Dari Ahmad Faiz Zainuddin untuk Rhenald Kasali
Sunday, November 19, 2017
Add Comment
Judul asli artikel ini adalah: Mengapa Saya Tidak Sepakat dengan Prof. Rhenald Kasali: From Disruption to Abundance, from Paranoid to Optimism, yang ditulis oleh Ahmad Faiz Zainuddin pada 14 November 2017. Artikel ini diambil dari berbagai Broadcast Message yang bersirkulasi di WhatsApp Group, dan merupakan artikel sanggahan dari Ahmad Faiz Zainuddin bagi tiga artikel Prof. Rhenald Kasali yang sebelumnya telah saya muat di blog ini (Artikel 1 - Artikel 2 - Artikel 3). Artikel sanggahan ini penting untuk juga kita baca, sebagai pelengkap & penyeimbang informasi tentang disruption yang selama ini banyak beredar di masyarakat. Berikut ini adalah isi artikelnya.
Akhir-akhir ini saya sering mendapatkan Broadcast WhatsApp, postingan di Facebook, dan pembicaraan simpang-siur yang isinya adalah semacam peringatan, bahkan ancaman, tentang bahaya "Era Disruption". Terakhir dan yang paling ekstrim, bahkan ada seorang penulis yang mungkin karena terlalu semangatnya menyikapi era perubahan yang tidak menentu ini, menyatakan bahwa saking mengkhawatirkannya era disruption ini, “bisa membuat anak-cucu kita mati berdiri sambil memeluk kitab suci yang entah akan menolong mereka dengan cara apa”.
Maka saya terpanggil untuk membuat tulisan ini, walaupun saya sedang menjalani musim ujian di program MBA saya di UK & USA.
Setelah saya lacak, histeria dan demam disruption ini sepertinya salah satunya berawal dari buku, ceramah dan tulisan-tulisan Prof. Rhenald Kasali, Guru besar FE UI, dan salah satu "World Management Guru", khususnya dibidang Change Management.
Saya sangat setuju dan menghormati beliau sebagai salah satu tokoh penggerak perubahan yang saya kagumi dan ikuti tulisan-tulisannya. Dan sampai saat ini pun saya masih menghormati beliau. Tulisan ini sama sekali nothing personal, hanya sekedar perimbangan wacana saja, agar perspektif kita lebih utuh dalam menyikapi gegap-gempita demam Disruption Era yang salah kaprah.
Saya merasa ada bagian yang kurang lengkap dari pemaparan beliau, yang akhirnya membuat banyak orang ketakutan dan salah paham. Banyak orang awam yang akhirnya jadi panik, nanti masa depan anak-anaknya bagaimana, jika pekerjaan-pekerjaan yang ada sekarang bakal lenyap. Banyak eksekutif perusahaan jadi panik, jangan-jangan mereka akan jadi korban disruption berikutnya, dan akhirnya tergopoh-gopoh mau bertindak tapi akhirnya jadi mati gaya karena bingung entah mau melakukan apa.
Saya bisa memahami jika Prof. Rhenald Kasali membuat banyak orang jadi ketakutan.
Bahkan di acara bedah buku beliau di Periplus yang saya tonton lewat YouTube, sang moderator sendiri sampai bertanya, "Prof, ini kita ke sini mau cari ide bisnis di era disruption, tapi kok malah pada pesimis nih menatap masa depan, setelah mendengar pemaparan prof. Dan Prof. Rhenald Kasali pun tidak memberikan jawaban yang clear & tegas bagaimana menyikapi perubahan jaman yang drastis ini.
Saya juga memahami mengapa Prof. Rhenald Kasali di buku-bukunya, tulisan-tulisannya dan ceramah-ceramahnya banyak menghasilkan kepanikan dan ketakutan. Mungkin ini berawal dari paradigma "Change Management" yang memang selama ini menjadi bidang keahlian beliau. Dalam ilmu manajemen perubahan, salah satu tokoh utamanya adalah Professor Emeritus Harvard Business School, John P. Kotter, dengan teori beliau tentang "8 Steps to change". Dalam teori ini, langkah pertama untuk membuat sebuah organisasi (dan individu) mau berubah adalah dengan "increase urgency" alias membuat orang-orang merasakan urgensi perubahan. Cara paling ampuh untuk itu adalah dengan menciptakan ketakutan dan memberikan gambaran tentang apa dampaknya jika mereka tidak mau berubah. Mungkin dengan niat baik inilah Prof. Rhenald Kasali hendak menyadarkan masyarakat agar segera berubah dan beradaptasi.
Saya sepakat dengan niat baik untuk menggugah kesadaran masyarakat agar berubah. Tapi saya tidak sepakat dengat pendekatan beliau yang entah disadari atau tidak, telah menebarkan banyak ketakutan dan kegalauan di masyarakat luas. Mengapa saya tidak sepakat dengan Prof. Rhenald Kasali? Berikut ini alasannya:
A) Sebenarnya cara “menebarkan ketakutan dan kekhawatiran” ini baik-baik saja diterapkan untuk jenis perubahan yang tidak membutuhkan kreativitas. Tetapi cara ini menjadi kontraproduktif jika tujuan kita adalah untuk melahirkan inovasi, kreativitas, dan berbagai terobosan baru. Untuk survive dan berjaya di era disruption, syarat mutlak dan utamanya adalah: KREATIVITAS.
B) Tidak pernah (atau setidaknya jarang sekali) ide-ide kreatif dan terobosan-terobosan inovatif, terlahir dari rasa takut. Buku babon setebal hampir 800 halaman tentang kreativitas, The Encyclopedia of Creativity, menyebutkan bahwa salah satu penghalang utama kita untuk menghadirkan solusi kreatif adalah jika kita sedang mengalami “emotional barrier”. Diantara semua jenis emosi penghalang kreativitas ini, rasa takut adalah yang paling melumpuhkan. Jadi Anda tidak bisa memaksa orang yang sedang dilanda ketakutan tentang bahaya era disruption, untuk mencari solusi kreatif tentang bagaimana sukses mengatasinya. Anda hanya akan berhasil membuat mereka ketakutan, merasa terpaksa harus berubah, semangat ikut training-training-nya, tapi akhirnya bingung dan mati gaya harus melakukan apa di dunia nyata.
C) Cara yang lebih pas untuk membuat orang terbuka pintu hatinya agar mau berubah sekaligus terinspirasi untuk menjadi kreatif menemukan solusi, adalah dengan memberikan mereka rasa OPTIMISME akan hadirnya kesempatan yang sangat besar menanti di depan mata. Tentang poin C ini, marilah kita lihat beberapa sejarah perubahan besar & revolusioner di dunia ini.
C1) Bill Gates melahirkan Microsoft bukan karena ketakutan kehilangan pekerjaan, tetapi karena sangat terinspirasi & terobsesi akan hadirnya komputer di setiap rumah, disertai dengan optimisme bahwa dia bisa membuat software yang bagus. Akhirnya dia menelepon ibunya bahwa dia bakalan selama 6 bulan tidak pulang ke rumah demi mengerjakan proyek MS-DOS dari IBM.
C2) Mark Zuckerberg menciptakan Facebook bukan karena berangkat dari ketakutan akan masa depannya. Bahkan dia pertaruhkan masa depannya dengan DO dari Harvard demi mengejar impian "menghubungkan setiap orang di muka bumi". Pada saat ceramah di acara wisuda di Harvard, dia mengatakan, yang membuat dia bisa melahirkan Facebook adalah karena dia merasa tenang dan tidak takut akan apapun. Dia sangat menekankan pentingnya setiap orang untuk “bebas dari rasa takut”, demi mencoba hal-hal baru dan melahirkan berbagai terobosan yang inovatif.
C3) Steve Jobs, Thomas Alfa Edison, Elon Musk, Jeff Bezos... sebutkanlah semua inovator kreatif yang telah berhasil membuat perubahan-perubahan radikal abad ini; hampir semuanya tidak ada yang melahirkan inovasinya dalam suasana batin ketakutan akan ancaman situasi masa depan. Mereka semua adalah para OPTIMISTS yang melihat kesempatan besar di tengah kebanyakan orang yang sedang kalut dan takut menghadapi tantangan zamannya.
C4) Terakhir, di tingkat lokal, Trio Unicorn Indonesia, yaitu perusahan startup bernilai di atas 14 trilyun rupiah: Gojek, Traveloka & Tokopedia; tidak ada yang dilahirkan dari orang-orang yang ketakutan akan masa depan. Mereka semua mendirikan perusahaan-perusahaan tersebut dengan suasana batin optimis dan terinspirasi akan peluang besar di depan mata.
C5) Singkat kata: Takut + Pesimis = Bingung + Mati Gaya. Tenang + Optimis = Kreatif + Solutif.
D) Era disruption adalah era yang seharusnya membuat kita optimis, bukannya malah ketakutan. Mengapa? Karena ini hanyalah era transisi menuju Abundance Era (Era Keberlimpahan). Minggu lalu saya baru pulang dari training di Singularity Univeristy. Ini adalah salah satu lembaga dengan kredibilitas tinggi yang meneliti, mengajarkan dan mempopulerkan istilah “Disruption Era”. Lembaga ini disponsori oleh NASA, Google, dan perusahaan-perusahaan teknologi paling top lainnya di Silicon Valley. Secara geografis saja, kantornya bahkan bertempat di pusat penelitian NASA.
Di pusatnya sini, istilah Disruption Era itu menimbulkan aura positif, optimis, dan penuh semangat. Saya tidak tahu kenapa begitu sampai di Indonesia, istilah ini malah diartikan secara salah kaprah sebagai istilah yang menakutkan, penuh ancaman dan sarat pesimisme. Mungkin karena Prof. Rhenald Kasali sebagai juru bicara utamanya menyampaikannya sepenggal saja, sisi seramnya saja, sehingga banyak orang yang salah paham, panik dan ketakutan. Itulah mengapa belajar setengah-setengah itu berbahaya. LITTLE BIT LEARNING IS DANGEROUS.
E) Era disruption adalah fase ke-3 dari 6 fase Exponential Growth. Yang menelurkan teori ini adalah Peter Diamandis (Co-Founder dari Singularity University tersebut). Menurut beliau, abad ini akan ditandai dengan perubahan besar-besaran yang terjadi dalam 6 fase (6D's of Exponential Growth), yaitu:
E1) Digitalization, yaitu transformasi dari analog menjadi digital. Misalnya: Kodak menemukan sistem fotografi digital. Atau musik, film, buku, dan banyak hal lainnya yang dijadikan format digital MP3, MP4, PDF, dan lain sebagainya.
E2) Deception. Kodak tertipu karena mereka kira ini adalah teknologi amatir yang tidak akan bisa menggantikan keindahan dan ketajaman foto manual, karena saat itu resolusinya masih 0,1 megapixel.
E3) Disruption. Di luar kendali Kodak, setiap 18 bulan, resolusi & ketajaman foto digital naik 2x lipat secara eksponensial, atau lebih. Pada saat resolusinya mencapai 2 megapixel, kualitasnya sudah sama dengan hasil foto analog berukuran cetak hingga 8R. Saat itulah Kodak mulai terdisrupsi. Fase inilah yang biasanya membuat kehebohan di sana-sini. Contoh lainnya di fase ini: Uber men-disrupt perusahaan taksi konvensional, AirBnB men-disrupt hotel, dan masih banyak contoh lainnya. Terjadi kepanikan masal karena banyak yang berpikir dunia maupun bisnisnya akan runtuh.
E4) Dematerialization. Ini adalah sebuah era dimana semua produk digital akhirnya tidak perlu wadah "material" karena semuanya bisa disimpan di Cloud yang siap diakses & diunduh kapanpun dan dimanapun. Semakin banyak orang yang akhirnya bisa membuang koleksi External Hard Disk yang berisi jutaan foto digital maupun file-file lainnya. Tinggal unggah saja ke Google Photos yang gratis kapanpun, dimanapun... untuk melihat koleksi foto tersebut, tinggal gunakan perangkat yang kompatibel, lalu langsung lihat atau unduh.
E5) Demonetization. Begitu semua tidak lagi terikat dalam wadah material, maka harganya produk dan jasa layanannya semakin lama semakin turun. Akan ada satu saat dimana semuanya & segalanya bisa sangat murah dan sangat terjangkau untuk semua orang. Begitu buku fisik sudah di-PDF-kan, sebenarnya harga fisiknya nyaris nol. Silahkan saja datangi koleksi lebih dari 300 juta judul buku gratis di pdfdrive.net. Sekarang semua musik, foto, buku, film, serial TV; sudah dibuat versi digitalnya. Tentu saja dalam sejumlah layanan, kita masih diminta membayar. Tapi harganya semakin lama semakin murah, karena sudah tidak ada lagi biaya cetak atau biaya produksi fisik.
E6) Democratization. Pada puncaknya, semua produk akan menjadi murah dan tersedia bagi semua orang. Kita semua telah merasakannya sebagian. Video Call gratis, telepon genggam semakin murah, belajar bisa dari jarak jauh, membaca buku sebanyak apapun bisa dilakukan dari satu perangkat saja, nonton film dan mendengarkan musik gratis, dan masih banyak kenikmatan kontemporer lainnya yang dulunya merupakan hal yang eksklusif atau bahkan mustahil.
Inilah yang disebuat sebagai fase Abundance for All, alias Keberlimpahan untuk Semua. Peter Diamandi menulis buku khusus yang menjelaskan fenomena “Abundance” ini.
Sekedar intermezzo. Saat Bill Clinton mempromosikan buku ini, Peter Diamandi ditanya oleh Bill Clinton: “Mengapa Anda jadi orang kok sangat optimis?” Peter menjawabnya: “Karena saya tidak pernah membaca berita, apalagi hoax. Saya hanya percaya kepada data-data ilmiah. Semua data ilmiah yang saya pelajari mengarah ke sana, bahwa kita semua akan menikmati masa berkelimpahan, Abundance for All”.
Sangat saya anjurkan agar kita semua meniru kebiasaaan Peter Diamandis, agar kita tidak serba pesimis dan selalu ketakutan. Jangan terlalu banyak baca berita, dan mulailah membaca referensi-referensi berbobot yang diperkaya dengan data-data ilmiah dari institusi atau individu dengan kredibilitas yang tinggi & teruji.
Maka semestinya era disruption itu tidak perlu ditakuti dan tidak perlu membuat panik, melainkan perlu dipahami bahwa ini semua merupakan bagian dari revolusi kemajuan peradaban yang akan mengakselerasi nyaris semua hal dalam kehidupan manusia, dan Insya Allah bisa mengarah pada perbaikan semua sendi kehidupan untuk semua orang. Inilah "The Greatest Good for The Greatest Number of People".
Jika dalam setiap peristiwa revolusi selalu ada korban-korban yang bergelimpangan karena tidak tanggap & tidak adaptif, itu hal yang biasa, tidak perlu dibesar-besarkan. Sejarahnya selalu berulang. Nanti juga mereka akan belajar. Kita semua pun perlu belajar lebih total dan lebih tuntas untuk menyambut Era Baru yang sangat menjanjikan ini.
Kesimpulan & Penutup
Terima kasih saya haturkan kepada Prof. Rhenald Kasali, yang atas jasanya, banyak orang dan perusahaan yang tergugah dan akhirnya bersedia berubah mengikuti jaman. Tapi saya sangat berharap bahwa semoga ini semua jangan kebablasan menjadi ketakutan dan kekhawatiran masal. Karena itu saya terpanggil untuk melengkapi wacana & pengetahuan tentang disruption ini dengan wacana & pengetahuan penyeimbang yang menyuntikkan optimisme dan harapan bagi semua orang.
Karena ide-ide besar, kreativitas kontemporer, dan terobosan-terobosan baru yang inovatif; ketika survive dan berjaya di era disruption ini, jelas tidak akan pernah lahir dari rasa takut dan kepanikan, melainkan tumbuh subur dalam pikiran orang-orang dan perusahaan-perusahaan yang tenang, optimis dan adaptif dalam menyikapinya.
Salam takdzim untuk Prof. Rhenald Kasali dan kawan-kawan semua yang membaca tulisan saya ini.
Bloomington, 14 November 2017
Ahmad Faiz Zainuddin
Alumni Indiana University USA
Alumni Warwick Business School UK
Alumni Nanyang Technological University
Alumni Universitas Airlangga
Alumni Singularity University, Silicon Valley, USA
Dan telah mengikuti berbagai ragam Executive Education di UBC, Harvard, MIT, Stanford dan University of Pennsylvania.
Akhir-akhir ini saya sering mendapatkan Broadcast WhatsApp, postingan di Facebook, dan pembicaraan simpang-siur yang isinya adalah semacam peringatan, bahkan ancaman, tentang bahaya "Era Disruption". Terakhir dan yang paling ekstrim, bahkan ada seorang penulis yang mungkin karena terlalu semangatnya menyikapi era perubahan yang tidak menentu ini, menyatakan bahwa saking mengkhawatirkannya era disruption ini, “bisa membuat anak-cucu kita mati berdiri sambil memeluk kitab suci yang entah akan menolong mereka dengan cara apa”.
Maka saya terpanggil untuk membuat tulisan ini, walaupun saya sedang menjalani musim ujian di program MBA saya di UK & USA.
Setelah saya lacak, histeria dan demam disruption ini sepertinya salah satunya berawal dari buku, ceramah dan tulisan-tulisan Prof. Rhenald Kasali, Guru besar FE UI, dan salah satu "World Management Guru", khususnya dibidang Change Management.
Saya sangat setuju dan menghormati beliau sebagai salah satu tokoh penggerak perubahan yang saya kagumi dan ikuti tulisan-tulisannya. Dan sampai saat ini pun saya masih menghormati beliau. Tulisan ini sama sekali nothing personal, hanya sekedar perimbangan wacana saja, agar perspektif kita lebih utuh dalam menyikapi gegap-gempita demam Disruption Era yang salah kaprah.
Saya merasa ada bagian yang kurang lengkap dari pemaparan beliau, yang akhirnya membuat banyak orang ketakutan dan salah paham. Banyak orang awam yang akhirnya jadi panik, nanti masa depan anak-anaknya bagaimana, jika pekerjaan-pekerjaan yang ada sekarang bakal lenyap. Banyak eksekutif perusahaan jadi panik, jangan-jangan mereka akan jadi korban disruption berikutnya, dan akhirnya tergopoh-gopoh mau bertindak tapi akhirnya jadi mati gaya karena bingung entah mau melakukan apa.
Saya bisa memahami jika Prof. Rhenald Kasali membuat banyak orang jadi ketakutan.
Bahkan di acara bedah buku beliau di Periplus yang saya tonton lewat YouTube, sang moderator sendiri sampai bertanya, "Prof, ini kita ke sini mau cari ide bisnis di era disruption, tapi kok malah pada pesimis nih menatap masa depan, setelah mendengar pemaparan prof. Dan Prof. Rhenald Kasali pun tidak memberikan jawaban yang clear & tegas bagaimana menyikapi perubahan jaman yang drastis ini.
Ilustrasi: Istimewa |
Saya sepakat dengan niat baik untuk menggugah kesadaran masyarakat agar berubah. Tapi saya tidak sepakat dengat pendekatan beliau yang entah disadari atau tidak, telah menebarkan banyak ketakutan dan kegalauan di masyarakat luas. Mengapa saya tidak sepakat dengan Prof. Rhenald Kasali? Berikut ini alasannya:
A) Sebenarnya cara “menebarkan ketakutan dan kekhawatiran” ini baik-baik saja diterapkan untuk jenis perubahan yang tidak membutuhkan kreativitas. Tetapi cara ini menjadi kontraproduktif jika tujuan kita adalah untuk melahirkan inovasi, kreativitas, dan berbagai terobosan baru. Untuk survive dan berjaya di era disruption, syarat mutlak dan utamanya adalah: KREATIVITAS.
B) Tidak pernah (atau setidaknya jarang sekali) ide-ide kreatif dan terobosan-terobosan inovatif, terlahir dari rasa takut. Buku babon setebal hampir 800 halaman tentang kreativitas, The Encyclopedia of Creativity, menyebutkan bahwa salah satu penghalang utama kita untuk menghadirkan solusi kreatif adalah jika kita sedang mengalami “emotional barrier”. Diantara semua jenis emosi penghalang kreativitas ini, rasa takut adalah yang paling melumpuhkan. Jadi Anda tidak bisa memaksa orang yang sedang dilanda ketakutan tentang bahaya era disruption, untuk mencari solusi kreatif tentang bagaimana sukses mengatasinya. Anda hanya akan berhasil membuat mereka ketakutan, merasa terpaksa harus berubah, semangat ikut training-training-nya, tapi akhirnya bingung dan mati gaya harus melakukan apa di dunia nyata.
C) Cara yang lebih pas untuk membuat orang terbuka pintu hatinya agar mau berubah sekaligus terinspirasi untuk menjadi kreatif menemukan solusi, adalah dengan memberikan mereka rasa OPTIMISME akan hadirnya kesempatan yang sangat besar menanti di depan mata. Tentang poin C ini, marilah kita lihat beberapa sejarah perubahan besar & revolusioner di dunia ini.
C1) Bill Gates melahirkan Microsoft bukan karena ketakutan kehilangan pekerjaan, tetapi karena sangat terinspirasi & terobsesi akan hadirnya komputer di setiap rumah, disertai dengan optimisme bahwa dia bisa membuat software yang bagus. Akhirnya dia menelepon ibunya bahwa dia bakalan selama 6 bulan tidak pulang ke rumah demi mengerjakan proyek MS-DOS dari IBM.
C2) Mark Zuckerberg menciptakan Facebook bukan karena berangkat dari ketakutan akan masa depannya. Bahkan dia pertaruhkan masa depannya dengan DO dari Harvard demi mengejar impian "menghubungkan setiap orang di muka bumi". Pada saat ceramah di acara wisuda di Harvard, dia mengatakan, yang membuat dia bisa melahirkan Facebook adalah karena dia merasa tenang dan tidak takut akan apapun. Dia sangat menekankan pentingnya setiap orang untuk “bebas dari rasa takut”, demi mencoba hal-hal baru dan melahirkan berbagai terobosan yang inovatif.
C3) Steve Jobs, Thomas Alfa Edison, Elon Musk, Jeff Bezos... sebutkanlah semua inovator kreatif yang telah berhasil membuat perubahan-perubahan radikal abad ini; hampir semuanya tidak ada yang melahirkan inovasinya dalam suasana batin ketakutan akan ancaman situasi masa depan. Mereka semua adalah para OPTIMISTS yang melihat kesempatan besar di tengah kebanyakan orang yang sedang kalut dan takut menghadapi tantangan zamannya.
C4) Terakhir, di tingkat lokal, Trio Unicorn Indonesia, yaitu perusahan startup bernilai di atas 14 trilyun rupiah: Gojek, Traveloka & Tokopedia; tidak ada yang dilahirkan dari orang-orang yang ketakutan akan masa depan. Mereka semua mendirikan perusahaan-perusahaan tersebut dengan suasana batin optimis dan terinspirasi akan peluang besar di depan mata.
C5) Singkat kata: Takut + Pesimis = Bingung + Mati Gaya. Tenang + Optimis = Kreatif + Solutif.
D) Era disruption adalah era yang seharusnya membuat kita optimis, bukannya malah ketakutan. Mengapa? Karena ini hanyalah era transisi menuju Abundance Era (Era Keberlimpahan). Minggu lalu saya baru pulang dari training di Singularity Univeristy. Ini adalah salah satu lembaga dengan kredibilitas tinggi yang meneliti, mengajarkan dan mempopulerkan istilah “Disruption Era”. Lembaga ini disponsori oleh NASA, Google, dan perusahaan-perusahaan teknologi paling top lainnya di Silicon Valley. Secara geografis saja, kantornya bahkan bertempat di pusat penelitian NASA.
Di pusatnya sini, istilah Disruption Era itu menimbulkan aura positif, optimis, dan penuh semangat. Saya tidak tahu kenapa begitu sampai di Indonesia, istilah ini malah diartikan secara salah kaprah sebagai istilah yang menakutkan, penuh ancaman dan sarat pesimisme. Mungkin karena Prof. Rhenald Kasali sebagai juru bicara utamanya menyampaikannya sepenggal saja, sisi seramnya saja, sehingga banyak orang yang salah paham, panik dan ketakutan. Itulah mengapa belajar setengah-setengah itu berbahaya. LITTLE BIT LEARNING IS DANGEROUS.
E) Era disruption adalah fase ke-3 dari 6 fase Exponential Growth. Yang menelurkan teori ini adalah Peter Diamandis (Co-Founder dari Singularity University tersebut). Menurut beliau, abad ini akan ditandai dengan perubahan besar-besaran yang terjadi dalam 6 fase (6D's of Exponential Growth), yaitu:
E1) Digitalization, yaitu transformasi dari analog menjadi digital. Misalnya: Kodak menemukan sistem fotografi digital. Atau musik, film, buku, dan banyak hal lainnya yang dijadikan format digital MP3, MP4, PDF, dan lain sebagainya.
E2) Deception. Kodak tertipu karena mereka kira ini adalah teknologi amatir yang tidak akan bisa menggantikan keindahan dan ketajaman foto manual, karena saat itu resolusinya masih 0,1 megapixel.
E3) Disruption. Di luar kendali Kodak, setiap 18 bulan, resolusi & ketajaman foto digital naik 2x lipat secara eksponensial, atau lebih. Pada saat resolusinya mencapai 2 megapixel, kualitasnya sudah sama dengan hasil foto analog berukuran cetak hingga 8R. Saat itulah Kodak mulai terdisrupsi. Fase inilah yang biasanya membuat kehebohan di sana-sini. Contoh lainnya di fase ini: Uber men-disrupt perusahaan taksi konvensional, AirBnB men-disrupt hotel, dan masih banyak contoh lainnya. Terjadi kepanikan masal karena banyak yang berpikir dunia maupun bisnisnya akan runtuh.
E4) Dematerialization. Ini adalah sebuah era dimana semua produk digital akhirnya tidak perlu wadah "material" karena semuanya bisa disimpan di Cloud yang siap diakses & diunduh kapanpun dan dimanapun. Semakin banyak orang yang akhirnya bisa membuang koleksi External Hard Disk yang berisi jutaan foto digital maupun file-file lainnya. Tinggal unggah saja ke Google Photos yang gratis kapanpun, dimanapun... untuk melihat koleksi foto tersebut, tinggal gunakan perangkat yang kompatibel, lalu langsung lihat atau unduh.
E5) Demonetization. Begitu semua tidak lagi terikat dalam wadah material, maka harganya produk dan jasa layanannya semakin lama semakin turun. Akan ada satu saat dimana semuanya & segalanya bisa sangat murah dan sangat terjangkau untuk semua orang. Begitu buku fisik sudah di-PDF-kan, sebenarnya harga fisiknya nyaris nol. Silahkan saja datangi koleksi lebih dari 300 juta judul buku gratis di pdfdrive.net. Sekarang semua musik, foto, buku, film, serial TV; sudah dibuat versi digitalnya. Tentu saja dalam sejumlah layanan, kita masih diminta membayar. Tapi harganya semakin lama semakin murah, karena sudah tidak ada lagi biaya cetak atau biaya produksi fisik.
E6) Democratization. Pada puncaknya, semua produk akan menjadi murah dan tersedia bagi semua orang. Kita semua telah merasakannya sebagian. Video Call gratis, telepon genggam semakin murah, belajar bisa dari jarak jauh, membaca buku sebanyak apapun bisa dilakukan dari satu perangkat saja, nonton film dan mendengarkan musik gratis, dan masih banyak kenikmatan kontemporer lainnya yang dulunya merupakan hal yang eksklusif atau bahkan mustahil.
Inilah yang disebuat sebagai fase Abundance for All, alias Keberlimpahan untuk Semua. Peter Diamandi menulis buku khusus yang menjelaskan fenomena “Abundance” ini.
Sekedar intermezzo. Saat Bill Clinton mempromosikan buku ini, Peter Diamandi ditanya oleh Bill Clinton: “Mengapa Anda jadi orang kok sangat optimis?” Peter menjawabnya: “Karena saya tidak pernah membaca berita, apalagi hoax. Saya hanya percaya kepada data-data ilmiah. Semua data ilmiah yang saya pelajari mengarah ke sana, bahwa kita semua akan menikmati masa berkelimpahan, Abundance for All”.
Sangat saya anjurkan agar kita semua meniru kebiasaaan Peter Diamandis, agar kita tidak serba pesimis dan selalu ketakutan. Jangan terlalu banyak baca berita, dan mulailah membaca referensi-referensi berbobot yang diperkaya dengan data-data ilmiah dari institusi atau individu dengan kredibilitas yang tinggi & teruji.
Maka semestinya era disruption itu tidak perlu ditakuti dan tidak perlu membuat panik, melainkan perlu dipahami bahwa ini semua merupakan bagian dari revolusi kemajuan peradaban yang akan mengakselerasi nyaris semua hal dalam kehidupan manusia, dan Insya Allah bisa mengarah pada perbaikan semua sendi kehidupan untuk semua orang. Inilah "The Greatest Good for The Greatest Number of People".
Jika dalam setiap peristiwa revolusi selalu ada korban-korban yang bergelimpangan karena tidak tanggap & tidak adaptif, itu hal yang biasa, tidak perlu dibesar-besarkan. Sejarahnya selalu berulang. Nanti juga mereka akan belajar. Kita semua pun perlu belajar lebih total dan lebih tuntas untuk menyambut Era Baru yang sangat menjanjikan ini.
Kesimpulan & Penutup
Terima kasih saya haturkan kepada Prof. Rhenald Kasali, yang atas jasanya, banyak orang dan perusahaan yang tergugah dan akhirnya bersedia berubah mengikuti jaman. Tapi saya sangat berharap bahwa semoga ini semua jangan kebablasan menjadi ketakutan dan kekhawatiran masal. Karena itu saya terpanggil untuk melengkapi wacana & pengetahuan tentang disruption ini dengan wacana & pengetahuan penyeimbang yang menyuntikkan optimisme dan harapan bagi semua orang.
Karena ide-ide besar, kreativitas kontemporer, dan terobosan-terobosan baru yang inovatif; ketika survive dan berjaya di era disruption ini, jelas tidak akan pernah lahir dari rasa takut dan kepanikan, melainkan tumbuh subur dalam pikiran orang-orang dan perusahaan-perusahaan yang tenang, optimis dan adaptif dalam menyikapinya.
Salam takdzim untuk Prof. Rhenald Kasali dan kawan-kawan semua yang membaca tulisan saya ini.
Bloomington, 14 November 2017
Ahmad Faiz Zainuddin
Alumni Indiana University USA
Alumni Warwick Business School UK
Alumni Nanyang Technological University
Alumni Universitas Airlangga
Alumni Singularity University, Silicon Valley, USA
Dan telah mengikuti berbagai ragam Executive Education di UBC, Harvard, MIT, Stanford dan University of Pennsylvania.
0 Response to "Dari Ahmad Faiz Zainuddin untuk Rhenald Kasali"
Post a Comment