Rutinitas Ekstrim yang Membunuh Nurani
Wednesday, March 14, 2018
Add Comment
Ada satu ungkapan yang mengatakan bahwa hal-hal terbaik di dunia ini, lahir dari kontemplasi & kegelisahan. Bagaimana kita tahu bahwa kita sedang gelisah dan memerlukan kontemplasi? Sederhana saja. Ketika kita mulai merasakan adanya sesuatu yang tidak selaras dengan pemikiran awal kita, atau kita merasa ada yang mengganggu nurani kita; maka itulah saat yang tepat bagi kita untuk berkontemplasi. Bahkan dapat kita katakan bahwa sebelum ada hal negatif apapun yang terjadi, sebaiknya kita selalu bertanya pada diri sendiri dan berani melakukan kontemplasi atas semua hal yang kita jalani dalam hidup ini.
Mengapa merasa gelisah & berkontemplasi itu penting? Jawabannya sederhana saja: karena kita manusia. Manusia dikaruniai akal budi, nurani, dan kemampuan untuk terus berkembang. Ketiga hal manusiawi ini seyogianya kita selalu selaraskan dengan kegiatan kita sehari-hari, agar kita bisa menjadi pribadi yang selain produktif, juga fokus pada tujuan utama dalam mengerjakan pekerjaan tersebut.
Pernahkah kita mendengar istilah yang mengatakan bahwa rutinitas yang terlalu repetitif dan monoton, bisa membunuh kreativitas dan karakter baik dalam diri kita? Sesungguhnya tidak ada yang bisa kita bantah lagi dari pernyataan itu, karena semua pakar psikologi dunia telah menyepakati kebenarannya.
Jangan sampai kita terlalu sibuk, dan karena terlalu sibuknya dengan pekerjaan yang repetitif dan monoton, lantas kita menjadi tidak efektif & tidak produktif lagi. Kenyataannya, sibuk belumlah tentu produktif, dan sibuk belumlah tentu efektif. Realitas inilah yang harus terus kita sadari dan terus kita evaluasi secara berkala, layaknya proses tune-up pada mobil kita, atau proses Spooring-Balancing pada keempat ban kendaraan kita.
Mengapa proses evaluasi & pemikiran mendalam tersebut sangat penting kita lakukan? Jawabannya adalah ya kembali lagi fitrah manusia yang selalu ingin & bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Jika kita terus-menerus berpikir bahwa apa yang kita lakukan selama ini sudah baik & sempurna, maka tidak akan ada proses pengembangan berkelanjutan (Continuous Improvement) dan tidak akan ada usaha-usaha menuju terapan terbaik (Best Practice). Kedua azas ini adalah dua dari sejumlah pilar utama kemajuan umat manusia.
Contohnya adalah pada pekerjaan penggergajian kayu. Tadinya sekelompok penggergaji kayu dapat menggergaji 100 batang pohon per hari. Namun lama-kelamaan, produktivitas mereka turun, menjadi hanya 80 batang pohon per hari. Selidik punya selidik, ternyata proses penggergajian per satu batang pohon memakan waktu yang semakin lama, akibat gergaji yang turun tingkat ketajamannya setelah dipergunakan sekian lama tanpa diasah.
Lalu bagaimana caranya agar efektivitas & produktivitas gergaji tersebut kembali lagi ke tingkat semula? Ya harus diasah dengan gesekan bersama logam lainnya. Setelah diasah, gergaji tersebut bahkan semakin digdaya dalam memotong batang pohon, bisa hingga 110 batang per hari.
Andaikan saja gergaji tersebut bisa merasa dan berbicara, sudah pasti gergaji itu akan berteriak kesakitan ketika sedang diasah oleh logam lainnya. Selama ini gergaji tersebut dengan gagahnya “menghabisi” batang-batang kayu yang langsung menyerah pada ketajamannya. Tapi ketika diasah oleh logam lainnya, ada bagian dalam diri gergaji tersebut yang dikikis dan dibentuk, demi tercapainya prinsip pengembangan berkelanjutan dan prinsip terapan terbaik.
Di sini terlihat dengan jelas bahwa kesibukan segila apapun, tidak lantas serta-merta bisa dikaitkan dengan tingginya efektivitas & produktivitas. Ketika gergaji kayu tersebut masih tajam dan bisa memotong 100 kayu per hari, dengan ketika performa gergaji tersebut turun ke 80 kayu per hari; bukankah kesibukan gergaji tersebut sama saja? Tapi sudah jelas efektivitas dan produktivitasnya beda. Setelah diasah dengan seksama, gergaji tersebut dapat memotong 110 batang kayu per harinya. Inilah efektivitas & produktivitas tertinggi.
Ini selaras dengan apa yang terjadi dalam kehidupan kita. Kita sibuk ataupun semakin sibuk, justru kita harus semakin mawas diri, apakah itu semua sudah selaras dengan tingkat efektivitas & produktivitas yang kita harapkan? Sekali lagi, menghentikan sejenak semua kesibukan kita untuk dalam-dalam mengevaluasi semuanya itu, adalah penting untuk selalu kita lakukan.
Selalu jadwalkanlah & luangkanlah waktu bagi kita untuk melakukan saat teduh, permenungan dan evaluasi mendalam atas semua pekerjaan yang telah kita lakukan. Ini bukanlah kemalasan, tetapi kewajiban kodrati kita sebagai manusia seutuhnya.
Mengapa merasa gelisah & berkontemplasi itu penting? Jawabannya sederhana saja: karena kita manusia. Manusia dikaruniai akal budi, nurani, dan kemampuan untuk terus berkembang. Ketiga hal manusiawi ini seyogianya kita selalu selaraskan dengan kegiatan kita sehari-hari, agar kita bisa menjadi pribadi yang selain produktif, juga fokus pada tujuan utama dalam mengerjakan pekerjaan tersebut.
Pernahkah kita mendengar istilah yang mengatakan bahwa rutinitas yang terlalu repetitif dan monoton, bisa membunuh kreativitas dan karakter baik dalam diri kita? Sesungguhnya tidak ada yang bisa kita bantah lagi dari pernyataan itu, karena semua pakar psikologi dunia telah menyepakati kebenarannya.
Jangan sampai kita terlalu sibuk, dan karena terlalu sibuknya dengan pekerjaan yang repetitif dan monoton, lantas kita menjadi tidak efektif & tidak produktif lagi. Kenyataannya, sibuk belumlah tentu produktif, dan sibuk belumlah tentu efektif. Realitas inilah yang harus terus kita sadari dan terus kita evaluasi secara berkala, layaknya proses tune-up pada mobil kita, atau proses Spooring-Balancing pada keempat ban kendaraan kita.
Mengapa proses evaluasi & pemikiran mendalam tersebut sangat penting kita lakukan? Jawabannya adalah ya kembali lagi fitrah manusia yang selalu ingin & bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Jika kita terus-menerus berpikir bahwa apa yang kita lakukan selama ini sudah baik & sempurna, maka tidak akan ada proses pengembangan berkelanjutan (Continuous Improvement) dan tidak akan ada usaha-usaha menuju terapan terbaik (Best Practice). Kedua azas ini adalah dua dari sejumlah pilar utama kemajuan umat manusia.
Contohnya adalah pada pekerjaan penggergajian kayu. Tadinya sekelompok penggergaji kayu dapat menggergaji 100 batang pohon per hari. Namun lama-kelamaan, produktivitas mereka turun, menjadi hanya 80 batang pohon per hari. Selidik punya selidik, ternyata proses penggergajian per satu batang pohon memakan waktu yang semakin lama, akibat gergaji yang turun tingkat ketajamannya setelah dipergunakan sekian lama tanpa diasah.
Lalu bagaimana caranya agar efektivitas & produktivitas gergaji tersebut kembali lagi ke tingkat semula? Ya harus diasah dengan gesekan bersama logam lainnya. Setelah diasah, gergaji tersebut bahkan semakin digdaya dalam memotong batang pohon, bisa hingga 110 batang per hari.
Andaikan saja gergaji tersebut bisa merasa dan berbicara, sudah pasti gergaji itu akan berteriak kesakitan ketika sedang diasah oleh logam lainnya. Selama ini gergaji tersebut dengan gagahnya “menghabisi” batang-batang kayu yang langsung menyerah pada ketajamannya. Tapi ketika diasah oleh logam lainnya, ada bagian dalam diri gergaji tersebut yang dikikis dan dibentuk, demi tercapainya prinsip pengembangan berkelanjutan dan prinsip terapan terbaik.
Di sini terlihat dengan jelas bahwa kesibukan segila apapun, tidak lantas serta-merta bisa dikaitkan dengan tingginya efektivitas & produktivitas. Ketika gergaji kayu tersebut masih tajam dan bisa memotong 100 kayu per hari, dengan ketika performa gergaji tersebut turun ke 80 kayu per hari; bukankah kesibukan gergaji tersebut sama saja? Tapi sudah jelas efektivitas dan produktivitasnya beda. Setelah diasah dengan seksama, gergaji tersebut dapat memotong 110 batang kayu per harinya. Inilah efektivitas & produktivitas tertinggi.
Ini selaras dengan apa yang terjadi dalam kehidupan kita. Kita sibuk ataupun semakin sibuk, justru kita harus semakin mawas diri, apakah itu semua sudah selaras dengan tingkat efektivitas & produktivitas yang kita harapkan? Sekali lagi, menghentikan sejenak semua kesibukan kita untuk dalam-dalam mengevaluasi semuanya itu, adalah penting untuk selalu kita lakukan.
Selalu jadwalkanlah & luangkanlah waktu bagi kita untuk melakukan saat teduh, permenungan dan evaluasi mendalam atas semua pekerjaan yang telah kita lakukan. Ini bukanlah kemalasan, tetapi kewajiban kodrati kita sebagai manusia seutuhnya.
0 Response to "Rutinitas Ekstrim yang Membunuh Nurani"
Post a Comment