Lebih Banyak Melihat, Mendengarkan dan Merasakan

Kita semua harus semakin membiasakan diri dengan kenyataan bahwa antara kerendahan hati, efektivitas dan produktivitas; merupakan sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Mereka bertiga bekerja secara sinergis satu sama lain. Jika ketiga unsur tersebut berjalan sama baiknya, maka hasilnya di manapun akan menjadi luar biasa. Nah, mengapa demikian?

Sesungguhnya prinsip kerja ketiga hal tersebut: kerendahan hati, efektivitas dan produktivitas; tidak rumit dan tidak canggih. Hanya saja tidak semua pemimpin mau menjalankannya. Jadi masalahnya adalah mau atau tidak mau, bukan bisa atau tidak bisa.

Mengapa tidak semua pemimpin bersedia mengadaptasi kerendahan hati bagi dirinya? Tidak lain adalah karena masih lekatnya anggapan lama bahwa pemimpin adalah yang seyogianya dilayani, bukan yang melayani. Kerendahan hati dipandang sebagai hal yang hina dan menurunkan derajatnya sebagai pemimpin yang harus terlihat tinggi di mata banyak orang. Inilah pangkal masalahnya.

Pemimpin, atau siapapun juga, yang memiliki kerendahan hati, adalah mereka yang bersedia melihat realitas dengan niat yang baik, pikiran yang jernih dan hati yang bersih. Inilah kemampuan pertama yang berhubungan dengan kepemimpinan sejati dan kerendahan hati.

Kita semua paham bahwa untuk melihat sebuah realitas, dibutuhkan niat yang baik, pikiran yang jernih dan hati yang bersih; demi bisa menginterpretasikan realitas tersebut dengan sebaik-baiknya akal budi kita.

Tidak semua orang dan tidak semua pemimpin bersedia melihat realitas dengan sikap baik seperti itu. Sudah terlalu banyak organisasi kacau, stagnan atau bahkan bangkrut dan menyisakan masalah; hanya karena pemimpin tertingginya tidak bisa menerima kenyataan bahwa masalah terbesarnya adalah pada dirinya sendiri; bukan direkturnya, bukan manajernya, dan bukan anak-anak buahnya.


Kemampuan kedua yang didasarkan atas kerendahan hati adalah kemampuan untuk mendengarkan orang lain, demi memahami orang lain. Jelas ada perbedaan besar antara mendengar dan mendengarkan. Jika kita mendengar, itu adalah pengertian indrawi dari sistem pendengaran kita. Tapi ketika kita mendengarkan, maka ada kerendahan hati di dalamnya untuk mau memahami orang lain atau masalah yang ada, dan ada kerendahan hati untuk mencari solusinya bersama-sama.

Masalahnya, kebanyakan orang memang sudah mendengarkan dengan baik, tapi tujuannya hanya untuk menjawab atau bereaksi, bukan menguraikan masalah yang terjadi. Ketika kemampuan mendengarkan kita sertai dengan kerendahan hati, ada faktor empati dan kecerdasan emosional (EQ) yang terlibat di dalamnya, dan hasilnya akan menjadi baik adanya, bagi pemecahan masalah yang berkeadilan bagi semua pihak.

Kemampuan mendengarkan akan semakin efektif & efisien, jika disertai dengan kemampuan untuk mengoreksi diri sendiri, ketika kita mendapati bahwa masalahnya ada pada diri kita. Saya sudah beberapa kali bertemu dengan para pemimpin perusahaan atau pemimpin organisasi yang rendah hati, bersahaja, dan memiliki kemampuan koreksi diri yang sangat baik. Mereka disegani banyak orang, dan oleh karenanya mereka dapat memimpin secara lebih efektif & efisien.

Kemampuan ketiga yang berkorelasi dengan kerendahan hati adalah kemampuan untuk merasakan hal-hal yang tidak kasat mata, namun nyata. Adalah sangat salah ketika kita berpikiran bahwa manusia itu sebaiknya hanya berpikir terus, tanpa pernah merasakan. Kultur organisasi, Office Politics, demoralisasi dan demotivasi; adalah sedikit contoh masalah-masalah yang ada dalam tubuh sebuah organisasi, yang tidak kasat mata, namun nyata adanya. Pengabaian terhadap hal-hal itu sudah terbukti menyebabkan stagnasi atau bahkan kehancuran total sebuah organisasi.

Mengapa itu terjadi? Karena pemimpin-pemimpin dalam organisasi tersebut selalu berpikir, bahwa mereka hanya perlu berpikir secara rasional saja, tanpa perlu merasakan apa yang terjadi dengan mata hati yang jernih. Oleh sebab itu, kata “akal” selalu menempel dengan kata “budi”, yang merupakan indikasi bahwa keduanya adalah mata uang yang tak terpisahkan satu sama lain. Akal untuk berpikir secara rasional, dan budi untuk merasakan secara intuitif.

Kemampuan berpikir & kemampuan merasakan adalah karunia terbesar Tuhan bagi manusia. Jangan sampai salah satunya hilang. Jika hanya sekedar berpikir saja tanpa merasakan, bahkan robot, Artificial Intelligence dan perangkat lunak; dapat melakukannya dengan lebih baik dari manusia, tanpa perlu istirahat atau liburan.

Maka kesimpulannya sudah jelas. Ketika kehidupan kita telah dipenuhi dengan kerendahan hati, maka kita bersedia melihat segala sesuatunya dengan niat yang baik, hati yang jernih dan pikiran yang bersih. Kita bersedia menjadi pendengar yang baik, yang mendengarkan segala sesuatunya dengan mata hati yang jernih. Kita bersedia menggunakan perasaan & intuisi kita untuk merasakan hal-hal tak kasat mata yang terjadi di sekeliling kita.

Ketika semua itu telah kita jalani dengan baik sebagai refleks, bukan lagi sebagai kewajiban, maka kita telah menjadi pribadi yang efektif, efisien dan produktif. Bukankah 3 keunggulan ini adalah yang dicari-cari oleh semua organisasi di abad ini?

Semuanya berawal dari kerendahan hati. Semuanya berawal dari kesediaan kita untuk secara berkala berhenti dari rutinitas dan melakukan introspeksi + evaluasi secara mendalam dan menyeluruh. Dengan melakukan semua itu secara berkala, dengan sendirinya kita telah mengasah kemampuan kita untuk melihat realitas, untuk menjadi pendengar yang baik, dan untuk menjadi pribadi yang bisa merasakan hal-hal tak kasat mata dengan intuisi yang baik.

Manusia adalah fondasi terpenting dari sebuah keunggulan produk, jasa atau organisasi. Ketika manusia-manusia di balik produk, jasa atau organisasi tersebut telah kita desain dengan rancangan karakter terbaik, maka kualitas produk, jasa atau organisasi yang mereka ciptakan pun pasti sinkron mengikuti.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Lebih Banyak Melihat, Mendengarkan dan Merasakan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel