lakukan. Tapi yang terpenting sesudahnya adalah ketika kita bertekad untuk bangkit lagi dan menjadi orang baru lagi yang lebih siap menepati janji-janji kita. Jangan terus malah timbul dalam hati kita semacam anggapan bahwa percuma saja kita menepati janji karena orang-orang di sekitar kita sudah terlanjur mencap kita sebagai orang yang tidak bisa berkomitmen atau menepati janji.

Seringkali manusia kesulitan berkomitmen untuk menepati janjinya karena berbagai kendala yang melingkupi hidupnya. Semakin berat persoalan pribadi yang sedang dihadapi seseorang, biasanya yang bersangkutan akan semakin sulit untuk berkomitmen menepati janji pada hal-hal tertentu yang selama ini sedang menjadi kesukaran yang dihadapinya.

Misalnya: seorang anak yang selalu menagih janji kepada ayahnya untuk menonton pertandingan menyanyi di sekolahnya, dan ayahnya kesulitan untuk memenuhinya karena ayahnya berprofesi sebagai aparat negara yang jam kerjanya tidak menentu.

Atau misalnya sebuah perusahaan yang arus kasnya sedang seret, dan terpaksa menunda pembayaran pada penyuplai bahan baku hingga 1-2 bulan.

Kesulitan-kesulitan dalam hidup pribadi maupun dalam urusan korporasi / bisnis, tentu sulit kita hindari. Alangkah indahnya jika semua yang kita rencanakan berjalan mulus tanpa cacat-cela, tapi kenyataannya dunia tidak berjalan seindah itu, bukan? Sehingga langkah terbaik adalah tetap berkomitmen pada diri sendiri, untuk suatu saat mencari cara, agar kita bisa menepati janji yang selama ini menjadi kelemahan kita.

Berkomitmen untuk tetap bersikap konsekuen, juga tidak kalah pentingnya bagi perkembangan kualitas kepribadian kita. Konsekuen adalah keselarasan antara apa yang kita bicarakan dengan yang kita jalankan. Jika ternyata pelaksanaannya meleset dari apa yang kita janjikan, kesiapan kita untuk menanggung akibatnya dengan sikap yang bertanggungjawab, termasuk kedalam sikap yang konsekuen, sportif atau fair.

Oleh sebab itu jika dalam perjalanan hidup kita, kita menemui orang-orang yang tetap percaya dengan kita sekalipun kita pernah mengecewakan mereka dalam hal penepatan janji, genggamlah mereka seperti permata yang berharga. Pertahankanlah orang-orang dalam hidup kita yang tidak pernah menyerah dengan kekurangan kita. Namun tentunya sebagai seseorang yang berkomitmen untuk bangun satu kali lebih banyak daripada jatuhnya, jangan terus-menerus mengecewakan mereka. Mereka mau memberikan kesempatan kedua, ketiga atau seterusnya kepada kita untuk berubah, bukan untuk kita salahgunakan dengan mengecewakan mereka lagi.

Jika situasi kita membaik dan kesukaran yang selama ini menghantui kita berhasil kita atasi, bangunlah, tataplah masa depan, berkomitmenlah untuk menjadi diri kita sendiri yang lebih kuat dan lebih mampu menepati janji-janji yang belum kita tepati. Dan biarkanlah orang-orang di sekitar kita melihat perubahan itu, baik mereka yang selama ini tetap percaya kepada kita, maupun mereka yang telah kita kecewakan sebelumnya.

Itulah yang saya maksud sebagai komitmen untuk bangun satu kali lebih banyak daripada kegagalan kita. Kegagalan bukanlah hanya pada hal-hal besar yang kasat mata, tapi juga pada hal-hal kecil yang seringkali tidak kasat mata dan kita anggap remeh.

Karena yang bagi kita remeh, bisa jadi merupakan hal penting bagi orang lain. Itulah sebabnya komitmen yang terus kita kobarkan dalam sanubari kita untuk terus memperbaiki kelemahan-kelemahan kita, menjadi sangat penting (ingat bagian Self-Improvement atau Pengembangan Diri yang sebelumnya telah dibahas di artikel bagian 1). Dan pada saat itulah integritas seseorang diuji.

Sekian pembicaraan kita mengenai KARAKTER, KERENDAHAN HATI dan AKUNTABILITAS. Artikel bagian 3 akan membahas mengenai KOMPETENSI.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Idealisasi Konsep Integritas (Bag. 2: Akuntabilitas)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel